webnovel

Part 31 : Let Me Waive the Knot

"Karena dalam cinta, berjalan satu kaki hanya akan memincangkan yang sebelahnya lagi..."

(The Overtunes - Sayap Pelindung)

•••••

Adyra tersenyum girang saat secangkir hot chocolate pesanannya sudah datang. Setelah berterima kasih, gadis itu langsung meminum cairan di dalam cangkir itu dengan semangat. Andra yang melihatnya begitu antusias, mulai menatap Adyra dengan sorot mengkhawatirkan.

“Pelan-pelan. Emang nggak panas?”

Adyra mengangkat tatapan, “B aja, tuh.”

Bola mata Andra berputar, lalu mendekatkan bibir di sedotan untuk menikmati segelas jus pesanannya.

Setelah kejadian ‘nggak jadi pulang bareng’ barusan, Andra langsung menelepon Adyra, dan mengabarkan kalau dia sudah berada di depan pintu rumahnya. Jelas Adyra kaget, saat dia melihat Andra benar-benar berdiri di samping motornya tanpa mengganti seragam sekolahnya.

Andra langsung menarik Adyra naik ke atas motornya dan berakhir di sebuah kafe dekat rumah Adyra.

“Pasti lo belum mandi, kan?”

Andra melirik sekadarnya, dengan masih menikmati segelas jusnya. “Gue sih, mandi nggak mandi juga masih tetep wangi.”

Adyra berdecak, “Masih tetep, songongnya selangit.”

Andra hanya menarik sudut bibir kanannya, sambil bertopang dagu menghadap Adyra. Sesaat, pandangan Adyra teralihkan saat indera pendengarannya menangkap suara gemericik dari luar jendela.

“Pas banget hari ini hujan,” kata Adyra sambil memandangi jendela.

Suasananya masih sama, dengan saat dulu Adyra datang sebelum bersama Andra. Adyra tersenyum nanar. Lagi-lagi hal itu.

Andra mengikuti arah pandang Adyra, lalu berakhir memandang gadis itu dengan senyum di wajahnya. “Emang kenapa?”

Adyra memutar kepala menatap Andra. “Nggak papa. Gue seneng aja lihatin hujan.”

Andra mengangkat alis sebelah kanan. “Daripada lihatin hujan, mending lihatin gue.”

Adyra termangu sejenak, lalu mendengus geli setelahnya. Hujan turun di waktu yang tepat. Dan takdir, menemukan sosok seperti Andra di waktu yang tepat pula. Adyra bahagia. Entah sejak kapan, perasaannya selalu menghangat saat bersama dengan orang yang berbeda walaupun di tempat yang sama.

Adyra tersenyum sambil bertopang dagu. “Yaudah. Aku lihatin kamu aja, deh."

Andra terkekeh, lalu mengusap puncak kepala Adyra. “Kamu?”

“Kenapa?” Alis kanan Adyra terangkat. “Kita kan udah pacaran. Nggak ada salahnya dong, kalo sapaannya diganti aku-kamu. Yakan?”

Andra menurunkan tangannya dari kepala Adyra. “Gue nggak mau.”

Wajah Adyra mendadak masam. “Kok nggak mau?”

“Norak. Lagian udah mainstream.”

Bola mata Adyra berputar. “Norak bagian mananya, sih?” Adyra berdecih dalam hati. Apa-apa dibilang norak deh, perasaan.

Andra meminum sedikit jusnya, kemudian beralih menatap Adyra lagi. “Bukan gue banget.”

Adyra mendesah kecewa. “Terus yang elo banget itu kayak gimana?”

Andra mengangkat sudut bibir kirinya. “Ganteng.”

Otak Adyra langsung macet. Mendadak, Adyra seperti lagi mendengar sekumpulan burung yang berkicau sambil melingkar di atas kepalanya. Adyra hanya tersenyum kecut menanggapi tingkat kepedean Andra yang nyaris overload.

Melihat ekspresi kecut Adyra, harga diri Andra merasa terluka. “Emang gue ganteng!”

Adyra mengabaikannya. Dia membuang tatapannya ke arah mini stage yang memang disediakan kafe tersebut. Ada seorang lelaki berdiri di sana dengan microfon di depannya. Sejurus kemudian, Adyra tersenyum saat lelaki itu tersenyum ke arahnya.

“Sorry sebelumnya karena udah menganggu waktu kalian semua. Gue, Nando. Owner kafe ini. Gue minta maaf, buat penyanyi yang ngisi lagu buat kalian hari ini nggak bisa hadir. Tapi, kalau di antara kalian ada yang mau nyumbang lagu, gue persilahkan.”

Adyra tersentak. Rasanya ada sesuatu yang bersinar di atas kepalanya. Gadis itu tersenyum miring.

"Andra.”

“Hm?”

“Lo sayang sama gue, nggak?”

Andra langsung mengangkat kepala dengan ekspresi bertanya. Adyra tersenyum penuh arti sambil mengerling ke arah perhatian para pengunjung kafe. Kemudian mengangkat tangan dengan percaya dirinya.

“Pacar gue mau nyanyi!”

••••

Aldo menendang keras kaleng yang ada di hadapannya. Cowok itu tengah berjalan sendirian dengan earphone yang menempel di telinga. Benar-benar busuk semua teman-temannya.

Pertama, Andra membatalkan acara main PS dirumahnya, dan membuat Aldo kehilangan tambahan makan sore gratis. Kedua, dia kehabisan uang saku karena kalah taruhan main bola sama Rio. Dan yang ketiga, motornya mogok pagi tadi dan berakhir maksa Eric buat nebengin pulang. Tapi sayang, siangnya, Aldo harus rela diduakan sama Eric yang lebih milih nganterin gebetannya shopping daripada nebengin Aldo pulang. Super duper menakjupkan sekali ini penderitaan!

Aldo mengembuskan napas panjangnya lelah. Udah berapa kilo dia berjalan? Tenggorokannya kering banget rasanya. Aldo merogoh saku, dan menemukan satu-satunya lembar uang. Sepuluh ribu.

Cowok itu mengedarkan pandangan, menuju sebuah kafe yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Laper. Mau beli sandwich isi daging, tapi mana cukup?! Mana haus juga, lagi. Di daerah sini nggak ada warteg apa!

Aldo mendesah panjang. Cowok itu pasrah. Beli es teh aja udah.

Aldo mengulurkan tangan, mendorong pintu masuk dengan satu lengan. Dengan satu tangan di saku celana, dia mengedarkan pandangannya mencari tempat duduk yang kosong. Belum sempat dia menjatuhkan tubuhnya, pergerakannya langsung berhenti secara tiba-tiba.

“Eh! Dia Cinta bukan? Primadona sekolah yang katanya direbutin banyak cowok itu?” Cinta mengangkat pandangannya, dan menemukan Kelly dan Bita bersama beberapa anak cewek lainnya.

“Dia kerja part time?” tambah anak cewek---berambut pendek tadi dengan pandangan meremehkan.

“Ahh.. lo salah orang kali, Sya. Mana mungkin Cinta kayak gitu.” Kelly bersuara.

“Kalo jam segini biasanya dia lagi shopping. Bukan... jadi pegawai kasir kayak gini.” Bita menambahkan dengan sedikit keraguan.

Cinta menghela napas, dan semakin menunduk dalam-dalam.

Alisya, yang tadi bicara kini mengangguk. “Iya juga, sih. Lagian, Cinta yang lo ceritain itu cewek berkelas. Bukan yang penampilannya cupu kayak gini---“

“Emang kenapa kalo gue yang namanya Cinta?”

Cinta menyerah. Dia mengangkat pandangannya ke beberapa pasang mata di depannya. Ada seorang cewek yang tidak dikenalinya, bersama dengan kedua sahabatnya; Kelly dan Bita. Ah, ralat. Mungkin bukan sahabat lagi namanya. Lebih tepatnya, orang asing.

Cinta melihat salah seorang diantara mereka mendengus geli. Cewek berkulit putih dengan rambut yang dikepang ke samping. “Jadi ini, Bit? Teman yang lo bangga-banggain di depan kita, sepupu lo sendiri? Katanya tajir, primadona sekolah, banyak cowok yang suka, tapi kok malah...” bibirnya menyeringai, “...kampungan gini---“

Cewek itu bergeming. Masih terkesiap dengan apa yang telah terjadi beberapa detik yang lalu.

Tangan Aldo sudah gatal. Gatal banget, sumpah. Tanpa pikir panjang, dia langsung berdiri dan menyenggol nampan seorang pegawai kafe yang tengah membawa minuman yang dia pesan. Dan tepat seperti harapannya, gelas itu tumpah dengan bebasnya mengenai pakaian cewek bermulut besar yang sudah membuat kupingnya sakit.

Aldo tertawa dalam hati melihat ekspresi bodoh cewek itu.

“Maksud lo apa, hah?!” Bukan cuma dia, Kelly, Bita, Cinta, dan beberapa cewek lainnya juga ikut membulatkan mata melihat sosok di hadapannya.

“Ya ampun, Mbak. Sorry, ya? Saya nggak sengaja tadi. Tiba-tiba tangan saya gatel, sih. Nggak sengaja nyenggol. Hehe.” Aldo tersenyum, sambil menangkupkan tangan di dada tanda permintaan maaf. Tapi bukan ke arah cewek yang lagi mengeluarkan tanduknya, melainkan pada pegawai kafe yang tadi.

“Eh, nggak waras lo, ya! Lo udah bikin baju mahal gue basah, tapi lo malah minta maaf sama dia?”

Aldo melirik acuh, “Yang gue senggol kan dia. Bukan elo. Mau baju lo basah juga bukan urusan gue.”

Cewek itu berdecih. “Lo nggak punya sopan santun, ya? Seenggaknya bilang maaf, kek.”

Aldo menyeringai, “Sopan santun, ya? Lo ngomongin sopan santun sama gue? Nggak salah?”

Cinta menghela napas gelisah. Ini cowok ngapain, sih?

“Lo nggak inget sama apa yang lo bilang barusan sama Mbak ini tadi?” tatapan Aldo menunjuk Cinta. “Lo ngata-ngatain dia di depan semua orang. Menurut lo itu sopan nggak, sih?”

Cewek itu menggeram. Tangannya hampir menampar Aldo dengan ekspresi tengilnya itu kalau Kelly tidak menahan tangannya. Dia menepis tangan Kelly hingga pegangannya terlepas.

“Apa peduli lo, ha? Emang lo siapanya dia?”

Cewek itu menyeringai melihat Aldo yang hanya diam. Senyum kemenangan di wajah cewek itu membuat Cinta jadi semakin tidak ada harga dirinya saja.

Aldo maju satu langkah tepat di hadapannya. Sontak cewek itu beringsut mundur hampir menabrak seseorang di belakangnya. Aldo memajukan wajahnya, hingga napasnya hampir menyapu permukaan kulit cewek di hadapannya.

“Gue cowoknya. Emang kenapa?”

Cinta terkejut. Hingga tanpa sadar dia menelan ludahnya susah payah. Dia tak menyangka, jika baru kali ini, dia melihat cowok spesies seperti Aldo bisa punya sisi yang macho juga.

•••••

Bisa dibilang, Andra bukan tipe orang yang suka dikekang. Dia juga bukan tipe orang yang gampang disuruh-suruh sama sembarang orang. Andra bukan orang yang suka mengalah buat bikin orang senang. Tapi mulai sekarang, Adyra menjadi pengecualian.

Bukan sepenuhnya salah Adyra, sih. Lagipula, kapan terakhir kali Andra pegang gitar? Selama ini, dia selalu melampiaskan emosinya melalui apapun yang bisa membuatnya tenang. Salah satu andalannya adalah petikan gitar.

Semenjak ada Adyra, gitar bukan lagi prioritasnya. Andra tidak perlu lagi menggesekkan jarinya di senar gitar hanya untuk mendapat ketenangan. Ada Adyra sekarang.

Bukan hanya sebagai penenang, melainkan sebagai tempat ternyaman.

Saat kau jatuh,

Lukai hati.

Di manapun itu,

I’ll find you.

Saat kau lemah,

Dan tak berdaya.

Lihat diriku,

Untukmu.

Kapanpun mimpi terasa jauh,

O ingatlah sesuatu.

Ku akan selalu,

Jadi sayap pelindungmu...

Saat duniamu mulai pudar,

Dan kau merasa hilang.

Ku akan selalu,

Jadi sayap pelindungmu...

“Jadi kalian udah pacaran?”

Adyra hanya tersenyum, tanpa mengalihkan pandangan. Jelas Nando tahu betul apa yang Adyra maksud. Gadis itu mengiyakan.

“Udah saatnya gue bangun, Kak. Gue nggak mau selamanya tidur, dan terus-terusan mimpi buruk.” Adyra tersenyum ke arah Andra. Cuma senyum sederhana sebenarnya. Dan Andra membalasnya, dengan sama sederhananya juga.

Saat kau takut,

Dan tersesat.

Di manapun itu,

I’ll find you...

Air matamu,

Takkan terjatuh.

Lihat diriku,

Untukmu..

“Lo bahagia?” Ada sedikit keraguan saat Nando memberanikan diri untuk mengatakan hal yang tak harusnya dia pertanyakan. Sejenak, dia menghela napas panjang.

Adyra tersinggung. Nando melihat jelas itu dari sorot mata Adyra. Di luar ekspektasinya, Adyra malah tersenyum. “Gue pikir lo udah tahu jawabannya...”

Kapanpun mimpi terasa jauh,

O ingatlah sesuatu.

Ku akan selalu,

Jadi sayap pelindungmu...

Saat duniamu mulai pudar,

Dan kau merasa hilang.

Ku akan selalu,

Jadi sayap pelindungmu...

Nando memejamkan matanya sejenak, kemudian mengembuskan napas lega. Setidaknya, Adyra tidak menyumpahinya karena mengatakan sesuatu yang sedikit privasi. Tapi, dia bimbang. Apa harus dia katakan sekarang?

“Ada yang harus lo tahu, Ra.”

Adyra menoleh, tanpa mengalihkan pandangan. “Tentang apa?”

Nando mengambil napas dalam-dalam dan mencoba melanjutkan kalimatnya dengan satu tarikan. “...Dimas,”

“Apa?!”

Nando semakin menundukkan kepala. Dia sudah mengira kalau akan berakhir seperti apa jadinya.

“Ra, gue...”

“Apa sih, Ndra! Ngelihatinnya gitu banget.”

Nando langsung mengangkat kepala. Keningnya berkerut. Sejak kapan Andra duduk di sana? Tepat di sebelah Adyra. Apa karena dia terlalu sibuk dengan apa yang mau dikatakan sama Adyra, sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiran Andra?

Jadi Adyra nggak denger dong, gue tadi bilang apa?

“Gue lagi deg-degan di sana, nyiapin pita suara, biar bisa nyanyiin lagu yang bagus buat lo, tapi lo malah berduaan sama dia.” Andra menunjuk Nando dengan tatapannya. “Jadi ini bentuk terima kasihnya?”

Nando mendelik heran mendengar ucapan Andra. Nggak salah? Ekspresi Nando mendadak kesal melihat Andra yang lagi melipat tangan di depan dada dengan wajah tengilnya.

“Lo nggak lupa kan, siapa gue?” tanya Nando saking kesalnya.

Alis kiri Andra terangkat, “Gue inget. Adyra pernah bilang kalo lo itu temennya.”

“Dan lo juga udah kenal gue lumayan lama. Terus apa masalahnya?” Nando makin kesal.

“Udah gue bilang, gue nggak suka lo duduk semeja sama Adyra. Belum paham juga?”

“Jadi lo ngusir gue?”

Adyra mendengus malas sambil menutup muka. “Aduh! Bisa diem nggak, sih? Bikin malu aja tau, nggak.”

Mereka berhenti. Nando dan Andra yang tadinya berdiri sambil tunjuk-tunjukkan kini sudah duduk lagi. Nando mendengus, dia tidak akan membuang waktu lagi.

“Gue mau ngomong sama lo, Ra.”

Adyra hampir membuka suara, “Ngomong aja.” Andra sudah terlebih dahulu menyela.

“Gue mau ngomong berdua aja,” sindir Nando ke Andra.

Andra mengernyit tak suka. “Kenapa? Sekarang gue sama Adyra udah sepaket. Kalo lo mau ngomong sama dia, gue harus ada. Kalo lo mau makan sama dia, lo harus ajak gue juga. Dan kalo lo mau pergi sama dia, gue harus ikut juga.”

Nando mendelik. “Emang lo bapaknya, apa?”

“Gue pacarnya,” koreksi Andra.

Adyra memijit pelipisnya. Dia tidak bisa membiarkan Andra duduk di sini terlalu lama. “Andra, pulang aja deh, ya? Udah malam juga. Emang lo nggak belajar?” Adyra berinisiatif menggamit lengan Andra.

“Nggak bisa gitu dong, Ra. Gue kan belum ngomong.”

Adyra menatap Nando dengan rasa bersalah. “Lain kali aja deh, ya? Nanti kita teleponan, deh!“

“Lo nggak boleh teleponan sama dia! Nanti pulsa lo habis!” Mulai lagi.

“Tapi---“

“Dah, Nando! Kapan-kapan gue ke sini lagi.”

Nando menghela napas.

•••••

“Pakai helmnya.”

Adyra tersenyum menerima uluran helm dari tangan Andra. Setelah pengait helm itu sudah terpasang di kepalanya, Adyra menaiki jok motor Andra. Adyra menghela napas, sambil melihat Nando dari pintu kaca.

Jangan ngomong sama gue, kalo cuma mau bahas tentang dia.

Dia hanya pura-pura. Padahal Adyra mendengarnya.

Sebuah nama yang ingin dia hapus dari ingatannya.

•••••