webnovel

Part 22 : Awas Anjing Galak!

Di setiap rasa lelah yang mendera, selalu ada seseorang yang bersedia menjadi penyangga. Seseorang yang selalu ada. Saat hati membutuhkan teman bicara.

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Rasanya, baru kemarin kita masih saling menyebutkan nama. Tapi sekarang, keadaannya sudah berbeda. Semoga ini bukan sekedar alibiku saja...

****

"Selamat pagi..."

Saat ini, Adyra tengah duduk di pinggir ranjang kamar tidurnya. Dengan rambut acak-acakan khas orang baru bangun tidur. Adyra memanadang layar ponselnya lalu tersenyum.

Entah kenapa, tiba-tiba ada sesuatu di perutnya yang seolah mau keluar saja. Minggu pagi terasa lebih cerah dari biasanya. Walau sebenarnya saat ini langit sedang mendung-mendungnya. Ada yang bergolak dalam dadanya hingga membuat detak jantung Adyra tak lagi seirama.

"Ra? Lo masih di sana, kan?"

Adyra terenyak, lalu mendekatkan ponsel ke telinga. "I-iya... gue... masih di sini, kok," kelunya.

Ruang kamar Adyra berubah hening seketika. Tidak ada suara yang terdengar dari gendang telinganya. Adyra mengernyit, lalu mengecek layar ponselnya.

Telponnya masih nyambung. Tapi kok nggak ada suaranya?

"Andra... lo masih di sana, kan?"

Andra langsung menyahut, "Iya, masih."

"Kalo masih di sana kenapa diem aja?"

"Gue lagi nunggu."

Kening Adyra semakin berkerut, "Nungguin apa?"

Ada jeda sepersekian detik di sana. Masih hening. Tanpa suara. Kemudian, Adyra mendengar suara dengusan halus.

Sebelum Adyra mendengar Andra berkata, "Nungguin lo bales ngucapin selamat pagi juga."

Adyra langsung menahan napas. Rasanya... jantung Adyra sudah melorot dari tempatnya.

••••••••

Andra tersenyum, sambil menatap langit-langit kamarnya. Tubuhnya berbaring di atas ranjang dengan selimut yang sudah tak karuan bentuknya. Kakinya berselonjor sambil menyila, dengan ponsel yang masih menempel di telinganya.

"Ra? Lo nggak tidur lagi, kan?" katanya pada Adyra lewat telepon.

Andra terkekeh tanpa suara, sengaja menggoda Adyra yang pasti sudah memerah mukanya. Entah kenapa, Andra sangat yakin jika Adyra tengah merona sekarang.

"Enggak, lah."

"Berarti lo denger dong, barusan gue bilang apa?"

Andra menyerah. Dia memegangi perutnya sendiri karena mulai terasa sedikit sakit karena menahan tawa. Akhir-akhir ini, Andra jadi sering menggoda Adyra. Melihat pipinya memerah, mata membulat terkejut, bahkan dengan wajah melongo sambil mangap menjadi objek yang sangat menyenangkan untuk dilihat bagi Andra. Membuat mood Andra yang semula turun, menjadi naik sangat drastis seolah terkena letusan bom atom yang bisa meningkatkan tenaga dalam tubuhnya.

"Aduuuhhh! Andra... perut gue mules! Gue harus setor dulu deh kayaknya. Udah dulu ya, bye!"

"Loh, heh-"

Andra menipiskan bibirnya setelah mendengar nada panggilan terputus dari ponselnya. Andra tidak bisa menahan senyum yang lagi-lagi tanpa sengaja terlukis indah di kedua sudut bibirnya.

Cewek itu emang aneh! Gue cuek, dia kayak cacing kepanasan. Gue romantis, dia malah malu-malu kucing kayak anak gadis lagi dilamar. Apa semua cewek emang gitu, ya?

Andra tersentak dalam lamunan, saat pintu kamarnya terketuk dari arah luar. Pandangannya langsung mengarah ke arah pintu yang sedikit terbuka karena seseorang.

"Boleh Mama masuk?" Andra terdiam sebentar, lalu mendudukkan tubuhnya sambil mengangguk mengisyaratkan jika dia mengizinkan. Reya mengeluarkan tubuhnya dari ambang pintu, lalu menutupnya dengan perlahan.

"Ini, susu buat kamu." Andra mengernyit, saat Reya menyodorkan segelas susu hangat di atas nampan.

"Bukannya Mama tahu, saya nggak suka susu."

Reya mengembuskan napas, menarik uluran nampannya, lalu menaruhnya di atas nakas. Andra menormalkan raut wajahnya, lalu menaruh bantal di punggungnya agar bisa bersandar di kepala ranjang.

"Ini susu cokelat," katanya sambil duduk di pinggir ranjang Andra. "Mama taunya kamu nggak suka susu putih bukan susu cokelat."

"Tapi kan sama-sama susu." Andra mendengus, melihat gelas susu itu lagi-lagi terulur ke arahnya.

Sejak kecil, Andra sangat tidak menyukai minuman manis berwarna putih itu. Dia selalu mual saat membayangkan rasanya yang begitu memuakkan. "Saya udah gede. Bukan anak kecil lagi yang harus dicekokin susu biar pinter. Lagian, aneh-aneh aja."

Reya tersenyum melihat wajah cemberut Andra yang sangat kentara. Ternyata, Andra masih sama dengan Andra kecilnya. Yang selalu menggembungkan pipi sambil cemberut karena dipaksa minum susu.

"Andra harus rajin minum susu biar cepet gede kayak Papa." Andra menutup mulut dengan telapak tangannya lalu berlari menyembunyikan tubuh mungilnya di balik punggung besar Papanya.

"Mama nakal, Pa! Andra nggak mau minum susu! Rasanya nggak enak!"

Reya menahan keseimbangan tangannya saat Andra menjauhkan gelas susu itu dari hadapannya. Saat ini anak itu sedang sibuk bermain ponsel seolah tak menghiraukan keberadaannya.

"Yaudah kalo nggak mau." Reya menyerah dengan penolakan Andra. Tangannya terulur ke arah nakas lalu memindahkan nampan ke pangkuannya.

Dia melirik Andra sebentar, tapi Andra tak balik menatapnya. Saat dia hampir bangkit dari posisi duduknya, gerakannya terhenti saat sesuatu menahan tangannya.

"Ini kenapa?"

Andra menyentuh pergelangan tangan Reya yang tersembunyi di balik nampannya. Telapak tangan itu sedikit terbalut dengan perban. Dan saat Andra tak sengaja menyentuhnya, Reya mengernyit kesakitan.

"Bukan apa-apa, itu cuma-"

"Melepuh?"

Andra menatap Reya bingung setelah membuka sedikit perban di tangan wanita itu. Reya hanya terdiam, menarik tangannya lalu merapikan perbannya lagi seperti semula.

"Sini gelasnya," kata Andra sambil mencoba meneguk gelas susu yang telah direbutnya. Reya menatap Andra tak percaya.

Andra mengernyit, saat satu tegukan berhasil lolos dari kerongkongannya.

Tidak ada yang aneh. Rasanya juga nggak aneh. Manis.

"Enak?" tanya Reya penuh harap.

Andra menjauhkan bibirnya dari mulut gelas, menoleh ke arah Reya sebentar, lalu meminumnya kembali.

"Biasa aja."

Reya tersenyum melihat Andra meneguk susu cokelatnya hampir setengah gelas. Andra ya Andra. Keras kepala dan punya gengsi tingkat dewa.

"Akhir-akhir ini, Mama sering lihat kamu senyum." Andra berhenti, lalu menatap Reya sejenak. "Apalagi waktu denger kamu barusan teleponan sama-"

"Mama denger?" potong Andra.

Reya mengangguk, "Nggak sengaja denger. Kenapa?"

"Nggak papa."

Reya tersenyum geli melihat tingkah Andra. tangannya terulur ke arah puncak kepala Andra, lalu mengusapnya gemas. Andra langsung menoleh menatap Reya, sedikit agak lama. Pandangan mereka bertabrakan, sampai akhirnya Reya menurunkan tangannya perlahan.

Lumayan cukup lama keheningan menyelimuti mereka. Andra menikmati susu cokelatnya sedikit demi sedikit tanpa bersuara.

"Maaf, karena Mama nggak pernah selalu ada buat kamu. Maaf atas semua yang terjadi. Nggak seharusnya kamu terlibat dalam keadaan yang nggak seharusnya melibatkan kamu. Ini semua salah Mama. Kamu bener. Kepergian Papa kamu... itu juga salah Mama-"

"Susunya udah abis. Saya mau mandi."

Andra mengulurkan gelas kosongnya ke arah Reya, lalu membangkitkan tubuhnya dari ranjang. Dia berjalan menuju pintu dengan langkah perlahan. Setelah pintu kamarnya sudah tepat di hadapannya, Andra berhenti sejenak lalu menoleh menatap Reya.

"Lain kali, hati-hati waktu nuangin air panasnya." Reya yang semula menunduk kini mendongakkan kepalanya. Matanya menatap Andra yang tengah berdiri di sana.

"Saya suka susu cokelat buatan Mama."

Andra menyentuh ganggang pintu lalu membukanya. Kini, Andra sudah benar-benar menghilang dari hadapan Reya. Reya menatap gelas kosongnya, lalu beralih menatap telapak tangan melepuhnya sambil tersenyum.

•••••••

"Terus? Lo percaya aja gitu sama cowok kayak Andra? Siapa tau dia cuma mau ngerjain lo! Gue yakin kalo dia bersikap manis nggak cuma sama satu cewek, tapi ribuan cewek! Come on, Ra... semua cowok itu sama aja!"

Amy membuang napas kasar mengakhiri ceramah panjangnya. Bibirnya terulur ke arah segelas orange juice lalu menghisapnya rakus mengggunakan sedotan.

Adyra sama sekali tak bergerak dari posisi berbaringnya. Amy mendengus kesal, merasa diabaikan. Dia menarik earphone yang menyumpal lubang telinga Adyra dengan kasar hingga membuat gadis itu meringis kaget.

"Duh! Apa sih?"

"Kalo orang ngomong itu didengerin, bukan dikacangin!"

Adyra melirik Amy sebentar lalu memejamkam kedua matanya sambil menaruh potongan timun di atasnya. "Kalo lo cuma mau ngomongin hal yang nggak penting, buat apa gue dengerin?"

"Nggak penting kata lo? Please deh, Ra! Ini malah berkali-kali lipat lebih penting buat kelangsungan hidup lo!"

"Nggak usah lebay bisa nggak sih, My?"

Siska ikut-ikutan nimbrung dengan membawa banyak makanan ringan yang memenuhi pelukannya. Saat ini, mulutnya hampir penuh dengan keripik kentang lalu mengambil tempat duduk tepat di sebelah Amy.

"Berisik lo!"

Siska tertawa tanpa menghiraukan wajah kecut Amy yang semakin menggelikan. "Tapi menurut gue, lo ada benernya juga sih. Bisa aja Andra cuma ngerjain lo, Ra. Selama ini, Andra selalu cuek kan sama lo. Bentak-bentak lo aja sering."

"Tuh, kan tuh!" Amy ngompor-ngompori.

"Tapi buat kalimat lo yang kalo Andra bersikap manis nggak cuma sama satu cewek, tapi ribuan cewek, kayaknya itu mustahil, deh."

Amy langsung menoleh, "Mustahil apanya?"

"Semua orang juga tau siapa Andra dari dulu, termasuk lo sama gue. Dan lo tau sendiri kan, dia nggak pernah sudi sedikitpun dideketin sama cewek. Apalagi dipegang, walaupun itu cuma nyenggol dan nggak sengaja."

"Di dunia ini tuh nggak ada yang namanya MUSTAHIL. Apalagi buat makhluk yang namanya COWOK. Cowok itu nggak bisa ditebak, Siska sayang.... Dia bisa kelihatan pendiam banget waktu di depan kita. Tapi di belakang kita? Nggak ada yang bisa jamin gimana kelakuan dia sebenarnya..."

Siska dan Adyra terperangah melihat raut wajah Amy yang berubah serius. Tidak bisa dipungkiri walau Amy kelihatan paling bego dan lemot, tapi sebenarnya di sisi lain dia memiliki perasaan yang sangat sensitif dan punya pemikiran yang dewasa.

Mereka saling bersitatap penuh arti membuat Amy menatap ngeri. "Nggak usah gitu juga kali liatinnya. Serem lo!"

Adyra mengembuskan napas, lalu sedikit menarik sudut bibir kanannya. "Lo bener. Apa yang lo omongin barusan itu semua bener. Kita cuma bisa nilai orang sebatas apa yang kita lihat, bukan sebatas apa yang ada di pikiran mereka."

Amy menarik kedua sudut bibirnya, lalu memeluk tubuh Adyra. "Sorry kalo gue kesannya ngatur lo banget. Seolah-olah gue ngomong kayak orang yang paling bener sedunia. Tapi, gue cuma nggak mau lihat lo kecewa."

Siska menaruh snack di tangannya, lalu ikut bergabung memeluk satu sama lain dengan semakin menekan erat. "Kalo dia bener-bener suka sama lo, dia nggak mungkin nggak tau tentang hari ulang tahun lo!"

Amy mengangguk semangat dengan tatapan berbinar, "Ide bagus!"

Adyra tersenyum singkat lalu menenggelamkan kepalanya di tengah-tengah pelukan mereka. Sejenak, deringan ponsel Adyra menginterupsinya. Adyra menyambar kasar ponselnya, lalu mengangkatnya.

"Halo?"

Ada jeda sebentar, sebelum Amy dan Siska mengernyit bersamaan. Melihat tubuh Adyra mendadak tegang dengan kedua bola mata yang membola, mereka jadi menaruh curiga. "Siapa yang telepon?"

Adyra mendengus lalu meringis ngeri, "Andra.... dia.... udah ada di depan pintu."

••••••

Andra menyenderkan punggungnya di samping pintu sambil melipat tangannya di depan dada setelah menelepon Adyra, mengabarkan jika Andra sudah sampai di depan pintu rumahnya. Sengaja memang Andra merahasiakan kedatangannya. Dia ingin lihat, bagaimana reaksi Adyra saat dia datang ke rumahnya secara tiba-tiba.

Andra langsung menegakkan tubuhnya mendengar decitan pintu yang terbuka. Andra memasang tampang manisnya sambil tersenyum, sengaja biar tak merusak suasana pagi yang lagi cerah-cerahnya.

Pintu itu terbuka, bersamaan dengan senyum yang tertarik di sudut bibir Andra. Tapi sejurus kemudian, senyumnya meluruh digantikan dengan ekspresi tercengangnya.

Andra menelan ludahnya susah payah, sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. "Lo... setan?"

Andra berani bersumpah kalau ini masih pagi dan seumur hidupnya dia tidak pernah divonis sama Ki Joko Bodo karena punya indera keenam. Dia juga tidak melewati kuburan waktu perjalanan ke rumah Adyra.

Tapi ini? Sesosok makhluk berwajah putih pucat tengah berdiri di hadapannya dengan mengenakan baby doll hello kitty lengkap dengan roll rambut di seluruh bagian kepalanya.

Fantasi liar Andra yang suka lihat film horor pun ikut-ikutan bicara, Sejak kapan ada Kuntilanak suka nyalon?

Amy menyikut lengan Siska yang berada di sampingnya agar dia berhenti menertawainya. "Setan gigi lo?! Gue Amy, bego! Cewek cantik gini dibilang setan."

Andra mengangkat alis sebelah kanannya, "Lo ngatain gue bego?"

Tidak ada sedikitpun nada menyentak dari kalimat Andra. Tapi, dia berhasil membuat bulu kuduk Amy meremang seketika.

Amy menggaruk tengkuknya tidak gatal, lalu berdehem pelan mencairkan. "Ngapain lo di sini?" katanya mengalihkan pembicaraan.

"Adyra mana?"

Andra tipe orang yang tidak suka membuang-buang waktunya dengan basa-basi murahan jika tengah berbicara dengan orang yang tak begitu ia kenal.

"Adyra nggak ada di rumah. Lagian lo ngapain si-"

"Siapa yang nggak ada di rumah?"

Adyra muncul di tengah-tengah Siska dan Amy yang sedang menghadang pintu. Pagi ini, Adyra terlihat begitu manis dengan balutan kaos lengan panjang longgar dan celana jeans pendeknya.

"Janjiannya tadi kan nggak kayak gitu!" desis Amy di dekat telinga Adyra. Siska juga ikut-ikutan menatapnya kesal hingga Adyra memasang senyum dan tampang tak berdosanya. "Ya udah, sih."

"Lo sibuk?" Andra bersuara.

Adyra membalasnya dengan senyuman lalu berkata, "Enggak, kok. Kenapa?"

"Gue mau ngajak lo jalan, bisa?"

Adyra tersenyum sumringah, "Enggak!"

Sumpah, itu bukan Adyra yang ngomong. Adyra mendelik ke arah Amy dan Siska yang dengan seenaknya menyerobot tawaran kencan Andra.

"Lo berdua kenapa sih?"

"Elo yang kenapa?" Bola mata Amy berputar, "Perasaan kemarin sabtu lo cerita kalo abis jalan sama Andra. Sekarang, Minggu-Minggu juga mau jalan juga? Jalan kok keseringan. Sabtu-Minggu lagi kayak jadwal liburan anak korban Fullday School!"

Siska menahan tawanya mendengar cerocos maut Amy. Ketahuan banget sih kalo jones!

Adyra menginjak telapak kaki Amy hingga dia meringis sakit. Sementara Andra, dia hanya memasang tampang datar tak menghiraukan.

"Gue pakai baju gini aja nggak papa kan?" Adyra bertanya, ingin tahu pendapat Andra mengenai pakaiannya.

"Lo pakai apa aja udah cantik, kok."

Adyra tersenyum sipu memerah malu mendengar ucapan frontal Andra. Siska memasang tampang jijik di sampingnya. Sementara Amy sudah membrondong berbagai sumpah serapah plus sampah-sampahnya dengan bibirnya tanpa suara.

"Oke, gue ambil tas dulu."

Adyra masuk ke dalam rumah meninggalkan Andra hanya dengan Amy dan Siska saja. Mereka berdua saling melemparkan tatapan mengintimidasi ke arah Andra seolah-olah ingin mencabik-cabik tubuhnya.

"Ngapain lo berdua ngeliatin gue kayak gitu? Kenapa? Nggak suka?"

Mereka tak mengindahkan sindiran Andra. Memilih acuh tanpa mengalihkan tatapan tajamnya.

"Awas aja kalo lo bawa Adyra ke tempat aneh-aneh," gertak Siska.

"Awas aja kalo lo bawa Adyra ke tempat sepi," Amy ikut ngompor-ngompori.

"Awas aja kalo lo bawa Adyra ke tempat berbahaya." Amy manggut-manggut.

"Awas aja kalo lo bawa Adyra ke tempat gelap."

Siska manggut-mangut, tapi kemudian keningnya langsung mengernyit. "Ini kan masih pagi, My. Mana ada gelap?"

"Ya... siapa tau aja dia bawa Adyra ke ruang bawah tanah atau sejenisnya. Oh, atau gini! yang lebih parahnya lagi, bisa aja dia masukin Adyra ke karung beras terus diiket. Kan gelap!"

Andra tidak habis pikir. Pantas saja Adyra punya sifat aneh. Lihat, tuh! Orang bergaulnya aja sama alien.

"Oke, gue udah siap!" Adyra keluar dari pintu, lalu tersenyum pada Andra.

Dia melambaikan tangannya ke arah Amy dan Siska yang tengah menatapnya kecut sebelum menaiki motor besar Andra.

Amy berteriak, sebelum Andra dan Adyra benar-benar hilang dari hadapannya, "Hati-hati, Ra! Awas anjing galak!"

Amy langsung membungkam mulutnya saat melihat Andra meliriknya dengan tatapan mematikan bak listrik bertegangan tinggi.

••••••