webnovel

Part 13 : Sedikit Bahagia

Hosh!

Andra berupaya mengatur napasnya yang memburu seusai bermain basket dengan membuang sedikit demi sedikit karbon dioksidanya melalui mulut.

Cowok itu duduk di pinggir lapangan sambil mengambil sebotol minuman yang dibelinya tadi sebelum bermain. Tapi sayangnya, sebelum Andra bisa memuaskan rasa dahaganya denngan tuntas, air mineral yang berada dalam botol itu sudah terlebih dulu tandas.

"Buat lo."

Kilasan kejadian beberapa hari yang lalu membuat Andra tersenyum. Dia mengingat bagaimana saat Adyra menyodorkan sebotol minum untuknya siang itu. Dan awal kejadiannya, sama persis dengan kejadian saat ini.

Andra mendongak, mencari tahu wajah seseorang yang barusan menyodorkan sebotol air mineral, yang bahkan sudah bisa Andra tebak sebelumnya. Hingga saat Andra telah mengangkat kepalanya, tubuhnya menegang saat itu juga.

"Heh! Malah bengong lagi!" Andra memasang ekspresi datar saat botol air mineral itu mulai menyentuh permukaan kulit tangannya.

"Kenapa jadi elo?" kata Andra keheranan.

"Itu bukan dari gue, kok! Jadi jangan ge-er!" katanya sambil sedikit menggembungkan pipinya yang gembul.

"Kalau bukan demi traktiran tiga mangkuk bakso plus dua gelas es campur di kantin, gue juga ogah disuruh kasih minuman ini ke elo sambil turun tangga dari lantai paling atas sampai lantai yang paling bawah!"

Andra memandang sosok gadis bertubuh sintal berotot hingga membuat rok abu-abunya jadi terlihat kedodoran itu dengan heran. Gadis itu sudah pergi dari hadapannya, dan Andra masih bingung dengan apa yang barusan terjadi.

Andra mendengus malas. Dia semakin tak bersemangat dengan kejadian hari ini. Tubuhnya lelah karena tenaganya diforsir untuk bermain, tenggorokannya kering karena kehausan, dan sekarang dia malah ketemu sama model cewek begituan.

Nggak ada yang lebih bagus apa?

Andra mengalihkan pandangannya ke botol mineral yang diterimanya tadi. Ada secarik sticky note yang terselip di balik merk botol tersebut.

From: Calon pacar

Lihat ke atas buat tahu siapa pengirimnya! Selamat minum:)

Andra berdecak. "Apalagi coba?"

Ekspresinya berubah seiring kepalanya didongakkan. Seseorang itu tengah berdiri di koridor atas dengan senyuman yang selalu membuat reaksi tubuhnya tak karuan.

Indera penglihatan Andra menangkap wajah seseorang dari atas sana. Yang kini tengah melambaikan tangan untuknya dengan antusias. Mau tak mau sudut bibirnya tertarik membentuk seulas senyum tipis, saat dia melihat Adyra tengah tersenyum manis.

***

Pipinya bersemu merah saat dengan begitu jelas manik matanya menangkap segaris senyum tipis itu. Telapak kaki Adyra terasa melayang saat menangkap senyum menawannya yang khas. Bibirnya tak henti-henti mengulas senyum, sambil membiarkan telapak tangannya melambai antusias ke arah cowok itu.

"Lagi ngapain?"

Telapak tangannya mengambang di udara, saat sebuah suara tengah menginterupsinya. Adyra membalikkan tubuhnya dengan perlahan, hingga Adyra bisa melihat sosok itu berdiri di hadapannya.

"Bara?"

Adyra memasang ekspresi kaget sampai membuat cowok itu terkekeh kecil.

"Gue tanya, elo habis ngapain?" ulangnya.

Adyra tersenyum kikuk, lalu menggelengkan kepalanya.

"Lagi ngobrol sama orang, ya? Siapa sih, emang?" Bara masih bersikeras ingin tahu, sampai kepalanya sesekali celingukan ke arah lapangan yang tengah dipenuhi anak-anak bermain basket.

Adyra mengikuti arah pandang Bara, dengan menghalang-halangi pandangan Bara dengan tubuhnya.

"Ah, enggak! Itu.. cuma.. ehm—" dongkol Adyra mencari alasan. "—eh, nyamuk! Ah, iya bener. Nyamuk nya banyak banget!"

Gadis itu gelagapan mencari alasan agar Bara tak melihat ke bawah. Gerak-geriknya aneh. Persis seperti maling yang abis ketangkap basah karena nyuri jemuran punya tetangga.

"Sekolah ini bersih, kok! Sejak kapan ada nyamuk?"

Adyra melongo telak. "Hah? Gitu ya?"

Gadis itu mati kutu. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal untuk sekedar mengurangi rasa canggung akibat bibir abnormal nya yang cenderung mengucakan kata-kata atau kalimat yang tak rasional dan berbobot.

Bara terkekeh singkat. Menatap gadis lugu di hadapannya ini, yang terlihat menggemaskan dengan ekspresi polosnya. Belum pernah Bara menemukan gadis cantik yang memiliki kepribadian unik seperti Adyra. Rasanya pengen dikantongin di dalam saku, terus di bawa pulang, deh.

"Kaki lo lagi sakit, nggak?"

Adyra mengernyit, menatap Bara dengan heran. "Enggak... emang kenapa?"

"Bisa jalan, dong?"

"Bisa," jawabnya ragu.

Sejurus kemudian, Bara menyeringai singkat saat menangkap ekspresi bingung yang sangat kentara. "Ya udah, yuk! Kapan?"

Matanya membulat menatap Bara terkejut. Hal itu membuat ekspresi wajah Adyra terlihat sangat konyol dengan mulut yang sedikit menganga. Bara terkekeh melihat wajah Adyra. Sontak Adyra menutup mulutnya dengan sigap.

Gadis itu merengut. "Dasar gombal!"

Kekehan Bara sudah berakhir. Tapi senyumnya masih saja mengembang. "Gue serius," jawab Bara sekenanya.

"Cowok bengal kayak lo emang mau ngajak gue jalan kemana?" tanyanya. "Ke sirkuit balap? Bar? Hotel? Atau... Diskotik?"

Ucapan gamblang Adyra membuat Bara sedikit terperanjat. Berbagai isu dan kelakuan buruk yang sangat melekat kuat dengan namanya, jelas membuat siapa saja tahu garis besar tentang siswa bernama Bara Aldino di SMA Pancasila ini. Tak terkecuali Adyra—si siswa baru

"Sebengal-bengal nya gue, nggak pernah tuh gue pergi ke tempat begituan," belanya. "Ya.. kecuali sirkuit, sih." Bara tersenyum menerawang, waktu mengingat kejadian tempo hari saat dirinya berhasil membuat Andra tersungkur dengan segala kelicikannya.

Cowok itu memang sudah merencanakan ini sebelumnya. Tapi untuk hal yang melibatkan polisi, itu di luar rencananya.

"Jadi, balapan motor tempo hari di Gada itu... komplotan lo?"

Bara mengangguk samar, sedikit tak yakin.

"Jadi, elo yang waktu itu balapan sama Andra sampai dia kecelakaan?"

"Lo ada di tempat kejadian waktu itu?" tanya Bara sedikit khawatir.

"Enggak. Gue cuma lewat sekitar daerah itu, terus nemuin Andra di tempat sepi, dan dia... luka parah." Adyra menatap ke sembarang arah, mengingat bagaimana dia bisa menemukan Andra saat perjalanannya ke kafe malam itu. Bersamaan dengan mobil patroli polisi yang sempat dilihatnya tempo hari yang membawa beberapa gadis dan pemuda yang terlibat di sana.

"Kejadiannya gimana sih?"

Adyra menatap Bara dengan tatapan meemaksa ingin tahu. Tapi, Bara melirik Adyra sekilas, lalu melengos ke arah lain. "Cuma kecelakaan, dan gue nggak tahu apa-apa."

Adyra bergeming, berusaha mencerna kalimat yang Bara ucapkan. Ekspresinya biasa saja seolah dia memang tidak tahu apa-apa. Tapi Adyra tidak begitu yakin, setelah melihat sendiri bagaimana Andra dan Bara selalu terlibat dalam satu lingkar pergumulan.

"Lo nggak percaya sama gue?" kata Bara akhirnya setelah melihat ekspresi Adyra yang seakan ingin mendengarnya mengatakan suatu hal yang lain.

"Eng... enggak, kok. Gue cuma..."

"Segitu pedulinya lo sama cowok berengsek itu?"

"Dia nggak seburuk yang lo kira!"

Adyra membungkam bibirnya sendiri saat dia sadar jika telah menaikkan nada suaranya. Tidak ada yang bisa ditutupi, jika gadis itu sangat peduli dengan Andra.

Bara tersenyum kernyih. "Apa lo udah suka sama dia?"

Adyra menundukkan pandangannya. Pertanyaan Bara membuat reaksi tubuhnya gugup seketika. Gadis itu membuang napas lalu membuka suara. "Gue harus pergi. Belum belajar, ada ulangan," bohongnya.

Bara mencekal pergelangan tangan Adyra sebelum gadis itu benar-benar pergi dari hadapannya. "Mau gue anter?"

Adyra menggeleng. "Ga usah, makasih."

Adyra melepaskan cekalan Bara di tangannya. Jujur, Adyra masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Di satu sisi, sepertinya Adyra nyaman dengan perlakuan Bara yang hangat dan bersahabat. Sangat berbanding terbalik dengan kelakuannya yang suka seenaknya sendiri. Tapi di sisi lain, Adyra merasa lebih nyaman dengan Andra yang cenderung dingin sama orang.

Bara menatap lurus, memerhatikan bahu Adyra yang perlahan kian menjauh. "Seru kali ya, kalau gue bisa bikin lo jatuh cinta sama gue, terus ngerebut hati lo dari Andra."

Di sisi lain, seseorang tengah berdiri di sudut tembok yang bersebrangan dengan tempat Bara dan Adyra mengobrol tadi. Wajahnya berekspresi datar, bersamaan dengan satu telapak tangannya yang terkepal di balik saku celana.

***

Beberapa menit lagi, porsi jam pelajaran terakhir akan segera berakhir. Bu Martha tengah asik menuliskan rentetan rumus berangka di papan tulis, sementara Rio meringis bingung melihat Andra yang senyum-senyum sendiri sambil menatap lurus papan membosankan itu di hadapannya.

"Si Andra ketempelan, ya?" Aldo—yang duduk di sampingnya itu langsung menoleh. "Sejak kapan sih tuh anak bisa mesem?" lanjut Rio lagi.

Aldo mengernyit. "Nggak sengaja nelen baygon kali," jawabnya asal.

Rio terkikik mendengar jawaban Aldo disertai ekspresinya polosnya. Semua mata tertuju padanya, karena saking kerasnya dia terkikik.

Kriinnggggg...

Kontan Bu Martha menghentikan kegiatan menulisnya, lalu menutup buku Matematikanya itu sambil balik badan. "Silahkan berbenah, setelah itu kalian bisa berdo'a."

"Yah.. cepat banget, udah bel pulang aja," celetuk salah satu siswa.

"Iya nih, saking asiknya belajar jadi lupa waktu."

"Padahal kan belum selesai nyatet," Aldo ikut-ikutan.

Bu Martha memutar bola matanya malas dengan ucapan murid-muridnya yang terkesan cari muka. Di depan aja kelihatan sedih, tapi di belakangnya pasti jingkrak-jingkrak.

"Kalian nggak usah sedih gitu, besok kan masih ketemu saya," sahut Bu Martha. "Dan sebagai bonus, besok kita ulangan."

Kalimat telak yang diucapkan Bu Martha sontak membuat sebagian besar siswa di kelas itu membelalak kaget, apalagi Aldo. "Yaahh... Bu!"

Aldo menyesal telah ikut-ikutan cari muka sama Bu Martha.

Eric mengerang frustasi. Harusnya, nanti malam dia berencana mengajak Caca nonton Danur di bioskop. Lumayan kan, film horor bisa peluk-peluk. Tapi sepertinya dia harus mengurungkan niatnya dan memilih belajar.

"Ya udah sih, cuma ulangan doang!" celetuk Andra asal setelah lama diam.

Aldo menoleh lalu mendelik tak suka. "Lo mah enak, nggak usah belajar udah pinter! Lah kita—"

"Heh! Heh! Heh! Kita apa maksud lo?" sahut Rio. "Lo aja kali, gue enggak!"

"Iya, lo aja. Gue juga enggak tuh!" Eric ikut-ikutan.

Aldo mendengus kesal. Emang dasar ya, temen nggak tahu diri! Nggak bisa diajak sekongkol.

Meskipun Andra lebih suka nongkrong di kantin atau ngerokok di tempat sepi, tapi dia adalah salah satu murid jenius yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Sistem belajar yang dia terapkan hanya membaca sambil mendengarkan musik. Walau hanya dengan membayangkan saja, sepuluh soal berangka seperti Matematika juga bisa dia jawab kurang dari 5 menit. Itu salah satu kelebihan yang membuat dia disegani di sekolah ini.

"Ya... namanya juga nggak punya otak. Wajar lah, kalo kalian emang bego."

Bara tiba-tiba muncul di hadapan mereka dengan tatapan mencemooh. Sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka mendapat perlakuan kurang ajar dari Bara. Cowok itu memang selalu cari masalah. Apalagi sama Andra. Udah hobi kali negerecokin urusan orang.

"Dasar jurig!" Aldo melempar sebuah buku tebal ke arah Bara. Tapi sayangnya meleset jauh. Bara sudah melesat jauh dan menghilang dari ambang pintu.

Andra hanya melirik Bara dari sudut matanya. Ada sedikit perasaan kesal yang mengganggu pikirannya. Sesaat setelah itu, dia kembali mengingat Adyra. Bagaimana gadis itu memberikan beberapa lembar sandwich dan sebotol air mineral pagi tadi. Tiba-tiba ada gelenyar aneh yang mendesir di aliran darahnya. Dan bibirnya mesem untuk kesekian kalinya.

***

"Balikin ponsel gue! Gue mau telpon Papa biar dijemput, tauk!" Adyra berjinjit berusaha menggapai ponsel miliknya yang tengah menggantung di udara.

"Bara, ih!"

Bara semakin mengangkat ponsel Adyra lebih tinggi agar gadis itu tak bisa menggapainya dengan mudah. "Gue balikin asal lo mau pulang bareng gue!" tawar Bara.

Adyra berhenti sejenak mengambil napas. "Gue pulang sama Papa aja!"

"Ya udah nggak gue balikin."

Adyra semakin mendengus kesal melihat Bara yang malah berlari menjauh darinya.

"Sini ambil! Katanya mau telepon bokap!" Bara mengacungkan ponsel Adyra di udara, seolah mengiming-iming gadis itu. Sementara Adyra, dia udah ngos-ngosan sebab lari-larian dari lantai atas sampai lantai bawah.

"Udah lah-hh-Bar! Capek gue!"

"Payah deh! Masa' ambil ginian aja nggak bi—eh!"

Bara sedikit terkejut saat ponsel Adyra lepas dari tangannya. Bara langsung memasang wajah masam sedangkan Adyra melongo bingung.

"Nggak ada kerjaan lain apa, selain gangguin orang?" katanya datar. Adyra masih terpaku saat Andra mengulurkan ponsel itu ke arahnya. "Nih!"

Adyra menerima ponsel itu walau dengan gerakan sedikit kaku.

"Dan lo nggak ada kerjaan lain apa, selain ngurusin urusan gue?" sahut Bara tak kalah datar. Andra hanya balas melirik acuh.

Bara menyeringai seolah menyadari suasana yang menajdi canggung seketika. "Oh, gue tahu. Apa... seorang putra kesayangan kepsek ini, lagi tertarik sama cewek di sebelah gue?"

Adyra mengalihkan pandangannya ke arah Bara bersamaan dengan kernyitan jelas yang berasal dari keningnya. Andra hanya berekspesi datar seolah enggan menanggapi. "Emang kenapa kalau gue tertarik sama dia? Lo cemburu?"

Seringai yang tadinya terlihat di wajah Bara kini perlahan kian meluntur. Dan Adyra, sejak tadi dia hanya diam tidak tahu harus berbuat apa.

Andra menarik pergelangan tangan Adyra lalu melenggang menjauhi Bara yang masih berdiri di tempat. Cowok itu mengangkat sebelah alisnya seiring Andra dan Adyra hilang dari jangkau pandangnya.

***

"Udah sampai."

Andra mengernyit saat melihat Adyra yang masih bergeming sambil menunduk. Andra menunduk menyamai Adyra. Hingga setelah menyadari jika tangannya masih tertaut, dia langsung melepaskan cekalannya di tangan Adyra dengan cepat.

Kecanggungan meliputi mereka untuk beberapa saat. Andra benci dengan situasi ini. dia seolah tidak bisa berbuat apa-apa jika terjebak dalam keadaan seperti ini. sebuah ide jahil terlintas di benaknya. Cowok itu mendekatkan bibirnya ke telinga Adyra saat gadis itu masih mematung sambil menatapnya tanpa berkedip.

"Hoi!"

"Aaaaa!"

Andra tersenyum samar saat melihat reaksi Adyra setelah berhasil mengagetkannya.

"Untung kuping gue nggak budeg," sahut Adyra. Andra hanya menatap datar tanpa menyahut.

"Lo... nggak pulang?" tanya Adyra.

Andra mengangguk singkat. "Pulang."

Adyra balas tersenyum. "Gue juga mau pulang," antusiasnya.

"Oh, ya udah."

Gadis itu termangu. 'Oh, ya udah? Gitu doang?' batinnya.

"Sendirian?"

"Iya."

"Sama," sahutnya. "Gue juga sendiri."

Andra sedikit mengernyit, melihat Adyra yang tengah tersenyum penuh arti. "Bukannya lo dijemput?"

"Nggak jadi."

"Oh."

Adyra melongo mendengar jawaban Andra. Dia tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi sekarang. Entah Adyra yang nggak jago ngode, atau emang Andra nya yang bego?

"Ih, dasar nggak peka!" Andra mengangkat satu alis. "Lo nggak ada niat buat nganterin gue pulang gitu?"

Andra terdiam sejenak seperti berpikir, hingga beberapa saat dia menggeleng. "Enggak tuh."

Cowok itu sudah menaiki motor yang berada sekitar 3 meter dari hadapan Adyra lalu memakai helmnya. Gadis itu menggeleng tak percaya. Dia pikir, sikap Andra akan berubah setelah beberapa kejadian yang terjadi waktu lalu. Insiden keserempet kemarin malam, minta maaf, dianter pulang, sampai senyum di lapangan tadi, itu semua... nggak ada artinya?

Bahunya meluruh seketika. Senyumnya sudah raib entah ke mana. Andra sudah menyalakan mesin motornya tanpa memerdulikan Adyra. Sementara gadis itu, dia memilih duduk di undakan lantai samping parkiran dengan tampang kecut.

"Katanya mau pulang?" Andra menghentikan motornya tepat di hadapan Adyra.

"Nanti aja!" jawabnya ketus.

"Kenapa?"

"Berubah pikiran."

Andra tersenyum kecil di balik helmnya. "Yah, padahal gue udah berniat nganterin lo pulang tadi."

Gadis itu mendongak antusias. "Kenapa?"

"Berubah pikiran."

Adyra tersenyum manis hingga memerlihatkan deretan giginya. Gadis itu langsung berdiri, lalu mendudukkan tubuhnya di atas motor.

"Jangan ngebut kalo nggak mau gue peluk secara tiba-tiba."

Andra hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat gadis itu. Hah.. entah kenapa semenjak beberapa insiden yang membuatnya seakrab ini dengan gadis itu sekarang, selalu melukiskan segaris senyum di bibir Andra tanpa absen.

Mungkin ini yang namanya bahagia kali, ya?

***