webnovel

Part 33 : Selisih

Andra bertopang dagu dengan kedua tangannya. Sambil menatap Adyra yang lagi enak-enakan makan semangkuk soto di depannya. Adyra terlihat makan begitu lahap, sampai-sampai dia tidak menghiraukan Andra yang sedang menatapnya. Padahal dulu dia pernah bilang, kalau dia nggak suka dilihatin kalau lagi makan.

“Kalau misalnya di depan kamu ada harimau, dan di belakang kamu ada jurang, apa yang ada di pikiran kamu?” sahut Andra tiba-tiba hingga Adyra menghentikan kegiatan makannya.

Adyra menurunkan sendoknya, lalu melipat tangannya di atas meja. “Lagi main tebak-tebakan, nih?”

Andra tersenyum tipis, “Jawab aja.”

Adyra mengembuskan napas sejenak, kemudian memutar bola matanya berpikir. Cewek itu menatap Andra lekat-lekat. “Ya kabur, lah! Apa lagi?”

Andra mengangkat satu alis dan terkekeh kemudian. Adyra mengernyit heran. Memangnya apa yang salah dari jawabannya?

“Gimana caranya? Di depan kamu ada harimau yang udah siap nerkam kamu kapan aja. Dan kamu nggak bisa mundur, karena di belakang kamu ada jurang. Mau kabur lewat mana?”

Adyra menipiskan bibir, berniat mencari jawaban dengan memutar otaknya. Saat matanya membulat dan ingin menyuarakan pendapatnya, Andra sudah lebih dulu menyela. “Jangan berpikir kamu mau terbang. Spesies kamu tergolong mamalia berdaun telinga, bukan aves.”

Adyra mengerjap bodoh, lalu menepuk dagu bawahnya guna menutup mulutnya yang terbuka. “Oke, kita analisa. Di depan ada harimau dan di belakang ada jurang. Kenapa nggak lewat samping aja?” tanya Adyra dengan tampang polosnya.

Andra mendengus geli sambil menutup wajahnya. Dia menggeleng frustasi menghadapi Adyra. “Yang ada di depan kamu ini harimau loh, bukan kucing. Lagian di samping kanan dan kiri kamu ada tebing. Kenapa? Mau manjat? Nggak bisa. Harimau jauh lebih cepet daripada kamu. Masih mau ngeles lagi?”

Adyra tertawa. Melihat Andra yang terlihat kesal setengah mati membuat perut Adyra berdenyut geli. Emang gue kelihatan bego banget apa, ya? Adyra langsung menegapkan tubuhnya, memutuskan berhenti dari gelak tawanya.

“Oke, nggak ada cara lain. Aku harus ngelawan harimaunya.” Adyra mulai serius.

“Gimana kalo kamu sendirian di sana?"

Adyra berdehem, lalu tersenyum samar. “Aku nggak sendirian. Tuhan menciptakan manusia hidup saling berdampingan. Kalaupun di suatu tempat itu, aku memang satu-satunya manusia yang tersisa, jawabannya tetep sama. Aku nggak sendirian. Karena aku masih punya Tuhan.”

Adyra menjeda dengan meminum sedikit jusnya. “Tuhan bisa ngelakuin apa aja buat nyelametin aku. Entah itu dengan ngasih aku kekuatan super, bikin aku bisa bener-bener terbang, ataupun seenggaknya kasih aku senjata buat mampusin itu macan.”

Andra menarik sudut bibirnya, melihat Adyra yang lagi bercerita dengan semangatnya. “Kenapa kamu nggak lompat ke jurang aja? Dengan gitu kan, kamu nggak usah susah-susah ngelawan harimaunya.”

Adyra mendengus, “Dan ngebiarin aku jadi pengecut?”

Andra tertegun melihat keyakinan dari sorot mata Adyra. “Kalaupun aku lompat, nggak jamin juga aku bisa selamat. Aku nggak tau di dalam sana ada apa. Gimana kalau ada ulernya? Atau aku nggak bisa keluar dan terjebak di sana selamanya? Atau... lebih parahnya lagi aku bisa mati karena terjun bebas.”

Adyra menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Yah... walaupun seandainya itu macan nggak mungkin mati juga sih kalau aku lawan. Tapi seenggaknya, aku bisa ngalahin rasa takut aku dan berusaha cari jalan keluar buat masalah aku. Bukan malah menghindar.”

Andra tersenyum samar, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Kamu bener, aku nggak perlu jadi pengecut.”

Adyra mengerutkan dahi mendadak tak mengerti. “Sebenernya kamu lagi ngomongin apa, sih?”

Andra menghela napas, lalu mengembuskannya perlahan. “Papa nikah lagi.”

Gerakan Adyra langsung terhenti seketika. Dengan bibir yang masih menempel di sisi sedotan dalam segelas jusnya. Adyra mendongak, dan menangkap sorot wajah Andra yang sangat berbeda dari biasanya.

“Papa kandung aku. Mungkin aku belum pernah cerita sama kamu.” Sejenak, ingatan Adyra terlempar pada kejadian di mana saat Amy dan Siska menceritakan sedikit yang mereka ketahui tentang sesuatu dalam keluarga Andra.

Adyra bergeming membiarkan Andra bercerita. “Lucu, ya? Ternyata, orang yang selama ini aku anggap sempurna, orang yang aku belain di depan Mama, ternyata berbanding terbalik sama apa yang selama ini aku kira. Selama ini aku nyalahin Mama dan nggak pernah peduli sedikitpun tentang dia.”

Andra mengambil napas panjang. Dadanya mendadak sesak. “Aku nggak pernah mau dengerin cerita apapun dari sudut pandang dia, dan lebih milih percaya sama apa yang aku simpulkan sendiri. Selama ini, Mama menderita karena aku.”

“Aku malah lebih belain Papa yang jelas-jelas ninggalin aku. Lima tahun yang lalu...”

“Kita nggak bisa terusin ini. Lebih baik aku pergi.”

Andra sembunyi di balik pintu kamar Kanya, dan menguncinya dari dalam agar adiknya tidak nekat ke luar kamar.

“Pa, aku minta maaf. Kita bisa selesaikan ini semua. Kamu nggak bisa pergi. Gimana sama Andra? Kanya juga masih kecil. Kamu nggak kasihan sama mereka?”

Andra mengintip di celah-celah pintu. Yang hanya bisa sedikit menampakkan wajah kedua orang tuanya. “Mereka nggak tahu apa-apa. Bilang aja ke luar kota.”

Kanya semakin menangis dalam pelukannya. “Aku mau Papa! Aku mau ketemu Papa!”

Tiba-tiba gadis itu mendorongnya. Andra lengah dan tanpa sadar membiarkan Kanya membuka pintu kamar dan berlari mengejar Papanya yang melangkah pergi meninggalkannya.

Andra berlari menuruni tangga. Lalu berusaha membantu Reya yang kewalahan menahan Kanya yang meronta-ronta. Di luar dugaan, Kanya tak selemah kelihatannya. Dengan sekuat tenaga, gadis itu menyentak kedua tangan mereka, dan berlari mengejar Papanya.

Andra hampir menangkap tangannya. Tapi gadis itu jauh lebih cepat darinya. Kanya berlari sambil menangis, mengejar mobil Papanya yang sudah keluar dari pagar rumahnya. Andra semakin mempercepat langkahnya, belum sempat dia menarik Kanya dalam pelukannya, sebuah mobil yang melaju cepat ke arahnya membanting tubuh Kanya—yang tadinya ingin menyebrang jalan raya—hingga gadis kecil itu terlempar jauh dari pandangannya.

Andra mematung. Mobil Papanya sudah hilang dari persimpangan jalan. Di malam yang dingin, yang dia lihat hanya Kanya yang tengah berbaring di depan matanya dengan beberapa orang yang mengerumuninya.

Andra merasakan hangat yang mengalir dari telapak tangannya. Dia membuka kelopak mata setelah memejamkannya. Adyra tersenyum menenangkan, sambil meremas telapak tangan Andra yang bergetar.

“Kamu masih bisa perbaiki semuanya, kok. Aku bakal selalu ada di samping kamu.”

Adyra semakin mengeratkan genggaman, seolah memberi kekuatan. "Kamu nggak perlu menghindar dari apapun. Kita hadapin masalah kamu sama-sama."

Andra menatap mata Adyra yang berkaca-kaca. Dia mengalihkan pandangan ke telapak tangannya yang digenggam Adyra. Andra tersenyum, sambil balik menggenggamnya juga.

Andra mendesah, “Kalo aja di sini nggak banyak orang, pasti udah aku peluk kamu dari tadi.”

Adyra ikut terkekeh, lalu memukul tangan Andra dengan tangannya yang satunya. “Ck, dasar! Udah aku-kamuan nih, ceritanya?”

Andra menipiskan bibir, melihat Adyra terus-terusan senyum ke arahnya. “Apa, sih! Jangan kelamaan senyum gitu. Bikin deg-degan aja!”

Adyra tergelak, “Ahh.. masa, sih?”

Bola mata Andra berputar. “Udah terusin makannya sana!”

Adyra mendadak geli dan semakin melebarkan senyumnya menggoda. “Suapin, dongg!”

••••

“Bisa minggir nggak, sih? Lo kira cuma lo doang yang mau makan?”

Bara terkesiap, melihat seorang cowok berkaos olahraga yang berdiri tepat di belakangnya. Suasana kantin yang ramai saat jam istirahat memang sanagt menyebalkan. Alhasil, semua siswa harus rela mengantri demi sepiring nasi dan minuman.

Bara yang tadinya menatap Andra dan Adyra yang lagi duduk berduaan di pojokan, kini sudah mengalihkan pandangan ke arah cowok di depannya. “Berisik.”

Bara mendorong dada cowok itu pelan, bersamaan dengan menyerahkan semangkuk mie yang tadi dia bawa tadi ke tangan cowok itu. Bara langsung pergi tanpa mengatakan apapun. Mendadak, dia tidak nafsu makan.

Bara pikir, mungkin dia hanya perlu masuk ke kelas dan menghabiskan waktu istirahatnya untuk tidur siang. Saat cowok itu berjalan menuju kelas, langkah kaki seseorang memblokir jalannya.

“Bara Aldino Hermawan. Kelas 11 Mipa 5. Siswa teladan yang tidak pernah membolos, tapi sering absen dari kegiatan ekstrakulikuler basket. Padahal dia salah satu anggota tim inti sekolah.”

Bara menghela napas. Ada aja masalah. Mau tidur siang aja susah!

Edwin Anugerah. Seorang guru olahraga sekaligus pelatih ekstrakulikuler basket yang terkenal disiplin dan nggak mau tahu sama murid yang nggak tahu aturan.

“Saya ada les di luar, Pak. Maaf.”

“Maaf, kamu bilang?” Suara Pak Edwin naik satu oktaf. “Kamu tahu kan, saya orang seperti apa? Kalau kamu nggak becus di tim, mending keluar aja.”

Bara mengemelatukkan giginya. “Tapi, saya udah bilang, Pak. Saya ada les di luar. Dan jadwalnya mepet banget sama latihan basket. Bapak nggak bisa keluarin saya gitu aja.”

“Kamu bisa cari waktu yang lain, kan? Kenapa harus barengan? Dan kenapa juga saya nggak bisa keluarin kamu. Saya bisa, tentu saja.”

“Tapi—"

“Nggak ada tapi-tapian. Kalau kamu nggak bisa pegang tanggung jawab, nggak ada pilihan lain.”

Bara ingin bersuara, tapi diurungkan karena Pak Edwin sudah pergi begitu saja. Cowok itu mengacak rambutnya frustasi. Bara kesal setengah mati. Dia sudah mengangkat ponselnya ke udara guna meluapkan emosinya seperti biasa. Tapi gerakannya terhenti saat sebuah tangan kecil menangkap genggaman tangannya.

“Lo gila, ya! Kalo mau marah ya marah aja, nggak usah pakai banting handphone segala! Dikira beli hape kayak beli cabe, apa!”

Bara mengatur deru napasnya. Di hadapannya ada Adyra yang tengah teriak-teriak di depan wajahnya.

Seperti biasa, gadis itu selalu berhasil menyita perhatian Bara. “Apaan sih, lo!”

Adyra tersentak saat Bara menepis tangannya. “Nggak usah pegang-pegang gue! Mau gue banting hape kek, enggak kek, bukan urusan lo!”

Bara langsung berbalik dan pergi dari hadapan Adyra. Sementara Adyra, mana terima dia diperlakukan seperti itu!

“Lo kenapa sih, Bar? Akhir-akhir ini aneh banget! Ketemu gue nggak nyapa, gue panggil nggak nyahut, gue senyum juga dikacangin. Lo ada masalah apa sama gue? Cerita, dong!” Adyra sedikit mempercepat langkahnya berusaha menyamai langkah lebar Bara.

“Tuh, kan! Gue ngomong lo diem aja. Lo sariawan? Gusi lo bengkak, ya? Atau gigi lo sakit—“

“Berisik banget, sih! Lagian ngapain lo di sini? Sana pergi sama pacar lo itu! Nggak usah ganggu-gangguin gue segala!” Setelah berteriak, Bara langsung ambil langkah lebar. Sayangnya, bukan Adyra namanya kalau diem aja. Cewek itu malah semakin tak gentar mengejar.

“Aduh, lo marah ya karena gue nggak bilang-bilang waktu jadian sama Andra? Maaf, deh! Gue khilaf, sumpah! Lo mau apa? Gue traktir, deh! Mau nonton, nggak? Gue bayarin! Mau nonton Dilan, Dear Nathan, Pengabdi Setan—“

“Pergi!”

Adyra mengerjap saking terkejutnya. Setelah sekian lama, baru kali ini dia dibentak tepat di depan wajahnya. Bukannya menyerah, Adyra malah melempar senyumnya. “Kemana Bara yang selama ini gue kenal? Bara yang selalu ngomong pelan, dan nggak berhenti senyum waktu ngobrol sama gue?” Suara Adyra melembut.

Bara semakin kesal. “Gue bilang pergi! Kuping lo budeg, ya!”

Adyra masih tidak mau pergi. Dia malah semakin menatap Bara lekat tanpa berpindah sejengkal pun dari tempatnya berdiri.

Bara tertawa sumbang. “Gue heran ya, sama lo. Cewek bego kayak lo mau-mau aja jadi pacar dia. Lo tahu nggak, sih? Andra itu nggak suka sama lo! Dia cuma mau main-main sama lo!”

“Andra bukan cowok kayak gitu.”

Bara mendengus. “Hah, lucu banget, sih! Andra bukan cowok kayak gitu,” kata Bara mengikuti cara bicara Adyra. “Semua cowok itu sama aja! Nggak ada bedanya! Selama ini lo nggak tau kan Andra cowok kayak apa? Andra itu brengsek! Kalo saatnya udah tepat, gue yakin lo bakal ditinggal!“

Bara terkesiap. Tanpa aba-aba, Adyra langsung menampar Bara tepat di pipi kirinya.

“Gue paling benci sama orang yang ngejelek-jelekin orang yang gue suka." Ekspresi Adyra mendadak dingin.

Bara termangu. Tapi setelah itu, dia mengumpulkan kesadarannya kembali lalu mendengus geli. Bara mengusap sudut bibir yang terkena tampar.

"Emang apa yang lo suka dari dia, hm? Uang?" Bara mendengus geli dan tersenyum hiperbolis. "Ah... harusnya gue sadar. Apalagi yang lo suka dari cowok tajir kayak Andra kalo bukan karena uang? Hhh.. Dasar cewek murahan—"

Bara langsung tersungkur, dengan sudut bibir mengalir darah segar. Bara memang tidak bisa terlalu lama dibiarkan. Bara tak bisa bangun hanya karena serangan mendadak yang menghujamnya. Adyra memekik saat mengetahui siapa dalang yang sudah menendang wajah Bara dengan kerasnya.

"Andra..."

Cowok itu mengernyih dengan kilatan mata penuh dendam. "Mau mati, ya?"

*******