webnovel

Part 16 : Bad Sittuation

Adyra menunduk, membenahi simpul tali sepatunya yang terlepas. Saat gadis itu hendak mendongak, sepasang sepatu converse berdiri di hadapannya. Adyra tersenyum senang, hingga menyipitkan kedua matanya. "Kakak!"

Seseorang yang dipanggilnya 'Kakak' tadi tersenyum menanggapi Adyra, lalu mengusap puncuk kepala Adyra dengan sayang. "Udah dibilang jangan panggil Kakak, juga." Cowok itu mendengus. "Kelihatan tua banget."

Adyra terkikik, melihat ekspresi cowok itu berubah kesal. "Emang kamu lebih tua dari aku kan, Kakak Dimas! Hahaha!"

Adyra meringis, karena Dimas mencubit kedua pipinya gemas. Satu hal yang Adyra sukai, adalah membuat Dimas kesal denagn sebutan 'Kakak' yang ditujukan padanya. Memang tidak ada yang salah sih, mengingat usia Dimas memang 2 tahun lebih tua dari Adyra. Dan lebih tepatnya, Dimas adalah kakak kelas Adyra di sekolah.

Dimas pernah bilang seperti ini, "Jangan panggil aku Kakak, karena aku bukan Kakak kamu. Tapi panggil aku Sayang, karena aku sayang kamu." Pipi mulus Adyra langsung merona serupa tomat. Kalau saja Adyra tidak ingat jika masih tinggal di bumi yang memiliki gaya gravitasi, mungkin tubuhnya sudah dia terbangkan melayang jauh seperti asteroid.

"Ya udah, yuk!"

Dimas mengernyit. "Ke mana?"

"Pulang lah! Kamu kan ojek yang selalu setia nganterin aku pulang," balas Adyra meringis lucu.

"Aku nggak mau!"

Adyra mendengus mendengar kalimat Dimas. "Dim, udah lah. Aku males becanda. Aku mau pulang, udah ngantuk, tauk!" cecar Adyra.

"Di mana-mana, kalau nyuruh ojek nganterin itu dibayar! Lah ini mah, enggak."

Adyra tertegun. "Jadi kamu nggak ikhlas nganterin aku selama ini?"

Diimas mengulum bibirnya, menahan senyum yang ingin tumpah saat gadis-nya cemberut. Dimas masih setia memasang tampang datar, untuk menjiwai perannya.

"Hm... mungkin?"

Adyra membelalakkan matanya, lalu menyipitkan matanya setelah itu. "Oh, gitu!" Dimas masih diam tanpa ekspresi. Adyra semakin geram hingga meremas jemarinya.

"Ya udah kalo gitu! aku juga bisa pulang sendiri!" ucap Adyra pada akhirnya.

Adyra memutuskan pergi dari hadapan Dimas. Tapi bahkan belum genap satu langkah dia berjalan, Dimas menarik tangannya hingga Adyra berbalik. "Apa? mau minta maaf karena udah ngomong gitu?"

Dimas menipiskan bibirnya, melihat Adyra bersungut-sungut. "Enggak."

Adyra udah ngomong panjang lebar, tapi dia cuma ngomong 'enggak', doang? "Ya terus ngapain tarik-tarik?"

"Mau minta imbalan."

"Imbalan apa sih?"

"Tutup mata dulu."

"A—apa?" Adyra mengerjapkan matanya lucu, sambil memasang wajah melongo. Dimas mendengus, lalu menangkup kedua pipi Adyra dengan ibu jari dan telunjuknya. "Nggak usah pasang muka kayak gitu, deh. Jelek, tauk! Tinggal tutup mata apa susahnya?"

"Ka—kamu, mau ngapain emang?"

Dimas memutar bola matanya malas dengan basa-basi Adyra. "Kalo kamu nggak tutup mata, gimana bisa tau aku mau ngapain."

Bibir Adyra tiba-tiba tersenyum, sambil menutup matanya. Entah apa yang akan Dimas lakukan padanya, Adyra tak tahu. Yang pasti, Dimas itu susah ditebak, apalagi untuk Adyra.

"Open your eyes now!"

Adyra mengernyit di saat matanya masih tertutup. "Now?"

"Yes."

'Kok nggak kerasa, ya?'

Suara alunan musik klasik memenuhi indera pendengarannya. Adyra tersenyum, sambil menutup mulutnya tak percaya. Dimas tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, menanti reaksi Adyra.

"Kotak musik?"

Dimas tersenyum, saat Adyra menerima uluran kotak musik darinya. "Aku tau kamu suka musik. Jadi, aku kasih ini nggak salah ka—"

"Makasih....."

Dimas terperanjat, saat Adyra langsung memeluknya. Dimas membalas pelukan Adyra, dengan rengkuhan yang sedikit posesif.

"Aku kira apa," kata Adyra di sela-sela pelukan mereka.

"Emang kamu kira apa?"

"Aku kira kamu bakal cium aku."

Dimas terkejut, hingga melepaskan rengkuhan di bahu Adyra. "Diajarin siapa kamu mikir gituan?"

Adyra cemberut, saat Dimas sedikit menoyor kepalanya. "Kata Kak Nando, kalo aku disuruh tutup mata, itu tandanya mau dicium." Adyra menjelaskan, sedikit kalimat yang dia tangkap saat Nando—teman Dimas ngobrol dengannya tempo hari.

Untuk ukuran cewek yang nggak pernah pacaran sebelumnya seperti Adyra, jadi gadis itu percaya-percaya saja dibilangin kayak gitu.

Dimas memeluk Adyra lagi semakin posesif. Adyra sampai sedikit sesak waktu Dimas memeluknya terlalu erat. "Jangan pernah ngobrol sama dia lagi, tanpa ada aku!"

Brak!

Adyra tersadar dari lamunannya, saat sikunya tak sengaja membentur laci dashboard mobil hingga isinya berantakan. "Kamu nggak papa, Ra?"

Papa memegang tangannya khawatir. Adyra membalasnya tersenyum, seolah mengatakan jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Nggak kok, Pa. Maaf, biar Dyra bersihin."

Adyra sedikit menunduk, membersihkan barang-barang yang jatuh karena ketidak sengajaannya. Saat gadis itu memasukkan semuanya ke dalam, ada sebuah benda yang menarik perhatiannya.

Sebuah kotak musik kecil yang ditemukannya, membuat kernyitan kecil di dahi Adyra. Bagaimana barang ini bisa di sini? Sementara Adyra selalu menyimpan semua benda milik Dimas di kamarnya.

Semua kilasan balik yang memenuhi lamunannya tadi kembali terlintas. Adyra menggenggam benda itu, lalu memasukkannya ke dalam laci.

Adyra tersenyum getir, memandang Papa yang kini tengah mengucap puncak kepalanya khawatir. 'Segitu buruknya Dimas di mata Papa. Sampai Papa nyembunyiin benda pemberian Dimas kayak gini?'

••••

"Kanya udah makan?"

Gadis itu memukul tangan Andra refleks karena kaget dengan kehadiran Andra yang muncul tiba-tiba. "Kaget, tauk!" cibirnya.

Andra malah tersenyum, lalu mengusap rambut Kanya dengan sayang. "Kanya udah makan?" tanyanya lagi.

Kanya mengangguk. "Udah."

"Anak pinter!"

"Ya, dong! Emang nya Kak Andra, nggak pinter-pinter!"

Cowok itu mengacak rambut adiknya gemas. "Kata siapa Kakak nggak pinter, huh?"

"Becanda," ringis Kanya. "Ehm... Kakak mau berangkat?"

Andra mengangguk. "Iya, mau berangkat. Jangan kangen ya, nanti! Wlee!!" Andra memeletkan lidahnya jahil. Kanya hanya tersenyum gemas melihat tingkah aneh Abangnya.

"Kanaya kangen sekolah."

Ada sorot kesedihan di mata Kanya, saat Andra melihatnya. Seolah ada yang meremas dadanya kuat melihat kesenduan di mata adiknya. Andra mengusap rambut Kanya, lalu tersenyum. "Kamu pasti sembuh, Ya.."

Andra memeluk Kanya. Hingga setetes cairang bening lolos dari sudut mata Andra tanpa sengaja.

••••

Kenangan, bukan suatu hal yang patut disalahkan atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Kepingan rindu, kilasan pilu, bahkan tiada hentinya berputar seolah tak mau berlalu. Mencintai bukan suatu bentuk perasaan tabu. Tapi, saat mencintai membuat hati selalu terpaku pada masa lalu, melupakan menjadi satu-satunya alasan tertentu.

Adyra memandang mobil yang kian menghilang dari hadapannya. Gadis itu menunduk, menengok jam tangan yang melingkar di pergelangannya.

Udah siang gini, geng nya Andra belum dateng?

Adyra celingukan ke arah parkiran. Dan dia tidak menemukan motor yang dikenalnya dalam jejeran itu. Gadis itu menunggu, sambil duduk di bangku taman dekat parkiran.

Belum genap 5 menit gadis itu menunggu, sebuah tepukan di bahunya membuat dia tersadar. Buru-buru dia mengalihkan pandangan. Tapi sayang, siapa yang lihat bukan seseorang yang dia tunggu barusan.

"Hai, Ra! Nungguin gue?"

Bara mengangkat kedua alisnya jahil. Berusaha menggoda Adyra di hari paginya. "Ngapain sih, Bar?"

Bara mengendikkan bahunya acuh. "Godain lo."

Segaris kernyitan tercipta jelas, di kening Adyra. "Gue nggak tergoda, tuh."

Senyum di wajah Bara berangsur-angsur hilang seketika. Adyra kembali duduk dan kembali pada niat awalnya, nungguin Andra. tanpa diminta, Bara menjatuhkan tubuhnya, ikut duduk di samping Adyra.

"Pasti nungguin Andra," tebak Bara dengan nada datarnya.

Adyra tidak menyahut, hanya mengangguk singkat.

Bara mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Buat apa sih, nungguin Andra? Palingan juga bolos hari ini. atau mungkin... lagi jemput pacar barunya?"

Adyra tahu pasti ujung-ujungnya, Bara menjelek-jelekkan Andra dengan segala macam tuduhannya. Gadis itu menatap Bara, sambil mendengus malas. "Andra nggak kayak gitu."

"Lo bisa bilang gitu karena lo nggak tau dia. Di depan lo, mungkin dia tipe cowok yang nggak pernah mau deket sama cewek. Tapi di luar sana, lo bahkan nggak tau berapa cewek yang udah dia gebet sebelum—"

"Gue lebih percaya sama apa yang gue lihat. Bukan apa yang gue denger."

Adyra meninggalkan tempat duduknya, lalu melenggang menjauhi Bara. Sebuah motor ninja hitam menarik pandangannya, dan membuat Adyra terdiam sesaat.

Andra memarkirkan motor bersama teman-temannya, lalu berjalan ke arah Adyra. Ada sesuatu yang aneh dengan wajah datarnya. Seperti, ada sorot mata sendu yang melingkupi tatapannya.

"Hai, Ndra!"

Andra hanya berhenti sejenak, lalu melanjutkan langkah kakinya. Adyra menatap punggung Andra yang telah melewati tubuhnya. Tatapan Adyra terarah pada teman-temannya; Aldo, Eric, dan Rio, yang kini mengendikkan bahunya tanda tak tahu apapun.

"Andra! Muka lo kenapa, sih? Kecut banget. Lagi dapet, ya?"

Adyra mengangkat kedua alisnya jahil, tapi hanya dibalas lirikan oleh Andra. "Gue lagi nggak mood becanda."

Andra semakin berjalan tanpa memerdulikan Adyra, tapi Adyra tetap keukeh menyamai langkah cowok itu. "Andra, lo baik-baik aja sama gue kemarin. Tapi kenapa sekarang beda?"

"Gue kangen sama Andra yang bahagia. Andra yang semalem gue suka."

"Gue lagi nggak mau diganggu, lo ngerti nggak, sih?!"

Adyra menutup matanya, saat bentakan itu keluar dari bibir Andra. Hal ini udah biasa buat Adyra. Hal biasa, yang tidak pernah diinginkannya.

Eric menatapnya khawatir, begitupun dengan Aldo dan Rio. Tapi mereka nggak bisa apa-apa. karena ini bukan urusan mereka.

"Udah gue bilang, kan tadi."

Bara melingkarkan lengannya di bahu Adyra. Cowok itu mendekatkan bibirnya, lalu mendesis di telinga Adyra. "Pasti Andra udah... bosen sama lo."

"Udah ngomongnya?" balas Adyra ikut mendesis, tapi tajam. "Urusan dia sama gue, nggak ada sangkut pautnya sama lo. Dan asal lo tau, gue nggak suka ada orang yang ikut campur sama urusan gue."

Adyra menepis rengkuhan Bara, membuat cowok itu bersungut. Giginya gemeratuk dan rahangnya mengeras. "Kita lihat aja nanti."

Cowok itu menyeringai. "Lo bakal jatuh ke pelukan gue, cepat atau lambat."

••••

"Bu kepsek masuk, woy!!"

Suasana kelas yang mulanya ramai langsung hening bersamaan dengan kedatangan Bu Reya. Wanita cantik itu duduk di kursi guru, sambil memandangi suasana kelas yang akan diajarnya. Satu titik membuatnya tertarik, saat pandanngannya bertubrukan dengan bangku kosong milik Andra.

"Di mana Andra?"

Semua orang di ruangan itu heninng seketika. Entah mereka memang tidak tahu, atau mungkin takut menjawab. Bara mengangkat sudut bibirnya jahil. 'Situasi yang menguntungkan'

"Bolos kali, Bu."

Semua mata tertuju pada bangku milik Bara. Ekspresi Bara terlihat biasa saja, seolah merasa tidak berbuat apa-apa.

Bu Reya menghela napas, lalu membuangnya perlahan. "Buka buku Biologi bab 5 halaman 91."

"Permisi, Buk!"

Kegiatan membuka buku terhenti sejenak. Arah pandang mereka tertuju pada seseorang di ambang pintu, dengan tas ransel yang menggantung di bahunya asal.

"Kamu tahu sekarang jam berapa, Andra Dafian?"

Andra mengangkat sebelah alisnya. "07.45"

Reya mengangkat bibir atasnya. "Kamu udah terlambat, tapi masih bisa slengekan sama saya? Apa kebiasaan kamu selama ini seperti ini kalau berhadapan dengan seorang guru?"

"Emang saya kayak gini."

"Kamu—"

"Kalo Ibu mau saya nggak ikut pelajaran ini juga nggak papa. Nggak usah pakek marah-marah segala, Bu. Kelamaan."

"Jangan mentang-mentang dia anak Ibu, Ibu jadi pilih kasih." Bara menyahuti.

Reya mendelik sinis ke arah Bara. "Saya tidak bicara sama kamu. Jangan ikut campur!" Reya menatap Andra. "Dan kamu! Ikut ke ruangan saya."

••••

Andra melepaskan tangannya yang tengah berada digenggaman Reya dengan kasar. "Jangan pernah sentuh saya!" desis Andra.

Reya tersentak ke depan. Tapi wanita itu menopangkan tubuhnya di tembok, agar tak terhuyung. "Mau sampai kapan kamu bersikap seperti ini, Nak?" timpal Reya menghentikan langkah Andra.

"Apa kamu nggak kasihan sama Mama? Mama tahu, kesalahan yang udah Mama lakuin, bukan masalah yang sepele. Tapi, apa nggak tersisa sedikitpun rasa sayang kamu buat maafin Mama dan kembali seperti dulu?"

"Kalau anda tahu masalah besar yang anda perbuat sama saya dan Kanya, Anda akan berusaha memperbaikinya. Bukan malah nambah masalah dengan nikah sama Arya!"

"Jaga mulut kamu! Dia itu Papa kamu!"

"Dia bukan Papa saya!" Andra meluruhkan bahunya, seolah telah membebasakan berton-ton beban dari bahunya. "Arya hanya orang asing, yang datang di kehidupan saya di saat kepergian Papa. Dan alasan Papa pergi ninggalin saya, itu semua karena MAMA! Karena hubungan gelap Mama sama dia!"

Reya tersulut emosi lagi. Sudah berkali-kali telapak tangan lembutnya itu mengasari Andra. Tapi ini sungguh di luar kendali. Bukan keinginan Reya untuk membentak Andra. Bukan keinginan Reya untuk menampar Andra sekali lagi. Tapi kenyataan yang Andra tahu, dan kenyataan yang sebenarnya terjadi, membuat batin Reya tertampar keras. Wanita itu merasa dalam posisi yang serba salah. Belum saatnya Andra tahu tentang semuanya.

Andra sudah pergi dari hadapannya. Reya menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang seolah ingin memecah. Dan tanpa dia tahu, seseorang membekap mulutnya tak percaya di balik dinding yang dia sedang tempati.

••••