webnovel

Part 24 : Jadian Nggak, Nih?

Andra menatap dua orang perempuan yang tengah sibuk tertawa tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Saat ini, cowok itu tengah berdiri sambil menyimpan kedua telapak tangannya di saku celana. Matanya hampir tak berkedip dan bibirnya ikut tersenyum samar juga. Cowok itu langsung menegakkan kepalanya saat Adyra tengah berjalan ke arahnya.

"Kenapa?" Andra langsung bertanya melihat wajah masam Adyra.

"Empet gue ama tuh suster! Masak gue diusir cuma gegara dia mau kasih Kanya obat. Waktu gue mau bantuin, eh dia malah nyolot!"

Adyra menjatuhkan bokongnya di atas bangku taman rumah sakit, sambil berpangku tangan di depan dada. "Nona Kanya itu tanggung jawab saya. Jadi, daripada mbak mengganggu kenyamanan pasien, mending mbak pergi aja," kata Adyra sambil memaju-mundurkan bibirnya menirukan ucapan suster tadi.

Andra ikut menjatuhkan bokongnya, lalu mendengus geli sambil menatap Adyra. Gadis itu menyandarkan punggungnya sambil memejamkan mata. Dasar Andra nggak peka! Suster sihir nyebelinnn!

Sebenarnya Adyra empet bukan karena diusir, melainkan karena Kanya cerita kalau suster sihir itu naksir sama Andra. Jadi, karena dia nggak suka sama kehadiran Adyra yang merusak suasana, alhasil dia ngusir Adyra.

Huh! Udah galak, jelek, tua lagi! Eh, dia nggak tua, sih sebenernya. Cuma lebih tua beberapa tahun dari Adyra. Tapi tetep aja dia tua!

"Kayaknya dia suka deh, sama lo."

Adyra langsung menegakkan tubuhnya sambil membulatkan mata.

"Subhanallah wal hamdulillah walaaila haillallahu allahu akbar! Amit-amit, deh kalo tuh suster sihir naksir ama gue! Mending gue jadi sleeping beauty aja, deh, Andraa... daripada harus ngadepin tuh suster kunti!"

Andra begidik ngeri melihat respon Adyra, "Bukan susternya kali, Ra. Maksud gue-Kanya, dia keliatan seneng banget waktu ngobrol berdua ama lo."

Adyra menggaruk tengkuknya salting, sementara Andra cuek-cuek aja. "Gue belum pernah lihat dia se-exited itu waktu ngobrol sama gue. Beda banget sama lo. Emang, kalian berdua ngobrolin apaan?"

Andra mengernyit, saat Adyra tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi lebih aneh dari sebelumnya. Bibirnya menyeringai sok misterius sambil menaik-turunkan alisnya menggoda. "Lo yakin nih, mau tau?"

Andra mengangkat satu alisnya, lalu mengangguk curiga. Adyra menggerakkan jari telunjuknya mengisyaratkan agar Andra mendekatkan telingannya.

Andra menurut, lalu membiarkan telinganya dipenuhi oleh bisikan Adyra. "Gue ama Kanya abis ngobrolin oppa Min-ho."

Andra mengernyit, membuka bibir, sambil mengucapkan kata "hah?" tanpa suara. "Lo berdua ngapain nggosipin aki-aki?"

Sekarang, giliran Adyra yang bingung. "Kapan gue bilang kalo gue nggosipin aki-aki?"

"Itu barusan... lo bilang opa-opa?" Andra membela diri.

Adyra mendengus lesu, melihat ekspresi Andra yang nggak ada keren-kerennya. Cowok ganteng juga bisa kelihatan bego, ternyata. "Maksud gue, oppa, Andra! bukan opa! Ehm... kata sapaan Kakak dalam Bahasa Korea. Bukan opa aki-aki! Ngerti nggak, sih?"

Andra menipiskan bibir seolah berpikir. "Oh."

Bola mata Adyra berputar lalu beralih menyandarkan punggungnya. Andra manggut-manggut, lalu menopang kepalanya sambil menatap Adyra. "Emang apa bagusnya?"

Adyra tersenyum lalu mengikuti gerakan Andra. "Banyak! Nyaris mendekati sempurna."

"Oppa Min-ho itu salah satu cowok idaman gueee! Udah ganteng, manis, klimis, necis, aahhhh! Bisa mimpi indah gue kalo bayangin dia terus! Aahh... Gue juga mau jadi pacarnya kalo semisal dia nembak gue!"

Andra melihat Adyra menutup wajahnya malu-malu. Tidak ada ekspresi yang berarti yang ditunjukkan Andra. Hanya beberapa kali mengedip dan memasang tampang seriusnya. Sementara Adyra, dia masih betah lama-lama terlarut dalam bayangan oppa-oppanya yang katanya necis itu tanpa menghiraukan Andra.

"Kalo gue yang nembak... apa lo bakal mau jadi pacar gue?"

Adyra terbatuk-batuk, nyaris tersedak air ludahnya sendiri.

•••••

Esok paginya di sekolah.

"Eh, lo denger hot news terbaru dari anak kepsek kita nggak sih?"

"Maksud lo, si Andra?"

"Iya lah! Siapa lagi?" Adyra menghentikan langkah kakinya, seolah apa yang sedang tertangkap indera pendengarannya sangat menarik baginya.

Adyra sengaja bangun pagi-pagi, biar bisa belajar sebelum ulangan Biologi-Bu Mida dimulai di jam pertama pelajaran. Beberapa minggu yang lalu dia udah pernah dapet nilai C di ulangan Biologi. Kalau sampai kali ini dia dapat nilai C lagi, siap-siap aja dia mati berdiri karena dihukum Papa tidur sama kucing lagi.

Adyra lagi berdiri di samping mading, sambil pura-pura membaca beberapa artikel yang menurutnya tidak penting-demi kelancaran aksinya menguping. Di samping kanannya, Ada 4 cewek yang lagi ngegosip ria di pagi-pagi buta.

"Gue denger, sih, Andra lagi ngedeketin cewek!" cewek berambut pendek memulai topik.

"Demi apa, lo?" cewek berbandana merah jambu itu menghebohkan diri, sementara teman-temannya yang lain cuma sempat membulatkan mata.

"Iya... menurut gosip yang gue denger sih, gitu," tambah cewek bermata sipit. "Soalnya, beberapa anak sekolah kita sempet mergoki Andra bonceng cewek yang namanya Ra... ehm, Ra siapa ya, gue lupa?"

"Siapa sih, siapaaa? Waktu gue pedekate ama dia ditolak kecut-kecut. Lah ini... dia malah lagi deketin cewek yang nggak jelas siapa. Cantik nggak, sih anaknya? Populer nggak? Ahh! Pasti dia cupu! Jelek juga! Paling mentok juga mulus kaki doang." Cewek berkuncir kuda mengibas-ngibaskan tangannya.

"Mana tau gue mukanya kayak apa. Eh! Tapi, gue tadi lihat Andra duduk di depan kelas 11-A4. Dan kayaknya... dia lagi nungguin tuh cewek, deh." Cewek berambut pendek itu menyipitkan mata.

Keempat cewek itu langsung diam. Larut dalam imajinasi dan pikirannya masing-masing.

"Kenapa malah diem, sih! Tunggu apalagi? Samperin kelasnyaa!" Cewek berbandana memecah keheningan, lalu melengos pergi mendahului teman-temannya.

Adyra mulai mencerna.

11-A4?

Bukannya itu kelasnya, ya?

••••

"Lah, Ra! Ada angin apa nih, lo berangkat pagi-pagi gini?" Amy nyeletuk sambil menyenggol bahu Adyra menggoda.

"Abis dapet wangsit dari Sun Go Kong, Bu?" Siska ikut nimbrung sementara Adyra hanya melirik sekilas.

"Bak-buk-bak-buk, sejak kapan gue nikah ama Bapak lo!"

"Hahaha-eh, itu ada apa rame-rame?" Adyra mengikuti arah pandang Amy dengan kernyitan di dahi.

"Berantem lagi?" Adyra bertanya.

Siska menggeleng, "Auk! Samperin ajalah."

Satu hal yang Adyra lihat pertama kali adalah... wajah songong Andra.

Cowok itu tengah berdiri di depan kelas Adyra bersama teman-temannya-menjadi pusat perhatian. Beberapa teman Andra tebar pesona ke cewek-cewek, dan beberapa yang lainnya hanya menatap biasa. Sementara Andra, dia sama sekali tak menghiraukan beberapa anak cewek yang mengajaknya bicara.

"Nah! Ini dia nih yang ditunggu-tunggu." Aldo membuka suara dan semua tatapan mereka tertuju hanya pada satu poros saja.

Yaitu... Adyra.

"Hai."

Andra yang semula bersandar di samping pintu kelas kini sudah menegakkan tubuhnya, sambil menyimpan telapak tangan di saku celana, dan menampilkan senyum andalannya.

Adyra mengernyit bingung. Semua orang sekarang menatapnya. Dia serasa berada di sebuah ruangan di mana dia akan diputuskan untuk dieksekusi mati atau langsung dikubur dalam peti.

Adyra celingak-celinguk, memastikan kepada siapa Andra menyapa. "Lo nyari siapa?" tanya Andra bingung.

Lah?

Adyra cengo, "Lo ngomong sama gue?" kening Adyra berkerut, dan jari telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

Aldo mendengus, lalu memutar bola matanya keki. "Iyalah! Pakek nanya lagi."

Andra meliri sekilas, sementara Aldo melipat tangan di depan dada. "Sekarang jam 06.15 dan lo telat 15 menit. Andra-termasuk gue dan temen-temen gue udah nungguin lo sejak pukul 06.00 pagi yang lalu."

Bola mata Adyra membulat, terkejut dengan pernyataan gamblang Aldo. Beberapa pasang mata menatapnya tak suka, walau ada beberapa yang lainnya menatapnya takjub-tak menyangka jika Andra bisa mau-maunya ngelakuin hal kayak gitu buat cewek. Spesies langka. Kalau masuk acara on the spot jadi beken kali, ya?

Amy dan Siska menyenggol lengan Adyra, lalu menatap Adyra seolah meminta penjelasan. Adyra hanya mengendikkan bahi sambil menatap mereka ragu seolah berkata, "Mana gue tau?"

Adyra melihat Andra berjalan mendekatinya, lalu berdiri tepat di hadapannya. Kedua telapak tangan yang tadinya di saku celana kini sudah berpindah di balik saku dalam jaketnya. Semua orang menatap Adyra dengan mata membulat saat Andra mengeluarkan setangkai bunga mawar warna merah dari jaketnya.

"Buat lo."

Adyra mengedip bodoh, sulit mencerna apa yang sedang terjadi-dengan otaknya. "Buat... gue?" Adyra mengulang kalimat Andra.

Andra mengangguk, lalu menarik tangan Adyra agar segera menerima bunga mawarnya. "Udah nih, ambil. Gue cuma mau ngasih itu."

Andra melengos pergi diikuti ketiga temannya yang lain. Adyra mengeryit bingung sambil menatap setangkai bunga mawar di tangannya.

"Mereka udah... pacaran?"

****

Letak matahari kini hampir di atas kepala. Teriknya sangat terasa hingga menembus pori-pori kulitnya. Berniat menghabiskan waktu istirahatnya, Bara memantulkan bola basketnya sambil sesekali menyeka keringat yang membasahi keningnya.

"Kayaknya lo udah kalah, Bar. Gosipnya, mereka udah jadian." Levin tiba-tiba membuka suara, sambil berdiri berdekap tangan di samping tiang ring basket.

Bara tak jadi men-shoot bolanya dan membiarkan bola itu terhenti di udara. Tatapan datarnya terarah pada Levin lalu melempar kasar bola itu ke arahnya.

"Jadian?" Bara mendengus geli. "Lo percaya aja sama gosip murahan kayak gitu?"

Levin tertawa hambar, "Oke, menurut lo mungkin sekarang mereka belum jadian. Tapi besok? Atau lusa? Lo nggak akan tau apa yang bakal terjadi selanjutnya."

"Gue bakal dapetin dia sebelum mereka mutusin buat jadian."

Levin mendengus geli, "Lo yakin?"

Bara mengangkat satu alisnya, "Lo ngeremehin gue?"

"Gimana kalo gue yang akhirnya bisa jadian sama dia sebelum lo dapetin dia?"

Bara menatap sinis, saat Andra ikut campur dalam obrolannya. Mereka saling tatap tak bersahabat. Bara semakin mencengkram kuat bola basket di kedua tangannya saat melihat Andra mulai berjalan ke arahnya.

"Lo nggak pernah berubah ya, ternyata. Selalu aja ikut campur sama urusan gue, dan selalu ngerebut apa yang gue punya." Andra tertawa sinis menertawai lawan bicaranya. Bara mulai panas, sementara Levin hanya diam menyaksikan keseruan selanjutnya.

"Gue ngerebut apa yang lo punya?"

Bara menarik sedikit sudut bibirnya, "Adyra bukan pacar lo, kali. Dia bukan milik siapa-siapa. Dan apa lo berani taruhan kalo dia bakal lebih milih lo daripada gue?"

Andra mendesis geram, lalu menarik kerah kemeja Bara hingga bola basket yang dipegangnya menggelinding entah ke mana. "Dia bukan barang yang bisa lo mainin seenaknya. Dan jangan pernah samain gue sama otak picik lo itu! Kalo lo emang cowok, kita bersaing secara sehat."

Andra melepas kasar kemeja Bara lalu mendorongnya. Bara terhuyung, tapi Levin segera menangkapnya. Bara menepis kasar tangan Levin lalu membenarkan kerah kemejanya.

"Kita lihat aja nanti."

****

Adyra membuka pintu loker, untuk mengambil seragam putih abu-abunya. Kemudian menutupnya kembali setelah mendapatkan apa yang dia perlukan. Sesaat, tubuhnya terlonjak saat Amy menggebrak loker di sampingnya.

Adyra mengelus dada, "Apaan sih, ah!" Siska berdiri sambil melipat tangan di depan dada, sementara Amy sedang bertopang dengan satu tangannya di pintu loker Adyra. "Kali ini lo harus dieksekusi-eh maksudnya interogasi!"

"Gue udah gemes nahan banyak pertanyaan yang mau keluar dari mulut gue karena dari tadi di-pending ama jam pelajaran mulu. Dan kali ini lo harus jawab semua pertanyaan gue!" Amy bersungut-sungut, diikuti rombongan teman-teman cewek sekelasnya-yang juga masih mengenakan seragam olahraga-yang tengah berlarian ke arah Adyra.

"Apaan sih, lo semua, ah! Ngapain pada nge-gruduk gue? Agak sonoan, lu! Engap gue!" Adyra mendorong bahu mereka yang menghalangi jalannya mau ke toilet.

Sambil memeluk seragamnya di depan dada, Adyra memutar bola matanya saat mereka masih mengikuti langkahnya dengan melingkari tubuhnya. "Nggak bisa gitu dong! Kita-kita ini butuh kepastian dari elo, Ra!" kata Sasti-cewek berponi mangkuk di samping kanan Adyra.

Semua yang melingkari Adyra mengangguk seirama, bikin Adyra makin keki aja. "Kepastian apa, deh?"

Siska mengambil langkah di depan Adyra-menghadap wajahnya. "Lo jadian sama Andra?"

"Sejak kapan?"

"Lo beneran suka ama dia apa dipaksa nerima kayak di novel-novel gitu?"

"Lo nggak mabok kan, waktu ditembak?"

"Gimana dia bisa suka ama lo?"

"Atau jangan-jangan lo yang nembak?"

"Atau... lo melet dia?"

Sumpah demi apa, nih anak-anak gemesin banget! Kalo Adyra bisa jadi Nobita dan nyolong kantung ajaibnya Doraemon, dia bakal lempar tuh mulut atu-atu ke jaman Neolitikum pakai mesin waktu.

Adyra berhenti berjalan, lalu mengambil napas. "Nggak ada pertanyaan yang lebih ngawur lagi nggak dari itu?" Adyra mengibaskan tangannya agar mereka minggir dari hadapannya.

Amy tidak menyerah sebelum mendapatkan jawaban. Tubuhnya kembali menghadang jalan Adyra hingga gadis itu menghentikan langkahnya. "Lo belum jawab satu pertanyaanpun."

"Apalagi yang harus gue jawab?"

"Kita cuma mau tau lo jadian ama Andra atau enggak, apa salahnya, sih?"

"Nggak ada yang jadian."

Amy terenyak saat mendengar jawaban singkat, padat, dan jelas yang terlontar dari bibir seseorang di sana.

Amy melihat Adyra yang diam di depannya. Teman-teman sekelasnya sama-sama terenyak sepertinya. Amy membalikkan badan, dan menemukan seorang cowok yang tengah melipat tangan di depan dada sambil menatap ke arahnya.

"Ada yang kurang jelas? Atau mau perlu gue perjelas lagi di setiap suku katanya, biar lo semua ngerti?"

Sama sekali tidak ada yang mengangguk ataupun menggelengkan kepala. Adyra ragu antara mereka semua diam karena bingung atau lagi takut sama Bara?

"Lo ngapain sih, Bar? Dateng-dateng main nyeletuk aja." Adyra angkat bicara setelah tadi cuma diam saja.

"Gue cuma mau bantuin lo jawab pertanyaan mereka."

"Tau apa lo tentang urusan Andra sama Adyra? Gue nggak lagi tanya sama lo, dan gue juga nggak lagi ngomong sama lo," kata Amy sarkasme sambil menyipitkan mata seolah mengibarkan bendera perang ke arah Bara.

Bara tersenyum meremehkan, "Apa sih yang nggak gue tau? Lagian, semua orang juga tau kalo Andra itu nggak pernah mau deket sama cewek manapun dan siapapun. Udah berapa cewek yang dia tolak mentah-mentah selama ini? Sembilan? Sepuluh? Atau lebih?"

Adyra mengernyit-diikuti teman-temannya sekaligus Amy dan Siska.

"Apa lo semua nggak curiga sama Andra? Ah, maksud gue... apa lo nggak curiga kalo Andra cuma mau main-main, atau bahkan manfaatin Adyra buat kepentingannya?"

Mereka terenyak untuk yang kedua kalinya. Kali ini Adyra benar-benar membungkam mulutnya. Pikirannya terpecah kemana-mana. Kenapa dia tidak pernah berpikir sampai sejauh ini?

"Jangan pernah ngomong sesuatu tentang gue, seolah-olah lo adalah orang yang paling tau sama kehidupan gue." Adyra mengangkat wajahnya, membiarkan tatapannya bertemu dengan manik mata gelap Andra.

Suasana makin hening dan mendadak mencekam karena ada Bara sama Andra. Sejauh ini, kalau Bara sama Andra cuma bicara berdua saja pasti ujung-ujungnya berantem, terus dorong-dorongan, tonjok-tonjokan dan berakhir di ruang guru dengan wajah babak belur mengenaskan.

Bara menyeringai, "Kenapa? Emang bener, kan? Gue ngomong sesuai ama kenyataan. Dan... oh! Apa lo lagi buat taruhan sama geng motor lo itu? Taruhan buat jadian sama 5 cewek dalam sehari, misalnya-"

"Andra!"

Amy menelan ludahnya ngeri melihat Andra menonjok wajah Bara tepat di hadapannya. 'Tuh, kan. Apa gue bilang?' Amy menatap teman-temannya penuh arti seolah menyiratkan sebuah maksud, "Mau kabur sekarang atau nunggu gue pingsan duluan?"

Adyra mendorong tubuh Andra agar menjauhi Bara. Bara masih bisa sempat-sempatnya tersenyum sambil mengusap ujung bibirnya-yang tak berdarah. Adyra tahu kalau Bara bersalah karena sudah memancing emosi. Tapi, Andra juga sama-sama bersalah karena gampang terpancing emosi. Adyra mendengus dalam hati, 'Dasar cowok emosian!'

"Bisa nggak sih, nggak usah bikin ribut? Liat tuh, temen-temen gue pada ketakutan gara-gara kalian!" Adyra menatap mereka secara bergantian.

Harusnya Adyra senang karena dia bisa bebas dari teman-temannya yang ngawur dan bikin kesel itu. Tapi ya nggak gini juga dong, caranya.

"Gue nggak akan kayak gini kalo dia nggak mulai," desis tajam Andra membela diri.

Bara mendengus lalu tersenyum. "Gue yang mulai? Lo nggak lupa kan, siapa yang nonjok duluan?"

Andra menarik kerah kemeja Bara saat Adyra lengah dengan cekalan tangannya. Adyra menggelatukkan giginya geram dengan tingkah nih dua bocah ingusan.

Adyra memungut seragamnya yang tadi sempat terlempar karena mendorong tubuh Andra, lalu menggebrak pintu loker di sampingnya dengan sepatu yang dia bawa.

Bara dan Andra menoleh secara bersamaan setelah mendengar suara gebrakan keras dari sampingnya. "Terserah, deh! Gue capek! Mau lo berdua berantem sampek ayam jantan berkokok lagi juga terserah!"

"Gu-e nggak pe-du-li."

Posisi Bara dan Andra yang tadinya lengket banget karena saling tarik kerah kemeja masing-masing jadi terlepas dengan mudahnya. Adyra mendorong mereka berdua sambil berjalan di tengahnya-sampai hampir terjengkang kalau mereka tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Bara dan Andra menatap punggung Adyra takjub hampir tak berkedip. Satu hal yang baru Andra ketahui tentang wanita. Kalau lagi marah, ternyata dia bisa lebih kuat dan nyeremin dari kelihatannya.

Sasti menggaruk kening bingung sambil membenarkan letak kacamatanya. "Jadi.... gimana? Mereka udah jadian belom, sih?"

***