webnovel

Part 28 : Sebuah Acara dan Kedekatan

Aldo cekikikan sambil menatap layar ponselnya. Dengan asik menggerakkan kedua jempolnya bergantian, tanpa menghiraukan suasana di sekitar. Beberapa saat kemudian, kening Aldo berkerut, dan kedua matanya membola.

"Yahh... amsyong! Kuota gue abis! Padahal baru mau video call sama Maya. Nanti kalo Dara ama Arin nge-chat gua, gimanaaa?" gerutu Aldo-kumat lebaynya.

"Ya beli lah, Sompret! Gitu aja ribet," sahut Rio enek.

Aldo terlihat berpikir, "Maunya sih, gitu." Hingga beberapa detik kemudian, sebuah bola lampu berpijar di atas kepala Aldo. "Eh! Tapi nggak, deh. Minta password wifi rumah lo aja deh, Ric!"

Eric menoleh tak suka. "Kenapa jadi gue? Ga ada. Wifi gue lagi limited kuota. Buat persediaan main ML beberapa hari ke depan."

Aldo melotot, "Jadi lebih penting ML daripada gue?" sambil memasang muka menjijikkan.

"Iyalah," balas Eric santai.

Bola mata Aldo berputar, "Curut, dasar!"

Aldo mendesah, lalu menjatuhkan punggungnya di senderan sofa. Matanya melirik ke arah Andra, yang lagi asik duduk di single sofa sendirian. Aldo menyeringai. Aldo beringsut mendekati Andra dengan gerakan mengejutkan. "Bagi hospot dong, Ndra!"

Andra mendelik saat Aldo mendaratkan bokongnya di pangkuan Andra. Andra bergidik, lalu mendorong tubuh Aldo keras hingga tersungkur. "Kambing, lo!"

"Aww!"

Eric dan Rio menghentikan sejenak permainan PS-nya, lalu saling berhadapan kemudian menatap Aldo terjengkang di atas lantai dengan penuh kasihan.

"Pantat gueee!" Aldo merintih sambil mengusap pantatnya. "Elo. Tega." Aldo melirik sinis, sambil memberi penekanan di setiap katanya.

Andra menarik bibir atasnya, "Dan. Elo. Menggelikan."

Aldo mendengus sambil beringsut ke arah Andra lagi. "Bagi hospot, dong! Ya? Ya? Ya?"

"Gak."

Aldo masih merengek, "Ayo dong! Lo kan anak orang kaya, pasti kuota lo banyak!" bujuk Aldo sambil menarik-narik lengan kaos Andra.

Andra melirik tajam, "Sekali nggak, ya enggak."

Aldo kicep, lalu mendengus kasar. Aldo berdiri dari sofa lalu melenggang ke arah dapur. "Dasar peliiit!"

Andra kembali terfokus pada ponselnya, tanpa menghiraukan kicauan Aldo yang mirip bebek minta kawin.

"Mau jadi playboy kok gak modal." Tanpa mengalihkan fokus dari PS-nya, Rio terkekeh mendengar Aldo uring-uringan sambil menggebrak meja dapur dengan para mangkok dan gelas.

"Kalo sampai mangkok Emak gue pecah, gue didihin muka lo di panci!"

Rio semakin terkekeh karena sudah tak mendengar lagi bising-bising dari dapur semenjak Eric wanti-wanti.

Aldo kembali ke ruang keluarga, sambil memegang gelas berisi jusnya. Aldo berniat menjatuhkan pantatnya di sofa king size milik Eric. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, mata Aldo melirik Andra yang lagi senyum-senyum kayak orang gila.

Aldo memincingkan mata, berniat mengintip apa yang membuat Andra ketawa-ketawa tanpa suara. Aldo menyeringai, lalu merebut ponsel Andra dari tangan pemiliknya.

"Wih! Apa, nih? Andra lagi chat ama cewek?" Aldo mendelik antusias melihat nama siapa yang tertera di ruang obrolan. "Lah, si Adyra? Wah wah wah! Segala ngucapin selamat tidur, semoga mimpi indah, selamat malam. Mirip mas-mas Indomart yang buka 24 jam! Haha!"

Andra langsung bangkit dan berupaya menarik ponselnya kembali dari tangannya. "Balikin nggak!" Aldo semakin iseng. Dia berdiri di atas sofa sambil mengangkat tinggi-tinggi ponsel Andra.

"Asik, tuh!" Rio menatap sumringah, sementara Eric menghela napasnya khawatir, "Bisa kotor itu sofa Emak gue dienjot-enjotin!"

Andra berusaha merebut ponselnya, tapi sayang tangan Aldo lebih lincah dari tangannya. Aldo semakin tengil. Dia mencari kontak Adyra lalu berniat meneleponnya. Seakan tahu apa yang ada dipikiran Aldo, Andra langsung menendang kaki Aldo agar kehilangan keseimbangan.

Alih-alih Aldo jatuh tersungkur, kini harus Andra yang menerima kenyataan. Pertama, Andra tidak berhasil mendapatkan kembali ponselnya. Dan kedua, Andra merasa kedinginan karena minuman dingin Aldo tumpah tepat di mengenai kepalanya.

Suasana bukan malah tambah dingin, kini malah semakin panas.

Aldo menelan ludah susah payah, lalu meringis ngeri. "Jackpot."

• • • •

"Ih! Kok nggak dibales lagi, sih? Masa udah tidur? Perjanjiannya kan nunggu gue tidur dulu, baru dia tidur! Kan, kesel!"

Adyra berdecak, sambil memukul-mukul ponselnya di atas bantal. Tubuhnya bangkit separuh dari ranjang, karena tenggorokannya merasa kahausan.

Adyra mendesah, setelah meneguk air putih dari gelasnya. Tangannya meraba nakas, berniat meletakkan kembali gelasnya di tempat semula. Sejurus kemudian, Adyra terkejut mendengar suara barang yang pecah. Adyra menoleh dan melihat gelasnya sudah terpecah menjadi beberapa bagian karena gerakannya yang salah meletakkan.

"Ada-ada aja, sih."

Adyra berjongkok lalu membersihkan sisa-sisa pecahan menggunakan tangan. Tanpa disengaja, ujung jari telunjuknya tergores hingga darah segar mengalir begitu saja.

Adyra sempat meringis karena terkejut tadi. Kemudian, dia langsung mengambil plaster yang selalu dia simpan di laci bagian bawah.

Tangan kirinya menyelisik, mengorek-korek isi laci agar segera menemukan plaster. Beberapa saat kemudian, gerakan tangan Adyra terhenti karena telah menemukan sesuatu. Dada Adyra mendadak berdegup. Tubuhnya terpaku seolah seluruh sarafnya ikut membeku. Adyra mengambil benda itu dengan ragu-ragu.

Sebuah jurnal tebal berwarna cokelat kayu.

Adyra menyukai semua hal berbau cokelat sejak dulu. Mulai dari warna, benda, maupun makanan. Melihat jurnal itu, Adyra jadi mengingat tentang suatu hal. Suatu hal yang pernah ingin dia buang jauh-jauh dari ingatannya.

Tangan Adyra bergerak, membuka sampul buku itu, hingga sampai pada halaman pertama.

"Di halaman pertama harus ditempel foto aku."

Adyra mengernyit tak mengerti, "Kenapa gitu?"

"Biar kamu selalu inget sama aku dan nggak akan ngelupain aku."

Adyra tertegun saat Dimas menatapnya lekat, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan. Adyra tersenyum sambil menggenggam tangannya. "Sejauh ini, aku belum ada niat buat ngelupain kamu."

Ting!

Adyra mendongak, meraba kasur lalu menarik ponsel. Adyra menekan password, lalu mencari sumber kenapa ponselnya berkedip.

Sebuah pesan masuk.

Andra : Udah malem. Tidur sana. Nanti lo sakit kalo keseringan begadang. Gue tutup, ya? Night.

Rongga dada Adyra menyempit. Genggaman ponsel Adyra meluruh, sementara genggaman tangan Adyra di jurnal itu semakin mengerat.

• • • •

"Segitu sibuknya lo sampai nggak bales satupun chat atau angkat telepon gue?"

Adyra menghentikan langkahnya, saat tubuhnya tepat berada di pintu kelasnya. Beberapa pasang mata menaruh perhatian pada mereka. Seketika, Adyra langsung mendongakkan wajahnya.

"Lo... di sini?" Andra memutar bola mata, lalu menarik tangan Adyra agar tak menjadi pusat perhatian di sana.

"Gue kira lo nggak masuk. Jam istirahat gue cari di kantin nggak ada, di kelas juga nggak ada. Pas jam pelajaran juga lo nggak ada. Jadi seharian ini lo kemana?" Adyra mengerjap saat mendengar Andra bicara dengan nada datarnya.

Adyra melirik genggaman Andra dari lengannya yang sudah terlepas, kemudian mengalihkan pandangannya ke manik mata Andra yang kini tengah menatapnya. "Gue di kelas kok. Tapi waktu jam istirahat pertama sampai kedua, gue di perpus. Disuruh wali kelas buat melengkapi nilai tugas sebelum UAS sekalian nge-check-in data temen sekelas yang belum lengkap. Kan gue sekertaris," kata Adyra menjelaskan.

Seketika sorot mata Andra berubah cerah, "Udah makan?"

Adyra termangu sejenak lalu mengangguk. "Udah kok."

Andra mengangguk sementara Adyra tersenyum. Andra bener-bener bunglon. Perasaan tadi ketus, deh. Sekarang udah manis aja. Gengsi amat bilang kangen. Pikir Adyra dalam hati.

Adyra sedikit tersentak saat jari telunjuk Andra menempel di keningnya. "Ngapain senyam-senyum? Mikir jorok, ya!"

Adyra menabok lengan Andra refleks sambil mendelikkan matanya. "Enak aja!"

Andra terkekeh, lalu menarik tangan Adyra dan menggenggamnya. "Mau bawa gue ke mana, sih?"

"Ke rumah gue," kata Andra setelah Adyra sudah berada di atas motor Andra.

Adyra memiringkan kepala, "Ngapain? Gue belum mandi, tau!"

Andra memasang helm di kepalanya, lalu membuka kaca helmnya. "Gausah. Lo masih wangi."

Adyra mengernyit, sambil mengendus baunya sendiri. "Masa, sih?"

"Masih nggak percaya kalo lo wangi? Mau bukti? Mana sini gue cium!"

Adyra termangu sebentar, lalu menelan ludahnya salah tingkah. "Hm.. Bisa langsung jalan aja, nggak? Gue laper."

Andra tersenyum miring. Cewek itu gitu, ya. Suka mengalihkan topik pembicaraan.

• • • •

"Rumah lo kelihatan rame banget. Lagi ada acara, ya?"

Andra berdehem lalu melepas helm dan turun dari motor. "Cuma acara kecil-kecilan."

Adyra mengangguk, lalu mengekori Andra memasuki rumahnya. Saat kakinya baru selangkah memasuki rumah Andra, Adyra terkejut saat melihat beberapa orang di sana.

"Dih, gelo! Itu pion lo majuin atu biar bisa skak!"

Rio memukul tangan Aldo yang mulai rese dengan pion-pionnya. "Maneh yang gelo! Kalo bidak gue maju atu, benteng gue dimakan, dong!"

Aldo mendengus. "Mending benteng doang, juga! Benteng lo masih ada atu, noh! Lagian kuda lo juga masih lengkap. Orang lo masih banyak, Budi!"

Rio mendelik, "Nama bapak gue itu, Toro!"

Aldo ikut bersungut. "Bapak gue juga itu!"

"Halah-halah, woi! Ini jadi main catur apa gontok-gontokan sih, ah!" Eric mengacak rambutnya kesal, sambil memandangi kedua temannya yang sudah saling melempar tatapan mematikan.

"Apa sih, ribut-ribut di rumah orang."

Aldo berdecak tak peduli, lalu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Sementara Eric dan Rio melempar senyum saat tatapannya melewati Adyra.

"Lo semua... juga ada di sini?"

Bola mata Aldo berputar, "Dikira cuma dia doang kali yang diundang."

Buk!

"ANJIR, AH!"

Rio tersenyum hiperbola ke arah Adyra setelah melempar wajah Aldo dengan bantal sofa yang berada tepat di sampingnya. "Biasa, obatnya abis." Rio berbisik dan membuat Adyra tersenyum canggung.

"Bu Reya... mana, Ndra?" Adyra berbicara, saat mereka sudah jauh dari teman-teman Andra.

Andra yang terlihat termangu sejenak sudah menarik sudut bibir kanannya. "Ada nanti."

Andra menarik tangan Adyra menuju ruang tengah yang hampir setengah penuh dengan makanan berat sampai ringan. Adyra menatap tak percaya.

"Lo ulang tahun, ya? Tadi ada temen-temen lo. Sekarang banyak makanan. Nanti apa lagi? Balon bentuk angka tujuh belas? Atau acara ceplok telur ama tepung? Kok nggak bilang, sih! Gue kan belum bungkus kado!"

"Gue nggak ulang tahun." Andra mengambil apel merah di atas meja, kemudian menggigitnya. "Dan kalaupun gue ulang tahun, gue nggak bakal ngadain apa yang lo sebutin barusan. Balon angka tujuh belas, acara ceplok telur, menurut gue itu norak."

Adyra merebut apel sebelum Andra kembali menggigitnya. "Itu nggak norak. Tapi mengesankan," bela Adyra bangga dengan sedikit mengangkat dagunya.

Andra mendecak lalu kembali merebut apelnya. "Terserah. Pendapat gue tetep sama kalo itu norak."

Bola mata Adyra berputar. Saat Andra mengulurkan sebuah apel dari tangannya, Adyra mengangkat tangan-tanda penolakan.

"Ya, se-enggaknya lo bilang dong, kalo ada acara. Masa temen-temen lo diundang ke sini juga dan gue nggak tau. Mana mereka udah pada keren-keren lagi. Pasti abis mandi, deh. Lah gue?"

Andra langsung menoleh ke Adyra yang duduk di kursi meja makannya. "Tau dari mana lo kalo mereka udah mandi?" Andra mengangkat alis kanannya, "Lagian, mereka nggak keren. Biasa aja. Masih keren gue."

Adyra hampir tersedak air mineral yang baru dia minum dari gelas yang di sodorkan Andra tadi. Adyra menatap Andra iseng sambil mengulum bibirnya. Ada yang sensi, Bung!

Bola mata Andra berputar, lalu melepas dua kancing atas kemejanya. "Kalo lo mau mandi, naik ke atas aja. Lo bisa pakai kamar mandi di sana. Untuk baju, lo bisa pakai punya Kanya. Gue pikir ukuran kalian nggak jauh beda. Biar gue mandi di bawah."

Adyra menyipit, "Nggak enak, ah! Masa mandi di rumah orang."

Andra melepas kemeja dari tubuhnya setelah membuka kancing terakhirnya. Andra melihat Adyra sejenak, lalu menyampirkan kemeja di bahu kirinya. "Ya udah kalo nggak mau."

Adyra mengamit lengan Andra saat cowok itu mau pergi dari hadapannya. "Lo mau ke mana?"

"Mau mandi."

Adyra berpikir sejenak, hingga membuat Andra mengerutkan dahinya. Andra mengangkat kedua alis saat Adyra menampilkan senyum. "Gue ikut, deh."

Andra mendelik, kemudian melepas kasar lengannya dari Adyra. "Lo mau ikut gue mandi?!"

Adyra masih tersenyum, tanpa berniat memudar sedikitpun. Tapi, berangsur-angsur senyumnya meluruh saat menyadari ekspresi hiperbola Andra. "Gue mandi diatas, kali," kata Adyra sambil berekspresi datar.

Andra mengerjap saat tersadar, "Ohh... i-iya." lalu menggaruk tengkuknya salah tingkah. Andra berdehem, menetralkan rasa gugup yang mendadak menyerangnya. "Langsung naik ke atas aja. Di sana ada Bi Sumi. Lo bisa minta tolong ama dia."

Adyra melengkungkan ibu jari dan telunjuknya membentuk huruf O. Adyra langsung mengambil tas yang tadi dia taruh di atas kursi, lalu melesat pergi menaiki tangga.

Melihat Adyra yang sudah menghilang dari tangga, Andra berbalik sambil mengeplak-ngeplak kepalanya. "Gue mikir apa, sih!"

• • • •

"Neng, cantik, ya?"

Adyra memiringkan kepalanya hingga pandangannya menemukan Bi Sumi di sana. Adyra tersenyum saat Bi Sumi menghampirinya. "Baju Non Kanya pas banget di badan Neng. Cantik."

Adyra meringis, "Bibi bisa aja, deh. Nanti kepalaku bisa terbang, loh!"

Adyra menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sejurus kemudian sebuah ide menarik melintas di pikirannya. "Neng Adyra mau ngapain?"

Adyra menoleh saat dia sudah memosisikan ponselnya di depan kaca. "Mau ngalay dulu, Bi. Hihi."

Kening Bi Sumi mengerut bingung dengan kalimat Adyra. "Ngalay teh, naon?" Wajah Bi Sumi makin kelihatan bingung saat Adyra malah tersenyum bukannya menjawab.

Cekrek!

So perfect!

Adyra tersenyum sambil memandangi potret dirinya di layar ponsel. Adyra membuka aplikasi WhatsApp lalu mengirim sesuatu ke roomchat Andra. Setelah selesai, dia kembali membuka foto dirinya yang baru beberapa menit tadi dia ambil gambarnya sendiri.

Adyra tersenyum lagi sambil memegangi pipi kanannya. "Ahh... Bibi emang bener, gue cantik. Hihi. Kok gue baru nyadar, ya?" Adyra berbisik sambil ngomongin dirinya sendiri dan ketawa-tawa sendiri macam orang kerasukan dhemit penunggu sini.

"Lagi ngapain?"

"Omo! Sontoloyo pantatnya keseleo!"

Adyra terlonjak kaget sampai tak sengaja melempat ponselnya sampai jatuh terkapar di lantai-setelah menoleh dan melihat seorang perempuan dengan rambutnya yang panjang dan tengah memakai pakaian putih terusan yang menutupi sampai bawah lututnya-sedang berdiri di depan pintu dan menghadapnya.

"Apa sih, Kak? Ini Kanya. Lupa, ya?"

Adyra mengerjap sambil mengelus dadanya. "Astaga, aku kira siapa. Kanya, please! Kalo punya rambut panjang itu jangan muncul tiba-tiba, dong!" Adyra menunduk lalu memungut ponselnya.

Kanya menipiskan bibirnya kesal lalu menjulurkan tangannya ke Adyra. "Mau peluk, kangen."

Adyra langsung menghampiri dan balas memeluknya. Kanya mengusap punggung Adyra, dan semakin menyembunyikan kepalanya di cekungan leher sambil menghirup aroma tubuhnya. Adyra terkekeh dan membalas usapan di punggungnya. "Baru empat hari nggak ketemu aja kangen. Eh! Empat hari atau tiga hari, ya?"

"Tiga hari." Kanya mengoreksi.

Adyra melepas pelukannya kemudian menatapnya. "Kenapa?" Adyra berdehem saat Kanya mulai bertanya.

"Kenapa lihatin aku kayak gitu?"

Adyra mengedip, lalu mengendikkan bahunya. "Nggak tau. Aku ngerasa ada yang beda aja dari kamu. Tapi apa, ya?"

Adyra mengetuk dagu seolah menimbang sesuatu. "Kalau cantik, dari pertama kita ketemu di toko buku waktu itu juga kamu udah cantik. Rambut panjang? Ah, dari dulu juga panjang."

Kanya tersenyum. "Coba inget-inget lagi, deh."

Adyra menatap Kanya, dari atas sampai bawah. " Kalau penampilan, tetep aja. Masih kelihatan kalem. Nggak ada bedanya sama pas kita ketemu di rumah sakit..." Adyra mengernyit, "...rumah sakit?"

Saat Adyra mengingat sesuatu, dia langsung melempar tatapannya pada kedua kaki gadis di depannya. Adyra mengerjap. Seingatnya, setiap Adyra bertemu Kanya gadis itu selalu duduk di kursi roda. Tapi sekarang....

"Kamu udah bisa.... jalan?"

Kanya hanya tersenyum tanpa menjawab Adyra. Dilihatnya Adyra tengah menutup mulutnya sambil menatapnya tak percaya. Kanya tersentak saat tubuhnya tiba-tiba dipeluk erat. Tubuh Kanya terasa menghangat. Baru sebentar mereka mengenal dan beberapa kali bertemu, tidak membuat Kanya menganggap Adyra sebagai orang asing. Justru, malah membuat mereka terasa begitu dekat.

"Sejak kapan?" tanya Adyra setelah pelukannya terlepas.

Kanya tersenyum, "Sejak ada orang yang bilang sama aku, kalau nggak seharusnya kita menyerah sama keadaan..."

"....Anggap aja apa yang sedang terjadi sekarang adalah ujian yang akan menentukan tentang apa kita pantas dapat kebahagiaan di masa depan?"

Kanya menatap Adyra lekat, saat tangannya diusap lembut seolah memberi semangat. "Tuhan kasih kita ujian bukan karena Dia nggak sayang. Dia nggak mau kamu jadi orang yang lemah karena cuma dikasih kebahagiaan. Hidup kamu harus berwarna. Jangan bangga kalau hidup kamu masih abu-abu aja."

"Ha? Oke nggak?"

Adyra terkekeh saat mendengar Kanya menirukan kata-katanya waktu di rumah sakit tempo hari. "Kamu masih inget?"

Kanya menarik kedua sudut bibirnya. "Mana bisa aku lupa? Semuanya berkat Kak Adyra. Aku bisa kayak gini, juga karena Kakak."

Adyra termangu sejenak lalu menggeleng. "Enggak. Semuanya datang dari kemauan kamu sendiri. Bukan aku."

Kanya menarik tangan Adyra agar mengikutinya. Mereka berhenti di balkon yang berhadapan dengan ruang keluarga di bawahnya. Kanya menunjuk sebuah arah dengan dagunya, agar Adyra mau menatap ke arah sana. "Coba lihat ke arah sana."

Adyra mengikuti arah pandang Kanya. "Kak Andra nggak pernah ngobrol sedekat itu sama Mama, sebelum dia kenal Kakak."

Adyra menatap mereka, tak jauh dari sana. Rongga dadanya seolah menghangat melihat kedekatan mereka. Tiba-tiba, Adyra langsung tersenyum saat teringat dengan mendiang Mamanya. Di saat yang bersamaan, dibawah sana; Andra ikut menatapnya sambil tersenyum juga.

• • • • •