webnovel

Part 17 : Kanaya Adelia

"SUMPAH DEMI APA LO JALAN SAMA DUA COWOK POPULER YANG JAGO BERANTEM DI SEKOLAH KITA--mmmph!"

"Sssttt! Berisik banget sih, Mercon!" Adyra membungkam mulut Amy yang kurang ajar itu dengan telapak tangannya.

Amy nyengir lebar, sejurus dengan bungkaman di bibirnya yang terlepas. "Abis nya, gue kaget setelah lo ngomong gitu."

"Gue juga kaget. Tapi nggak lebay kayak lo, tuh!" Siska menyela sarkasme, hingga membuat Amy memanyunkan bibir.

"Di antara semua cowok yang lebih baik, dan nggak kalah ganteng nya di sekolah ini, kenapa mesti cowok berengsek itu sih yang lo gebet?"

Adyra mengernyit menanggapi Siska, "Cowok berengsek siapa yang lo maksud?"

"Iya nih," Amy menyahut. "Maksud lo itu, Bara atau Andra?"

Siska mengembuskan napas sejenak sambil menarik pegangan tasnya. "Gue tau, lo ngerti siapa cowok yang gue maksud."

Amy semakin mengernyit bingung. Wajah Adyra terlihat agak tegang setelah mendengar jawaban Siska. Sementara Siska memasang wajah sok misterius yang sulit dimengerti Amy. Well, Amy terlihat terlihat paling bodoh di sini karena nggak ngerti apa-apa.

"Udah, deh! Mau pulang dulu, udah sore." Adyra memecah keheningan dengan membuka suara. Gadis itu sedikit mengangkat tumpukan buku di tangannya yang sedikit melorot. "Jangan kangen, yaaa!!"

Adyra melakukan gerakan kiss bye secara spontan. Amy membalas nya dengan senang, sementara Siska menampilkan ekspresi jijik seolah mau muntah. Adyra tahu betul jika Siska tidak menyukai hal-hal yang sangat berlebihan. Dia tidak segan-segan pasang tampang datar dan menyebalkan saat berada di sekitar orang-orang lebay.

"Awh!"

Adyra membelalakkan matanya saat buku-buku tebal yang dia bawa telah lepas dari rengkuhannya. Gadis itu terkejut saat semua buku itu tergeletak berantakan di atas lantai. Tapi, dia lebih terkejut melihat seseorang yang telah menabraknya.

"Sorry, nggak sengaja. Gue buru-buru."

"Andra!" Adyra mencekal pergelangan tangan Andra, saat cowok itu mau pergi dari hadapannya.

Andra menatap Adyra tak suka, sambil melepas tautan di tangannya. "Gue udah bilang kalo lagi buru-buru, kan?"

Adyra menurunkan tangannya, seraya menatap punggung Andra yang kian menghilang. Gadis itu geleng-geleng kepala melihatt tingkah Andra yang tidak jauh beda sama bunglon. Kalo udah baik, manisnya minta ampun. Kalo udah ketus, nyebelinnya minta ampun.

Adyra berlutut sambil memunguti buku-buku yang jatuh tadi. Sejurus kemudian, Adyra tertegun menatap tangan seseorang yang dengan lihai nya mengambil buku yang berserakan.

Tangan itu menyodorkan setumpuk buku di hadapan Adyra. Gadis itu menatap nya sejenak, sebelum menerima uluran itu.

"Maaf."

Adyra berdiri, sambil menepuk-nepuk rok abu-abunya yang agak kotor. "Buat apa?"

"Buat kata-kata gue tadi pagi." Cowok itu mendengus. "Nggak seharusnya gue ngomong gitu."

Adyra sedikit merasa aneh dengan cowok di hadapannya. Seorang Bara Aldino... minta maaf? Agak sulit dipercaya memang. Tapi, saat melihat sorot mata itu menyiratkan ketulusan, kepala Adyra mau tak mau mengangguk spontan. "It's okay."

Bara tersenyum tipis dengan menggaruk tengkuknya. "Pulang bareng... gue?"

Adyra mengernyit heran. Sejak kapan Bara jadi cowok canggung kayak gini. Biasanya dia selalu tampil ke-pede-an kalau ngajak Adyra jalan. Tapi, seseorang yang tengah berdiri di hadapannya saat ini tentu bukan sifat Bara banget.

Melihat Adyra yang tak kunjung merespon, membuat Bara sedikit mendengus pelan. "Seharusnya, gue tau diri. Lo nggak mungkin nerima tawaran gue. Karena yang ada di pikiran lo sekarang cuma Andra. Dan pasti lo sekarang lagi nungguin Andra, kan?"

"Siapa bilang?"

Adyra berdehem singkat. "Maksudnya.. gue nggak lagi nungguin siapa pun, kok."

"Kenapa?" Bara mengernyit.

"Kenapa apanya?" Adyra menyipitkan mata. "Emangnya nggak boleh? Kalo lo berubah pikiran dan nggak jadi nganterin gue pulang juga nggak papa ko-"

"Ya udah, ayo!"

Bara menarik pelan tangan Adyra tanpa pikir panjang. Adyra tersenyum tipis dengan perlakuan Bara padanya. Tak ada penolakan, dan sepertinya Bara berhasil menjalankan rencana.

Bara tersenyum miring, sambil melirik bayangan seseorang di balik punggungnya melalui ekor matanya.

••••

"Kenapa ke rumah sakit?" Bara mengernyit, "Lo... sakit, Ra?"

Adyra melepas helm yang melekat di kepalanya, lalu memindahkannya ke tangan Bara. "Om gue seorang dokter di sini. Dan gue ada urusan sama dia."

Bara menganggukkan kepala mengerti lalu berjalan berdampingan di sisi kanan Adyra. Bau khas obat-obatan menyeruak menusuk indera penciumannya. Bara mengikuti Adyra yang tengah berjalan menuju sebuah taman. Hanya taman sederhana, yang dipenuhi dengan orang-orang berpakaian khas rumah sakit.

"Tunggu sini aja. Gue mau cari Om Danu."

Setelah melihat anggukan Bara, Adyra langsung pergi meninggalkan Bara duduk sendiri di sebuah bangku panjang. Gadis itu menyusuri setiap sudut taman, untuk menemukan Om Danu. Kata suster di depan tadi, Dokter Danuarta Hartanto sedang menangani pasiennya di taman rumah sakit. Jadi, gadis itu langsung menuju taman ini tanpa pikir panjang.

"Wah! Aku bisa berdiri, Sus!"

Kepala Adyra menoleh dengan spontan. Menangkap seorang gadis yang mengenakan dress peach selutut dengan tangan yang memegang lengan seorang suster sebagai tumpuan.

Senyum gadis itu membuat Adyra seolah tertarik entah kenapa. Rasanya, dia pernah melihat senyum itu sebelumnya. Tapi... di mana?

"Adyra!" Gadis itu menoleh, sambil memasang senyumnya. "Om Danu!"

Adyra sedikit berjinjit menyamai tubuh Om Danu yang lebih tinggi darinya. Om Danu melepas rengkuhan di bahu Adyra lalu tertawa kecil. "Masih nggak tinggi-tinggi juga, ya kamu dari dulu."

Adyra meringis, "Dasar Om jahat!"

Om Danu hanya tersenyum lalu mengusap rambut keponakan tersayangnya dengan lembut. "Dateng sama siapa?" tanya Om Danu.

"Sama Bara," jawab Adyra sambil mengendikkan dagunya ke arah Bara yang sedang duduk santai sambil bermain ponsel.

"Oh... pacar?"

Adyra tersenyum geli saat Om Danu mengangkat kedua alisnya menggoda. "Kenapa nggak pernah main ke rumah, sih? Adyra kangen, tauk!"

Pria itu hanya tersenyum, "Om sibuk. Banyak pasien yang lebih membutuhkan Om dari pada kamu. Contoh nya, seperti dia.."

Adyra menoleh sejurus mata Om Danu mengarah pada seseorang. "Dia seumuran sama kamu. Kurang lebih, satu atau dua tahun di bawah kamu. Dua kakinya lumpuh karena kecelakaan. Walau nggak permanen, tapi perkembangan kakinya bergerak sangat lambat," jelas Om Danu.

Adyra memandang gadis itu lekat. Wajah cerianya membuat Adyra bahagia entah kenapa saat melihatnya. "Senyumnya cantik.."

Om Danu mengangguk setuju. "Dia memang cantik."

"Namanya siapa, Om?" tanya Adyra antusias.

"Kanaya Adelia." Om Danu tersenyum, "Dia biasa dipanggil Kanya.."

Saat Adyra menatap gadis itu lagi, dia tertegun. Saat gadis bernama Kanya itu balik menatapnya sambil tersenyum.

••••

"Selamat siang, Tuan Putri!"

Kanya terenyak saat melihat Andra datang secara tiba-tiba di hadapannya. Gadis itu mengerucutkan bibirnya kesal sambil melipat lengan di depan dada. "Telat 1 jam 15 detik."

Andra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya.. maaf. Tadi ada urusan sebentar."

"Jadi urusan Kakak lebih penting dari pada nemenin aku terapi jalan?"

"Bukan gitu-" Kanya menepis tangan Andra yang hampir menyentuh kepalanya. Andra mengulum senyum melihat kelakuan Kanya yang masih seperti anak kecil. "Yah... padahal Kakak tadi telat karena abis beli ini!"

Andra menyodorkan sebatang cokelat ke arah Kanya. Andra selalu saja tahu kelemahan Kanya. Cowok itu tersenyum puas saat melihat Kanya mulai melirik cokelat yang dia bawa. "Kali ini Kakak yang menang!"

Kanya merebut cokelat itu dari tangan Andra, lalu memakannya dengan lahap. Dari kecil, cokelat adalah makanan yang tidak pernah tergantikan di hati Kanya. Jadi kalau Kanya ngambek, gampang tinggal disogok pakai cokelat.

"Oh, ya! Aku mau nunjukin sesuatu sama Kakak!"

"Apa?"

Gadis itu menghentikan gigitan pada cokelatnya, lalu menyerahkannya pada Andra. andra menatap Kanya bingung dari kernyitan di dahinya. Gadis itu mencengkram erat kedua sisi kursi rodanya, sambil berusaha menggerakkan kaki. Andra memegang tangan adiknya, takut dia jatuh seperti biasa. Tapi, Kanya menahannya. Sejenak, Andra tertegun melihat Kanya bisa berdiri dengan kedua kakinya.

"Jadi...?"

Kanya menunggu reaksi Andra. Cowok itu masih diam terpaku menatap kedua kakinya yang bisa berdiri tegak. Kanya tersenyum menatap Andra. Tapi, Andra tidak membalas senyum itu. Dia langsung menarik Kanya dalam pelukan. Dia bahagia, hingga tak sanggup berkata-kata.

"Ada yang sakit, nggak? Ngerasa kesemutan atau ditusuk-tusuk gitu, nggak?"

Kanya tersenyum geli melihat Andra panik sendiri. "Nggak ada yang sakit. Bahkan udah bisa sedikit digerakin."

Andra mencium kening Kanya dengan sayang. Menyalurkan seluruh perasaan bahagianya yang mendalam.

"Ini semua karena Dokter Danu. Dia sabar banget waktu nanganin Kanya. Dia juga nggak pernah marah waktu Kanya nggak sengaja bentak dia.."

Kanya bercerita dengan antusias sambil tersenyum. Tapi sejurus kemudian, Andra mengernyit saat ekspresi Kanya berubah sendu.

"...Dia mirip banget sama Papa, Kak."

Andra tertegun mendengar kalimat terakhir yang terucap di bibir Kanya. Mendengar nama Papa disebut, membuat hati Andra seolah teriris. Semenjak kejadian itu, Papa menghilang bak ditelan bumi. Dia tidak pernah datang sekedar menemui Andra maupun Kanya barang sesaat.

"Kita pulang aja, ya. Udah sore."

Kanya menatap Andra yang tengah tersenyum. Gadis itu tahu, Andra juga merasakan hal yang sama sepertinya. Sedih dan kecewa. Tapi, dia lebih memilih menyembunyikan perasaannya. Terkadang, menyimpan untuk diri sendiri dan tidak membagi kesedihan bersama orang lain, adalah cara paling terbaik agar tak kembali menambah luka yang kian menganga.

••••

"Hati-hati, Bi, bantuin Kanya turunnya!"

"Iya, Den."

Andra mendorong kursi roda Kanya saat gadis itu sudah duduk manis di atasnya. Setelah sampai di ambang pintu, Andra menghentikan kursi roda Kanya secara tiba-tiba. Hingga membuat dahi Kanya mengernyit bingung. "Ada apa, Kak?"

"Kamu nggak bisa gitu dong, Rey! Aku kerja kan buat keluarga kita juga."

"Tapi kamu udah janji kan, dinner sama kita. Meeting nya bisa dicancel-"

"Nggak usah dicancel! Percuma, saya juga nggak mau makan malam sama anda." Andra menengahi perdebatan mereka dengan lugas. Andra mencengram pegangan kursi roda Kanya berusaha menahan emosinya mati-matian.

Arya dan Reya tertegun sejenak dengan kedatangan Andra dan Kanya secara tiba-tiba. Arya mematung di tempat, sementara Reya menghampiri mereka. "Kalian udah pulang?"

"Ehm... Ma-"

"Kanya.." Andra meyela Kanya. "Katanya mau mandi kalo udah sampai rumah. Kakak anterin ke atas, ya!"

Kanya ingin menggeleng, tapi tatapan Andra mengisyaratkan agar dia mengikuti perkataan Andra saat ini. Gadis itu menatap Mamanya, lalu mengangguk pelan. "Kanya mandi dulu ya, Ma."

Reya tersenyum, lalu mengangguk sambil mengusap puncak kepala Kanya.

"Kak Andra masih dingin sama Mama?" Kanya bersuara, setelah mereka sampai di lantai atas tepat di mana kamar Kanya berada.

Andra tak menjawab sama sekali. Dia seolah menyibukkan diri dengan memeriksa lemari pakaian Kanya dan mengeluarkan handuk untuknya.

"Kak Andra!"

Andra berhenti, saat Kanya membentaknya sambil berdiri dari kursi roda. Dengan masih bersikap santai, dia membimbing Kanya agar duduk kembali di kursi roda. Tapi Kanya memberontak. Kanya menepis tangan Andra.

"Apa yang terjadi sama kita, itu bukan salah siapa-siapa. Jangan egois karena hanya melihat dari satu sisi. Mama itu orang tua kita. Dan Om Arya-dia memang bukan Papa kandung kita. Tapi dia sayang, Kak, sama kita."

Andra tersenyum, lalu membantu Kanya kembali duduk. Andra menghapus air mata Kanya yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.

Andra berjongkok, menyamai tubuhnya dengan Kanya. "Masuk kamar mandi, sana! Kamu bau! Nanti Kakak panggilin Bi Sumi buat bantuin kamu mandi."

Andra mengusap rambut Kanya sejenak sebelum beranjak. Andra tetap berjalan mengabaikan Kanya yang masih teriak-teriak memanggil namanya. Tidak. Untuk saat ini, Andra tidak ingin membahas apapun. Baru sejenak dia bahagia karena Kanya menunjukkan kemajuan pada kakinya. Dia tak ingin merusak mood nya.

Andra membanting pintu kamar Kanya dengan sedikit keras. Lalu pergi meninggalkan rumah dengan rasa kesal yang meluap.

••••