webnovel

Part 18 : Malam dan Bintang

Andra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Membelah jalanan dengan luapan kekesalan. Jantungnya berdegup kencang bersama hembusan angin malam. Jaketnya bertebrangan dengan tangan yang mengepal. Andra semakin menambah kecepatan motornya tanpa peduli ramainya jalan raya.

Kalau bagi semua orang, rumah adalah tempat kita pulang. Tempat yang paling dirindukan setiap orang, tempat kita mendapatkan kebahagiaan, dan tempat di mana kita bisa merasa nyaman. Tapi, tidak untuk Andra. Baginya, rumah adalah satu-satunya tempat yang paling menyeramkan. Tempat di mana dia selalu merasa kehilangan dan kehampaan.

Masalah demi masalah datang bertubi-tubi menghampirinya. Cinta seolah menjauinya. Dunia seolah memusuhinya. Di saat ada banyak orang yang mengelilinginya, entah kenapa dia masih selalu merasa sendirian.

Orang-orang yang berlalu lalang, tak memerdulikannya. Ada juga yang mengumpat padanya karena laju motor yang di atas rata-rata. Hingga saat motornya melewati jalanan yang remang dan sangat sepi orang, tiba-tiba sebuah sosok melintas di hadapannya hingga membuat ban motor Andra berdecit karena menginjak rem mendadak.

Napas Andra memburu bersamaan dengan tampang pucat pasi karena terkejut. Seorang gadis duduk bersimpuh sambil menunduk, dengan beberapa jeruk yang berceceran dari kantong plastiknya.

Andra langsung melepas helm dari kepalanya, lalu turun dari motornya dan menghampiri gadis itu. “Mbak? Mbak, nggak papa?”

Andra semakin khawatir saat gadis itu tak merespon. Sejurus kemudian, cowok itu terkesiap saat gadis itu mengangkat wajahnya.

“Adyra...”

••••

Semilir angin bergerak ringan menyapu dinginnya malam. Langit tak sepenuhnya gelap karena ditemani ribuan bintang dan bulan. Tapi, keheningan seolah menyelimuti tanpa henti. Sejak tadi, gadis itu masih diam tak bersuara. Tatapannya lurus seolah nampak kosong. Bahkan, saat sebuah kursi panjang di sebuah warung pinggir jalan yang dia duduki sedikit bergerak, dia hampir tak menyadarinya sama sekali.

Andra mengambil tempat duduk di samping gadis itu, lalu menyodorkan sebotol air mineral di hadapannya. “Minum dulu, nih!”

Gadis itu merebut air mineral tersebut dengan kasar, lalu meneguknya dengan lahap seolah kerongkongannya sudah tandus karena kekeringan. Andra menatap ngeri melihat gadis itu minum dengan cara yang tak wajar.

“Pelan-pelan,” kata Andra. Gadis itu menoleh tanpa merespon. Hingga sejurus kemudian, air yang tengah dia minum seolah tercekat di tenggorokan dan membuatnya sampai terbatuk.

“Uhuk! Uhuk—huk!”

“Tuh, kan! Apa gue bilang?” Andra memijit tengkuk gadis itu tanpa permisi.

“Heh! Lo pikir gue mau muntah, apa?” bentak gadis itu sambil memukul tangan Andra. Cowok itu hanya diam, tanpa memandang gadis itu.

“Sorry.”

Adyra mengernyit, lalu menghela napas panjang. “Sorry?” katanya mengulang ucapan Andra. “Setelah lo hampir nabrak gue dan bikin gue shock kayak orang gila, lo cuma bilang... sorry?”

“Lagian siapa suruh malem-malem jalan sendirian,” sindir Andra.

Adyra mendelik tak suka. “Harusnya gue yang ngomong gitu! Siapa suruh malem-malem kebut-kebutan di jalan?” Adyra mendengus kesal. “Lo mau kecelakaan tempo hari kejadian lagi?”

Andra tak membuka suara. Dia menatap lurus ke depan seolah tak memerdulikan Adyra yang sudah ngoceh ini itu sampai berbusa. Fokusnya seolah terpecah menjadi beberapa bagian. Sementara Adyra, dia menghentikan ocehannya saat melihat Andra yang hanya diam saja.

“Lo kenapa, sih?”

Andra menoleh jengah, “Nggak papa.”

Adyra memutar bola matanya kesal karena merasa diabaikan. Tapi, sejurus kemudian dia mengingat suatu hal. Yang sangat penting, tentang Andra.

“Lo... ada masalah?” Adyra berusaha mengatakannya dengan hati-hati. Seakan tak mau Andra tersinggung dengan ucapannya.

Andra hanya menoleh sebentar, lalu menggeleng. “Sekalipun gue ada masalah juga bukan urusan lo, kan?”

Adyra memincingkan matanya, lalu menghela napas panjang. Gadis itu menyelonjorkan kakinya sambil mengusapnya perlahan karena kedinginan. “Seingat gue, beberapa hari yang lalu, lo pernah bilang kalau kita udah temenan.”

“Emang gue pernah bilang gitu?”

Adyra mengangguk antusias. “Dan gue udah nganggep lo temen sejak pertama kali kita ketemu waktu lo nolongin gue itu.”

Andra tak sengaja terkekeh saat mengingat pertemuan pertamanya dengan Adyra waktu itu. Mengingat ekspresi pucat pasi Adyra waktu berhadapan sama kakak kelas di lorong sekolah, sampai dia memasang kuda-kuda karena memamerkan gaya karatenya waktu SD.

Adyra menarik sudut bibirnya, saat melihat Andra tersenyum. “Lo bisa cerita apapun sama gue. Gue akan selalu berusaha jadi pendengar yang baik buat lo.”

Andra berhenti sejenak, saat Adyra menepuk bahunya dua kali. “Karena gue temen lo,” bisiknya.

Andra menarik sudut bibirnya sempurna. Tersenyum manis membalas senyuman Adyra. Andra seolah merasakan sesuatu yang berbeda. Setidaknya, dia tidak sendirian di dunia ini. Dia masih dikelilingi banyak orang yang menyayanginya. Dan saat ini, dia juga memiliki Adyra dalam hidupnya.

Adyra terkesiap, saat sebuah jaket jatuh di kedua bahunya dengan sempurna. “Makasih, karena udah mau jadi temen gue,” bisik Andra mistis.

Adyra melongo sejenak, saat Andra mendaratkan kedua tangannya di bahu Adyra seperti sedang merangkul.

Tiba-tiba di malam yang dingin seperti ini, membuat keringat mulai menetes di dahinya. Dia mulai gerah, seakan pasokan oksigen telah menipis habis.

••••

“Loh? Ini kan bukan jalan ke arah rumah gue?” Adyra mengernyit sambil menepuk helm Andra dari belakang karena panik.

Andra mengaduh, “Nggak usah parno, kali! Gue nggak mungkin nyulik lo juga, kan?” Andra sedikit berteriak karena mereka berdua sedang di atas motor.

Dalam hati, Adyra membenarkan ucapan Andra. Tapi, sejurus kemudian kedua bola mata Adyra membelalak tak percaya setelah Andra mematikan mesin motornya di sebuah tempat yang tak pernah Adyra duga sebelumnya.

“Turun.”

Adyra masih bungkam tak percaya, tapi dia menuruti ucapan Andra untuk turun dari motornya.

Sederhana, tapi mengagumkan.

Sebuah kalimat yang mewakili perasaan Adyra saat ini. Adyra tersenyum takjub melihat hamparan bintang yang terpampang indah di atas langit. Di sebuah lapangan yang sangat gelap, ada ribuan bintang yang membuat tempat ini terasa sangat menakjubkan. Andra tersenyum, melihat tatapan berbinar dari mata Adyra.

“Gimana? Nyesel nggak, gue ajak ke sini?”

Adyra mengalihkan pandangannya, lalu menatap Andra tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. “Ini sih, keren banget!”

Andra menjatuhkan tubuhnya di atas rumput dengan berbaring sambil menggunakan lengan sebagai bantal. Adyra mengikuti hal yang sama, tanpa mengalihkan pandangannya pada langit di atas sana.

“Lo sering ke sini?” tanya Adyra sambil menolehkan wajahnya sedikit ke arah Andra.

Andra mengangguk lalu menggeleng, “Nggak juga.”

“Lo tau, nggak? Katanya, setiap orang baik yang meninggal akan jadi bintang yang paling terang di atas sana.”

Andra menoleh lalu terkekeh pelan, “Masa?”

“Iya.” Adyra menganggukk mantap. “Dan gue percaya, kalo Mama udah jadi salah satu bintang yang paling terang... di sana.”

Andra tertegun. Senyum yang tadi sempat terukir kini telah hilang memudar berangsur-angsur.

“Mama?” Andra memastikan.

Adyra tersenyum sambil mengangguk. “Mama adalah wanita yang paling berharga dalam hidup gue. Satu-satunya tempat gue pulang, dan berbagi harapan.”

Adyra menghela napas lalu tersenyum menerawang. “Gue nggak pernah tau apa alasan Tuhan ngambil orang yang paling gue sayang dari hidup gue. Tapi gue nggak pernah nyesel. Karena seenggaknya, gue pernah ngerasa bahagia walau nggak bertahan cukup lama.”

Andra mematung, seolah semua kosakata yang ada di otaknya terkikis habis tak tersisa. Seakan ada yang mencubit hatinya di sana.

Adyra melihat perubahan ekspresi Andra yang sangat kentara. Dia tahu, jika mungkin kalimat yang dia bicarakan telah menyentuh batinnya. Dan gadis itu memang sengaja menciptakan perasaan seperti itu untuk mengganggu pikiran Andra.

“Ndra.. Gue sayang banget sama nyokap gue..” Andra memiringkan wajahnya perlahan. Melihat wajah Adyra yang terkena pantulan sinar rembulan.

“Lo... juga sayang kan, sama nyokap lo?”

Tak ada yang menarik dari mimik wajah Andra. Cowok itu mulai memasang ekspresi datar andalannya. Adyra menembuskan napas jengah karena Andra tak membalas ucapannya. Tapi sejurus kemudian, Andra tersenyum lalu mengangguk.

Adyra melihat respon yang cowok itu berikan. Hanya sebuah senyum dan anggukan, tanpa pernyataan. Adyra tersenyum getir, seolah bisa merasakan apa yang tengah Andra rasakan lewat tatapan matanya.

••••

Suara pintu yang terbuka menimbulkan deritan pelan. Lampu tengah telah dimatikan, dan pasti semua orang di rumah ini sudah terlelap sekarang. Andra mengecek jam tangannya. Dan benar saja, sekarang sudah larut malam. Dan Andra sampai tak menyadarinya karena terlalu lama membicarakan hal-hal yang menyenangkan dengan Adyra sebelum Andra mengantarnya pulang.

Cowok itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, lalu meraba-raba dinding untuk menemukan saklar. Setelah Andra menemukannya, dia langsung menyalakan lampu dan melihat seseorang yang tengah tidur atas sofa.

Andra berhenti sejenak, memandangi sosok yang terlelap itu tanpa sadar. Kakinya melangkah tanpa aba-aba, mendekati sofa. Dan itu membuat Andra lebih jelas melihat wajahnya.

“Mama..”

Andra mengerjapkan mata tak percaya. Dadanya menghangat melihat wajah damai Mamanya yang tengah terlelap. Wanita itu terlihat kedinginan karena posisi tidurnya yang memeluk tubuhnya sendiri seperti orang menggigil.

Andra masuk ke dalam kamar tamu, lalu dia keluar sambil membawa selimut hangat di tangannya. Gerakan tangannya sangat telaten untuk membentangkan selimut agar menutupi tubuh Mamanya. Berusaha selembut mungkin agar wanita itu tak terbangun.

Sesaat kemudian, Reya menggeliat hingga membuat Andra memundurkan langkah. Wanita itu hanya mencari posisi yang nyaman denagn mata terpejam.

Andra mendesah lega. Setidaknya, Mama tidak tahu kalau Andra sedang berada di dekatnya.

Kaki Andra mulai melangkah mendekati Mamanya. Dia mengulurkan tangannya, sedikit mengusap rambut Mama dengan ujung-ujung jarinya. Tangannya mengepal setelah sadar apa yang dia lakukan.

Andra menarik tangannya secara tiba-tiba. Kemudian berlalu meninggalkan Reya tanpa membangunkannya.

Reya membuka matanya perlahan, karena merasa ada seseorang yang mengusap kepalanya. Sejurus kemudian, wanita itu terkejut saat melihat selimut hangat yang menutupi tubuhnya. Dia bahkan tak ingat kalau membawa selimut sebelum tertidur tadi.

Rasanya, dia tadi sempat bermimpi kalau Andra yang menyelimutinya tadi. Dan setelah itu, Andra juga yang mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Tapi tidak mungkin rasanya jika Andra telah melakukan itu semua.

“Mungkin cuma mimpi,” desahnya kecewa.

Di lain tempat, Andra masih berdiri di balik pintu kamarnya, yang tanpa henti memandang telapak tangannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Kenyataan seolah telah menamparnya. Dan takdir, telah membolak-balikkan perasaannya.

••••