webnovel

Part 36 : Resah

Bara mengumpat sambil memaki motornya sendiri. Di jalanan yang ramai seperti ini, mesin motornya mendadak mati. Padahal, baru kemarin Bara membawa motornya ke bengkel.

“Kenapa, Bar?” Adyra berteriak, agar Bara bisa mendengar suara kecilnya yang teredam ramainya lalu lalang jalan raya.

Bara mendecak, “Kayaknya gue lupa isi bensin deh, Ra.”

Adyra turun dari motor Bara sambil melepas helmnya. “Serius lo, bensinnya abis?”

Bara meringis. “Sorry, deh.”

Bara melepas helm full face-nya, lalu turun dan berdiri di samping motornya. “Di depan ada kios yang jual bensin, kok. Nggak jauh. Lo nggak usah ikut dorong motor, deh. Tapi, bensin lo yang bayar, ya? Gue nggak dapet uang jajan, nih.” Bara menekuk bibir sambil memasang wajah melas.

Adyra menepuk jidat. Dalam hati mengumpat. “Motor keren-keren, tapi nggak mampu beli bensin. Payah!"

Bara menggantungkan helm di lengannya, lalu berjalan mendorong motor meninggalkan Adyra. Gadis itu mengikut di belakang Bara sambil sesekali menyeka keringatnya.

Jelas Bara tak melewati sedetik pun untuk mengamati Adyra. Melihat ekspresi Adyra yang terlihat kelelahan dari kaca spion, membuat Bara merasa bersalah. “Udah gue bilang nggak usah ikut dorong.”

Adyra berdecak, “Apa, sih? Suka-suka gue, dong!”

Cowok itu mendengus panjang. “Sorry, ya? Bukannya nganterin lo pulang cepet, malah berakhir panas-panasan di sini sambil dorong motor.”

“Dari tadi bilang sorry mulu.” Mereka berhenti berjalan. “Jangan keseringan bilang maaf. Nanti kata maaf bisa jadi gampang buat lo. Dikit-dikit minta maaf, terus ngelakuin kesalahan yang sama lagi.”

Bara tertawa kernyih, “Gue bukan orang kayak gitu.”

Adyra menanggapi dengan senyum, lalu mengambil tempat duduk di sebuah bangku yang disediakan kios. Setelah bensin sudah terisi penuh, Adyra memakai helm dan beranjak menaiki motor.

Bara mulai menyalakan mesin dan menjalankan motornya seperti biasa. Beberapa saat kemudian, tanpa disangka-sangka, ada seseorang yang melintas tepat di depan Bara. Cowok itu terkejut dan langsung menarik rem motornya secara tiba-tiba.

“Woy, Mas! Kalo mau nyeberang lihat-lihat, dong! Kalo ketabrak gimana?!” Adyra langsung bersungut. Sambil berteriak di balik kaca helmnya.

“Maaf Mbak, Mas! Saya buru-buru.”

Adyra berdecak, lalu memiringkan kepala. Melihat Bara yang diam saja membuat Adyra merasa ada yang salah dengannya. “Lo nggak papa, Bar?”

Harusnya Bara yang menanyakan hal itu, bukan Adyra.

Bara merasa ingin protes karena sikap Adyra yang lebih mengkhawatirkan orang lain daripada dirinya sendiri. Tapi, sekarang bukan itu masalahnya.

Bara hampir tak bisa berpikir karena terkejut akibat kejadian barusan. Bukan karena ada orang yang tiba-tiba meyeberang, bukan juga karena kekhawatiran Adyra yang dia tunjukkan padanya.

Melainkan, ada sesuatu yang lebih sederhana. Sesuatu yang lebih membuat Bara bungkam untuk beberapa waktu ke depan. Sesuatu itu adalah saat Adyra merapatkan tubuhnya ke tas punggung Bara, dengan lengan yang melingkar di perut seperti memeluknya.

•••••

Andra mematikan mesin motor setelah memarkirkan kuda besi itu di depan pagar rumah. Tanpa melepas helm, cowok itu mendekati pagar besi sambil mendorongnya.

“Kak Andra!”

Andra menoleh, lalu tersenyum saat menemukan Kanya yang sedang berjalan ke arahnya bersama seorang wanita. Gadis itu melambaikan tangan saat Andra melepas helmnya.

“Kak Andra udah pulang? Kok pagian?” tanya gadis itu.

“Iya, ada ujian.” Andra merapikan rambutnya ke depan kemudian tersenyum singkat saat matanya bersitatap dengan wanita berkaca mata di sebelah Kanya. “Kamu dari mana sama Bu Vivian.”

“Habis belajar di taman.”

Andra mengernyit. “Tumben. Biasanya kamu kan nggak suka belajar di luar. Karena berisik dan nggak bisa konsentrasi. Beda sama di rumah.”

Kanya memalingkan tatapan sambil memainkan kuku jarinya. “Ya... pengen aja.”

Andra seperti merasa ada yang aneh dengan Kanya. Gadis itu bersikap tak seperti biasanya. Saat tatapan Andra beralih ke Bu Vivian, wanita itu hanya balik menatapnya tanpa memberi penjelasan.

“Kalo gitu, yuk masuk!” Andra memegang tangan Kanya berniat menariknya masuk ke rumah bersamanya. Tapi, langkah Andra justru terhenti saat Kanya menahan lengannya.

“Nggak mau,” lirih Kanya.

Merasa ada yang aneh, Andra menarik tangan gadis itu tanpa persetujuannya. Setelah membuka pagar, dia masuk bersama Kanya dan Bu Vivian tanpa membawa serta motornya.

Pintu rumah yang awalnya tertutup itu terbuka. Lalu menampilkan seorang wanita yang sedang berdiri dengan masih mengenakan setelan blazernya. Andra sedikit terkejut. “Mama pulang juga? Bukannya biasanya....”

Suara Andra semakin hilang seiring kepalanya bergerak dan menangkap wajah seseorang. “...Papa?”

Pria itu tersenyum. Seolah menyiratkan perasaan bahagia lewat binar matanya. “Kalian kaget ya, ada Papa di sini? Papa tahu kamu pulang jam segini dari Mama kamu. Oh, ya! Papa juga bawa makanan kesukaan kalian.”

Prabu mengeluarkan satu persatu makanan yang dia bawa dengan begitu semangatnya. “Papa bawa macaron kesukaan Kanya, Terus ada seafood kesukaan Andra juga. Oh, iya! Ada lagi, pancake durian kesukaan kalian berdua. Dulu, kalian kan paling suka rebutan pancake di meja makan. Sekarang, Papa bawa banyak. Jadi, kalian bisa makan sepuasnya.”

“Papa ngapain ke sini?” Itu suara Andra. Suara yang lirih, tapi penuh penekanan di sana.

Andra mengangkat kepala, bergantian menatap Papanya bersama seorang wanita di sebelahnya. Prabu tersenyum, “Papa mau ketemu anak Papa. Kamu sama Kanya.”

Andra menghela napas berat, dan sudah bersiap diri membalas ucapan Prabu sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Tapi, niat itu terurungkan saat tangan Reya menyentuh lengannya. Mengenggamnya. Seolah menahan apapun yan ingin keluar dari mulut Andra.

Andra berusaha meredam emosinya. “Maaf. Saya capek, mau istirahat.”

Prabu masih tetap menampilkan senyumnya. “Seenggaknya, cobain dulu ya makanan yang Papa bawa. Kita makan sama-sama.”

“Saya nggak lapar.”

“Papa mau bicara sama kamu.”

Andra memalingkan tatapan, beralih menatap Reya. “Andra ke kamar dulu, Ma.”

Prabu berniat menahan Andra. Tapi, dia tidak melakukannya. Pria itu hanya diam menatap kepergiannya. Kini dia beralih menatap Kanya. Dengan senyum yang menyiratkan permohonan di sana. Tidak ada jawaban. Gadis itu menunduk tanpa mau balik menatapnya. “Kanya juga. Permisi.”

Prabu hanya tersenyum menanggapi. Semuanya pergi. Tidak ada yang sudi melihatnya di sini.

Kesalahan yang dia buat memang sudah keterlaluan. Kalau saja dia tidak egois. Kalau saja dia memikirkan tumbuh kembang Andra, memikirkan masa depan Kanya. Kalau saja dia tidak pergi saat itu... Semuanya tidak akan berakhir seperti ini.

Apa yang terjadi sekarang, tidak sesuai dengan rencana yang dia pikirkan.

Dia pikir, anak-anaknya akan senang melihat ayahnya bahagia dengan wanita yang dicintainya. Dia pikir, mereka akan senang menerima Risa sebagai ibunya. Tapi, ternyata tidak. Kebahagiaan yang dia pikir tak seindah kenyataannya.

Semuanya berbalik. Dia merasa kosong. Tidak ada kebahagiaan seperti yang diharapkan. Yang sudah rusak, akan sulit diperbaiki. Yang sudah retak, akan sulit menjadi utuh kembali.

••••

Andra menutup pintu lalu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dengan posisi telungkup. Sejenak memejamkan mata sambil menjernihkan pikirannya.

Dia ingin tidur, tapi tak bisa. Cowok itu bangkit dari posisinya, lalu duduk sambil bersandar dengan bantal di kepala. Hingga suara denting ponselnya membuat Andra memalingkan perhatiannya.

Kamu dimana?

Kamu sakit?

Kenapa nggak dibales?

Kenapa telepon aku selalu nggak dijawab?

Handphone kamu rusak?

Atau di rumahmu lagi nggak ada sinyal?

Kamu masih hidup, kan?

Andra...

Aku kangen.

Andra melempar ponsel. Lalu kembali membaringkan tubuhnya seraya menutupi kepala dengan bantal. Rasanya gelap. Sesak. Tidak bisa bernapas.

Andra memejamkan mata.

Aku... juga kangen kamu, Ra.

••••

SMA Pancasila.

Adyra duduk di atas jok motor sambil mengipas wajahnya dengan tangan. Sementara tangan yang satu mengipas wajah, tangan yang lainnya dia gunakan untuk memegang buku pelajaran. Gadis itu membaca buku dengan seksama sambil sesekali menghapal dan menyimpannya dalam kepala.

“Eh, permisi, dong! Jangan duduk di situ, gue mau parkir!”

“Ah, iya!” Adyra langsung menegakkan badan dan segera menyingkirkan diri dari deretan motor. Setelah Emir—yang tadi parkir motor—keluar dari parkiran, Adyra kembali menduduki jok motor yang tadi.

“Adyra!”

Adyra mendongak dan menemukan Bara yang tengah berjalan ke arahnya.

“Hai!” sahut Adyra sambil melambaikan tangan.

“Lo bawa motor?” Bara bertanya sambil menyampirkan jaket di bahunya.

“Nggak," kilah Adyra. "Nggak tahu motor siapa. Gue cuma numpang duduk.”

Kening Bara berkerut. “Ya, kenapa duduk di sini? Lo nggak masuk? Lima menit lagi bel bunyi, loh!”

Adyra mengangkat tangan, lalu mengamati arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Gadis itu menipiskan bibir lalu mengangguk. “Nungguin Andra.”

Kelopak mata Bara membulat. “Belum ketemu dia juga?”

"Belum." Adyra mengembuskan napas panjangnya. "Nggak ada kabar sama sekali. Gue jadi khawatir."

Bara tak habis pikir dengan Adyra. Apa sih, yang dia cari dari cowok kurang piknik macam Andra? Sekarang, di depan Adyra sedang ada cowok ganteng yang super duper perhatian. Tapi, dia malah bahas cowok lain? Cowok macam Andra pula. Rasanya sekarang emosi Bara sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Masih keren gue juga kemana-mana.

“Udah masuk aja sana! Ngapain ditungguin?” Bara mendadak sinis.

“Nggak bisa gitu dong, Bar!”

“ADYRA!”

Adyra menoleh ke sumber suara. Dia melihat Amy sedang berlari ke arahnya dengan wajah memerah dan rambut yang sedikit awut-awutan.

“Maneh teh kumaha?! Gue bela-belain naik ojek sampai lari-lari biar nggak telat masuk kelas, ini lo malah enak-enakan duduk-duduk cantik di parkiran! Cari mati, ya?”

“Apa sih, Amy? Alay! Segala bawa-bawa mati lagi. Ke kelas duluan aja sana! Jangan ganggu gue!” Adyra mendorong Amy menjauh.

Amy berdecak, “Nggak bisa! Lo harus ke kelas bareng gue! Hari ini pengawasnya Pak Darto tau! Si kumis macan! Kalo lo nggak masuk kelas tepat waktu, lo nggak bakal dikasih izin buat masuk selamanya! Mau lo? Udah jangan cari penyakit napa, sih!”

Adyra menekuk bibir ke bawah.

“Tapi, My....”

“Ayuk, ih!”

Amy menarik tangan Adyra yang lagi meronta-ronta. “Tunggu-tunggu!" Adyra menahan lengan Amy sambil mencari seseorang. "BARA!”

Bara tersentak, “Hng?”

“Kalo lo ketemu Andra, bilangin gue cariin, ya? Suruh temuin gue! OKE!”

Bara tersenyum sambil mengangkat tangan, menekuk ibu jari dan telunjuk sebagai isyarat 'oke' untuk jawaban Adyra. Cowok itu hanya diam, menatap punggung Adyra yang semakin lama semakin menghilang.

Bara menipiskan bibir, "Salah nggak sih, Ra? Kalau gue biarin lo sama cowok egois kayak Andra?"

•••••