webnovel

Part 3 : Annoying

Hari kedua di SMA Pancasila.

Andra mendecak kesal karena gerbang sekolah telah tertutup dengan sempurna. "Sial!"

Hal kecil seperti ini sudah sering terjadi pada Andra yang notabenenya murid yang susah diatur itu. Dan dia juga akan bisa mengatasinya dengan cara yang mudah seperti biasanya.

Cowok itu menghampiri seorang satpam yang tengah berjaga di depan gerbang dengan tongkat pentungnya. Walaupun wajahnya terlihat sangar, ditambah dengan kumis tebal yang berada di atas bibirnya sama sekali tidak mempengaruhi keberanian Andra.

Bahkan kalau bisa dibilang, Andra lebih sangar dari satpam yang menjaga gerbang tadi karena sifat dinginnya yang arogan.

"Bukain, Pak! Gue mau masuk." cowok itu menyenderkan bahunya di samping gerbang dengan melipat tangan di depan dada.

"Maaf, saya tidak bisa melanggar tugas." Satpam itu berkata tegas seolah melawan perkataan Andra. Cowok itu menyipitkan matanya tak suka sambil memandang wajah satpam yang dia rasa belum pernah ditemuinya itu.

'Oh, jadi dia satpam baru. Pantesan belagu!' batinnya meremehkan.

"Eh, Pak!" Andra memajukan tubuhnya agar bisa berhadapan langsung dengan lawan bicaranya. "Anda belum tahu siapa saya?"

Satpam itu malah tersenyum miring ke arah Andra seolah meremehkan.

"Saya tahu. Kamu cuma seorang murid urakan yang beruntung karena belum pernah merasakan dikeluarkan dari sekolah ini."

Andra menatapnya sengit. "Oh, ya?" Cowok itu terkekeh kecil sambil mengangkat sebelah alisnya. "Tapi sayangnya, murid urakan yang lo bilang ini adalah seorang anak dari kepala sekolah. Dan asal lo tahu aja. Gue bisa minta nyokap gue buat mecat elo kapan aja kalo gue mau." Andra tersenyum puas melihat sedikit kekhawatiran dari raut wajah satpam tersebut. Hingga membuat satpam itu membuka gerbangnya.

"Kamu pikir, saya mau mendengarkan kamu begitu saja?"

Raib sudah senyuman yang menghiasi bibir Andra saat seorang wanita yang memakai seragam dinas khas pegawai negeri menyahuti kalimatnya.

Wanita itu adalah Reya Sasmitha. Seorang wanita yang menjabat menjadi kepala sekolah termuda di SMA Pancasila yang sekaligus ibu kandung dari Andra Dafian.

Reya bersedekap, mengikuti gaya Andra tadi yang kini mulai menurunkan tangannya karena tahu dengan siapa dia berhadapan saat ini.

"Di rumah, saya memang ibu kandung kamu yang mungkin akan mendengarkan apapun yang kamu katakan. Tapi di sini, saya adalah kepala sekolah kamu. Saya berhak melakukan apa saja untuk menghukum siswa yang susah diatur seperti kamu."

Andra memutar bola matanya malas karena mendengar ocehan wanita itu. "Terserah."

Reya menatap Andra simpatik, tapi Andra justru balik menatap Reya dingin. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah satpam yang menjaga gerbang.

"Minggir! Gue mau masuk."

▪▪▪

Adyra memasang wajah memelasnya ke arah seseorang yang telah menggiringnya melewati koridor sekolah, sambil menjewer daun telinga kanannya hingga menimbulkan warna yang memerah.

"Aduh! Bu, udah dong.. Jangan dijewer terus kuping saya. Malu, tahu.."

"Kalau malu, ngapain terlambat?"

"Lah, Bu! Yang mau terlambat juga siapa? Ibu pikir saya bahagia apa bisa terlambat kayak gini?-aakkkh"

Adyra semakin mengeraskan rintihannya saat Bu Bertha-guru piket killer yang kebetulan bertugas jaga sabtu ini-mulai menarik daun telinganya lebih kencang. "Kamu berani melawan saya?"

Adyra meringis kesakitan seraya menggelengkan kepalanya menyerah.

Dari abad ke-5 sebelum masehi juga, yang namanya guru itu selalu benar. Peraturan pertama, guru itu nggak pernah salah. Peraturan kedua, kalau guru salah, kembali ke peraturan pertama.

Nah, nyebelin nggak tuh? Tapi, peraturan itu cuma berlaku buat Bu Bertha saja. Yaiyalah! Orang jelas-jelas dia sendiri yang ngomong gitu sama gue! Batin Adyra berteriak.

"Udah, kamu berdiri saja di sini sampai jam istirahat."

Adyra membelalakkan matanya tak setuju. "Yang bener aja, Bu! Saya ada kuis Biologi sama Bu Mida. Kalau saya nggak lulus gimana?"

"Kamu bisa minta ujian susulan."

"Nggak bisa, Bu."

"Kenapa nggak bisa?"

"Saya nggak bisa ujian susulan dan ngerjain soalnya sendiri ja-"

"Oh! Jadi kamu mau nyontek? Iya?!" Adyra menepuk keningnya sadar. 'Waduh, salah ngomong gue!'

"Eng... bukan itu maksud saya, Bu. Saya cuma-"

"Sudahlah! Saya banyak pekerjaan." ucapnya memotong perkataan Adyra. "Berdiri di sini dengan sikap hormat. Kalau kamu ketahuan kabur, saya tambah hukumannya lima kali lipat dengan membersihkan seluruh toilet di sekolah ini!"

Bu Bertha melangkah pergi meninggalkan Adyra yang berada di tengah lapangan dengan sikap hormat menghadap tiang bendera. Di bawah teriknya matahari yang menusuk permukaan kulitnya, Adyra mendesah pasrah. "Ini semua gara-gara busway sialann!! Kalo aja Papa nggak ada meeting penting dan harus berangkat pagi-pagi buta, gue nggak bakal naik bus dan telat kayak gini."

Sejak 30 menit yang lalu, gadis itu meracau tidak jelas sambil sesekali menghentakkan kakinya geram hingga membuat debu-debu akibat hentakannya bertebrangan kemana-mana.

"Gue jadi nggak bisa nyontek kuis bioligi, dong! Kalo nilai gue jeblok, bisa dipiting nih gue!!"

Adyra sana sekali tidak menghiraukan seseorang yang berada di sampingnya hingga terbatuk-batuk karena ulahnya. "Arrgghh!! Nyebeliiiinnnnn!!!!"

"Eh, cewek gila! 'Uhukk-huk-kalo mau kesurupan liat tempat, dong!"

Adyra mendecak kesal tanpa memandang sosok di sebelahnya. "Bodo amat! Gue lagi kesel tahu nggak?!!"

"Lo pikir gue peduli?."

"Yaudah. Lo pikir, gue juga perduli sama lo? Heh, emang lo siapa gue?"

"Bisa diem nggak, sih?!"

"Apa lo? Ngatur-ngatur, lagi! Mulut-mulut gue, kaki-kaki gue, nggak ada sangkut pautnya juga sama lo-Mmp!!"

Adyra tertegun, untuk beberapa detik ke depan. Seseorang yang di sampingnya kini tengah menarik wajahnya tepat menghadap wajah cowok itu dengan posisi mengapit kedua rahangnya menggunakan telapak tangan kekar yang sangat pas mencengkram kedua sisi rahang Adyra.

Tubuhnya kaku seketika. Adyra bahkan bisa mencium aroma parfum cowok itu dari jarak yang hanya sekitar sejengkal saja dari wajahnya.

Jantungnya berdegup lebih cepat untuk yang kesekian kalinya. Adyra bahkan tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun saat menatapnya dari jarak sedekat ini. Mata itu, menyorotkan tatapan setajam pedang yang seakan menusuk bola matanya hingga terasa dingin saat melewati pandangannya.

Cowok itu-dia juga sama terdiamnya dengan Adyra yang selama 15 detik kiranya. Hingga lama-lama, cengkraman itu kian meluruh hingga melepas dengan sendirinya. Tapi tatapan mereka, masih bertabrakan untuk selang beberapa detik. Hingga Adyra mencapai kesadarannya.

"Andra?"

Satu nama yang membuat Adyra yakin, jika dia sedang berhadapan dengan siapa sekarang.

▪▪▪

Suasana hiruk-pikuk yang melewati gendang telinganya, seolah hanya diangap sebagai desauan angin lalu yang sangat tidak menarik baginya. Ribuan siswa berbondong-bondong untuk mendapat giliran bakso lebih dulu dari yang lainnya, mengakibatkan desak-desakan antara segerombolan siswa lain yang mengganggu jalan. Dan Adyra tidak menghiraukannya sama sekali. Gadis itu lebih memilih duduk di bangku kantin sendirian sambil menikmati imajinasinya tanpa sedikitpun tergoda oleh bau-bauan makanan yang sangat dibutuhkan oleh perut laparnya saat ini.

Sedari tadi, Amy dan Siska hanya bertukar pandang satu sama lain tak mengerti dengan sikap Adyra yang berbeda sejak hukuman tiang bendera beberapa jam yang lalu. Keterlambatan yang mengakibatkan Adyra harus dihukum dan tertinggal oleh kuis biologi Bu Mida, tentu itu bukanlah suatu kejadian yang patut dibanggakan. Tapi melihat dari tingkah Adyra yang senyam-senyum tidak jelas dari tadi, sangat menimbulkan keganjalan yang aneh.

"Lo... sehat, Ra?" Amy menyentuh dahi Adyra menggunakan punggung tangannya guna untuk memeriksa kesehatannya. Kesehatan jiwa mungkin lebih tepatnya.

"Kayaknya tadi gue abis jatoh, deh," racau singkat Adyra yang masih senyam-senyum aneh tanpa memandang Amy dan Siska yang terlihat bingung. "Tapi, kok rasanya nggak sakit ya?"

Amy dan Siska makin mengerutkan keningnya bingung. "Emang elo abis jatoh dimana?" tanya Siska penasaran.

"Pertanyaan lo salah." Adyra memberi sedikit jeda. "Seharusnya pertanyaannya itu apa, bukan di mana," koreksi Adyra.

"Yaudah. Emang elo abis jatuh karena apa?" tanya Amy tidak sabar.

"Gue itu, jatuh..." Adyra menatap Amy dan Siska secara serius.

Adyra tersenyum, "Gue abis... jatuh cinta!" bisik Adyra.

Gelak tawa Amy dan Siska pecah seketika memenuhi ruangan kantin. Siska tertawa sambil memegangi perutnya yang terasa geli, sementara Amy terbahak-bahak sambil memukul meja berkali-kali.

"Ngapain lo berdua ketawa?" tanya Adyra yang menampilkan raut bingung dari sorot matanya.

"Lo konyol, sumpah! Bhahahaha..."

"Ih, elo mah! Gue serius!"

"Gue duarius, coba!"

"Bukannya itu suaminya Dona, ya?" cerca Siska.

"Itu Darius, ogeb!"

Adyra memutar bola matanya malas. Lalu menyambar segelas orange juice milik Siska hingga tandas tak tersisa, sampai membuat sang empu mendengus kesal. "Cinta sih cinta. Tapi nggak usah pakek minum orang juice gue juga, kali!"

"Bodo!"

"Emang lo lagi jatuh cinta sama siapa, sih?" tanya Amy sambil menaik turunkan alis untuk menggoda Adyra.

"Sama Andra," jawab Adyra enteng, membuat kedua temannya itu terlonjak kaget.

"Elo, normal?"

Adyra menatap Siska ngeri. "Justru kalo gue jatuh cinta sama elo, baru lo pantes nanya gituan ke gue." Siska mendecih tak suka.

"Capek gue, nasehatin lo buat ngejauhin cowok kayak dia," tutur Amy yang mendapat dukungan anggukan kepala dari Siska.

"Iya, nih. Emang apa sih yang bikin lo suka sama dia?"

"Emang, cinta butuh alasan ya?"

Detik waktu seakan berhenti seketika mendengar kalimat final yang disuarakan Adyra melewati bibirnya. Amypun hampir tersedak sebutir bakso kalau saja dia tidak segera memuntahkannya tadi.

"Cinta emang bisa bikin dunia orang kebalik!"

▪▪▪

Saat jam pelajaran berlangsung, pasti semua siswa dan siswi di sekolah SMA pada umumnya akan sibuk dengan kegiatan belajarnya masing-masing. Tetapi, lain halnya untuk SMA Pancasila, yang notabenenya memiliki seorang siswa bernama Andra dan teman-temannya yang suka bolos pelajaran dan lebih memilih berkumpul di rooftop sekolah, hanya demi menghabiskan sebatang-dua batang putung rokok sebagai rutinitasnya.

Menjadi seorang putra dari kepala sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi Andra. Karena meskipun begitu, Reya Sasmitha adalah seorang yang disiplin dan sangat berbanding terbalik dengan sifat Andra-putranya.

Bahkan sudah berkali-kali Reya mengancam Andra agar tidak bisa naik kelas jika dia masih bertingkah seperti preman di lingkungan sekolahnya, tapi Andra malah menganggapnya seperti angin lalu. "Masa muda itu harus dinikmati. Bukannya disia-siain. Lagipula, nggak naik kelas nggak akan mati juga." Begitu kata Andra.

Gumpalan asap ringan yang mengepul ke udara melalui bibir merekah cowok itu sangat dinikmatinya dengan mata terpejam. Sambil menikmati suasana panasnya matahari yang bersamaan dengan semilir angin dari atas sini, Andra mendudukkan tubuhnya di pinggir rooftop tanpa balkon yang membiarkan tempurung kaki hingga tumitnya menggantung dari atas.

Pemandangan yang jarang, jika cowok itu lebih memilih menyendiri di pinggir rooftop daripada bergabung dengan Eric, dan lainnya. Hal aneh tersebut menimbulkan keganjalan dalam pikiran Eric yang telah lama berteman dengannya sejak kecil.

"Ngapa lu, sob?" Eric meninggalkan Aldo dan Rio yang sedang asik bermain catur lalu menghampiri Andra yang tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. "Ada masalah sama nyokap?"

"Bukan urusan lo."

Eric menghela napasnya kasar. Melihat seorang Andra yang kini telah berubah menjadi sosok yang menyebalkan, bersifat dingin tak tersentuh, membuatnya jengkel setengah mati. Terkadang, dia harus memiliki kesabaran yang ekstra jika ingin berhadapan dengannya.

"Gue ke toilet." Andra bangkit dari posisi duduknya, lalu menginjak putung rokok yang telah dihisapnya dengan sekali hentakan saja. "Abis itu lo semua balik duluan aja ke kelas. Nanti gue susulin."

Andra melangkah meninggalkan rooftop dengan langkah panjang yang membuat pandangan Aldo dan Rio mengikuti kepergian Andra.

"Kemana tuh bocah?" tanya Aldo sambil mengangkat sebelah alisnya ke arah Eric.

"Beser kali," jawabnya malas. "Udah, yuk cabut!"

▪▪▪

Bugh! Bugh! Bugh!

Andra menajamkan pendengarannya saat dia merasa ada keributan yang sedang terjadi di ujung lorong yang dia lewati. Cowok itu melangkah mendekat ke sumber suara, dan tanpa disangka dia mendapati Anto-salah satu teman sekelasnya yang terkenal cupu dan penakut itu tengah dipukuli oleh sekawanan anak kelas dua belas dengan brutal. Anto tidak bisa berkutik sama sekali karena dua orang yang memenjarakan tubuhnya terpepet di dinding, dan yang lain di antaranya memukulinya habis. Wajahnya menggeram marah, hingga tangannya mengepal.

"Woi, banci!"

Semua orang yang berada di lorong itu termasuk Anto menoleh ke sumber suara. Dan mereka mendapati Andra dengan tatapan tajamnya yang dingin hingga membuat bulu kuduk beberapa di antara mereka merinding.

"Wow! Ternyata, ada anak kepala sekolah di sini. Kenapa? Mau jadi jagoan?" Bara-cowok yang tadi memukuli Anto dengan brutalnya memandang Andra dengan tatapan remeh, seakan tidak terpengaruh dengan aura mengintimidasi Andra.

Andra mendecih. "Mending gue jadi jagoan. Daripada elo-elo semua yang cuma beraninya keroyokan, kayak BANCI!!"

"Banyak bacot lo!"

Bara melangkah maju mendekati Andra, berusaha untuk melayangkan tinjuannya ke wajah cowok itu. Tapi sayangnya, Andra lebih cepat menepis kepalan tangan Bara dengan mudahnya dan membuat bibir Bara berdarah dengan satu gerakan saja.

Masih belum menyerah, Bara mencoba menendang kaki Andra dan sayangnya Andra lebih cerdik. Cowok itu bisa mengelak, dan mulai mengunci tangan Bara dengan memelintirnya hingga membuat Bara mengaduh kesakitan. Jangan tanya dimana gerombolan Bara tadi. Mereka sudah kabur terlebih dulu karena sadar jika Andra bukan lawang tanding yang seimbang.

"Masih belom nyerah?

"Stop! Cukup gue nyerah!" Bara meringis kesakitan, lalu Andra melepaskannya.

"Lo bakal terima pembalasannya dari gue! Tunggu aja!" Bara menunjuk wajahnya, tapi Andra tak memerdulikannya sama sekali.

Keberanian Andra mengalihkan perhatian dua orang yang mengunci tubuh Anto tadi, membuat pegangannya pada tangan Anto mengendur, dan membuat tubuh Anto luruh di lantai. Andra menghampiri tubuh Anto, lalu mengulurkan tangannya membantunya berdiri.

"Gue tahu lo cupu, tapi elo itu cowok! Lain kali jangan mau diinjek-injek kayak gitu!"

"I-iya. Makasih, Ndra!" Anto melenggang pergi dengan langkah terhuyung.

Saat Andra berbalik dan ingin meninggalkan tempat itu, dia sedikit terkejut karena mendapati seorang cewek yang tengah berdiri menghadapnya.

"Elo?"

Andra menatapnya datar, sambil menepuk bajunya yang kotor. "Ngapain disini?"

"Eh, Hai!" Cewek itu mengerjapkan matanya takjub. "Lo... keren!" jawabnya sambil mengacungkan jempol.

Andra tertawa dalam hati. Baru kali ini ada seorang cewek yang selesai menyaksikan adegan tonjok-tonjokkannya dengan orang lain, malah terlihat takjub bukannya takut.

Andra bergumam.

"Ternyata... lo baik juga."

Seperti biasa, Andra meninggalkan Adyra sebelum gadis itu selesai berbicara padanya.

"Andra.. lo tadi, yang dihukum sama gue di lapangan upacara itu, kan?"

Andra melirik Adyra yang mengikuti langkahnya sejenak. "Gue rasa, mata lo masih baik-baik aja tadi."

Adyra terhenyak. 'Nih cowok kalo ngomong asal jeplak aja!' batinnya.

"Cuma mau memastikan aja, kalo tadi gue nggak mimpi." Adyra meringis kecil. "Lo tahu nggak? Waktu lo pegang pipi gue tadi, rasanya kayak mimpi!!! Mimpi indah bangett!!"

Andra memandang Adyra dengan tatapan jijik. "Dan gue nyesel, abis pegang-pegang pipi lo tadi." Adyra mencebikkan bibirnya.

Andra mempercepat langkahnya saat menuruni beberapa anak tangga untuk kembali ke kelasnya. "Andra, Andra!! Btw, lollipop yang gue kasih kemaren gimana? Suka? Lo makan, lo jual, lo simpen, atau lo... buang?"

"Iya."

Gadis itu mendengus kesal. "Iya, itu maksudnya apa?? Dimakan, dijual, disimpen atau dibuang??"

"Iya."

"Serius, dong!!"

"Iya. Terserah."

"Andra!! Nggak ada kosakata lain apa??" Andra memundurkan wajahnya spontan, saat gadis itu menghadapkan wajahnya, tepat di depan wajah cowok itu secara tiba-tiba. "Gue buang!! Puas?"

Gadis itu terdiam sejenak, lalu meringis lebar. "Whoaaa-serius?"

Andra menatap Adyra bingung saat melihat gadis itu jingkrak-jingkrak kegirangan. "Kok lo seneng, sih? Aneh."

"Iyalah, gue seneng! Itu tandanya gue tinggal nunggu aja doa gue terkabul."

Andra makin mengernyitkan keningnya heran. "Lo lupa ya? Kemaren, gue kan nyumpahin lo biar jatuh cinta sama gue kalo lo buang lollipopnya, Andra!!"

Andra terkekeh meremehkan. "Terus, elo percaya sama tahayul gituan? Primitif."

"Itu bukan tahayul, tauk! Lebih tepatnya, do'a." Andra masih berjalan tak peduli.

"Oke, kalo lo nggak percaya yaudah. Sebagai manusia beragama, gue percaya kalo do'a adalah kekuatan terbesar untuk mengubah takdir. Lo percaya takdir, kan?"

Mendengar kata takdir membuat Andra tertegun sesaat. Takdir? Entah dia masih memercayainya atau tidak, dia belum tahu pasti.

Gadis itu menghadap ke arah Andra tepat di depan wajahnya, sambil menyentuh kedua bahu Andra.

"Andra, kalo nanti malem lo tiba-tiba senyam-senyum sendiri, jangan kaget ya. Itu salah satu fase orang lagi jatuh cinta. Gausah bingung, nikmatin aja. Lama-lama juga biasa."

Adyra menghadiahi Andra sebuah kedipan mata. Ya, gadis itu memang cantik. Tapi jika disandingkan dengan sifatnya yang hiperaktif mendekati gila... bagi Andra, dia nol besar. Andra bergidik ngeri sambil menatap gadis itu aneh.

Gue rasa, dia nggak waras.

▪▪▪