webnovel

Part 15 : Yang Menyesakkan

"Lo nggak makan, Bar?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Nggak nafsu!"

"Oh."

Bara memutar bola matanya malas untuk kesekian kalinya. Cowok itu hanya mendengus melihat mereka berdua yang duduk di seberang meja. Sekali-kali mereka lirik-lirikan, ketawa-ketiwi, diem-dieman, makan, terus ketawa lagi, makan lagi, suap-suapan kayak bayi, dan.. argghhh! Masih banyak lagi hal yang mereka berdua lakukan sampai membuat Bara dongkol sendiri.

"Andra, lo suka sushi nggak?"

"Suka," singkatnya sambil mengangguk.

Adyra menatap Andra antusias. "Mau cobain sushi gue?"

Andra hanya mengangguk sebagai jawaban. Adyra langsung menjepit sepotong sushi dengan salmon segar di atasnya menggunakan sumpit dengan telaten. Hap! Satu suapan mendarat tepat di mulut Andra.

Andra mengulum senyumnya dalam diam, saat melihat Bara yang terlihat senewen sambil membanting-banting garpunya di atas piring.

Adyra mengernyit, merasa terganggu dengan kegiatan Bara. "Lo kenapa sih, Bar?"

"Nggak papa," singkat Bara.

"Mau disuapin juga kali dia!" Kali ini, Andra yang ikut-ikutan nyeletuk. Bara melirik Andra sinis sedangkan Adyra menatap Bara penuh tanya. "Jadi lo mau disuapin juga?"

Secercah senyuman terlukis di wajah Bara. Cowok itu mengangguk antusias sebagai jawaban. Adyra sudah mengambil sepotong sushi dari piringnya, hingga membuat Bara bersiap-siap menerima suapan itu dengan membuka mulutnya sedikit lebar.

Suapan Adyra sudah melayang ke arah mulut Bara. Tapi, belum sempat Bara menerima sushi dari Adyra, sesendok nasi goreng yang tiba-tiba tersodor ke mulutnya dan membuat kedua matanya mendelik kesal.

Adyra tertegun sejenak, kemudian terkikik segeli-gelinya karena perlakuan Andra yang tiba-tiba menyuapkan sesendok nasi goreng di mulut Bara. Andra hanya mengangkat satu alisnya menanggapi ekspesi geli Adyra dan uring-uringan Bara.

"Bukannya tadi dia bilang mau disuapin, ya?" tanya Andra seolah tidak merasa bersalah.

Adyra semakin ingin tertawa melihat ekspresi datar Andra yang seolah tidak terjadi apa-apa. Bara meremas tangannya, seperti mau nonjok muka Andra saat itu juga. "Lo—"

"Telen dulu, Bar! Nanti keselek!"

•••

Andra memasang jaket kulit di tubuhnya sambil menatap Adyra. "Lo pulang sama—"

"Adyra pulang sama gue."

Bara langsung menyela perkataan Andra sebelum cowok itu selesai bicara. Andra hanya melirik Bara singkat, tanpa ada niat menyahut. "Kalo dia macem-macem, lemparin aja kecoa hidup ke mukanya. Nanti juga kicep."

Adyra mendelik antusias. "Bara takut sama kecoa?" seru Adyra.

Andra tersenyum kecil melihat ekspresi Adyra. "Siapa bilang gue takut sama kecoa?" Bara menginterupsi tak setuju.

Andra menyipitkan matanya, sambil menyeringai. "Yakin lo nggak takut? Bukannya waktu itu lo sempet—"

"Udah pulang sana! Ganggu aja sih, lo!"

Andra sempat tersenyum miring sejenak ke arah Bara, sebelum cowok itu benar-benar menghilang dari ambang pintu kafe. Bara melirik Adyra, dengan sorot mata yang serius. "Jangan salah paham, Ra. Gue cuma geli, bukan takut."

Bara mendengus, menatap Adyra yang masih terkikik tanpa memerdulikan pernyataannya. 'Sialan banget si Andra'. "Ya udah. Gue tunggu di mobil," ketus Bara lalu berjalan mendahului Adyra.

Sebuah senyuman manis mengembang dari kedua sudut bibir Adyra. Bohong jika Adyra tidak merasa bahagia malam ini. Buktinya, bibirnya selalu mengulas senyum melihat kelakuan mereka berdua. Meskipun masih sering berdebat maupuun cekcok mulut, tapi setidaknya mereka tidak adu jotos di sini.

Malam sudah semakin larut. Adyra memutuskan untuk segera menghampiri mobil Bara dan pulang. Tapi sebelum telapak tangannya sampai menyentuh pegangan pintu, tubuhnya memaku saat merasakan sentuhan ringan di bahunya.

"Kelihatannya, lo bahagia banget." Adyra menoleh, sambil menampakkan senyum untuk seseorang di hadapannya.

"Apa lo udah berhasil ngelupain... Dimas?" katanya lagi.

Senyuman di wajah Adyra lenyap berangsur-angsur. Bahunya melorot seketika, seakan meluruhkan beban yang membuatnya seolah menderita.

Adyra kembali menampakkan senyumnya. Tapi kali ini, mungkin senyumnya agak terpaksa. "Kak Ndo, sejak kapan balik ke kafe?!" Adyra mulai, mengalihkan topik pembicaraan. "Gue kangen tauk, sama Kakak! Masih sama ya, hidung peseknya! Nggak ada yang berubah."

Nando terkekeh menimpali candaan Adyra. Nando bukan cowok yang gampang dibohongi. Walaupun gadis itu tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. Adyra hanya bahagia kelihatannya, tapi entah bagaimana keadaan batinnya.

"Lo juga masih sama, Ra. Masih suka ngalihin pembicaraan!" Nando menarik hidung Adyra gemas hingga membuat gadis itu meringis.

"Gue seneng lihat lo bisa ketawa lepas kayak tadi." Nando sedikit menjeda dengan helaan napas. "Andra itu anaknya baik, kok. Ya.. walaupun agak dingin dan ketus kalo ngomong."

Adyra mengernyit. "Lo kenal Andra, Kak?"

Nando mengangguk. "Dia sering ke sini."

Adyra tersenyum. "Ternyata, Tuhan masih baik sama gue, Kak."

Nando mengernyit, menatap Adyra yang tengah tersenyum penuh arti. "Di saat Tuhan ngambil sebagian orang yang gue sayang, Tuhan masih ngebiarin gue dikelilingi sama orang-orang yang baik sama gue. Dan salah satunya elo."

Nando tersenyum samar. Seolah ikut merasakan apa yang tengah Adyra rasakan. Dadanya seakan diremas, melihat senyum getir yang terlihat di wajah gadis itu. "Dimas emang bego karena udah ninggalin cewek sebaik elo."

"Iya, dia emang bego banget, Kak," dengus Adyra diiringi sedikit kekehan geli.

Nando mengimbangi gelak tawa gadis itu sejenak, lalu menyentuh bahu Adyra. "Se-berengsek apapun Dimas, gue harap lo nggak pernah benci sama dia."

Adyra termangu, mencerna kalimat yang barusan dia dengar.

Benci?

Adyra tersenyum getir dalam diam.

Dia bahkan tidak yakin bisa menghapus seluruh perasaannya untuk Dimas. Apalagi mengganti semuanya dengan perasaan benci?

Hampir mendekati mustahil.

"Gue lagi belajar ngelupain dia, bukan benci sama dia."

Adyra menepuk bahu Nando mantap. Seolah kalimat yang barusan dia katakan adalah benar adanya. Tidak ada yang berusaha ditutup-tutupi.

Adyra tersenyum singkat, lalu meninggalkan tempatnya berdiri sambil melambaikan tangan. Nando hanya tersenyum getir melihat bahu Adyra yang terlihat berguncang seperti menahan isak tangis.

"Asal lo tau, Ra. Dimas nggak pernah bener-bener pergi dari kehidupan lo."

•••

Andra melepas helm full face yang melekat di kepalanya dengan memasang wajah sumringah. Senyum tipis itu selalu terlukis di sudut bibir Andra tanpa diminta.

Adyra memang ajaib! Entah sihir apa yang dipakai gadis itu hingga Andra yang notabenenya paling anti senyum, sekarang jadi kebalik. Untung oataknya nggak ikut-ikutan kebalik juga.

"Wah! Ada yang lagi seneng, ya?"

Reya-Mama Andra muncul dari ambang pintu setelah membukanya. Menampilkan senyum manis yang ditujukan untuk menyambut anak sulungnya.

Entah hilang kemana senyum Andra tadi. Setelah melihat Reya di hadapannya, Andra hanya melirik datar lalu melengos pergi tanpa permisi.

"Kalo Mama kamu ngomong itu ditanggepin, bukan dicuekin."

Ada sedikit keterkejutan di mata Andra saat melihat seorang pria yang tengah duduk santai di atas sofa. Arya—suami Reya, menatap Andra ramah dengan salah satu tangan sibuk memegang secangkir kopi. "Nggak mau peluk Papa dulu?"

Andra mengangkat sudut bibir kanannya, membentuk sebuah senyum. Hingga saat pria itu hendak menangkap tubuh Andra untuk dipeluk, Andra malah mengangkat tangannya mengisyaratkan untuk berhenti. "Nggak usah repot-repot. Nggak ada gunanya anda cari muka di depan saya."

Andra melenggang pergi meninggalkan keheningan di ruang tamu tersebut. Tapi langkah kaki Andra menjadi berat, seolah ada yang menahannya. "Kalau kamu nggak bisa menghormati saya sebagai Papa kamu, setidaknya hargai saya sebagai orang yang lebih tua daripada kamu, Andra!" geram Arya.

Andra mendengus. "Saya lebih suka menghormati Papa kandung saya, dari pada menghargai orang tua tiri seperti anda."

"Kamu—"

"Tuan, Nyonya! Itu.. di kamar Non.. Kanya.. dia—"

"Kanya kenapa, Bi?"

Reya langsung memotong ucapan Bi Sumi secara tiba-tiba. Ada raut khawatir di wajah mereka saat Bi Sumi menyebut-nyebut nama Kanya dalam kalimatnya.

"KANYA KENAPA?" Andra membentak, dengan mengguncang bahu Bi Sumi sedikit keras.

Bi Sumi menundukkan kepalanya gelisah. "Non Kanya..."

•••

"Makasih."

Bara mengernyit mendengar pernyataan Adyra. "Buat apa?"

"Buat nge-date nya, lah!"

"Nggak perlu berterima kasih buat kencan terburuk yang baru pertama kali terjadi dalam hidup gue."Adyra terkikik saat melihat wajah masam Bara waktu dia mengungkit-ungkit kata nge-date.

"Ya udah. Pulang sana, udah malem!"

"Ya udah. Tidur sana, udah malem!" kata Bara ikut-ikutan.

"Ya udah."

Adyra mengakhiri pembicaraan mereka dengan membuka pintu mobil, lalu berjalan menuju rumahnya.

"Ra?"

Adyra menoleh. "Apa?"

"Good night, Rara cantik."

Adyra tertegun dalam kurun waktu bersamaan. Sebuah kalimat singkat, padat, dan jelas membuat dadanya terasa sesak. Bara sudah pergi, melajukan mobilnya meninggalkan Adyra.

Adyra pernah mendengar kalimat ini dari seseorang yang berbeda sebelumnya. Kalimat yang sama, dan dalam suasana yang sama.

Good night, Rara cantik.

Setetes cairang bening mengalir di sudut matanya tanpa disengaja. Pikirannya tengah berlarian ke mana-mana. Nama itu, kalimat itu..

Rara.

Rara.

Rara.

Sebuah nama sederhana, yang selalu membuat Adyra teringat pada seseorang.

•••

Andra terpaku menatap punggung gadis yang tengah duduk manis di hadapannya. Andra melangkahkan kakinya masuk, dan mendekati gadis itu.

"Kanya?"

Andra semakin mendekat, karena Kanya tak kunjung bicara. Andra terkejut melihat wajah sendu gadis itu. Seolah ada yang menusuk dadanya dengan kejam saat melihat kedua mata Kanya sembab karena air mata. Kanya menangis, tanpa suara. Gadis itu menatap lurus jendela dengan air mata yang tak kunjung mereda.

"Kenapa nggak mau makan?" lirih Andra berusaha tersenyum di depannya. Kanya menyeringai kecil dalam tangisnya tanpa menatap balik Andra. "Buat apa?"

Andra sedikit jongkok menyejajarkan tubuhnya dengan Kanya. "Kamu makan, ya? Biar nggak sakit." Andra menyodorkan piring yang berisi seporsi makan malam.

"Walaupun aku udah makan, aku bakal tetep sakit juga, kan?" Kanya mulai menatap Andra. "Apa Kakak bisa jamin? Kalau aku bisa sembuh setelah aku makan?"

"Kanya.."

"Apa Kakak bisa jamin kalau aku bisa jalan normal lagi setelah aku makan?"

"Sayang—"

"Nggak bisa, kan?!" Kanya sedikit berteriak. "Aku bakal tetep lumpuh seperti sekarang! Jadi buat apa aku makan? Buat apa aku merasakan hidup kalau aku udah nggak berguna lagi? Kenapa Tuhan hanya mengambil fungsi kaki aku? Kenapa Tuhan nggak sekalian ambil nyawaku juga waktu itu?!"

Andra menarik Kanya dalam pelukan dengan sekali hentakan. Andra membiarkan adik kandungnya—Kanaya Adelia, menangis sekeras-kerasnya. Jujur Andra tidak sanggup melihat Kanya terpuruk dalam masalah yang Andra sendiri tak mampu untuk menghadapinya.

"Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi di depan Kakak!"

"Emang bener kan, aku udah nggak berguna!" Kanya melepas rengkuhan itu secara kasar. "Aku capek hidup kayak gini."

"KANAYA, DENGERIN KAKAK!" Kanya tertegun saat Andra mengguncang kedua bahunya. "Sejak kapan kamu jadi lemah kayak gini?"

Andra menghela napas, menatap Kanya lebih dalam. "Tuhan punya ribuan cara untuk mengatur hidup seseorang. Takdir memang bukan perkara yang mudah. Bukan cuma kamu yang menderita di sini..."

Kanya menatap Andra dengan penuh penyesalan. Dia benar. Bukan hanya Kanya yang menderita di sini, tapi Andra juga. Kakaknya itu akan sama merasakan penderitaan jika dia terus bersikap seperti ini.

Andra melepaskan tangannya di bahu Kanya, lalu mengusap puncak kepala gadis itu dengan sayang. "Jangan sia-siain hidup kamu buat hal yang nggak berguna. Penyesalan nggak akan ngerubah apapun, selama kamu masih diam dan nggak mau ngadepin masalah."

Kanya meremas sisi kursi rodanya. Dia memang bodoh, karena hampir menyerah dengan keadaan. Gadis itu meluruhkan kedua bahunya yang melemas. Kepalanya tertunduk sejurus kemudian.

Andra tersenyum singkat, lalu mengecup kening Kanya sedikit lama untuk sebatas menyalurkan perasaan sayangnya pada gadis itu.

Andra melangkahkan kakinya keluar dari kamar Kanya. Tapi, langkahnya terhenti sejenak kala melihat Reya dan Arya yang berdiri sambil berpelukan, dengan mata Reya yang lembab karena air mata.

Mereka melepas rengkuhan di bahu masing-masing dengan perlahan, setelah mereka menyadari kehadiran Andra di sana. Keheningan masih mendominasi. Hingga akhirnya Andra pergi tanpa mengucapkan sepatah kata.

•••

Malam semakin larut dengan membawa sekelebat kehampaan. Angin-angin yang keluar masuk memenuhi pori-pori kulit, menciptakan rasa dingin yang seolah menusuk-nusuk.

Indahnya sinar rembulan yang bertemankan ribuan bintang, membuat suasana malam semakin nampak kelam. Hanya mereka yang mampu bersinar. Menghibur hati yang sedang menyepi.

Adyra berdiri di balkon kamarnya, sambil melihat indahnya malam dan sesekali mengusap lengannya yang tersapu angin malam. Matanya terpejam, sejenak mengembuskan napasnya perlahan seolah ingin melepaskan beban.

"Apa salah, jika aku mulai jatuh hati pada seseorang, di saat hati belum bisa sepenuhnya menghapus kenangan?"

▪▪▪