webnovel

Part 38 : Who is He?

Andra menatap kosong ke depan. Dengan posisi duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan. Bersama Adyra, sambil menikmati semilir angin yang mampir. Suasana lapangan yang sudah sepi; karena kumpulan anak SD yang main bola tadi sudah pulang ke rumah masing-masing buat mandi, membuat kecanggungan di antara Andra dan Adyra semakin menjadi.

Dengan melempar tatapan kosongnya ke depan tak mau melihat Adyra. Hal itu, membuat secara tak langsung Adyra tersenyum masam. “Jadi, cuma segitu peran aku dalam kehidupan kamu?”

Andra masih terlihat tenang sambil menyatukan kedua telapak tangan. “Kalo kamu punya masalah, kamu bisa ngomong sama aku. Bukan malah bersikap kayak gini,” kata Adyra sedikit kesal.

“Aku bisa selesaikan ini sendiri,” tegas Andra.

“Buat apa sendirian kalo kamu punya aku?” Adyra menghela napas. “Apa aku segitu nggak pentingnya ya, buat kamu?”

Andra memejamkam mata sejenak. “Bukan gitu maksud aku. aku.. cuma nggak mau kamu khawatir.”

“Dengan bersikap kayak gini, kamu malah bikin aku tambah khawatir tahu, nggak?” Adyra berseru. Walau dengan nada bicara yang sedikit berteriak, tak membuat Andra mengangkat kepala untuk melihat gadis itu.

Papa is calling....

Andra menoleh pada ponselnya yang berbunyi. Bibirnya menipis kesal, sambil membalikkan ponselnya dengan kasar. Adyra mengernyit, lalu berusaha merebut ponsel Andra yang di letakkan di samping tubuh cowok itu.

“Kenapa nggak diangkat?” Andra hanya diam, enggan menjawab.

Ponsel itu terus berdering dari genggaman tangan Adyra. Adyra berdecak melihat Andra yang seolah menulikan pendengarannya. Dengan gerakan refleks, Adyra menarik lengan Andra agar cowok itu mau menghadapnya. “Sampai kapan kamu mau menghindar? Kamu pikir, masalah akan selesai dengan sendirinya, gitu?”

Pada akhirnya, Andra mengangkat pandangan dan menatap manik mata Adyra. “Kamu nggak tahu apa yang aku rasain.”

“Aku emang nggak tahu. Dan aku nggak tahu apa-apa. tapi setahu aku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Nggak terkecuali kamu. Bilang maaf emang mudah. Tapi seenggaknya, dia udah mengakui kesalahannya dengan minta maaf. Sekalipun kata maaf nggak bakal mengubah apapun, untuk apa yang udah terjadi.”

Andra menatap Adyra. Masih menanti kalimat apa lagi yang akan keluar dari bibirnya. Gadis itu malah tersenyum, sambil menggenggam telapak tangan dingin Andra. “Jangan egois, Ndra. Seburuk-buruknya dia, dia adalah Papa kamu.”

••••••

Bara melipat tangan sebagai bantal, sambil berbaring dengan mata terpejam di atas rerumputan. “Lo masih di sini, Bar?” Bara membuka mata dan menemukan Adyra tengah berjalan ke arahnya. Cowok itu langsung berdiri.

Bara sedikit terkejut, tapi kemudian bisa menerima lemparan sebotol minuman dingin dari Andra dengan gerakan refleks. “Upah buat lo, karena udah nganterin cewek gue ke sini,” kata Andra setelah muncul di balik tubuh Adyra sambil tersenyum.

Bara mengangkat alis, lalu tersenyum skeptis. “Sinting.” Bara mendengus. “Lo pikir, gue cowok apaan dibayar pakai ginian?”

Andra mengernyit. Melihat Bara dari membuka botol minuman yang dia kasih sampai menghabiskannya tandas tanpa sisa membuat bola mata Andra memutar jengah. Adyra tertawa geli melihat Bara.

“Apa lo?!” Bara melirik Andra hiperbolis. “Kalo gue nggak haus juga ogah minum-minuman dari lo.” Andra semakin malas menanggapi.

Setelah membuang botol kosong itu ke tempat sampah, Bara menyentuh kedua bahu Adyra dan mengalihkannya agar Adyra mau menatapnya. “Gue pulang dulu ya, Ra? Nggak papa gue bisa pulang sendiri. Lo juga nggak usah khawatir sama gue. Kalo kangen telepon aja, oke?”

Bara mendecak saat Andra menampar tangannya keras sampai tangan Bara lepas dari bahu Adyra. “Sinting lo, ya?” nada suara Andra terdengar mengancam.

Bara masa bodoh. Cowok itu kembali meraih bahu Adyra. Adyra mengerjapkan mata. “Kalo cecunguk itu ninggalin lo lagi, lo bisa hubungi gue juga. Gue bakal selalu ada buat lo tanpa dibayar. Gue juga bakal buka tangan lebar-lebar buat meluk lo erat-erat.”

“Lebar pantat lo!” Andra semakin geram melihat Bara.

“Ah--dan buat lo,” Bara menatap Andra lalu mengulurkan tangannya di depan Andra. Adyra tersenyum melihat Bara yang tengah menlempar senyuman untuk Andra. Adyra pikir, mungkin ini sudah saatnya mereka berdamai.

Bara menggoyangkan tangan, semakin meyakinkan Andra agar mau menjabat tangannya. Andra menatap Bara sejenak, tersenyum, kemudian menerima uluran tangannya.

Belum sempat mereka berjabat tangan, Bara malah menarik tangan Andra dengan tangannya, kemudian melayangkan tinju ke wajah Andra dengan tangan yang satunya.

“BARA!” Adyra memekik.

Andra jatuh tersungkur di atas tanah. Adyra langsung bergerak menghampiri Andra. “Kamu nggak papa?” tanya Adyra.

Andra meringis dan menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Cowok itu melihat Bara, tapi tak menemukan sorot dendam di sana. Bara masih tersenyum, sama seperti saat Andra belum menerima uluran tangannya.

“Anggap aja, itu imbalan buat lo karena udah bikin Adyra nangis. Sekaligus....” Bara sedikit menunduk, lalu menepuk singkat bahu Andra dengan masih tersenyum pongah. “....salam persahabatan dari gue.”

••••••

Sepekan kemudian, pasca Ujian Akhir Semester telah berakhir.

"Andra yang traktir!"

"Andra yang traktir!"

"Andra yang traktir!"

Eric, Aldo, dan Rio berseru bersamaan. Membuat Andra dan Adyra yang tadinya berduaan, kini harus memutar bola mata bosan.

Usai UAS berakhir Andra dan Adyra berniat refreshing sambil mojok di kafe tongkrongan anak muda jaman sekarang. Nggak niat ngapa-ngapain, sih. Cuma makan, sambil pegangan tangan doang. So sweet, kan?

"Bisa nggak sih, anak-anak asuh kamu ini nggak ngerecokin?" Adyra berbisik.

Andra berdehem. "Bukan anak aku. Tapi anak kita," sahut Andra sama ngawurnya.

Eric mengangkat sudut bibir atas jijik, sementara Aldo dan Rio mengedip-ngedipkan mata sok imut.

"Mama! Mamaaa! Ado mau es clim!" Aldo merengek geli.

"Iyo juga! Iyo juga! Mau mobing, Pah! Mobing yang becal." Rio ikut-ikut.

"Ado mau bayon!"

"Iyo mau pedang!"

"Ado mau bebek!"

"Iyo mau cewek!"

"Haduh, Nak. Jangan cewek, dong. Masih kecil nggak boleh cinta-cintaan. Tadi Mama bilang apaaa?" kata Adyra dengan nada bicara diimut-imutkan dan bibir yang dimonyong-monyongkan.

Sesaat, Andra merasa menyesal mengikuti permainan Adyra. Andra menelan ludah dan langsung menutup bibir Adyra dengan tangannya.

"Jelek banget," kata Andra berbohong.

Melihat gelagat aneh yang ditunjukkan Andra, Aldo dan Rio saling menganggukkan kepalanya mengerti. "Eh, Iyo! Iyo!" Aldo mulai lagi.

"Iya, Kak Ado?" Rio menyahut sok imut.

"Menurut Iyo, kalo kita punya adek seru nggak, ya?" Eric menoleh ke wajah Aldo spontan.

"Seru! Seru! Apalagi adeknya cewek! Jadi bisa dicium-cium! Muah!" Rio memonyongkan bibir bareng Aldo yang tak mau ketinggalan.

"Heh! Geli banget lu, sumpah!" Eric istighfar dalam hati sambil terus mengusap dada.

Adyra tertawa, melihat ulah teman-teman Andra. Dan di setiap kilas tawa Adyra, tak pernah luput dari perhatian Andra. Rasanya, Andra ingin terus melihat tawa itu. Setiap saat, bahkan selamanya. Selama yang dia bisa.

"Oke, karena kalian udah bikin Mama seneng, kalian boleh pesen makan! Yeay!!" seru Adyra yang dibalas sorak-sorak bergembira dari si dua kembar bersaudara dan satu kakak tirinya; Eric.

Adyra mengangkat tangan memanggil seseorang. "Mas! Boleh minta menu?"

***

"Iya, Mbak! Sebentar!"

Nando meninggalkan kamar dengan kamera, laptop, dan beberapa cetak foto yang berserakan di atas ranjang. Sebelum keluar kamar, Nando sempat membuka lemari dan mengenakan kaosnya.

Karena beberapa kesibukan sebagai seorang fotografer yang sulit dia tinggal, Nando jadi lebih sering langsung pulang ke rumah daripada mampir ke kafe.

Cowok itu menuruni tangga, usai mendengar asisten rumah tangganya memanggil karena ada orang yang mencarinya, katanya. Tapi perasaan, Nando tak memiliki janji dengan siapapun hari ini.

"Siapa, Mbak?" tanya Nando setelah sampai di depan pintu.

Si Mbak menjauhkan tubuhnya dari pintu, dan memberikan Nando akses yang lebih luas agar bisa melihat siapa orang di balik pintu.

Nando melebarkan pupil, setelah melihat wajah orang di hadapannya.

Seorang lelaki bertopi itu tersenyum ke arahnya, bersamaan dengan tatapan Nando yang seolah tak percaya.

"Apa kabar, Ndo?"

Mereka terdiam sejenak, sampai lelaki itu melepas topi hitam yang sedikit menutupi wajahnya. Mereka saling tatap untuk beberapa saat. Hingga kemudian, Nando memutuskan untuk membalas senyuman lelaki itu dengan sebuah senyuman juga.

"Apa kabar juga..."

Nando membuka tangan, semakin melangkah mendekat dan melebarkan senyumnya.

"Dimas... teman lama gue."

***