webnovel

Part 26 : Maksudnya?

Amy mengembuskan napas lega, melihat Adyra yang akhirnya sudah menampakkan batang hidungnya.

Sejak beberapa menit yang lalu, dia khawatir sama Adyra yang tak kunjung sampai di kelas jua. Bukan apa-apa. Tapi masalahnya, ini Bu Mida. Guru Biologi yang sangat disiplin dan pelit toleransi. Kalau sampai Adyra kena semprot dia, tamat sudah riwayatnya.

"Lo dari mana aja sih, Ra? Dari tadi gue tungguin juga! Hampir aja gue samperin ke toilet! Kali aja tuh cewek balik lagi ngerjain lo!" Amy menatap Adyra khawatir, sementara Adyra hanya melirik seadanya tanpa balas menjawab apa-apa.

"Lo nggak papa, kan?"

Dari tempat duduknya, Adyra memiringkan kepalanya menghadap Amy, kemudian menganggukkan kepalanya. "Hm."

Amy mengernyit bingung dengan sikap Adyra yang beda dari biasanya.

"Eh, My! Tadi udah gue cari di toilet, dari ujung sampai ujung, tapi nggak nemu-nemu juga si Adyra! Gue khawatir nih, kalo dia-loh? Adyra?" Siska berhenti dari celetukan panjang lebarnya. Saat ini, Siska melihat Adyra diam saja di bangkunya, sambil membaca buku, tanpa menoleh ke arahnya.

Siska baru saja mau membrondong Adyra dengan protesnya. Tapi, niat itu hanya sampai di tenggorokan saja saat Amy menyenggol lengannya.

Bersamaan juga, dengan celetuk salah seorang teman sekelasnya.

"Buruan masuk, Woy! Bu Mida udah jalan!"

•••••

Andra mendecak pelan sambil memasang tampang kesal dengan seseorang yang dia kira tidak berperikemanusiaan. "Ibu apa-apaan, sih? Dikira kucing apa, main tarik-tarik ujung baju saya?" kata Andra jengkel.

Bu Hanim menggeleng tak percaya, lalu melepas kasar jeweran di ujung kerah baju Andra. "Siapa suruh kamu masuk ke kelas saya pakai kaos oblong? Kamu mau belajar apa mau mulung?"

Setelah Bu Hanim menarik Andra hingga berada di hadapan semua teman-teman sekelasnya. Andra menampilkan senyum tipisnya. "Maaf, Bu."

Bu Hanim mulai memasang tampang garang nan menyeramkan, berusaha untuk menciutkan nyali Andra. Tapi sayangnya nggak mempan. Andra bisa saja menunjukkan tampang lebih garang. Tapi, dia mengurungkan niat itu dalam-dalam.

"Mana seragam kamu?!"

Andra mendongak, lalu menggelengkan kepala. "Nggak ada," jawab Andra dengan santainya.

"Nggak ada bagaimana?! Kamu pikir bisa membohongi saya, ya? Jelas-jelas tadi saya lihat kamu jalan ke kantin pakai seragam! Dan sekarang, kamu bilang nggak ada?"

Andra mengedip lalu melirik Bu Hanim singkat. "Saya nggak bohong, Bu. Beneran nggak ada."

Bu Hanim menghela napas pasrah. Dia tidak tahu lagi harus bicara sama Andra dengan bahasa apa. "Saya udah capek ya, bicara sama kamu, Andra! Jangan karena mentang-mentang kamu anak kepala sekolah, dan salah satu siswa terpandai di sekolah ini, kamu bisa berbuat seenaknya!"

Andra diam. Tak menggeleng, mengangguk, maupun balas berbicara. Dia hanya menatap lurus ke depan tanpa mau memandang lawan bicaranya.

Bu Hanim mendengus lagi lalu melipat tangannya di depan dada. "Oke, saya kasih kamu dua pilihan. Kamu mau pakai seragam kamu lalu mengikuti pelajaran Kimia seperti biasa, atau pergi dari sini dan jangan pernah mengikuti lagi pelajaran saya."

Andra belum menjawab. Sementara Bu Hanim tersenyum miring melihat tampang Andra seperti berpikir. Beberapa saat setelahnya, Andra tersenyum lalu mengulurkan tangan kanannya. Bu Hanim mengerutkan kening melihat sikap Andra.

Melihat Bu Hanim yang tak kunjung merespon, Andra menarik tangan Bu Hanim lalu mencium punggung tangan Bu Hanim penuh hormat. "Saya pilih option kedua."

••••

Adyra berjalan menyusuri koridor sambil menyelipkan anak-anak rambutnya yang terbang ke belakang telinga. Tangan kirinya tengah sibuk memeluk setumpuk buku tugas kelasnya untuk ditaruh di meja Bu Mida. Tangan kanannya membantu merapikan buku yang hampir melorot dari pelukannya. Hingga tanpa sadar, tatapan matanya berhenti saat lengan seragam Andra melintas di bola matanya.

Hah... seragam Andra, ya?

Adyra jadi teringat sebuah kejadian bagaimana seragam itu bisa melekat di tubuhnya. Adyra bahkan bisa mencium bau parfum maskulin Andra dari tubuhnya. Adyra menelusuri seragam Andra dengan tatapannya, lalu menepuk-nepuk ringan seragam Andra, takut-takut ada debu yang menempel di bajunya.

Adyra tersenyum samar. Dia kembali melanjutkan perjalanannya ke ruang guru dan menemukan meja Bu Mida. Belum sampai di sana, langkah Adyra terhenti saat tatapan matanya melewati ruang kelas Andra.

Adyra memincingkan mata saat melihat Andra tengah berdiri sendirian di depan kelasnya dengan mata terpejam dan punggung yang bersandar. Bahu Adyra merosot. Dia jadi merasa bersalah dengan Andra. Pasti dia lagi dihukum karena seragam yang seharusnya melekat di tubuhnya, kini malah melekat di tubuh Adyra.

"Harusnya gue berterima kasih ama dia, bukan malah nuduh yang nggak-nggak gini. Kira-kira, Andra marah ama gue nggak, ya?"

Adyra menggelengkan keras kepalanya. Ah, bodo amat! Adyra harus minta maaf! Ya, harus! Adyra harus segera nyamperin Andra sekarang, sebelum dia berubah pikiran dan mengurungkan niatnya.

Adyra berjalan dengan santainya, menuju kelas Andra. Baru lima langkah kakinya berjalan, kini sudah terhenti lagi. Bukan karena Adyra mengurungkan niatnya untuk minta maaf. Tapi, nyalinya seolah menciut saat Andra membuka kedua kelopak matanya.

••••

Andra mendongak. Berdiri sambil memejamkan mata, dan melipat tangan di depan dada, menunggu waktu segera berakhir dan mengusir Bu Hanim dari kelasnya. Matanya terpejam dengan punggung yang bersandar di tembok.

Setengah jam waktu berjalan, Andra mulai bermasalah dengan tenggorokannya. Terasa sakit dan kering. Andra memejamkan mata sambil mendengus kesal. Bisa-bisanya dia kehausan di saat-saat kayak gini?

Mau ke kantin, tapi dia tidak mengantongi uang. Uangnya dia taruh di dompet, dan dompetnya ada di dalam tas. Jelas Bu Hanim tidak akan mengizinkan dia masuk barang semenit saja. Andra juga malas berurusan dengan Bu Hanim lagi. Mau ngutang Ibu Kantin? Gengsi, dong!

"Andra!"

Andra membuka mata sekilas, menatap wajah seseorang-yang berada di hadapannya sebentar, lalu memejamkan matanya lagi.

"Hm."

Cewek itu menghela napas gelisah melihat respon dingin Andra padanya. "Lo... marah sama gue?"

Ada jeda sebentar sebelum Andra memutuskan menjawab. "Nggak."

"Ngapain lo berdiri di sini?" kata cewek itu lagi. "Lo pasti dihukum, ya?"

Andra mendengus kasar lalu memutuskan untuk menatap lawan bicaranya. "Lo berisik! Ngapain sih, tanya-tanya? Mending lo pergi sekarang sebelum pacar gue datang! Lo udah tau kan, kalo gue udah jadian?"

"Tau."

"Kalo udah tau ngapain masih di sini?"

"Gue tau lo haus. Mau minum?"

Andra melihat Cinta mengangkat sebotol minuman dingin yang menyegarkan itu di udara. Mengiming-iming tenggorokan haus Andra seolah menyogok anak kecil yang sedang menangis dengan semangkuk es krim. Andra sampai menelan salivanya saat merasa minuman itu menggoda imannya. Kambing!

Andra mengalihkan pandangannya. Menatap Cinta dengan tatapan datar seperti biasanya. Oke, anggap saja ini tidak pernah terjadi dan Andra tidak tahu apa-apa.

"Mana sini minumannya!"

••••

"Lo nggak ke kelas, Ra?"

Aduh! Ada aja pengganggu! Baru saja Adyra mau memberanikan diri untuk menghampiri Andra dan meluruskan niatnya. Belum sampai tiga langkah Adyra berjalan, tubuhnya sudah terlebih dahulu dihadang oleh Bara.

"Bisa minggir sebentar? Gue ada urusan!" ketus Adyra tanpa sadar karena setengah mati menahan kesal.

Bara mengangkat alis kanannya acuh, "Mau gue bantuin bawa bukunya? Mau ditaruh mana sih, emangnya?"

Adyra memutar bola matanya malas, lalu menarik kembali buku yang tadi diambil Bara dengan seenaknya. "Gue bisa sendiri, Bar. Lagian, gue minta tolong lo buat minggir dari hadapan gue, bisa?"

Bara menatap Adyra sebelum dia menggeser tubuhnya. Sesekali, Adyra terlihat serius melihat lurus tepat di balik tubuhnya. Bara mengamati mimik wajah Adyra, hingga pada akhirnya Adyra menunjukkan ekspresi terkejut sambil mengedipkan mata.

Bara mengernyit, hingga pada akhirnya dia membalik tubuhnya. "Jadi lo nyariin Andra?" tanya Bara sambil mengulas seringai santainya.

Tidak ada perubahan dari ekspresi Adyra. Bara mengulas seringai sambil menatap ke arah Andra dan Adyra secara bergantian. Terlebih, dia melihat jika Andra tidak sendirian di sana. Melainkan bersama seseorang.

"Ra, udah berapa kali gue bilang? Andra baik cuma ada maunya doang. Lihat, tuh dia lagi ngapain sekarang? Tadi sok-sok'an belain lo di depan orang. Dan sekarang, dia lagi haha-hihi ama cewek lain. Maunya dia apa, coba?"

Adyra menatap Bara tanpa mengubah ekspresinya. "Udah ngomongnya?"

Bara membuka mulut tak percaya. Adyra nggak percaya sama omongannya?

Adyra mengangkat tangannya, mengisyaratkan pada Bara jika dia tidak ingin mendengar Bara bicara lagi. Bara hanya bisa mengedip.

"Gue ralat waktu gue bilang kalo gue lebih percaya ama apa yang gue lihat daripada apa yang gue dengar. Karena, kadang apa yang kita lihat dan kita dengar, itu nggak sesuai sama kenyataan. Terserah deh, lo mau bilang apa. Karena mulai sekarang, gue bakal percaya sama kata hati gue sendiri, bukan apa kata orang."

Adyra tersenyum ke arah Bara, menepuk bahunya sebelum pergi dari hadapannya. Nggak ada jalan lain selain lurus dan melewati kelas Andra. Adyra tahu Andra masih di sana sama Cinta. Yah, daripada Adyra putar balik dan ketemu orang senyebelin Bara, mending dia milih nahan cemburu saja.

Adyra terkekeh pelan, menertawai kebodohannya. Cemburu? Emang gue siapa?

Adyra benar-benar berjalan menghampiri Andra. Beberapa langkah sebelum Adyra tepat berada di depan Andra, Adyra melihat Andra menerima minuman dari tangan Cinta tanpa membantah apa-apa. Entah kenapa, Adyra merasakan nyeri di dadanya.

"Mana yang katanya cewek lo? Masa cowoknya dihukum aja nggak tau? Harusnya, kalo dia emang cewek lo, dia bakal tau diri buat nyamperin lo. Apalagi dia tau sendiri kan, siapa yang ngebuat lo harus dihukum kayak gini?"

Adyra menghentikan langkah kakinya. Adyra juga tidak tahu apa yang membuat dia langsung berhenti berjalan tepat di depan Andra setelah Cinta mengatakan seperti itu. Secara bersamaan juga, Andra menghentikan tegukan air di kerongkongannya.

Bola mata Andra bersitatap dengan manik mata Adyra. Mereka saling bertukar pandang untuk beberapa saat sebelum Adyra memutus tatapannya.

Adyra tak bicara apa-apa. Dia hanya mengeratkan buku di pelukannya lalu berjalan pergi meninggalkan mereka.

Cinta tersenyum sinis, sambil melihat Adyra dari sudut matanya. Sejenak, tangannya terkesiap karena harus menerima uluran botol minuman dari Andra secara tiba-tiba.

"Makasih minumannya. Lo bisa pergi sekarang." Cinta mendelik tak suka melihat Andra asal bicara.

"Lo ngomong apa, sih?"

Andra mendecak, "Bisa jalan sendiri, kan? Atau mau gue paksa?"

Cinta mendengus kesal, lalu berjalan sambil menatap Andra geram. Andra mengabaikan tatapan Cinta yang tidak suka dengan tindakannya. Saat ini, Andra hanya tertarik memandang kepergian Adyra.

••••

Adyra menatap bunga mawar di tangannya dengan ekspresi serius. Hampir tidak berkedip. Bola matanya hanya menatap satu objek, tapi pikirannya sudah melayang kemana-mana.

Adyra mendesah panjang, lalu membanting tubuhnya di atas ranjang king size yang sangat nyaman. Hari ini, rasanya tubuhnya seolah mau ambruk. Hari yang melelahkan, dan terasa sangat panjang.

"Harusnya gue minta maaf. Bukannya malah pergi gitu aja kayak tadi. Argh! Gue jadi kepikiran, kan!" Adyra menepuk-nepuk gemas bantalnya, lalu mengubah posisi berbaringnya jadi tengkurap sambil menenggelamkan wajahnya dalam-dalam di atas bantal.

"Dia pasti marah ama gue!"

Adyra memejamkan matanya berusaha mengenyahkan bayangan Andra dari pikirannya. Tapi sayangnya, nothing! Dia nggak berhasil.

Adyra mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menyibukkan diri bersama beberapa aplikasi ponselnya. Mulai dari Instagram, Path, Plants and Zombie, Hay Day, sampai channel Youtube. Sama sekali tidak bisa membuang wajah Andra jauh-jauh dari pikirannya.

Hingga akhirnya, Adyra membuka aplikasi WhatsApp. Dan hal yang pertama kali dia lihat adalah, kontak WhatsApp milik cowok itu lengkap dengan display picture yang mempesona-menurut Adyra.

Hidung Adyra kembang-kempis. Hah! Ijin nyantet, boleh?

Adyra mendesah kecewa, lalu berniat mematikan ponselnya. Tapi sialnya, ponsel kesayangannya itu merosot dari pegangan tangannya, dan jatuh tepat di wajah Adyra. Betapa kurang ajarnya, ini benda mati.

Adyra memaki ponselnya, lalu dengan cepat menarik benda pipih itu dari wajah mulusnya dan akan menonaktifkannya. Belum sempat Adyra menekan tombol power, kedua bola matanya mendelik sempurna. Oh! Bahkan amat sangat sempurna malah!

Sebab, Adyra nggak sengaja pencet tombol call!

Dan lebih parahnya lagi, panggilan langsung diangkat!

Adyra kelabakan sampai hampir kekurangan oksigen. Astaga!

Ini kutukan!

••••

Andra keluar dari kamar mandi, sambil mengacak rambutnya menggunakan handuk di tangannya. Berusaha mengeringkan tetes-tetes air yang melekat di ujung rambutnya karena selesai mandi.

"Yah, kok dimatiin?"

Andra mengernyit melihat Kanya duduk di ranjangnya sambil memegang ponsel milik Andra. "Ada apa?"

"Kak Adyra telepon via WhatsApp." Kanya melirik Andra dengan tatapan menggoda. Andra menampakkan ekspresi terkejut tipis, tapi pada akhirnya dia memilih sibuk dengan gerakan mengeringkan rambutnya dan mulai memakai kaosnya.

"Tadi aku masuk ke kamar Kakak, mau kasih tau sesuatu. Kak Andra mandi sih, jadi aku tungguin. Terus ada telepon masuk dari Kak Adyra. Pas aku angkat, langsung dimatiin."

Andra hanya diam tak merespon, seolah tidak tertarik dengan arah pembicaraan Kanya. Gadis itu langsung berdiri sambil menarik bahu Andra agar mau menatapnya.

"Kalian berantem?"

Andra menatap mata Kanya tanpa bicara apa-apa. Sebenarnya dia bingung mau bicara apa. Andra merasa nggak ada masalah apa-apa sama Adyra. Berantem juga enggak. Tapi, coba tanya Adyra. Kali aja pendapatnya beda.

Andra membuka mulut, hampir mengatakan sesuatu. Tapi urung, saat dia melihat kaki Kanya menapak sempurna di atas tanah tanpa penyangga. "Kamu... bisa jalan?"

Kanya tersenyum lalu mengangguk, "Surprise!"

Andra menatap Kanya tak percaya sambil mengurai senyumnya. Tanpa sengaja Andra langsung memeluk Kanya begitu saja.

"Aku tadi bisa naik tangga ke kamar Kak Andra sambil diawasi Bi Sum! Berhasil, kan?! Kalo aku mau rayain boleh, ya?" tutur Kanya antusias.

"Mama udah tau?" Andra melepas pelukannya tanpa melepas senyumnya.

"Mama orang pertama yang tau. Yang kedua Papa Arya, yang ketiga Bi Sum sama Pak Jono, dan yang terakhir Kak Andra."

Andra mengedipkan matanya, memastikan jika ini bukan sekedar halusinasi saja. Adiknya sudah besar, ternyata. Dia bukan anak kecil lagi yang suka Andra cubit pipinya kalau nakal, dan suka dia kelitikin perutnya kalau mulai nyebelin karena digangguin main PS.

"Kita rayain sama Kak Adyra, ya? Kita jalan-jalan bareng, atau di rumah aja nonton drama korea!"

Andra langsung diam, tak bereaksi apa-apa. Kanya yang mulai melihat perubahan ekspresi Andra langsung membuyarkan lamunannya.

"Hm... bisa, kan?"

••••

Adyra menenggelamkan wajahnya di atas bantal sambil menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Jangan tanya di mana Adyra taruh ponselnya sejak kejadian terkutuk itu.

Tempo hari salah ketik pesan, terus kepencet kirim. Nah sekarang malah kepencet call. Apa Adyra jual aja ya, ponselnya? Biar hidupnya aman, nyaman, tentram, dan bahagia?

Adyra beringsut, berusaha mencari tempat paling nyaman dengan posisi tengkurapnya itu. Adyra juga nggak tahu kenapa dia bisa segitunya. Ini reaksi ilmiah. Nggak ketemu orangnya aja malu, gimana ketemu?

Adyra menggelengkan kepalanya kuat-kuat, lalu mendelikkan matanya saat telinganya mendengar suara yang sangat tidak asing baginya.

Suara dering ponselnya.

Adyra berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang berkecamuk di pikirannya. Possitive thinking, Princess!

Adyra memberanikan dirinya untuk bangkit dari posisi tengkurapnya, lalu mencari benda mati bentuk pipih yang tadi dia tendang entah ke mana.

Matanya menyelisik di kolong-kolong meja sampai kolong tempat tidur. Adyra bergerak antusias setelah menemukan ponselnya berada di keranjang tumpukan baju-baju kotor yang berada di pojokan.

Adyra membalikkan ponselnya sambil memastikan nama siapa yang tertera di sana. Hingga akhirnya, pas seperti perkiraannya, kalau Andra benar-benar menelponnya.

"Tuh kan, tuh!" Adyra membanting ponselnya di atas ranjang berniat mengabaikan panggilan Andra.

Dering ponsel itu langsung berhenti beberapa saat setelah Adyra melemparnya. "Fiuh! Akhirnya..."

Adyra mendesah lega karena sudah tak mendengar lagi deringan mengerikan itu lagi. Sekarang, Adyra bahkan bisa asik-asikan baca Webtoon sambil selonjoran. Di pertengahan adegan, ponselnya bergetar.

1 message from Andra

Maaf.

▪▪▪▪