webnovel

Part 20 : Damn Short Message!

Kata Dilan, “Cinta itu indah. Kalau bagimu tidak, mungkin kamu salah pilih pasangan.” Tapi kalau kata Adyra, “Cinta itu indah, bahkan sebelum kamu punya pasangan.”

Adyra mesem-mesem sendiri sambil menyembunyikan wajah malunya di tengah buku yang tadi dia baca. Kebetulan, sore ini Adyra punya jadwal ke toko buku langganannya untuk menambah koleksi buku-buku miliknya. Dari pada mati bosan di rumah, mending ke sini.

Lumayan, bisa sambil nyapa si mas-mas kasir yang mukanya mirip Lee Min-ho. Xixi.

Padahal sih, awalnya Adyra cuma ingin me-refresh otak ngawurnya yang sedari tadi tidak ada berhenti nya mikirin muka Andra yang bikin tersenyum bahagia. Tapi kalau keseringan senyum, nanti disangka orang gila! Tapi percuma, nggak ada ngaruhnya. Sampai di toko buku pun, wajah Andra masih setia membayang.

Kadang Adyra berpikir, apa dia lagi kena santet?

Adyra meletakkan kembali novel karangan Pidi Baiq; Dilan yang pernah viral di kehidupan remaja dalam tempatnya, lalu mengambil novel terbitan terbaru di sampingnya. Dirasa sudah cukup hunting-nya dari satu rak ke rak lainnya, Adyra memutar tubuh menuju kasir. Tapi, sejurus kemudian keningnya berkerut karena kedua bola matanya menangkap wajah seseorang.

“Ya?”

Adyra menarik tangan dari bahu sosok di depannya, lalu membulatkan matanya sedikit terkejut. “Bara?”

Bara terkesiap, bergeming sejenak, lalu tersenyum tipis setelahnya. “Hai,” sapa Bara kikuk sambil mengangkat sedikit telapak tangannya.

“Gue salah lihat nggak, sih?” Kening Adyra berkerut, “Ini beneran elo?”

Bara mendengus lalu memutar bola matanya. “Lo ngelihat gue kayak lagi ngelihat setan aja.”

Adyra nyengir, “Ya, kaget aja gue. Ada orang kayak lo ada di toko buku, bukan toko samsak.” Adyra melirik rak buku yang ada di hadapan Bara, lalu mengetuk dagunya seolah berpikir. “Lo... baru dapet wangsit dari gunung mana?”

Bara meringis, “Lo kebanyakan nonton drama kolosal Mak Lampir, ya?”

Adyra mendelik, “Enak aja! Gue lebih doyan lemper dari pada Mak Lampir, tau!”

Keduanya mendengus geli secara bersamaan setelah sadar tentang arah pembicaraan mereka yang sudah mulai ngawur ngalor-ngidul.

“Andra mana?” Adyra berhenti tertawa setelah mendengar nama Andra dari mulut Bara. “Maksudnya?”

“Cuma nanya aja. Kalian kan sering bareng. Kalo ada lo, pasti ada dia juga di sini.”

Adyra menarik sudut bibir, “Kita bukan kembar dempet kali, yang kemana-mana harus barengan.”

Bara mengalihkan pandangannya ke arah jejeran buku lalu menelusurinya. “Faktanya emang gitu, kan? Semua anak sekolah kita juga tau kali kalo lo berdua emang deket dan yang kemana-mana selalu barengan.”

“Hng?” Alis sebelah kanan Adyra terangkat, “Gue deket sama semua orang, kok. Bukan cuma Andra doang. Gue juga deket sama lo, sama temen-temen cewek gue, temen sekelas, Pak Tono tukang kebun, Pak Tarjo satpam sekolah, Bi Inem kantin, sama Kang Tatang somay juga—“

“Ya beda lah, Ra.”

“Nggak ada yang beda lah, Bar.”

“Itu kan menurut lo. Setiap orang yang ngelihat lo berdua juga pasti mikir sama seperti yang gue pikirin sekarang.” Bara menarik sebuah buku dari rak lalu menatap Adyra, “Lo suka sama Andra?”

Adyra mengernyit, “Gue nggak tau apa yang lo maksud.“

“Gue tau pasti lo ngerti sama apa maksud dari pertanyaan gue.”

Adyra bergeming menatap Bara yang menunjukkan ekspresi seolah menunggu kalimat apa yang akan Adyra katakan selanjutnya.

Adyra mengembuskan napas ringan, “Jawabannya enggak. Kalo itu yang lo maksud.”

Bara menarik sudut bibirnya seolah ada perasaan lega yang menyelimutinya. Bara segera mengurungkan niatnya untuk bicara saat Adyra sudah terlebih dulu menyelanya. “Gue nyaman deket sama dia kayak gue nyaman kalo lagi deket sama temen-temen lainnya. Gue suka sama dia kayak semua orang suka sama dia. Tapi kalo soal gue ada perasaan sama dia.... gue rasa enggak. Maksudnya—gue rasa lo nggak perlu tau perasaan apa yang nggak seharusnya lo tau.”

Adyra tersenyum mengakhiri kalimat panjangnya. Jujur, Adyra tidak tahu apa yang telah dia katakan barusan. Semua kalimatnya seolah mengalir dengan sendirinya. Adyra mengeryit, saat Bara masih diam sejak Adyra menutup suara. “Lo kenapa, kok diem?”

Bara menatap Adyra, lalu menarik sebuah buku tebal dan pergi berjalan melewati Adyra. Adyra mengernyit bingung, “Loh, mau ke mana?”

“Gue ada urusan,” sahutnya dingin tanpa menatap balik Adyra.

Adyra menatap punggung Bara yang berjalan lurus menuju kasir. “Gue salah ngomong?”

.

.

.

“Lo suka sama Andra?”

Di sisi rak yang berbeda, secara diam-diam seorang cowok tengah menajamkan pendengarannya dengan kening berkerut.

“Gue nggak tau apa yang lo maksud.“

“Gue tau pasti lo ngerti sama apa maksud dari pertanyaan gue.”

Kening cowok itu semakin berkerut saat terjadi keheningan di sana. Sampai dia mendengar suara gadis yang berbicara. “Jawabannya enggak. Kalo itu yang lo maksud.”

Jawabannya enggak.

Enggak.

Enggak.

Enggak.

Enggak.

“Kak Andra kenapa, sih? Diajakin ngomong malah bengong!” Kanya mengerucutkan bibirnya dongkol karena merasa diabaikan dari tadi.

Andra melirik Kanya dengan buku-buku di tangannya, “Pilih terserah kamu aja! Kakak tungguin di mobil, lagi nggak enak badan.”

“Loh kok—Kak Andra!” Kanya mendengus, lalu melirik malas jejeran buku di depannya. “Kenapa, sih? Aneh banget.”

••••

Adyra maju satu langkah mendekati kasir lalu tersenyum, “Selamat sore mendekati maghrib, Mas Min-ho!”

Lawan bicaranya tersenyum geli, lalu mengambil alih beberapa buku di tangan Adyra. “Sendirian lagi, nih?”

Adyra mencebikkan bibir, “Mas Min-ho jangan ngeledek, deh! Mentang-mentang aku jomblo.”

Mas Min-ho—petugas kasir itu menarik sudut bibirnya menanggapi Adyra. Sebenarnya namanya Rafi, seorang mahasiswa kece yang bekerja part time di toko ini untuk menutupi kebutuhan hidupnya selama di Jakarta. Yang Adyra tahu, Rafi itu cowok asli Jogja. Menurut Adyra, Rafi memiliki wajah yang mirip dengan salah satu artis korea idolanya; Lee Min-ho. Wajah putih bersih, hidung mancung, plus bibir tipis yang dimilinya membuat cowok itu selalu terlihat menarik di depan gadis manapun. Pantes aja hampir semua pelanggan tetap toko buku ini cewek semua. Termasuk Adyra, sih.

“Total semuanya, tiga ratus lima belas ribu rupiah.”

“Nggak ada gif nih, Mas?”

Mas Min-ho mengangkat alis, “Kalo mau gif, minta ke owner dong, Dek,” sahutnya sambil senyum sopan.

“Nggak mau, ah! Owner-nya udah nikah.” Adyra tersenyum jahil, “Gimana kalo gif-nya pakek nomor telepon Mas Min-ho aja?”

Danger mode-on! Adyra lagi kumat gilanya.

Mas Min-ho kelihatan kaget mendengar kalimat Adyra. Adyra tertawa dalam hati, kapan lagi bisa ngerjain orang ganteng?

“Boleh, sih.” Adyra mengernyit melihat jawaban Mas Min-ho yang di luar dugaan. “Asal rajin ngirim pulsa minim 50 ribu setiap hari aja.”

Yah, kayaknya ngadalin buaya adalah salah satu kesalahan terbesar.

Adyra menipiskan bibir, “Bangkrut dong, saya!”

Keduanya tertawa geli menanggapi obrolan singkat mereka. Adyra sih cuek aja, walau ada beberapa orang antrian di belakang Adyra yang sudah ngamuk-ngamuk karena kelamaan ngobrol. Sirik aja lihat gue mesra sama cowok ganteng!

“Terima kasih, selamat sore!” Adyra langsung mengambil uang kembaliannya, lalu berbegas meninggalkan antrian kasir.

Tiba-tiba, tubuhnya terhenti di antrian paling belakang saat tangannya tak sengaja menyenggol lengan seseorang. “Ah! Maaf, Mbak.”

“Iya, nggak papa.”

Adyra melihat gadis rambut panjang itu tersenyum sopan sambil melirik ke arahnya. Adyra mengernyit melihat gadis itu terlihat kesusahan memegang beberapa buku di tangannya. “Mau saya bantuin dorong kursi rodanya ke kasir?”

Kali ini gadis itu menatap mata Adyra. Beberapa detik lalu tersenyum lagi. Adyra sempat termangu saat melihatnya tersenyum. Tapi sejurus kemudian, tepukan di punggung tangan Adyra menyadarkan lamunannya.

“Terima kasih... saya bisa sendiri, kok,” katanya sambil tersenyum.

Adyra balik tersenyum menanggapi, “Oke. Hati-hati, ya!” lalu pergi meninggalkan gadis itu.

Wajah gadis itu seolah familiar. Adyra seakan pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya. Tapi di mana?

“Taksi!” Adyra menurunkan tangannya saat mobil itu telah berhenti tepat di hadapannya. Adyra merebahkan punggungnya di kursi mobil yang nyaman, lalu menoleh ke luar kaca mobil. Mobil itu sudah berjalan, tapi sejurus kemudian keningnya mengernyit menangkap sesuatu yang tak asing lewat matanya.

Dari samping, Adyra melihat seseorang itu tengah berbincang sambil tersenyum dengan seorang gadis. Adyra melihatnya lagi. Gadis kursi roda itu! Dan sebelahnya....

“Cowok itu—Andra?”

••••

“Sial!” Bara memaki, lalu menjatuhkan kasar tubuhnya di atas sofa. “Awalnya, gue cuma deketin dia buat manfaatin dia! Tapi sekarang apa? Dia bikin semuanya jadi berantakan!”

Reuben tersenyum miring di sela-sela kegiatannya bermain PS, “Jadi... dia udah berhasil bikin lo jatuh cinta?”

Bara mendengus pendek, sementara Levin yang tengah sibuk memutar otaknya untuk melawan perlawanan Reuben dengan stick PS nya ikut-ikutan melempar kekehan geli. “Kayaknya lo kena karma, deh.”

Bara menoleh, “Karma?” lalu tersenyum sinis.

“Lo sama Andra itu sama aja! Sama-sama kena karma.” Alis kanan Bara terangkat, “Awalnya Andra juga nolak itu cewek mentah-mentah, kan? Tapi sekarang... jadi deket banget. Dunia itu adil banget, Man!” Levin mendengus geli di sela-sela kalimatnya.

Bara mengangkat kepalanya ke atas, menatap langit-langit kamarnya sambil menggunakan lengan sebagai bantalan. “Terus menurut lo, gue harus apa?”

“Apa lagi?” Reuben menyeringai, “Rebut apa yang seharusnya jadi milik lo, lah!”

••••

Andra menghela napas panjang seolah mencoba melepaskan diri dari perasaan sesak. Jantung Andra dalam keadaan normal. Dan ventilasi yang ada di ruangan tersebut juga cukup untuk menampung oksigen dari udara luar. Bukan pertama kali memang Andra merasakan perasaan seperti ini. Tapi kali ini, sangat berbeda dari sebelumnya. Seolah ada sesuatu yang menancap dalam dan susah untuk dikeluarkan.

Andra menatap kosong komik di tangannya. Tidak ada yang menarik sama sekali. Konsentrasinya buyar kemana-mana. Tangannya terangkat untuk membuka laci meja belajar dan mengembalikan buku itu di sana. Tapi, ada sesuatu yang membuat gerakannya tertahan. Sebuah kotak makan berbentuk hati—PUNYA ADYRA.

Apa ya namanya? Saat Andra selalu berusaha untuk menghindar, semesta seolah-olah sengaja membuatnya semakin dekat dan lebih dalam lagi. Tapi saat Andra mulai mendekat, semesta seakan berusaha menjauhkannya. Semacam... kutub positif dan negatif yang akan tarik-menarik, dan akan tolak-menolak saat kutub satu dan yang lainnya sama.

Lelucon macam apa ini?

‘Kalo dia emang nggak suka sama lo ya kenapa? Emang dia siapa? Kenapa lo harus mikir sepusing ini?’ Awalnya, Andra menyetujui. Tapi sejurus kemudian, kepalanya menggeleng spontan. ‘Lo udah jatuh cinta sama dia! Sadar, dong! Kalo enggak, buat apa lo susah-susah mikirin ini semua? Lo bukan tipe orang yang suka ngurusin urusan orang, kan?’

Andra mengacak-acak rambutnya dongkol. Dia jadi senewen sendiri mendengar batinnya berbicara seolah ada setan di kuping kiri dan malaikat di kuping kanan.

Sebenarnya Andra lagi kena karma, cobaan, atau kutukan, sih?

••••

Jarum jam berdetik, menunjuk tepat pukul 7 malam. Dan Adyra sudah mengakhiri kegiatan belajarnya yang cuma berlangsung sejam.

"Apa gue salah lihat? Tapi mukanya mirip banget sama Andra!" Adyra mendesah lalu mengendikkan bahu. "Ah! Cuma mirip, kali."

Kepalanya bergerak, menelisik ranjang berantakannya untuk mencari sesuatu. Saat Adyra tengah mengecek ponsel, tidak ada sesuatu apapun yang menarik perhatiannya. Aplikasi chatting-nya hanya dipenuhi dengan pesan-pesan yang membosankan dari teman-temannya. Mulai dari; Besok jadwalnya apa? Pelajaran Mat ada tugas nggak, sih? Selain PR Bahasa Inggris ada yang lain, nggak? Jangan lupa besok ada ulangan Fisika! Dan jangan lupa juga buat bikinin gue contekan yang tokcer—hah? Apa? Sumpah demi apa yang paling terakhir ngirim pesan itu biadab banget!

Adyra mengambil earphone di atas nakas, lalu memasangnya di telinga. Selesai menyetel musik, secara tak sengaja ibu jarinya menekan sesuatu hingga menampilkan kontak WhatsApp Andra di layar ponsel Adyra. Adyra membuka kotak obrolan yang masih kosong lalu tersenyum saat melihat display picture yang terpasang.

Sebuah potret dirinya di sebuah kafe yang tengah bermain ponsel tanpa melirik kamera. Dan itu pose terganteng versi Adyra selama melihat foto Andra di sosial media yang lebih sering menampakkan kaki dan badan tanpa kepala.

Berbekal iseng, Adyra mengetik sesuatu di kolom pesan. Enaknya apa, ya? Selamat malam? Lagi apa? atau Udah makan apa aja malam ini? Oke stop! Nggak ada yang lebih mainstream banget dari itu, apa?

Adyra membaringkan tubuh, lalu menatap langit-langit kamar sambil berpikir. Tak lama kemudian, kedua ibu jarinya bergerak nakal di atas screen ponsel.

To: Andra

Ke Pasar Malam di ujung jalan deket sekolah, yuk!

Haha! Adyra senyum-senyum sendiri sambil menenggelamkan wajah di atas bantal. Kebodohan macam apa ini? Dimana-mana, cowok selalu ngajak cewek jalan duluan. Bukan sebaliknya. Oh, ayolah, Ra! Jual mahal sekali aja, bisa?

Adyra membuka ponselnya lagi, lalu berniat menekan delete. Tapi sejurus kemudian, kedua bola matanya membulat kaget. Jantung Adyra berdetak cepat saat melihat simbol kurang ajar itu nangkring di layar ponselnya.

Centang dua! Dan itu artinya....

“Mampus gue! Mampus!”

Adyra memukul-mukul bantal, menendang-nendang seprai, lalu membuangnya di lantai. Ini salah keypad-nya, bukan jempolnya! Coba tombol delete sama enter agak jauhan, pasti ujungnya nggak akan gini.

Adyra terkesiap, saat ponselnya berdering. Suasana menjadi horor seketika. Adyra menarik ponselnya, lalu membuka pesan yang tertera di sana.

Andra.

Oke, gue jemput sekarang.

Rasanya.... pengin hibernasi ke Antartika bareng Princess Elsa!

••••