webnovel

Part 27 : Ketulusan Andra

Adyra sama sekali tak mengeluarkan suara, sambil memandang lurus ke arah jendela. Adyra menyandarkan punggungnya saat mobil yang ditumpanginya mulai bergerak membelah jalanan.

Aroma petrichor, dengan aspal yang basah. Hujan yang kemarin malam membekas, ternyata.

Adyra mengalihkan tatapannya ke arah ponsel di tangannya. Langsung terbesit sesuatu yang mengusik pikirannya. Adyra mendesah frustasi.

"Kayaknya nanti Papa nggak bisa jemput kamu pulang sekolah."

Adyra menghentikan gerakannya saat membuka seatbelt, saat mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di dekat pagar sekolah. Adyra menoleh, "Oke. Aku bisa naik bis atau angkot."

"Nggak bisa. Sekarang itu rawan copet. Dan di bis? Nggak bisa! Nanti banyak asap rokok, nggak bagus buat kesehatan."

Adyra mengerutkan kening, "Masa, sih? Selama aku naik angkot sama bis, nggak ada tuh kasus-kasus kayak gitu. Tapi, oke deh aku nanti naik taksi."

Adyra membuka seatbelt dengan satu gerakan, lalu mengarahkan tangannya untuk membuka pintu. "Siapa bilang kamu boleh naik taksi?" sergah Andi.

Adyra menghentikan gerakannya lagi, lalu dengan cepat menoleh ke arah Andi. "Kalo kamu diculik gimana? Kamu itu anak sematawayang Papa, ya! Nggak ada naik taksi-taksi segala."

"Terus aku harus gimana? Jalan kaki, maksud Papa?" Adyra mendesah keki melihat tingkah Andi yang tiba-tiba menyebalkan setengah mati.

"Papa udah suruh orang buat jemput kamu, dan anterin kamu sampai rumah," kata Andi.

"Adyra bukan anak kecil yang bakal nyasar kalo cuma jalan pulang dari sekolah."

"Kalo masih ngebantah, nggak usah minta uang jajan lagi sama Papa."

Adyra mendengus, lalu membuka pintu mobil dengan tangannya-dengan agak sedikit kesal. Mobil Papanya langsung melesat pergi sebelum Adyra sempat bertanya lagi.

Adyra menggelengkan kepala. Papa beneran aneh. Tadi waktu sarapan salah makan kali, ya?

Adyra berjalan menyusuri koridor yang sudah lumayan ramai anak-anak yang berdiri menunggu bel masuk di sana. Beberapa ada yang sibuk membaca mading, dan beberapa ada yang sedang memperdebatkan sesuatu sebelum masuk ke kelas masing-masing.

Adyra merasa risih, dengan beberapa anak yang menatapnya aneh-tidak seperti biasanya. Setiap Adyra berjalan melewatinya, dia selalu diikuti dengan tatapan-tatapan yang sulit terdefinisi. Adyra mengernyit bingung. Kaos kaki gue panjang sebelah apa, ya?

Adyra menunduk lalu menggeleng, karena tidak menemukan kenyelenehan dengan posisi kaos kakinya. Adyra juga sesekali merapikan helai rambutnya. Kali-kali aja masih ada roll rambut yang nyangkut atau apa gitu.

"Ngapain lo? Kutuan?"

Adyra menghentikan aktifitasnya, saat Amy dan Siska sekonyong-konyong muncul kayak siluman. Adyra melengos setelah melirik Amy sinis. Amy dan Siska, langsung ikut berjalan di samping kanan kiri Adyra menuju ruang kelas.

"Ponsel lo, lo kemanain sih, Ra? Gue chat, telepon, sampai video call lo anggurin aja dari kemarin."

Adyra diam sebentar, melempar kembali ingatannya pada kejadian malam kemarin. Tentang sebuah pesan singkat yang membuatnya galau setengah mati.

Dari kemarin, matanya tak berpindah barang sedetikpun dari ponselnya. Sambil bertopang dagu, Adyra menimbang mau membalas pesan itu, langsung telepon Andra, atau mau dibiarin aja.

Adyra bahkan tak menghiraukan notifikasi dari siapapun kecuali nama yang tertera di layar ponselnya itu Andra.

"Ra, lo denger gue nggak, sih?" kata Siska, sedikit berteriak karena kesal.

Adyra tersadar, "Hm? Oh, gue... udah tidur."

Siska mengangkat alis kanannya, "Masa? Setahu gue, lo nggak pernah tuh tidur sesore itu, deh."

Adyra kelabakan, tapi dia langsung mengubah ekspresinya dengan cepat. "Ah, itu mungkin kebetulan aja gue ketiduran."

"Yah, padahal Siska mau ngabarin kalo ada tugas dadakan dari Bu Mida buat-"

Adyra langsung berhenti berjalan, "Ih! Serius lo, My?" potong Adyra dengan mata membola. "Tugas apaan?!"

"Cuma sepuluh soal, sih. Dan lo cuma punya waktu 25 menit sebelum Bu Mida masuk ke kelas," kata Siska menjelaskan.

"Banyak nggak jawabannya?"

Perasaan Adyra mulai nggak enak.

"Ya banyak lah, Semut Rangrang! Mana pernah Bu Mida kasih soal pakai asas peri kemanusiaan? Satu soal aja bisa ngabisin satu halaman, gimana sepuluh?" kata Amy antusias hinga kunciran rambutnya terlihat bergoyang-goyang.

Tuh, kan.

Adyra langsung menarik buku tulis Biologi dari tangan Amy lalu membawanya kabur sambil berlari. "Gue pinjem bentar!" teriaknya sambil menaiki tangga.

Ini urgent, asli!

Adyra menambah kecepatan berlarinya saat menaiki tangga. Tapi sayang, pagi ini tangga yang Adyra tapaki terasa begitu licin, hingga membuat tubuh Adyra terhuyung ke belakang karena kehilangan keseimbangan.

Adyra menahan napas, merasakan jika jantungnya saat ini berhenti berdetak sejenak. Tubuhnya seolah membeku dan sulit bergerak. Bukan karena tubuhnya yang terjerembab di atas lantai, melainkan karena merasakan deru napas seseorang yang terasa hangat menyapu kulit wajahnya.

"Pelan-pelan, napa! Ntar kalo lo jatuh dari tangga kan berabe urusan... nya," Amy tak melanjutkan kalimatnya.

Semua buku yang tadi dirangkul di tangan Amy kini sudah berceceran. Akibat keterkejutan Amy saat melihat sebuah penampakan yang, ah! Anggap aja ini adegan kayak di tipi-tipi.

Adyra terhuyung, dan Andra menangkap tubuhnya dari belakang.

Eng-ing-eng!

••••

Amy mengernyit ke arah Siska dengan tatapan bertanya, dan berarkhir sikut-sikutan melihat tingkah Adyra. Sejak sebelum bel istirahat berbunyi tadi, yang dilakukan Adyra hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Antara dia lagi latihan buat Mengheningkan Cipta dengan khidmat, atau memang karena tulang lehernya lagi kesemutan.

Mereka menatap Adyra yang tengah duduk manis di seberang meja mereka masih dengan keadaan menunduk.

"Dua porsi soto ayam dan seporsi nasi goreng, lengkap dengan tiga gelas es jeruk dan kerupuk udang."

Amy bertepuk tangan lebay melihat pesanannya sudah datang. Sementara Siska langsung makan dan Adyra masih diam.

Adyra memainkan sendoknya di atas piring. Menyuap nasi, lalu menaruhnya kembali. Begitu terus dilang-ulang sampai-sampai Siska yang sedari tadi memerhatikan langsung memutar bola matanya gusar.

"Segitu membekasnya ya, pelukan tadi, sampai-sampai lo nggak nafsu makan gini." Amy mengerling, menggoda Adyra yang lagi masang bola mata lebar.

"Bisa diem nggak, sih!" Adyra berbisik tajam, hingga membuat perut Amy terasa kegelian.

"Ah, elo mah, malu-malu kucing! Lihat aja nih, ya! Gue jamin nanti lo nggak bisa tidur karena terus kepikiran seberapa hangatnya suhu tubuh Andra yang nyaman banget pas dipelukan. Hahaha!"

Adyra menggembungkan pipinya geram sementara Siska yang tadi diam ikut-ikutan masang ekspresi jijik. "Geli lo, mesum!"

"Hihihi! Apa sih, orang gue bener juga. Eh, Ra! Tuh, lihat ada Andra sama temen-temennya lagi jalan ke sini! Kayaknya dia nyariin lo, deh!"

Adyra langsung diam, merasa kebingungan sendiri mendengar ucapan Amy. Beneran?

Tawa Amy langsung meledak seketika melihat perubahan ekspresi Adyra. "Bhahahaha! Muka lo merah banget! Kayak ketangkep basah nyolong jemuran tetangga tau, nggak? Hahahaa!"

Adyra mendengus kesal. Amy sialan! Belum tau aja dia gimana bringasnya Ratu Serigala kalau lagi ngamuk.

"Udahlah, My! Kayak anak kecil, deh. Nggak malu apa pada diliatin?" potong Siska berusaha menengahi.

Adyra jadi makin malas melihat Amy yang malah melanjutkan tawanya seenak hati. Adyra langsung berdiri dari posisi duduknya dan meninggalkan sepiring nasi goreng yang masih utuh di atas meja.

"Yah, Ra! Kok pergi, sih? Gue kan cuma becanda!"

Adyra memasang tampang tak peduli walau saat ini Amy masih memanggil-manggil namanya. Adyra berjalan keluar dari area kantin dengan wajah tertekuk. Mood-nya yang tadi sudah nge-blank, sekarang makin nge-blank lagi.

Adyra berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. Berangsur-angsur, langkah Adyra tiba-tiba memelan. Dan pada akhirnya terhenti di satu titik di mana koridor yang saat ini dia lewati, tengah menyuguhkan kumpulan anak lelaki yang lagi asik-asiknya nongkrong sambil memainkan petikan gitar dan menyanyi-nyanyi tepat di hadapannya.

Dan salah satu dari mereka; yang lagi nempelin punggungnya di tembok sambil menyimpan tangan di saku celana, cowok itu Andra.

Aktivitas anak cowok yang tadinya rame banget kini berubah sunyi, saat menyadari siapa gadis yang tengah berdiri di depan mereka ini. Mereka saling sikut-sikutan sampai akhirnya salah satu dari mereka berdehem menggoda sambil mengerling ke arah Andra dan Adyra bergantian.

Adyra mengerjap, berusaha menyadari tentang apa yang terjadi. Pipinya merona, mirip kepiting rebus. Gadis itu melengkungkan bibirnya kesal.

Adyra melirik Andra, tapi cowok itu hanya memandangnya sekilas tanpa ekspresi lalu mengalihkan pandangannya lagi.

"Ciailah! Ketemu pacar kok diem-dieman. Disapa, dong! Disayang, dipeluk, terus salaman."

"Lu pikir lebaran pakai salaman?"

Adyra merasa geram, malu, sekaligus muak dengan ledekan teman-teman Andra. Adyra menipiskan bibirnya kesal, lalu berniat melanjutkan langkahnya untuk berjalan. Tapi, sejurus kemudian tubuhnya menegang saat telinganya mendengar namanya disebut oleh seseorang.

"Tunggu."

Adyra menoleh, lalu membiarkan bola matanya bersitatap dengan Andra. Tiba-tiba, suasana yang ramai tadi telah berubah hening seketika. Tengkuk Adyra terasa panas melihat Andra berjalan mendekatinya.

Suasana koridor didominasi oleh Andra. Adyra spontan memundurkan langkahnya melihat Andra semakin mendekat. Mata Adyra membulat diikuti anak-anak cowok lainnya yang sama-sama merasakan hawa aneh yang dibawa Andra.

Cobaan apa lagi, Ya Allah?

Punggung Adyra menabrak tembok, dan kabar buruknya adalah Adyra sudah tidak punya kesempatan lagi untuk menghindar. Wajah Andra berada tepat di depan wajahnya.

"Lo-mau ngapain?"

Andra menunduk, mendekatkan wajahnya dengan wajah Adyra, lalu menjatuhkan tubuhnya tepat di hadapan gadis itu. Adyra semakin terkejut saat Andra berlutut di depannya begitu saja.

Tidak ada yang bisa menebak Andra mau apa. Hingga tiba-tiba, kaki Adyra terasa tertarik.

Andra menyimpulkan tali sepatu Adyra dan membuat mulut Adyra hampir menganga. Aldo dan Rio sikut-sikutan, sementara Eric mengendik dagunya ke arah Aldo dan Rio secara bergantian.

"Tali sepatu lo lepas. Lo kan mau naik tangga. Lo bisa kesandung nanti. Iya kalo ada gue, gue bisa nolongin kayak tadi. Tapi kalo gue nggak ada, gimana?" Andra menarik tali sepatu Adyra sebagai simpul terakhirnya.

Adyra mengerjapkan matanya. Andra sudah menyejajarkan tinggi tubuh Adyra setelah menyimpulkan tali sepatunya. Otak Adyra mendadak macet, saat Andra mengulas senyumnya.

"Hati-hati naik tangganya, ya! Gue cuma takut lo nyungsep," kata Andra sambil menepuk bahu Adyra.

Adyra merasa pembuluh darahnya tersumbat, dan paru-parunya sulit bernapas sekarang. Andra mengernyit, melihat reaksi Adyra yang langsung kabur dan menaiki tangga dengan berlari. Andra mau mengingatkan agar gadis itu lebih berhati-hati, namun kalimatnya hanya tertelan di kerongkongan saja. Adyra sudah benar-benar lenyap dari pandangan matanya.

Andra menoleh menatap teman-temannya dengan wajah bingung. "Dia kenapa, sih?"

Rio menggeleng, Eric mengendikkan bahu, sementara Aldo menatapnya horor. "Gue rasa... dia lagi serangan jantung deh, kayaknya."

Andra tak menggubris sahutan Aldo yang dianggap bak angin lalu yang nggak penting-penting amat buat didengerin. Sementara di sisi lain, Adyra lagi bersandar di tembok sambil menyentuh dada dengan telapak tangannya.

"Gue nggak lagi darah tinggi di usia muda, kan? Kok jantung gue jadi noise gini, sih?" Adyra megap-megap sambil mengipas wajahnya.

••••

"Saya kira, cukup sampai di sini pertemuan kali ini. kalian bisa pulang setelah mendengar bel pulang tiga menit lagi."

Semua siswa akhirnya bisa mendesah lega melihat Bu Etik keluar dari ruang kelas mereka. Bisma langsung menggebrak meja, melihat Bu Etik sudah benar-benar hilang dari pandangannya.

"Pergi saja kau pergi, tak usah kembali... Percuma saja kini, hanya mengundang perih.. Buang saja kau buang cinta yang kemarin... Perasaan tak mungkin, percayamu lagi.. Cukup tahuku diriku, cukup sakit kurasakan kini..."

Bisma semakin mendramatisir dengan memakai botol minum Siska sebagai mikrofon dan menunjuk-nunjuk pintu keluar yang tadi dilewati sama Bu Etik. Dani terkekeh antara geli sama jijik melihat tingkah Bisma yang nggak ada waras-warasnya.

"Gue udah curiga dari awal sih, kalo lo emang jatuh cinta ama Bu Etik."

Bisma menoleh, lalu mendesah berat. "Gue emang udah jatuh cinta banget ama dia. Saking jatuh cintanya, gue sampai mau santet dia biar amnesia. Udah sering ngasih PR, nggak pernah lupa lagi sama deadline ngumpulinnya. Kan kesel, gue!"

Dani manggut-manggut sok mendengarkan. "Gue curiga, kalo dia titisan dari Nyai Gusti Ajeng Bu Midasari. Mirip banget soalnya," lanjut Bisma dengan nada prihatin yang dibuat-buat.

"Heh, Biskuit! Pantesan aja tupperware gue sering ilang! Lu colongin ternyata, ya?" Siska yang tiba-tiba nongol sambil teriak membuat Bisma mengelus kupingnya kepanasan.

"Aduh, Sayang! Volume suaranya dikecilin, dong. Kaget, nih!"

Siska bergidik geli, "Sayang-sayang gigi lu goyang? Sini balikin tupperware gue!"

Bisma menyodorkan botolnya, "Iya-iya! Apa sih yang enggak buat kamu? Mau software, tupperware, bahkan sekalian sama underware juga bakal aku balikin, kok-awh!"

Bisma mendelik sambil mengelus ubun-ubunnya yang abis diketuk ama buku paket. "Ganas amat sih, Gelo!"

"Bodo."

Amy membereskan sisa-sisa buku di atas mejanya sambil melirik Adyra. "Lo yakin nggak bareng gue aja? Atau mau bareng ama Siska?"

Adyra menutup resleting tas terakhirnya. "Rumah lo nggak searah ama rumah gue. Nanti lo puter balik, dong? Lagian Siska kan boncengan ama Abangnya. Ya kali kita boncengan tiga?"

Mereka terkekeh, sebelum Siska ikut nimbrung. "Eh, balik duluan gue! Kang Gojek udah nunggu."

"Ih, si Siska. Masa Abang ganteng kek gitu dibilang Kang Gojek?" sahut Amy.

"Biarin, sih. Eh? Tadi lo bilang Abang gue ganteng? Ish! Awas aja kalo lo naksir, gue nggak mau punya ipar nenek sihir!"

Amy sudah bikin ancang-ancang buat nabok Siska pakai penggaris papan. Tapi sayang, Amy kalah cepat. Siska udah ngacir duluan sebelum Amy sempat melayangkan tonjokan.

"Gue duluan ya, Ra!"

"Oke."

Adyra memakai tas ranselnya di bahu, lalu berjalan menjauhi kelas yang sudah sepi. Gadis itu menyembulkan kepalanya di pintu. Celingak-celinguk seperti mau nyolong sesuatu. Adyra mau waspada sekarang. Dia trauma ketemu Andra.

Seharian ini, setiap Adyra ketemu Andra, pasti ada aja sesuatu yang terjadi. Dan hal itu membuat jantung Adyra deg-degan setengah mati. Gue nggak mau darah tinggi di usia dini!

Adyra berjinjit, melihat suasana kelas Andra dari ujung sini. Kelas itu sepi, tidak ada tanda-tanda kalau ada orang di sana. Fiuh, Andra udah pulang kali.

Adyra tersenyum dalam hati, sambil mengusap dadanya lega. Adyra memutar arah, mau berjalan menuju gerbang sekolah. Adyra tersenyum lebar sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Baru satu putaran Adyra berbalik badan, tubuhnya menegang.

Andra berdiri bersandar di tembok sambil melipat tangan di depan dada.

"Baru pulang? Gue udah berdiri di sini dari tadi, nungguin lo."

Adyra berusaha menetralkan eksresinya yang nggak karuan. Antara seneng, kesel, dan deg-degan. Campur aduk udah, persis gado-gado.

"Ngapain nungguin gue?" tanya Adyra.

"Mau ngajak pulang bareng."

Adyra tersenyum garing, sambil memutar otak mencari alasan untuk menolak. "Nggak usah. Gue dijemput, kok." Adyra memejamkan mata menutupi kebohongannya.

Andra mengangkat satu alisnya, "Dijemput?"

Adyra mengangguk ragu. "Iya," lirihnya. Dijemput angkot maksudnya, tambahnya dalam hati.

"Lo marah sama gue, ya?" tanya Andra tiba-tiba.

Adyra mendongak, menatap mata Andra, kemudian memalingkan muka. "Enggak."

Andra menarik sudut bibir kanannya, "Enggak?"

Adyra mengangguk lagi.

Andra tersenyum hambar melihat Adyra yang masih menunduk tanpa mau melihat matanya seperti biasa waktu mereka bicara. "Kok gue ngerasa lo marah ama gue, ya?"

Adyra hanya diam. Tak mengangguk maupun menggeleng.

"Gue telepon nggak diangkat, gue chat nggak dibales. Itu kenapa?"

Adyra masih diam.

"Gue nggak tau apa yang bikin lo marah sama gue. Kalo lo marah sama gue karena perkataan gue waktu itu, gue minta maaf. Gue cuma nggak suka lihat lo belain cowok lain di depan gue." Andra tersenyum hambar, "Gue pikir, gue cemburu."

Blush! Andra nggak lagi mendadak sinting, kan?

"Dan soal gue cium kening lo waktu itu... sorry." Andra tersenyum kikuk, "Gue juga nggak tau kenapa gue ngelakuin itu." Andra mendadak jengah sambil mengusap tengkuknya salah tingkah.

Sementara Adyra, udah jangan ditanya lagi. Kedua pipinya langsung tambah memerah.

"Sebelumnya, gue nggak pernah pedulia sama cewek yang nangis di depan gue. Nggak ada ngaruhnya sama sekali buat gue." Andra menjelaskan. "Tapi waktu lihat lo nangis, entah kenapa gue ngerasa.... takut."

Andra tersenyum hambar. "Gue juga nggak tahu apa yang bikin gue takut waktu itu. Intinya, gue cuma nggak suka lihat lo nangis."

Adyra mendongak, memberanikan diri menatap mata Andra lekat. Sejak Adyra mengenal Andra, dia nggak pernah lihat tatapan Andra semelankolis itu.

"Lo lihat apa?" tanya Andra.

"Mata lo."

Andra mengangkat satu alis. "Gue cuma mau tahu, lo tulus atau nggak," tambah Adyra lagi.

"Gue Andra, bukan tulus."

Giliran Adyra yang mengangkat satu alis. Andra langsung mengubah ekspresi, sambil merutuki dirinya sendiri dalam hati. Melihat ekspresi Adyra yang kelihatan jijik, Andra jadi senewen.

"Garing, ya?"

Adyra mengerjap, lalu menggeleng. "Harusnya gue yang minta maaf sama lo. Bukannya ngucap terima kasih, gue malah nuduh yang enggak-enggak." Adyra tersenyum, mengakhiri kalimat singkatnya. Nggak tahu kenapa, Andra juga ikut-ikutan tersenyum.

"Jadi, kita baikan?" Andra manggut-mangut.

"Gue nggak pernah nganggep kita musuhan."

Mereka berdua larut dalam keheningan dalam beberapa saat ke depan. Hingga kemudian, Andra membuka pembicaraan karena langsung teringat suatu hal.

"Besok sore ada acara?"

Adyra berpikir sejenak, setelah itu menggeleng. "Enggak, kok. Kenapa?"

Andra tersenyum, lalu menarik tangan Adyra. "Nggak papa. Yaudah, yuk!"

Kening Adyra mengerut bingung, "Ke mana?"

"Pulang, lah!"

"Tapi-"

"Lo nggak bisa nolak, karena ini amanah dari bokap lo."

Adyra semakin bingung. "Bokap gue? Maksudnya apa, sih?"

"Aduh, lo itu--" kalimat Andra terpotong saat ponsel cowok itu berdering. "Tuh, kan bokap lo telepon. Pasti dia mau nanyain, lo udah dianter ke rumah apa belum."

Andra mengarahkan layar ponselnya dekat telinga. "Halo, Om?"

Ekspresi Adyra langsung berubah setelah dia menyadari sesuatu. Adyra menipiskan bibirnya kesal. Pantesan bokap gue aneh. Gue lagi dikerjain ternyata.

"Jadi pulang nggak, nih?"

••••