webnovel

Part 4 : Sekotak Nasi dan Segaris Senyum

Adyra bersorak gembira setelah mendengar bel istirahat yang berdengung nyaring melalui gendang telinganya. Gadis itu menenteng sebuah kotak makan berbentuk hati dengan bangganya, hingga dia tidak menyadari beberapa orang tengah memerhatikannya bingung.

"Wah! Calon istri bawa bekal buat calon suami nih!" Bisma merebut kotak makan berbentuk hati tersebut dengan secepat kilat, lalu berlari meninggalkan Adyra yang menggeram kesal.

"Bis kota! Balikin nggak!!"

"Eits!!" Gadis itu mencoba untuk meraih kotak makan itu dari tangan Bisma. Tapi sayangnya, postur badan Bisma yang lebih tinggi dari Adyra membuat gadis itu kesusahan mencapai kotak makannya.

"Nggak boleh ngatain calon suami gitu. Nanti dosa, lo!"

Adyra melotot kesal. "Bodo amat. Siapa juga yang mau jadi istri lo! Ogah."

Adyra menginjak salah satu telapak kaki Bisma dengan jengkel, hingga membuat cowok itu mengaduh kesakitan. "Aduh! Busett.. nih cewek!"

"Apa??!!" gadis itu mengambil kotak makan miliknya dengan segera, tanpa mengindahkan ocehan yang terlontar dari mulut Bisma.

Adyra beranjak keluar kelas, melewati Amy dan Siska yang terlihat bertanya-tanya karena ekspresi senyam-senyum sendiri yang tercetak jelas di wajah Adyra, membuat mereka menatapnya aneh.

"Kayaknya, tuh anak harus dirukyah sama abah lo deh, My."

▪▪▪

"Eh, Dita cantik! Malam minggu besok jalan yuk!?"

"Lesung pipinya boleh juga. Jadi pengen, cium deh rasanya."

Andra menyenderkan punggungnya di sebuah tembok sisi kanan ruang kelasnya, sambil memerhatikan Aldo dan Rio yang tengah menggoda para siswi yang lewat di hadapan mereka. Mulai dari siulan menggoda yang membuat cewek-cewek itu tersenyum malu, hingga mencolek dagu dengan ujung jari telunjuknya dan membuat wajah mereka memerah seperti tomat.

Lain halnya dengan Andra dan Eric yang bersikap cool dan pendiam, Rio dan Aldo malah memiliki sifat yang sebaliknya. Mereka lebih tepatnya bisa disebut playboy karena hobynya yang suka gonta-ganti cewek bahkan setiap bulannya.

"Hai, Andra!"

Segerombol cewek yang berpenampilan modis dan trendy dengan segala aksesoris yang mereka pakai itu mulai berjalan mendekati Andra.

Mereka dikenal sebagai Ciliata atau Cills geng, yang terbentuk dari anggota Cinta, Kelly, dan Bita yang selalu up to date untuk masalah fashion dan cowok. Cinta yang notebenenya menyukai Andra sejak kelas satu sudah menjadi rahasia umum sejak lama.

Hingga sosok cewek diantara mereka yang berwajah cantik dengan make up tipis yang menyapu permukaan wajahnya itu tersenyum manis kepada Andra. "Nanti, jalan yuk, Ndra!"

Andra tak menghiraukannya sama sekali. Dia malah lebih memilih sibuk dengan ponselnya daripada harus menyahuti cewek itu.

"Andra, kok gue dicuekin sih?"

Cewek itu bergelayut manja seraya menggamit lengan besar Andra. Cowok itu menepis tangannya kasar, lalu mendorongnya. "Apa sih, lo? Gausah gangguin gue. Pergi."

Cewek itu menekuk bibirnya ke bawah karena perlakuan Andra yang tidak pernah berubah sejak dulu.

Dingin, dan cuek.

Aldo terkekeh setelah melihat aksi drama yang dibuat Andra. Bukan sekali-dua kali Andra membuat drama yang sama seperti itu jika ada perempuan yang mendekatinya.

Tatapan sinis, kalimat ketus, bahkan dorongan kasar akan selalu menjadi menu utamanya.

"Udah tahu si Andra cuek, masih mau aja sih lo! Mendingan sama gue, gue jamin lo bakalan bahagia se-la-ma-nya. Hahahaaa..." Aldo mengedipkan mata ke arah cewek itu; Cinta, hingga membuat tawa Rio dan Eric pecah karena kelakuannya, sedangkan Cinta bergidik geli.

"Diem deh, lo."

"Andra, gue cuma mau ngajak lo jalan itu doang."

"Jalan aja sendiri."

"Tapi—"

Andra berjalan menjauhi Cinta sebelum cewek itu selesai bicara. Sangat nampak di ujung sana jika Cinta tengah memandangnya sebal. Sementara Aldo, Rio, dan Eric malah cekikikan sendiri sambil mengikuti langkah kaki Andra yang lebar itu.

"Sialan!"

Andra mengumpat kesal karena seragam putihnya basah dan kotor terkena lemparan wadah gelas—yang masih ada isinya—yang mungkin secara sengaja dibuang ke arahnya.

Rio, Aldo, dan Eric yang seakan tertarik perhatiannya mulai menoleh ke arah Andra dengan kondisi seragam yang dia pakai basah kuyup di bagian dadanya.

"Maksud lo apa?"

Andra menggertakkan giginya geram setelah melihat siapa orang yang telah membuat masalah dengannya.

"Hai! Andra Dafian Pradigta, yang terhormat. Kita ketemu lagi, ya." cowok itu tersenyum kernyih ke arah Andra yang menatapnya tajam seakan ingin menusuknya detik ini juga. Tapi, bukan Bara namanya jika dia terpengaruh.

Ya, cowok itu Bara. Seseorang yang baru beberapa jam yang lalu usai beradu pukulan dengannya. Seseorang yang juga menjadi musuh bebuyutannya setelah sekian lamanya.

Bara melirik seragam Andra yang kotor, lalu sejurus kemudian cowok itu memasang tampang bersalah yang dibuat-buat. "Wah! Baju lo jadi kotor, deh. Sorry ya, gue tadi mau buang sampah tapi kebetulan ada lo di situ, sih. Jadi, gue nggak bisa bedain, deh. Yang mana elo, yang mana tong sampah!"

Andra meraih kerah seragam putih milik Bara, lalu menariknya kasar hingga membuat kepala Bara terdongak ke atas. Kalimat singkat yang terlontar dari bibir Bara seakan sangat berpengaruh bagi Andra hingga dia tersulut emosinya. Eric ingin menengahi emosi mereka, tapi sepertinya mereka sulit dilerai seperti biasanya.

"Udah gue bilang, jangan pernah cari masalah sama gue."

Andra menatap Bara dengan sorot permusuhan yang jelas. Terlebih lagi kalimat dingin Andra yang selalu mendominasi suasana yang terasa mencekam.

Bara tersenyum miring sambil menaikkan sebelah alisnya. "Lo pikir gue peduli? Gue nggak pernah takut, sama lo!"

"Berengsek, lo!"

Bara sudah melampaui batas sekarang. Andra mengepalkan tangannya kuat, seolah menyalurkan seluruh emosi yang bergemuruh di dadanya.

Andra bukan seorang yang dengan mudahnya menahan emosi yang membelenggu dirinya. Cowok itu bisa melampiaskan kemarahannya dengan apa dan siapa saja yang berada di dekatnya saat itu. Terlebih jika ada yang menyulut emosinya.

"ANDRA!!"

Suasana hening seketika. Bahkan udarapun seakan berhenti menghembuskan oksigen ke dalam paru-parunya. Tatapannya masih dingin. Sedingin kabut yang sulit tersentuh oleh teduhnya angin. Membuat telapak tangannya yang terkepal kuat bersama ribuan emosi yang meluap itu terhenti di udara. Hingga waktu seolah berhenti berdetik.

Bara menertawakan Andra dalam hati, tersenyum puas menatap manik mata Andra yang tak berkutik.

"Wellcome to the hell, Andra."

▪▪▪

Adyra memantapkan langkah kakinya menuju ruang kelas—Sebelas Ipa Lima—yang berada di ujung lorong ini. Yah, siapa lagi yang akan ditemuinya kalau bukan seorang cowok kaku bernama Andra itu. Jangan heran jika gadis itu mengetahui dimana ruang kelas cowok—yang suka menyimpan telapak tangannya di saku celana—itu. Hal itu sangat mudah didapatkannya karena kepopuleran Andra yang notabenenya sebagai putra seorang kepala sekolah, sekaligus siswa yang paling susah diatur seantero SMA Pancasila ini.

Gadis itu tersenyum.

Membayangkan wajah dinginnya saja sudah membuat gadis itu menarik bibirnya untuk tersenyum simpul secara otomatis. Bagaimana jika bertemu langsung? Ah, mungkin rasanya akan seperti ada yang meledak-ledak dalam perutnya hingga membuatnya tersenyum geli.

Sesekali gadis itu menyelipkan anak-anak rambut diantara daun telinganya yang mulai berterbangan karena terbawa oleh hembusan angin yang menyapanya. Bahkan sejuknya angin yang menerpa kulit wajahnya sekalipun tidak akan bisa menyembunyikan senyum bibirnya yang sangat kontras dengan perasaannya saat ini.

Gadis itu menempelkan telapak tangannya ke luar jendela, guna untuk menajamkan pandangannya yang tertutup oleh debu yang melekat di kaca jendela. Dengan kondisi kaca yang sedikit buram, membuat Adyra merasa kesulitan karena tidak menemukan Andra dari luar sini.

Ugh! Seharusnya para tukang bersih-bersih di sini bisa lebih rajin lagi membersihkan seluruh kaca di sekolah ini. Rutuknya.

Adyra memutuskan pergi mendekati sebuah pintu, yang sengaja diberi cat berwarna cokelat pekat untuk menambah kesan keindahan pada pintu majemuk tersebut. Gadis itu berdiri di samping pintu itu sambil celingukan, berharap bisa menemukan Andra di sana. Tapi hasilnya nihil. Andra tidak ada di sana.

Tapi Adyra bukan tipikal cewek yang mudah menyerah begitu saja. Hal itu terbukti dengan saat ini, dia masih berdiri di ambang pintu, dengan memeluk kotak makan miliknya sambil menunggu Andra menampilkan batang hidungnya.

Seorang cowok yang mengenakan sepasang earphone di kedua telinganya itu mulai mengamati Adyra dengan seksama dari dalam kelas. Lamat-lamat dia memandang Adyra, hingga cowok tersebut berinisiatif mendekatinya.

"Cari siapa?"

Senyum Adyra yang semulanya mengembang kini menjadi memudar setelah melihat siapa yang berbicara dengannya bukanlah seseorang yang dia cari. Adyra memandang cowok itu sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke dalam ruangan kelas. "Gue cari Andra."

Adyra melihat cowok itu mengerutkan keningnya, lalu memandang Adyra dengan tatapan menilai, hingga tatapannya berhenti pada kotak makan yang dia bawa, dua detik kemudian dia terkekeh.

"Kenapa? Ada yang salah?"

"Kalo elo mau ketemu Andra buat ngasih makanan, mendingan lo balik ke kelas lo aja, deh. Daripada nanti lo sakit hati, karena menyaksikan sendiri bagaimana makanan lezat lo itu bisa berakhir ke tong sampah," tuturnya sarkasme.

Adyra menyipitkan matanya tak suka, "Eh, denger ya—" Adyra melirik name tag yang terpampang di dada sebelah kanan cowok itu, "—Erico M. Affandi. Gue ke sini buat ketemu sama Andra, bukan ketemu sama lo! Kalo nggak mau kasih tahu Andra dimana, yaudah! Gue bisa cari sendiri."

Gadis itu ingin melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti saat cowok bernama Erico tadi mengatakan sesuatu tentang Andra.

"Lo nggak akan temuin Andra di sudut manapun sekolah ini. Kecuali..."

Cowok itu menggantungkan kalimatnya, hingga membuat Adyra berbalik karena penasaran. "Kecuali... kecuali apa?"

▪▪▪

Sebuah ruangan yang berdominasi cat putih itu, nampak sangat hening, tanpa suara. Bahkan hembusan napas yang teraturpun kini bisa di dengar jelas di dalam ruangan sunyi nan sepi itu.

Sosok wanita cantik yang bermimik wajah tegas itu duduk tenang di hadapan Bara dan Andra yang masih membawa aura permusuhan yang sengit. Wanita itu bangkit dari kursi kebesarannya, lalu beralih menatap manik mata Andra yang melirik ke arah lain.

"Saya kecewa sama kamu." nada kalimatnya sangat terdengar lembut, tapi Andra bahkan tidak mengindahkannya.

"Saya, benar-benar kecewa sama kamu, Andra."

Andra dan Bara masih terdiam di tempat, dengan suasana hati yang bertolak belakang. Bara tahu wanita itu sedang marah. Dan itu adalah sebuah pertanda bagus untuknya.

"Kamu sudah mempermalukan saya. Mempermalukan nama baik sekolah ini dengan tindakan rendahan kamu yang tidak pernah berubah itu! Kamu pikir, tujuan kamu disekolahkan itu untuk apa? Untuk jadi jagoan? Atau penguasa?!"

Andra menatap mata itu dalam. Terasa jelas jika mata itu menyorotkan sebuah perasaan sedih dan kecewa yang tercakup secara bersamaan. Tapi Andra tidak akan runtuh. Dia akan tetap membenci wanita itu. Wanita egois yang memiliki ambisi besar terhadap hal yang dibenci Andra. Dia membenci tatapan itu. Tatapan yang selalu menyiratkan kasih sayang yang bahkan membuat Andra semakin membencinya.

"Saya tahu. Dan saya tidak pernah menyesal dengan tindakan yang saya lakukan."

"Kamu pikir, dengan kekerasan bisa menyelesaikan semua masalah? Kapan kamu mau mendengarkan saya? Kapan kamu akan menganggap saya sebagai seorang ibu yang kamu hormati?!!"

"Seharusnya. Sebelum anda bertanya hal itu kepada saya, apa anda pernah berpikir jika saya akan mempertanyakan hal yang sama? Bahkan anda lebih mempercayai perkataan orang lain daripada putra anda sendiri."

"Jaga bicara kamu! Kamu tidak pantas berkata seperti itu di hadapan saya!"

"Lantas saya harus apa??" Andra berhenti sejenak, lalu tertawa sumbang. "Seharusnya saya sadar, jika saya tidak pernah berharga di mata anda."

"ANDRA!!"

Reya Sasmitha telah kalah dengan emosinya. Dia hampir melayangkan sebuah tamparan keras bersama emosi yang meluap. Dia menatap Andra yang tengah memandangnya kosong. Hatinya seakan tertancam oleh ribuan pedang yang menyakitkan saat menatap mata itu. Mata seorang putra kesayangannya.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu membuat semua orang yang berada di ruangan itu tertarik untuk melihat siapa yang datang. Terkecuali Andra.

Kini, pintu tunggal itu telah terbuka sempurna, dan menampakkan seseorang yang masih berdiri di ambang pintu sana dengan wajah seriusnya.

"Ada keperluan apa?" tanya Reya berusaha bersikap tenang, seraya mempersilahkannya masuk.

Seseorang itu terdiam sejenak menatap Andra yang masih duduk dengan menghadap Reya tanpa peduli akan kehadirannya. Sontak dia menghela napas.

"Saya bisa jelaskan, jika Andra tidak bersalah, Bu."

Sejurus kemudian, Andra tertegun. Bahkan sebelum cowok itu menoleh, dia sudah bisa mengenali suara familiar itu.

Andra menolehnya sekilas lalu menatapnya sinis. Wajah serius seorang gadis—bermata besar itu—yang semula serius, kini berubah menjadi cengiran lebar saat menatap manik mata dingin Andra.

Perempuan itu, Adyra.

▪▪▪

"Andraaaa!!"

Rambut lurusnya yang sengaja dibiarkan tergerai itu melambai-lambai mengiringi langkah kakinya.

Adyra sedikit berlari, untuk mengimbangi langkah lebar Andra dengan sepatu kets-nya.

"Andra, elo kok gitu sih? Gue kan udah belain lo di depan Bu Reya tadi. Tapi, sekarang lo malah ninggalin gue. Ucapan terima kasihnya manaa?"

"Nggak ada."

"Kok gitu?"

"Gue nggak pernah minta lo buat belain gue, kan?"

Adyra mendengus kesal setelah mendengar kalimat sinis yang terlontar dari mulut Andra. Gadis itu tidak tinggal diam. Dia menarik tangan Andra hingga membuatnya tersentak dengan kini posisinya telah berhadapan tepat dengan gadis itu.

"Simpen aja kata terima kasih lo itu. Lo bisa ngucapin kapan aja. Gue tadi cuma mau kasih ini."

Andra mengernyitkan keningnya saat menatap kotak makan yang disodorkan Adyra padanya. "Gue nggak butuh."

"Tapi ini kan buat—"

"UDAHLAH!" Adyra terlonjak kaget hingga membuatnya dadanya seakan tersentak, saat Andra meninggikan suaranya. Tubuhnya seakan membeku. Gadis itu sedikit takut setelah melihat reaksi Andra yang jauh dari perkiraannya. Dan Adyra yakin jika Andra tengah membentaknya saat ini.

"Bisa nggak sih, gausah gangguin gue lagi. Gue nggak pernah suka sama lo! Jadi daripada elo buang-buang waktu, mending lo pergi sekarang."

Kini, Adyra memandang punggung Andra yang kian menjauh dan melenggang pergi memasuki ruang kelasnya yang berada tepat di ujung lorong ini.

Adyra terdiam, lalu tertunduk menatap kotak makan yang berada tangannya saat ini.

Yah, ditolak lagi.

▪▪▪

Rintikan air hujan yang terasa begitu derasnya seolah tidak dia hiraukan sama sekali. Cowok itu berlalu melintasi jalan raya yang masih basah dengan amarah yang meluap dalam dadanya.

Kesal, marah, kecewa, sudah menjadi perpaduan kontras yang bukan sekali-dua kali dia merasakannya, tapi mungkin bahkan hampir setiap hari.

Tangannya mengepal kuat menambah laju mobil yang dikendarainya demi meluapkan emosi yang membelenggu dalam dirinya. Rongga dadanya seakan sempit dan panas, bahkan dengan hadirnya hujan sore ini tidak bisa meneduhkannya barang sesaat saja.

Andra menepikan mobil sport hitamnya memasuki sebuah rumah mewah di ujung sana. Dia memarkirkan mobilnya di depan garasi.

Andra masuk ke dalam rumah itu melalui sebuah pintu bercat cokelat dengan langkah yang malas.

Sepi.

Seperti biasa.

Cowok itu mengusap wajahnya kasar, menenggelamkan wajahnya di balik telapak tangannya. Dengan sesekali meninju kasur empuk itu dengan tangannya, berusaha meluapkan emosi yang selama ini dipendamnya. Yang selama ini disimpannya bertahun-tahun, semenjak semuanya berubah.

Tiba-tiba telponnya berdering dan menampilkan sebuah pesan singkat yang tertera di layar ponselnya.

From: +62838719xxxxx

Mungkin lo bisa lolos dari gue tadi. Tapi ini masih belum seberapa. Tunggu aja kejutan dari gue selanjutnya.

-Bara-

Andra menggertakkan giginya setelah membaca pesan itu. Cowok itu membuang ponselnya asal di atas kasur. Tapi sejurus kemudian, dia menemukan sebuah benda yang tidak asing dari dalam tas ranselnya yang sedikit terbuka.

Andra merogoh tas ranselnya dan menemukan kotak makan berbentuk hati.

Pasti punya tuh cewek gila. Rutuknya.

Andra memutar bolanya malas karena melihat secarik kertas juga yang diselipkan di atas kotak makan itu.

Andra..

Sorry kalo gue bikin lo marah, tadi. Jangan marah kalo gue lancang. Gue tahu lo belum makan sejak kejadian barusan. Makan ya!! Lo bisa buang makanan gue lagi, kok kalo nggak suka. Tapi... asal jangan lupa makan aja.

Andra membanting kotak makan itu di atas nakas, seraya menggelengkan kepalanya heran. 'Nggak ada nyerah-nyerahnya ya, tuh cewek.'

Tiba-tiba, perutnya keroncongan.

Dia ingin bangkit dari kasur lalu mungkin akan memakan sepiring nasi dengan beberapa buah-buahan lainnya. Tapi sejurus kemudian, cowok itu mengingat sesuatu.

Bi Sumi nggak masak hari ini.

Cowok itu mendengus jengkel. Dia kemudian mengambil ponsel yang terletak samping tubuhnya. Lalu mulai mengetik sebuah nomor telepon restoran untuk delivery order. "Sial."

Tapi sayangnya, nomor yang ditujunya tidak bisa terhubung karena sedetik kemudian ponselnya mati secara otomatis. Dan itu menandakan jika baterai ponselnya habis, dan sialnya lagi.. "Kenapa pake acara lampu mati segala, sih!"

Cowok itu menyalakan sebuah lilin yang dia ambil di laci samping kasurnya, untuk sekedar mendapat cahaya.

Perutnya sudah sangat keroncongan akibat tak terisi sebutir nasi sedikitpun. Cowok itu melirik kotak makan yang berada di atas nakas. Dia ingin mengambilnya, tapi ego menguasainya untuk tidak terpengaruh.

Andra mengerang frustasi. Sedetik kemudian dia menyambar kotak makan itu dengan kasar, lalu mulai membukanya.

Aroma harum kini mulai menyeruak ke dalam rongga hidungnya. Walau dengan menu sederhana seperti nasi goreng dengan sebuah telur mata sapi sudah menggugah seleranya.

"Kalo gue nggak laper, males banget makan makanan dari tuh cewek gesrek!"

Andra menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, lalu mulai mengunyahnya perlahan. Ada sedikit keterkejutan dari mimik wajah Andra, tapi sesaat kemudian cowok itu tersenyum tipis.

"Lumayan juga."

Cowok itu memakan makanan dari Adyra dengan lahapnya sampai tandas tak tersisa. Ya, nggak ada pilihan lain. Daripada dia mati kelaparan karena belum makan. Kan nggak banget.

Cowok itu mendesah lega setelah makan makanan itu. Lalu, menampilkan seulas senyum tipis.

Whoaaa—Andra tadi sempat tersenyum walau hanya nampak setipis benang jahit. Jika Adyra melihatnya, bisa dibayangkan jika dia akan loncat-loncat kegirangan seperti anak bayi yang baru bisa berjalan.

Hingga beberapa saat setelah itu, cowok itu tersadar sambil melirik kotak makan kosong yang telah habis dia tandas isinya.

"Ngapain gue senyum?"

▪▪▪