webnovel

Part 35 : Silence

Andra mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Cowok itu masih berdiri, tak bergerak sama sekali. Masih menunggu siapa yang akan memenangkan perang batinnya kali ini. Di satu sisi, dia ingin pergi dari tempat ini. Tanpa harus bersusah payah menekan emosi. Tapi di sisi lain, semakin dia berpikir untuk pergi, semakin banyak rasa sakit yang tidak akan pernah bisa terobati.

Andra memejamkan mata, membulatkan tekad untuk menghadapi semuanya saat ini. Dan saat Andra membuka kelopak matanya, semua akan berakhir dengan baik-baik saja.

Tepat saat Andra membuka matanya, sebuah tangan mengamit lengannya. Membuat kepala Andra bergerak sesuai nalurinya. Di sana, dia melihat Adyra yang tengah menatapnya. Tangan gadis itu turun ke telapak tangan Andra, lalu menggenggamnya penuh keyakinan. Seolah tak akan melepaskannya, seperti apapun keadaannya.

“Andra?”

Cowok itu menoleh. Bergeming saat bola matanya bertemu dengan seorang pria yang mengenakan setelan jas berwarna hitam. Pria itu tersenyum sumringah, lalu menarik tubuh Andra ke pelukannya hingga tangan Adyra terlepas darinya.

Andra tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. semuanya terjadi begitu saja. Tanpa membiarkan Andra sedikit menyiapkan dirinya dari serangan tiba-tiba. Pria itu semakin mengeratkan pelukannya. “Papa kangen sama kamu.”

Jantungnya mencelos, seolah jatuh dari tempatnya dengan benturan yang begitu keras. Tidak banyak yang bisa Andra lakukan selain hanya diam. Walau besar keinginannya untuk balik memeluk ayah biologisnya itu dengan perasaan yang begitu sulit diartikan. Andra juga ingin mengatakan, jika dia juga sama merindukan. Tapi, semua itu hanya bisa dia telan bulat-bulat dalam tenggorokan. Tanpa memiliki sedikitpun kekuatan untuk melawan.

“Papa nggak nyangka kalau kamu mau datang. Kamu udah besar sekarang. dulu, terakhir kita ketemu, kamu masih kecil. Kamu masih suka main robot-robotan, kan? Sekarang, Papa benar-benar kangen sama kamu, Nak,” kata Prabu sambil menepuk-nepuk pelan punggung Andra dengan senang.

Dada Andra semakin sakit. Matanya semakin berat karena membendung aliran air yang mengumpul di pelupuk. Bibirnya bergetar. “Kalau Papa kangen, kenapa Papa nggak pernah temui Andra?”

Andra sudah tak tahan. Tepukan di punggung Andra menghilang seketika. Telapak tangan Prabu mengambang di udara, bersamaan dengan perasaan Andra yang sudah tak tahu arahnya kemana.

“Papa punya banyak waktu buat ngelihat Andra. Ngelihat tumbuh kembang Andra dari anak-anak ke remaja. Dari yang masih suka main robot-robotan sampai sekarang bisa nyetir mobil sendiri. Papa punya banyak waktu buat ngelihat itu semua.” Andra tersenyum, merasa begitu lega setelah mengatakannya. Walau masih terasa sedikit nyeri yang menyerang ulu hatinya.

Andra melepas pelukan mereka, dan mengamati sosok pria di depannya. Pria yang sangat dicintainya lebih dari siapapun. Adalah pria yang membuat hatinya pecah dan jatuh berkeping-keping. Wajahnya masih sama seperti beberapa tahun lalu. Dengan sorot mata tegas yang pernah Andra takuti dulu. Dan pelukan hangatnya yang selalu Andra tunggu-tunggu.

“Apa salah Andra, Pa? Apa salah Kanya sampai Papa tega ngelakuin ini sama kita?”

Prabu mendengus pendek sambil tersenyum, “Andra... Papa—“

“Bertahun-tahun Kanya nungguin Papa. Apa Papa tahu kalau dia sempat lumpuh karena kecelakaan? Kanya ngejar Papa, dia nggak mau Papa pergi. Tapi apa yang Papa lakuin? Papa nggak peduli sama sekali.” Andra tertawa getir. “Jangankan peduli, tanya kabar kita aja enggak, kan?”

Prabu tertegun. Andra menatapnya begitu lekat seolah mencengkeram tatapannya begitu erat dan menyakitkan. Pria itu ingin mengulurkan tangan, tapi diurungkan. Dia sadar, dia merasa pantas mendapatkan kalimat seperti itu setelah apa yang dia lakukan.

“Bertahun-tahun juga Andra nyalahin Mama. Andra melimpahkan semua kesalahan sama orang yang nggak bersalah. Andra pikir, Mama yang udah buat semua ini terjadi. Papa pergi karena kehadiran orang lain di hidup Mama. Tapi ternyata enggak. Justru kehadiran Om Arya yang buat Mama kuat selama ini. Karena dia juga, Mama bisa melewati semua ini sendiri.”

Di balik tangan yang Andra sembunyikan di saku celana, dia semakin mengeratkan kepalan telapak tangannya. “Kenapa Papa nggak adil? Andra selalu sayang sama Papa, tapi kenapa Papa jahat sama kita?”

Tidak ada penekanan sama sekali dari perkataan Andra. Kalimat itu mengalir begitu saja dengan seakan sudah menyatu dengan udara. Prabu seolah tertikam, tepat di dadanya.

“Siapa, Mas?”

Andra menoleh dan mendapati seorang wanita dengan gaun pernikahan yang melekat di tubuhnya. Andra menatapnya sedikit lama, dan wanita itu tersenyum saat manik matanya bertemu tatapan Andra. Andra mengulurkan tangan, dan wanita itu langsung menerima jabatan tangan Andra tanpa menghilangkan senyumnya.

“Selamat atas pernikahan anda.”

Andra memaksakan senyumnya dan menggenggam jabatan tangannya dengan jemari yang sedikit bergetar. “Anda beruntung bisa mendapatkan pria seperti Papa saya.”

Andra semakin tersenyum saat melihat wanita di depannya ini mengernyit bingung. “Beliau adalah sosok yang luar biasa. Dia mengorbankan semuanya demi menikahi anda. Semoga kalian selalu bahagia.” Andra menutup kalimatnya dengan tetesan air mata yang jatuh tanpa sengaja.

Di sana, saat Andra membalikkan badannya, beberapa pasang mata menatap dirinya. Ada Adyra, Kanya, Om Arya, dan Mama... dengan kelopak mata yang sudah basah karena air mata.

••••

Adyra menatap lurus jalanan di dalam mobil yang tengah berjalan. Sesekali, Adyra melirik Andra yang tengah fokus menyetir. Adyra tahu, pikiran Andra tidak sepenuhnya hanya untuk jalanan di depannya. Melainkan ada banyak hal yang tengah dipikirkannya.

Sejak pulang dari acara tadi, Andra lebih banyak diam dan bicara seperlunya. Sekedar memberi jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’ saat Adyra mengajaknya berbicara. Adyra pikir, mungkin Andra butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri.

“Udah sampai.” Sekali lagi, kini Adyra juga yang memulai pembicaraan.

Andra hanya diam menatap lurus ke depan tanpa merespon apapun. Adyra menggigit bibirnya gusar. “Gimana kalau besok kamu nggak usah sekolah aja dulu. Istirahat. Jangan banyak pirikan biar nggak sakit.”

Andra masih diam tak menanggapi.

Adyra menghela napasnya. “Oke. Kalau gitu.. aku pulang, ya? Dah!”

Adyra melambai kosong ke arah Andra. Gadis itu langsung menurunkan tangannya lalu melepas seat belt yang mengungkungnya. Saat Adyra benar-benar keluar dari mobil Andra pun, cowok itu masih tak meliriknya. Adyra masih menunggu sebentar. Tapi sayang, masih tidak ada apapun yang terjadi di sana. Mobil Andra melaju dari pekarangan rumah Adyra tanpa sepatah katapun yang terucap di sana.

•••••

SMA Pancasila.

Harap tenang ada ujian. Kira-kira, begitu kalimat yang tertera di sebuah kertas yang menempel di semua kaca jendela ruangan kelas SMA Pancasila.

Beberapa anak sudah berada di ruang ujian pagi-pagi buta untuk mengulang beberapa materi yang mereka pelajari kemarin di rumah. Beberapa yang lainnya juga ada yang memenuhi kantin, buat mereka yang belum sempat sarapan, dan area parkiran untuk sekedar membicarakan gosip tentang materi mapel yang diujikan sampai siapa yang akan menjadi pengawas ujian.

Lain halnya dengan Adyra. Gadis itu menjatuhkan kepala di atas meja sambil melipat tangannya sebagai bantal. Efek memikirkan sikap Andra yang kemarin membuat Adyra tidak bisa tidur nyenyak. Alhasil Adyra berangkat sekolah sambil membawa rasa kantuk yang hakiki.

“Buset dah, pagi-pagi udah loyo aja lo! Nggak sarapan?” Amy sekonyong-konyong menghampiri Adyra sambil menaruh tas di meja belakangnya. Adyra hanya melirik sekilas saat Amy mengambil posisi duduk di sampingnya.

“Eh, Ra! Btw, gue mau curhat, nih! Gue kan lagi naksir sama cowok, nih. Itu... si Ramon anak Mipa 1. Yang ganteng itu! Lo tahu, kan?” Adyra mengangguk malas sekedar menanggapi.

“Dan lo tahu apa yang lagi terjadi saat ini? si Ramon chat gue! Kemarin dia chat gue, Ra! Sumpah sumpah sumpah! Lo nggak tahu seberapa senengnya gue ya ampuunn... Terus kan ya, waktu gue lewat di depan kelas dia—“ Amy mengernyit, saat matanya menangkap Adyra yang tengah memejamkan mata. “ADYRA. AH! Kok lo tidur, sih?! Gue kan lagi ceritaaa!”

Adyra mengembuskan napas berat sambil mengacak singkat poninya. “Nanti aja, My! Gue ngantuk, ah!”

Amy mendelik, “Ngantuk apa, sih! Sekarang lagi ada ujian, Inem! Bukannya belajar malah tidur!” Adyra semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik lipatan lengan. “Lo kenapa sih, Ra? Sakit, ya?”

“Enggak,” sahut Adyra dengan suara serak.

Amy sudah membuka mulut, berniat mengoceh lagi. Tapi urung saat Siska keluar dari balik pintu diikuti seorang pria paruh baya.

“Silahkan kembali ke tempat duduknya. Kita mulai ujiannya.”

•••••

“Buset itu ujian semester apa ujian kehidupan, dah! Susah amat! Pala gue gatel!” Aldo menggaruk kepala, membuat Eric meringis seolah menemukan kutu di sana. “Apa hubungannya mikir sama pala gatel?”

Aldo berhenti sejenak, lalu menatap Eric. “Nggak ada, sih.”

Rio menjitak kepala Aldo, bergantian dengan Eric. Mereka keluar kelas bertiga tanpa bersama Andra. Adyra mendengus pendek. Gadis itu mengecek ponsel dan tidak menemukan satu notif pun di sana.

Sejak kemarin, Andra tidak menghubunginya. Sampai sekarang pun Adyra belum bertemu Andra. Adyra khawatir. Apa mungkin Andra nggak masuk kali, ya? Kemarin kan dia gue suruh nggak masuk aja.

“Ngapain lo di sini?”

Adyra terkejut. Kepalanya langsung terangkat spontan. Adyra melihat Bara berdiri di depannya. “Gue?” tanya balik Adyra sambil menunjuk diri sendiri.

“Ditanya malah balik tanya. Kenapa? Muka lo kayak bingung gitu.”

Adyra menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Andra masuk, nggak?”

Bara mengangkat satu alis lalu mengedip. “Gue nggak ketemu dia sejak pagi tadi. Maunya gue samperin ke sini, takut ganggu. Dari kemarin juga dia nggak chat gue sama sekali,” lanjut Adyra sambil memainkan kuku jarinya.

Bara mengamati Adyra, dengan sorot khawatir di mata Adyra ynag sangat kentara. “Dia masuk, kok. Tapi emang dari tadi betah banget di kelas. Nggak keluar sama sekali.”

Sorot mata Adyra langsung berbinar. “Oh, ya? Terus, sekarang dia dimana?”

“Udah nggak ada. Tepat bel pulang bunyi, dia langsung cabut.”

Adyra berdecak. Gadis itu langsung pergi mengambil tempat duduk di depan kelas, sambil menyandarkan kepalanya malas.

“Kenapa nggak lo telepon aja?” Adyra menoleh dan Bara sudah duduk di sampingnya. “Nggak diangkat. Berkali-kali gue chat juga nggak dibales.”

Bara mendengus kesal. “Pacar macam apa, tuh! Samperin ajalah ke rumahnya! Gue anter! Tangan gue juga mendadak gatel, pengen nonjok muka dia.”

“Kok lo gitu sih, Bar!” Bara mengernyit tak suka saat Adyra mendorongnya. “Andra lagi ada masalah sekarang. Mungkin aja, dia mau sendiri dulu.”

“Masalah apaan! Lo kan ceweknya. Kalo emang dia ada masalah, harusnya dia cerita sama lo. Bukannya malah ngejauhin lo gini. Tahu gitu gue aja dulu yang pacaran sama lo. Nggak bakal tuh, gue tinggal-tinggal lo kayak gini.”

“Bara, ih!”

Adyra menyandarkan kepalanya lagi, lalu memejamkan mata sebentar. Sejenak, dia berpikir. Apa gue salah, ya? Karena udah nyuruh dia nemuin bokapnya?

Bara masih mengamati Adyra. Menelisik setiap ekspresi yang ditunjukkan oleh wajahnya. Sesaat, Bara tertegun waktu melihat bagian bawah kelopak mata Adyra yang sedikit gelap di sana.

Tangan Bara terulur, berniat menyentuh lingkaran hitam di mata Adyra. Tapi urung karena Adyra langsung berdiri secara tiba-tiba. “Mau ke mana?”

Adyra berhenti berjalan lalu menoleh. “Mau pulang.”

“Gue anter.”

Bara menarik tangan Adyra, tapi langsung ditepis olehnya. “Hng... nggak usah, Bar. Gue dijemput, kok,” tolak Adyra sambil tersenyum.

“Dijemput apanya? Hari ini kan pulang pagi. Bokap lo masih di kantor, kan?”

Adyra meringis. “Siapa bilang gue dijemput Papa. Orang gue dijemput angkot, kok.”

Bara memutar bola mata. “Udah pulang bareng gue aja. Mending duitnya lo tabung dari pada naik angkot.”

Bara mencekal pergelangan tangannya lagi. Adyra sedikit merasa risih. Seolah merasakan penolakan Adyra, Bara melepas cekalannya dari tangan Adyra.

Adyra langsung menatap Bara saat cowok itu melepas tangannya. “Apa? Kalo nggak mau digandeng, jalan duluan sana!”

Adyra sedikit merasa bersalah sebenarnya. Tapi, setelah melihat Bara yang songong seperti biasa, Adyra jadi merasa sedikit lega. Gadis itu tersenyum. “Oke, gue jalan di depan lo. Yuk, jalan!”

Sebelum mengikuti langkah Adyra di belakang, Bara mengambil helm yang dia tinggalkan di tempat duduk tadi.

Saat berjalan melewati pintu kelas, cowok itu berhenti lalu melirik sekilas ke dalam kelas. Bara melihat seseorang yang tengah duduk telungkup di atas meja dengan tas ransel sebagai bantal. Setelah itu, Bara berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

Andra menegakkan tubuh lalu membuka matanya. Andra menatap lurus ke depan tanpa mengubah posisi duduknya. Kemudian, cowok itu tertawa tanpa suara.

•••••