webnovel

Part 23 : Cemburu!

“Mau es krim?”

Adyra mengalihkan pandangannya—yang semula menikmati suasana taman kota di pagi hari ke arah Andra sambil mengangguk, lalu menyambut uluran es krim dari tangannya. “Thanks.”

Andra mengambil tempat duduk di sebelah Adyra sambil mengamati gadis itu menggigit pinggiran cone dan melumat es krim miliknya dengan rakus. Adyra menghentikan kegiatan makan es krimnya, setelah sadar jika ada yang tengah mengamatinya secara terang-terangan.

“Gue nggak suka diliatin kalo lagi makan!” katanya sambil sedikit menggeser tubuhnya ke sisi yang lain lalu memalingkan wajahnya memunggungi Andra.

Andra sedikit menarik sudut bibirnya, lalu dengan cepat tubuhnya berdiri dan mengambil tempat duduk tepat dihadapan Adyra. “Jadi kalo nggak lagi makan, boleh dong diliatin?”

Adyra membelalak, telapak tangannya terkepal untuk meninju lengan Andra spontan hingga tubuh cowok itu sedikit terjungkal. Bukan apa-apa, sih. Cuma ya... Adyra nggak kuat melihat wajah Andra yang sangat dekat dengan wajahnya. Takut spot jantung lagi. Jadi, daripada kambuh mending antisipasi.

“Kok dipukul, sih?”

Adyra mencebikkan bibir, “Gue kesel sama lo!"

*translate: “Gue malu sama lo!”

Andra tertawa melihat ekspresi Adyra. Perpaduan antara pipi Boboho sama pipi Raisa. Gemes-gemes manis pengin nyubit.

“Ada yang lucu?”

“Enggak.”

“Terus ngapain ketawa?”

“Biar lo nanya.”

Adyra mendelik ke arah Andra—berusaha memasang tampang segarang Kak Ros di wajahnya. Bukannya takut, Andra malah semakin mengeraskan tawanya tanpa dosa.

Sejenak, Adyra mengamati wajah Andra lekat-lekat mencari sesuatu yang aneh di sana. Tapi Adyra tak menemukan apa-apa. Apa yang saat ini tengah dia lihat di wajah Andra memang seperti itu adanya. Tak ada kesan dibuat-buat sama sekali. Adyra tersenyum singkat, lalu kembali memakan es krimnya.

“Lo berubah, Ndra,” katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari yang semula memandang Andra sambil masih menggigit es krimnya.

Andra menghentikan tawanya sambil menatap serius Adyra. Andra tahu jelas apa maksud ucapan Adyra. Andra hanya menarik sudut bibir menanggapinya.

“Gue udah hampir nggak pernah ngeliat Andra yang ketus dan ngomong seperlunya. Andra yang nggak pernah senyum udah hilang entah ke mana...” Adyra tersenyum sambil memungut lelehan es krim yang mencair dari cone—dengan bibirnya, menelannya, lalu memandang Andra lagi.

Ada yang aneh saat Adyra menatap Andra. Cowok itu balik menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan Adyra. Adyra melihat tatapan Andra tidak jatuh tepat di bola mata Adyra, melainkan... pada sudut bibirnya.

Andra mengulurkan tangannya mengarah ke wajah Adyra. Tubuh Adyra menegang seolah terkesiap hingga tak sengaja menutup kelopak matanya saat Andra mengusap sudut bibir Adyra perlahan dengan ibu jarinya.

Jantung Adyra berdetak lagi tak seirama. Ibu jari Andra masih terasa di wajahnya. Hingga lama-kelamaan, Adyra tak merasakan apa-apa lagi. Adyra membuka mata, dan melihat Andra menarik kedua sudut bibirnya di sana.

“Makan es krim aja belepotan. Norak.”

Adyra mengerutkan keningnya, lalu mengerjap-ngerjapkan mata. Adyra langsung menyentuh sudut bibirnya hingga membuat Andra tertawa geli melihat tingkahnya.

Senyuman Adyra tertarik sempuna. Tidak bisa dipungkiri jika dia merasa sama bahagianya. Sejenak, senyuman di bibirnya sedikit meluruh saat dia kembali mengingat perkataan Amy beberapa saat yang lalu.

“Udah berapa cewek yang lo perlakuin kayak gitu juga?” tanya Adyra, hingga membuat tawa Andra langsung mereda.

Tidak ada sorot canda atau main-main dari mata Adyra—Andra melihatnya. “Kenapa lo nanya gitu?” Andra balik bertanya.

Adyra terenyak sebentar lalu kembali setelah sadar dari lamunan. Dia menggeleng sambil tersenyum tipis, “Cuma nanya.”

Andra menatap Adyra yang saat ini tengah asik menggigiti cone es krimnya. “Kalo gue jawab, lo adalah cewek pertama yang gue perlakuin kayak gitu... lo percaya?”

Adyra menghentikan aktifitasnya, lalu memandang Andra. Adyra tak lagi melempar balik pertanyaan maupun berniat menjawabnya. Dia hanya mengendikkan bahu menanggapi. “Tergantung.”

Andra mengernyit. “Tergantung seberapa sanggup lo bikin gue yakin.”

Andra diam begitupun Adyra. Tak ada lagi yang ingin memulai pembicaraan lagi maupun melanjutkannya.

Keduanya masih bergumul dengan pikirannya sendiri sambil memakan es krim masing-masing.

“Abisin es krimnya. Setelah ini gue mau ngajak lo ke suatu tempat.”

“Suatu tempat?” Adyra mengernyit.

“Lebih tepatnya gue mau bawa lo buat nemuin seseorang.”

Adyra mengembuskan napas panjang sambil sesekali menggigit bibir bawahnya. “Lo... nggak berniat bawa gue ke tempat yang aneh-aneh, kan?”

“Hng?”

“Maksudnya—lo nggak berniat bawa gue ke tempat penculikan, terus lo mau ketemuan sama orang-orang yang suka jual cewek-cewek ke luar negeri buat jadi TKI, kan?”

Andra menahan napas. Rasanya pengin ngunyah aspal. Andra nggak habis pikir material yang tersusun dalam otak Adyra itu apa? Sejenis umbi-umbian atau kacang-kacangan?

Andra mendesah, “Daripada gue ngejual lo, mending gue pacarin, lebih berfaedah.”

Adyra melongo melihat Andra mengedipkan sebelah mata menggoda lalu tertawa. Sejenak dia berpikir, Nggak salah? Andra nggak lagi sakit mata, kan?

•••••

Adyra melepaskan cengkraman kedua telapak tangannya di ujung jaket milik Andra. Alisnya berkerut di balik kaca helm, lalu membiarkan Andra mematikan mesin motornya tepat di area parkir.

“Lo nggak salah?”

“Nggak.”

“Lo—“

“Jangan mikir yang aneh-aneh, Adyra. Gue nggak berniat buat mutilasi lo hidup-hidup terus jual organ tubuh lo buat para pasien yang banyak duitnya.”

Harusnya Adyra tertawa dengan alibi Andra yang tak rasional. Tapi untuk saat ini, rasa penasarannya sedikit lebih besar daripada mood bercandanya. “Nggak, maksud gue... siapa yang sakit? Lo sakit?”

Andra turun dari motornya setelah Adyra, lalu melepas helm di kepalanya. “Lo lihat, gue baik-baik aja, kan?”

Adyra menurut, saat Andra membantunya melepas helm yang melekat di kepalanya.

“Yuk!”

Saat ini Adyra tengah berjalan di belakang Andra—mengikuti setiap langkahnya. Tapi Andra masih memegang tangan Adyra, membuat gadis itu jadi digiring kayak kambing—kesannya. Adyra masih berpikir tentang apa yang sedang direncakanan Andra hingga dia membawa Adyra ke rumah sakit.

Semoga saja, dia nggak berhenti di ruang otopsi mayat buat nuker otak Adyra yang setengah mateng ini sama otak yang lebih nyeremin lagi. Adyra menggeleng. Aduh! Mulai kumat! Gue ngomong apa, sih?

Andra melepas pergelangan tangan Adyra dari genggamannya. Langkah kakinya berhenti saat mereka memasuki area taman rumah sakit.

Tatapan Adyra menyebar memandang banyak pasien yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Adyra kembali menatap Andra, tapi tak menemukan apa-apa. What the hell? Jadi Adyra ditinggal?

“Andra! Akhirnya kamu datang.”

Adyra langsung menoleh mendengar nama cowok itu disebut. Seorang wanita berpakaian serba putih—khas perawat menatap Andra dengan hangat.

Tubuhnya langsung membeku. Seluruh saraf ototnya menegang seketika. Rongga dadanya mendadak terasa sempit hingga Adyra sulit bernapas. Bukan masalah Andra melepas pegangan tangannya dan meninggalkannya begitu saja. Maupun tatapan hangat seorang suster yang tadi menyapanya. Ini berbeda. Yang entah kenapa membawa pengaruh yang cukup besar untuk reaksi tubuhnya.

Adyra melihat dengan mata kepalanya, saat Andra tengah memeluk seorang gadis dengan raut bahagia di ujung sana.

•••••

“Sshh—lepasin! Sesak!”

Andra tersenyum tanpa dosa, setelah melepas rengkuhan tubuhnya. Gadis itu memanyunkan bibirnya melihat tingkah Andra. “Norak, ih! Pakek peluk-peluk segala.”

“Namanya juga sayang.”

Gadis itu tertawa renyah, “Masak?”

Mereka saling melempar tawa satu sama lain, seolah dunia hanya terisi oleh mereka saja, tak menghiraukan siapapun di sekitarnya—termasuk Adyra, misal.

“Itu siapa?”

Adyra sudah berbalik, tapi menghentikan niat kakinya untuk berjalan. Adyra tahu, kalau gadis itu tengah berbicara padanya. Adyra menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. Dia hanya perlu tersenyum, dan memasang tampang ‘biasa saja’ seolah tidak terjadi apa-apa dan dia tidak tahu apa-apa.

“Kayaknya kita pernah ketemu.”

Adyra mengangkat pandangannya setelah lama menunduk. Andra hanya diam menatapnya tanpa bicara apa-apa. memperkenalkan tentang dirinya saja tidak. Hah, lelucon macam apa ini?

“Toko buku?”

Adyra mengingatnya. Pantas saja wajahnya sangat familiar. Adyra tersenyum tipis, lalu mengangguk. Gadis itu ingin berjalan mendekati Adyra tanpa melepaskan pegangannya di lengan Andra. Dia meringis dan hampir terhuyung kalau saja Andra tak sigap menangkap tubuhnya. Efek global warming, Adyra mendadak gerah!

“Kenapa? Ada yang sakit?” Andra sok pahlawan, tuding Adyra skeptis.

Adyra semakin memanas karena merasa tak diabaikan. Jadi maksud Andra ngajak Adyra ke sini, cuma buat ngelihat dia peluk-pelukan? Norak! Dia menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. “Gue harus pulang.”

Andra langsung mengangkat wajahnya menatap Adyra. Gadis itu balik menatapnya tanpa ekspresi, lalu memutar tubuh dan berlalu pergi dari hadapannya. Andra tak bergerak, hanya memandang punggung Adyra yang semakin lama semakin menjauh.

“Loh, Kak!” Kanya berteriak—gadis yang masih dalam pelukan Andra itu memandang Adyra yang berjalan menjauh dari hadapannya sambil mengernyitkan keningnya.

Kanya mulai ganti menatap Andra, melihat cowok itu masih diam saja.

Matanya memincing curiga, “Jangan bilang... kakak yang tadi nggak tau kalo kita saudara?”

Kanya menyikut keras perut Andra saat cowok itu memasang senyum tanpa dosa.

••••

“Dasar Lintaaahhh!”

Adyra mendesis tajam dengan menggertakkan giginya menahan luapan teriakan nyaring dari bibirnya. Tahan, Ra. Tahan. Lo masih di rumah sakit. Diem atau mereka bakal nganggep lo gila.

Adyra tengah berada di sebuah kursi taman rumah sakit. Di dekat sebuah pohon sambil melihat beberapa pasien yang tengah menikmati suasana taman yang meneduhkan.

Adyra belum pulang. Karena nggak ada ongkos. Dia juga nggak tahu harus pulang lewat mana. Sudah setahun lebih Adyra tinggal di Bandung, rumah sakit ini pertama kali dia datangi. Kalau dia nekat pulang, nanti nyasar gimana urusannya?

“Katanya mau pulang. Kok masih di sini?” Adyra memutar bola mata malas. Dia mendengus, lalu langsung berdiri dari posisi duduknya. “Ini juga mau pulang!”

Adyra membalik tubuhnya menghadap Andra, “Nggak usah nahan gue pergi!”

Adyra berjalan melewati Andra. masih beberapa langkah, dan Adyra tak merasa apa-apa. Andra tidak menahannya.

Adyra mulai memelankan langkahnya. Dan Andra masih tak menahannya. Adyra mendengus, lalu menghentikan total langkahnya. Tubuhnya berbalik, menatap Andra yang masih diam dari tempatnya berdiri tadi. Andra bergeming menatap Adyra tanpa ekspresi. Kekesalan Adyra langsung memuncak ke ubun-ubun.

What the fu—

Adyra menghentikan langkahnya, saat ujung sweaternya ditarik seseorang dari belakang. Senyum Adyra mengembang. Dia tahu Andra masih peduli padanya. Tapi, sejurus kemudian kejadian beberapa menit yang lalu memenuhi slide otaknya.

Gadis itu mengerutkan kening, menggigit bibirnya meredam rasa kesal. “UDAH GUE BILANG GAUSAH NAHAN-NAHAN GUE!”

Adyra membalik tubuhnya setelah menepis tarikan di ujung sweater miliknya. Adyra menahan napas, lalu membulatkan matanya. Seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan baju pasien tangah memasang tampang mewek sambil melengkungkan bibir bawahnya.

Perfect shit!

Adyra mengumpat dalam hati. Dia melihat Andra yang masih bergeming di ujung sana sementara sekarang—di hadapannya ada seorang bocah yang lagi nangis kenceng banget sampai-sampai pusat perhatian warga rumah sakit kini tertuju padanya?! Boleh bunuh diri, nggak?

Adyra berlutut di depan bocah itu, lalu mengusap-usap bahunya—berusaha menenangkan. “Aduh, adik ganteng! Jangan nangis, ya? Kakak nggak sengaja bentak kamu tadi...” Adyra makin keki. Bocah itu nggak mau berhenti nangis. Malah dikencengin suaranya.

Adyra menatap tajam Andra yang menertawai kesialannya di ujung sana. “Adek! Jangan nangis, dong—“

“Ada apa?” Adyra menoleh, melihat Andra sudah berada di hadapannya. Dasar sok manis! Umpat Adyra melihat sikap Andra yang kini berubah drastis.

“Pesawat kertas Denis diinjek kakak ini—hiks! Denis mau ijin ngambil, t—tapi malah dimarahin..”

“Kakak tadi kan udah bilang nggak sengaja..” Adyra meringis, lalu mengubah tampang menjadi sinis saat Andra mulai menatapnya.

Andra mengambil pesawat kertas yang sudah berubah absurd bentuknya. Bocah berusia sekitar 7 tahun itu semakin menangis melihat mainannya rusak. Adyra mendesah, dia jadi merasa bersalah.

“Udah, Denis nggak usah sedih. Kakak punya mainan!” Andra mengeluarkan sebuah mobil-mobilan mini berwarna hitam legam dari telapak tangannya.

Bola mata hitam yang tadinya suram kini langsung menjadi berbinar. Bocah itu tersenyum lalu mengambil mainan itu dari tangan Andra. “Ini buat Denis?” Andra mengangguk.

Bocah yang mengaku namanya Denis itu melompat-lompat kegirangan sambil mengangkat mobil-mobilannya ke udara. Tanpa sadar, Adyra menarik sudut bibirnya. Andra memang pandai mengambil hati seseorang.

“Makasih ya, Kak!” Denis mencium pipi kanan Andra, lalu menjulurkan lidah meledek ke arah Adyra. “Dadaa, Kakak lampir jelek!”

Adyra mendelik. Kalau hati nurani Adyra tidak bekerja dengan baik, mungkin sekarang udah dia unyet-unyet lubang hidung tuh bocah!

“Gausah ketawa!” Adyra membentak hingga membuat Andra langsung berhenti.

Adyra berlalu dari hadapan Andra, tapi sejurus kemudian dia berhenti saat Andra memotong jalannya. “Lo belum kenalan. Jadi lo belum boleh pulang,” katanya sambil mengangkat satu alisnya.

Adyra balik mengangkat alisnya sambil emmasangg tampang paling sengak yang dia punya. “Gue nggak minat buat kenalan. Gue mau pulang!” Adyra mendengar kekehan Andra, lalu menghentikan langkah kakinya.

“Gue seneng lo cemburu.”

Adyra mendelik, “Gu-e nggak cem-bu-ru!”

Andra terkekeh pelan, “Iya, lo cemburu.”

“Gue nggak cemburu!”

“Iya.”

“Enggak!”

“Iya.”

“ENGGAK!”

“Kalo enggak, kenapa nyolot?”

“Gue—“ Adyra menahan napas, lalu mengembuskannya dengan kasar. Dia memandang Andra, dengan perasaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Adyra ingin pergi dari sana sekarang juga! Tapi masih ada saja sesuatu yang menghalanginya. Seperti Andra mencekal pergelangan tangannya, misal. “Dia adik perempuan gue, Ra.”

Dia adik perempuan gue, Ra.

Dia adik perempuan gue.

Dia adik perempuan gue.

Adik perempuan gue.

A-dik-pe-rem-pu-an-gu-e!

“Bohong!”

Andra memutar tubuh Adyra agar menatapnya. “Gue nggak bohong.”

“Lo—lo nggak pernah cerita sama gue!”

“Karena lo nggak nanya.”

“Gue serius!”

Sejenak, dia membiarkan Adyra melanjutkan kalimatnya. “Nggak ada yang pernah bilang sama gue kalo lo punya saudara! Temen-temen sekolah juga taunya lo anak tunggal, dan lo nggak punya adik!”

“Karena cuma lo yang tau.”

Andra tak bersuara. Sejenak, dia membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Hanya sejenak. beberapa detik. Hingga akhirnya embusan napas Andra mulai memecah sedikit keheningan di sana.

“Gue tipikal orang yang nggak suka berbagi cerita sama orang-orang yang nggak gue kenal. Gue nggak suka ada orang yang ikut campur dalam kehidupan gue. Siapapun itu. Tapi sejak gue kenal sama lo... keadaannya jadi beda. Gue mau lo tau semua hal tentang gue, tentang apa yang mau gue ceritain dan yang harus lo tau.”

Andra tersenyum, saat melihat Adyra mengernyitkan kening mencerna kalimatnya. Andra mengulurkan tangan kanannya, lalu mengusap puncak kepala Adyra perlahan sambil menatapnya.

“Entah sejak kapan, lo udah jadi salah satu orang yang berharga buat gue, dan satu-satunya cewek yang paling special buat gue.”

Andra tersenyum hangat lalu menggamit lengan Adyra. "Jadi gimana? Mau kenalan sama calon adik ipar?"

Adyra berasa lagi terbang. Otot-ototnya melemas, saraf-saraf tubuhnya mendadak lumpuh total, dan tulang-tulangnya mulai men-jelly.

••••