webnovel

Part 30 : Sisi yang Lain

Pagi hari di SMA Pancasila.

Adyra melepas tangannya dari pinggang Andra lalu melangkah turun dari jok motornya. Setelah melepas helm yang membungkus kepala, Adyra mengedarkan pandangan. Sesaat, Adyra tersentak saat telapak tangan Andra menangkup kedua pipinya.

Adyra mengedip bodoh. Dia baru sadar kalau Andra sudah berdiri di hadapannya.

"Rambut lo kayak Tarzan." Andra terkekeh sambil mengacak rambut Adyra.

Bibir Adyra mengerucut, lalu membiarkan tangan Andra merapikan rambutnya lagi. "Apaan, sih."

"Apa?" sahut Andra tanpa menurunkan telapak tangannya dari wajah Adyra.

"Malu tau, diliatin!" Andra menatap bingung Adyra yang menepis tangan dari wajahnya. Gadis itu beranjak meninggalkan Andra.

Alis Andra terangkat sebelah, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar area parkiran. Andra mendengus melihat banyak pasang mata yang tengah mengarah padanya. Emang dia topeng monyet apa ditontonin!

"Apa?! Mau juga gue panggil Tarzan?"

• • • • •

Andra sedikit mempercepat langkahnya agar menyamai langkah Adyra. Andra tidak habis pikir dengan gadis itu. Dia seolah-olah menghindar dari Andra yang notabenenya sudah menjadi---pacarnya. Salahnya di mana coba?

"Gue nggak suka jadi pusat perhatian," sahut Adyra tiba-tiba seolah membaca isi pikiran Andra.

Andra berdecak lalu berhenti sejenak lalu mengedarkan tatapan mengintimidasinya. "Siapapun yang ngarahin matanya ke Adyra, gue patahin lehernya sekarang juga!"

Andra melipat tangan di depan dada dengan wajah santai, walau dalam hatinya dia sedang terbahak-bahak karena berhasil membuat semua anak yang berada di koridor membuang mukanya ciut.

Adyra langsung menghentikan langkahnya. Dia menatap sekelilingnya, dan kali ini tidak lagi menemukan tatapan-tatapan aneh yang memberondongnya. Kemudian, Adyra menoleh ke arah Andra yang entah kapan sudah ada di sebelahnya dengan senyum tanpa dosa.

Adyra menghela napas dan berniat melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan Andra. Tapi urung, karena pandangannya menangkap Bara yang tengah berjalan ke arahnya.

Bara berhenti, tepat di hadapan Andra dan Adyra. Cowok itu menatap mereka secara bergantian dengan tatapan yang sulit diartikan. Beberapa detik kemudian, cowok itu tersenyum samar lalu melangkahkan kakinya berjalan melewati mereka.

"Dia kenapa?" Adyra menyahut, dan Andra hanya menoleh sekedar menanggapi.

• • • •

Aldo bersorak sambil bertepuk tangan melihat beberapa makanan yang dia pesan sudah dihidangkan di depan matanya. "Ah! Akhirnya sebulan ini gue bisa kenyang tanpa khawatir ama uang bensin!"

Mata Rio membulat, menatap penuh nafsu makanan kesukaannya. Soto Bandung cap Mang Udin. "Ndra!" Rio menepuk dada Andra hiperbolis. "Lo emang terbaik!"

Eric hanya melirik tak minat dan memulai kegiatan makannya.

"Psst! Psst!"

"Apa?" Adyra menoleh saat Amy menyikut lengannya.

Bibir Amy mengerucut. "Ish! Elo mah! Masa mereka bertiga doang yang ditraktir! Gue sama Siska... enggak, nih?" bisik Amy pelan, tapi masih bisa terdengar di telinga Andra.

Merasa namanya disebut, dia mengangkat kepala ditengah-tengah suapan siomaynya. "Yaelah, My! Gue kan udah bilang traktirnya besok. Gue lupa minta uang saku. Ini aja dibayarin sama Andra." Adyra ikut berbisik.

"Ya lo bilang dong, sama Andra. Suruh traktir kita juga. Kan lo pacarnya!" Amy tak mau kalah. Andra menahan senyum di tengah kegiatannya meminum jus jeruknya.

Adyra mendengus, "Makan lo kan banyak! Ogah! Malu-maluin!"

Aldo dan Eric yang tak sengaja mendengar kini saling menoleh lalu tersenyum dengan mulut penuh nasi.

"Uhuk-sirik!" Mereka terbatuk, sambil sedikit menepuk dadanya untuk mempermanis akting.

"Pfft.." Semua yang berada semeja dengan Amy itu menahan tawa. Amy mendelik. Dia merasa harga dirinya disakiti. Amy langsung mengacungkan garpu---di tangannya, ke arah Aldo dan Rio secara bergantian.

Andra mengangkat sudut bibir kanannya, "Udah pesen apa aja sesuka lo. Lo bisa nambah, mau bungkus juga boleh."

Mata Amy berbinar, lalu menurunkan bagian bawah matanya mengejek Aldo dan Rio yang lagi memutar bola mata.

"Eh, gue ke toilet, ya! Nanti kalo udah selesai makan langsung ke kelas aja." Amy dan Siska yang merasa diajak bicara menganggukkan kepala.

"Mau gue anter?"

Semua mata tertuju pada satu poros yang sama. Adyra mengerutkan keningnya, sementara Aldo tersenyum tanpa dosa setelah mengatakan kalimat yang berhasil memancing emosi Andra.

Andra melirik Aldo santai sambil meregangkan tulang-tulang jarinya, "Mau mati lo?"

• • • •

Adyra keluar dari toilet sambil mengusap tangannya. Sejenak, langkahnya terhenti saat telinganya mendengar beberapa orang yang tengah bicara tak jauh darinya.

"Tadi gue lihat lo naik bus. Mobil lo ke mana, Ta?"

Adyra mundur satu langkah, berniat menyembunyikan tubuhnya di balik tembok saat dia melihat Cinta dan beberapa nak yang lainnya di sana.

"Ha? Ohh... itu.. mobil gue mogok lagi di bengkel. Jadi, gue terpaksa naik bus." Cinta menaikkan sudut bibirnya terlihat memaksa senyumnya.

"Masa, sih?" Bita menimpali. "Lo, kan bisa pesen taksi. Ya... atau enggak, lo bisa minta anterin sama mobil bokap lo, kan?" Cinta semakin gugup.

"Bokap lo ya, Ta?" Laras---salah satu teman sekelas Adyra berjalan ke arah mereka. Dia melipat tangannya di depan dada sambil mendongak sombong seperti biasa. "Gue denger dari bokap gue, perusahaan bokap lo bangkrut ya, karena kena tipu? Semua aset bokap lo disita sama bank, kan? Buat ngelunasin hutang? Termasuk semua mobil dan rumah lo yang mewah itu?"

Wajah Cinta langsung pucat pasi. Kelly dan Bita terlihat tak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan. "Bener, Ta?" Kelly bertanya.

"Kok lo nggak pernah cerita sih, sama kita?" Cinta kelabakan, dia tidak tahu mau jawab apa.

Adyra langsung masuk ke dalam bilik toilet saat melihat Cinta berlari ke arahnya. Adyra hanya diam sambil mendengarkan Cinta yang tengah menangis di depan kaca.

Gadis itu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Membiarkan tubuhnya berjongkok dengan napas sesegukan. "Kenapa harus gue? Kenapa harus gue yang ngalamin ini semua?" Cinta merendahkan suara, seolah pita suaranya kehabisan tenaga.

Gadis itu berdiri lalu menatap cermin di depannya. Dia membasuh muka, lalu mengulurkan tangan untuk meraih beberapa lembar tisu di sana. Cinta menggeram sambil memukul pinggiran westafel. Beberapa saat kemudian, kedua bola matanya menangkap seseorang yang berdiri di depan bilik toilet. Telapak tangan Cinta bergerak, meremas kuat pinggiran westafel.

Sementara Adyra hanya diam membalas tatapan Cinta tanpa suara. Adyra berjalan ke arah Cinta dan meletakkan sesuatu di sampingnya.

Cinta bergeming, tanpa mengalihkan pandangannya. Gadis itu membiarkan Adyra melangkah pergi, lalu beralih menatap lipatan sapu tangan yang tergeletak di sampingnya.

• • • •

"Main PS ke rumah Andra, yuk!"

Andra langsung muncul dari ambang pintu dengan tampang malas setelah mendengar namanya disebut. "Boleh."

Mata Aldo membulat, "Serius, nih? Tumben boleh. Biasanya pelit."

"Yaelah! Namanya juga abis jadian. Lagi anget-angetnya. Pasti masih kembang-kembang deh, tuh hati. Makanya baik sekali," sahut Rio.

"Sok tau!" Eric bergabung, sambil menyapa Rio dengan tepukan yang lumayan keras di punggungnya.

Rio melirik skeptis, "Sirik aja yang abis putus!"

"Lo putus?" tanya Andra.

Sementara Aldo membelalak hiperbolis. "Ngapain putus? Si Caca nyelingkuhin elo? Atau elo yang nyelingkuhin Caca? Oh... gue tau! Ada orang ketiga, ya? Siapa pelakornya? Jangan-jangan elo ya, Yo---hmph!"

Eric menyumpal mulut Aldo dengan gumpalan kertas di bawah lantai. "Heh! Jorok amat lu, Biawak!"

Aldo dan Eric saling mendorong bahu satu sama lain, sementara Rio sibuk jadi kambing hitam buat ajang dorong-dorongan.

Andra menepi, mencari tempat yang sepi untuk mengangkat telepon dari ponselnya yang tengah berdering.

"Halo, Sayang?"

• • • •

Adyra terlonjak hingga hampir melempar ponselnya sendiri ke dalam tong sampah.

"Apa, sih? Lebay, deh!"

Adyra membungkam bibir, berusaha menahan teriakan yang nyaris pecah mendengar sapaan manis Andra di seberang telepon.

"Jadi pulang bareng, kan? Gue tunggu lo di depan gerbang, ya?"

"....."

"Oke, bye!"

"Kayaknya gue nggak bisa nebengin lo deh, Ta. Gue ada janji buat nemenin nyokap gue ke butik buat fitting baju pernikahan saudara gue." Kelly berdalih sambil mendorong Bita ke hadapan Cinta. "Bareng Bita aja, nih!"

Bita mendelik tak suka ke arah Kelly yang dengan seenak jidat mendorong tubuhnya. "Kalo lo mau bareng gue sih, bisa."

Akhirnya Cinta bisa tersenyum. Dia pikir, setelah dia kehilangan semuanya, dia akan ikut kehilangan sahabatnya juga. Tapi ternyata, setidaknya itu sekedar ekspektasinya saja.

"Tapi, setelah pulang sekolah gue mau pergi ke spa dulu. Nggak mungkin dong, gue nganterin lo dulu. Gue nggak mau bolak-balik. Jadi... mau ikut gue ke spa juga?"

Cinta mengangkat sudut bibirnya. Ternyata dugaannya salah. Semuanya sama saja. Cinta tahu betul kalau saat ini Bita tengah menghinanya. Setelah tahu kebenaran tentang keadaan ekonomi Cinta, mana mungkin dia bisa pergi ke tempat seperti itu lagi setelah semua ini terjadi padanya.

"Nggak usah. Gue naik bus aja."

Kelly mendesah lega, "Oke. Dari tadi, kek."

Giginya gemelatuk mendengar kalimat terakhir yang terdengar samar tapi masih terasa jelas di telinganya.

"Yuk, Bit!"

Cinta bergeming tanpa berpindah sedikitpun dari posisinya berdiri. Dengan telapak tangannya mengepal di samping tubuhnya.

Sesaat, Cinta tersentak saat merasa hangat yang mengalir di telapak tangannya. Pandangan mata Cinta beralih pada telapak tangannya, yang tengah digenggam seseorang. Saat gadis itu mendongak, dia melihat wajah Adyra dengan senyum manisnya.

"Ngapain sih, lo?" Cinta menepis telapak tangan Adyra lalu beranjak pergi meninggalkan gadis itu.

"Gue denger tadi lo mau naik bus. Gue bareng, ya!"

Cinta mengangkat bibirnya, sejurus dengan langkah Adyra yang ikut berjalan di sampingnya. "Pergi."

Adyra menulikan telinga. Gadis itu masih berjalan tanpa menghiraukan peringatan Cinta.

"Gue bilang pergi! Lo ngerti nggak, sih!"

Adyra berhenti saat Cinta mendorong bahunya. Adyra tidak tersungkur, hanya sedikit tersentak karena terkejut dengan gerakan yang tiba-tiba.

Cinta memandangnya sebentar, dengan tatapan geram. "Kenapa? Lo mau pamer karena udah jadian sama Andra sekarang? Gitu? Lo sama aja kayak mereka. Nggak ada bedanya."

Adyra menghela napas, lalu mengembuskan kasar. Gadis itu membuka ponsel, dan mengirim sebuah pesan sebentar.

Adyra kembali berjalan menuju gerbang. Gadis itu mengedarkan pandangan, dan mencari keberadaan seseorang yang ingin dia temukan.

Cinta mengulurkan tangan, membuat sebuah bus yang berjalan ke arahnya berhenti sebentar. Saat kakinya mulai menaiki pijakan bus, tangannya ditarik hingga membuat tubuhnya hampir terlempar kalau tangannya tidak dipegang.

"Nggak jadi, Bang!"

Cinta membulatkan matanya, melihat Adyra yang seenak jidatnya membiarkan busnya pergi dengan tatapan tak suka. "Apa-apaan sih, lo!"

Adyra menoleh sejenak, tanpa melepas genggamannya. "Lo nggak bisa pulang naik bus itu. Lo nggak lihat apa, itu bus jalan ke arah yang berlawanan ama rumah lo?"

Cinta mendecak, "Tau apa lo tentang jalan ke rumah gue?"

"Gue tau, kok. Gue tau jalan ke rumah lo. Kita naik angkot aja. Dan gausah berisik."

Adyra menghentikan sebuah angkot, lalu menarik Cinta agar masuk dan duduk di sebelahnya. Adyra melihat Cinta sebentar, tapi gadis itu malah memasang tatapan bengis. Adyra menelan saliva, lalu mengalihkan pandangannya.

Cinta mendengus melihat tingkah cewek gila di hadapannya. Tatapan matanya turun, ke telapak tangan yang masih digenggam Adyra. Dia terus melihatnya, hingga sebuah senyum samar terlukis di bibirnya.

• • • •

Andra tersenyum sambil memasukkan ponsel ke saku celananya. Belum sampai ponsel itu sampai, sebuah notifikasi mengurungkan niatnya.

From: Adyra

Nggak jadi pulang bareng, deh. Gue ada urusan. Jangan ngebut, ya! Dadah:*

Andra mendengus kesal. Baru juga seneng bisa pulang bareng sambil peluk-pelukan di atas motor. Malah nggak jadi. Sialan.

Andra langsung memasukkan ponsel dan berjalan meninggalkan sahabatnya yang masih asik dorong-dorongan. "Gue pulang duluan. Gausah ngikutin. Dan gausah dateng ke rumah gue."

Aldo mengernyit kesal. "Nggak bisa gitu, dong! Katanya mau main PS!"

"Ndra! Kok PHP sih!"

"Andra!"

Andra tak mempedulikan, sambil berjalan dengan telapak tangan di saku celana. Saat dia hampir sampai di parkiran, kedua bola matanya menangkap seseorang dengan ponsel di telinga yang tengah berdiri pojok koridor---membelakanginya.

"Jadwal lesnya kan lusa. Mama nggak bisa seenaknya nambahin jadwal les aku kayak gitu, dong. Lagian aku ada latihan basket. Aku nggak bisa."

Andra hanya bergeming di tempat semula. Tanpa berniat menghampiri maupun pergi.

"Aku capek, Ma! Aku bukan robot yang bisa diperintah seenaknya! Aku selalu ngelakuin apa mau Mama. Tapi apa pernah Mama peduli sama keinginan aku?"

Bara terdiam sejenak. Dia mengangkat kepala, lalu terkekeh setelahnya.

Bara menutup panggilan, lalu menendang tong sampah di dekatnya. Napasnya tersengal-sengal dengan tangan terkepal menggenggam ponsel. Saat berbalik badan, Bara termangu melihat Andra berdiri tepat di hadapannya.

• • • •