webnovel

Part 12 : Sweet Apologize on That Night

"Dua hari lagi, Papa kamu akan pulang ke Bandung."

Reya menatap lurus, ke arah Andra yang mulai mengubah ekspresi wajahnya dengan rahang yang mengeras.

"Oh," responnya. "Saya kira, Papa udah lupa kalau punya keluarga karena lebih ngurusin perusahaannya."

"Andra!"

Andra mendongak, menatap Reya yang barusan membentaknya. "Apa saya salah ngomong?"

Reya menghela napasnya berusaha meredam emosi. "Percuma! Setelah kalian ketemu, ujung-ujungnya juga berantem karena masalah kecil yang nggak penting."

Andra mendengus. "Masalah Papa yang udah capek-capek kerja tapi Mama jarang di rumah karena sibuk sama urusan sekolah? Atau Mama yang sering marah-marah sama Papa, karena dia selalu sibuk keluar kota buat meeting, dari pada milih untuk tetap di rumah dan bisa makan malam sama kita?"

"Andra!"

Reya membentaknya sekali lagi, agar Andra berhenti bicara.

"Bukan cuma Papa yang capek. Bukan cuma Mama yang capek. Andra juga capek sama kalian yang selalu egois sama perasaan kalian masing-masing."

"Andra.."

Suara Reya melemah mendengar Andra yang terus mengutarakan perasaannya yang membuat dada Reya seolah tertusuk.

"Kadang, saya nggak tahu apa maksud Tuhan ngelakuin semua ini. Saya nggak tahu, kenapa saya bisa terlahir di keluarga yang nggak pernah ngasih saya kebahagiaan!"

Plak!

Andra menatap Reya sejenak, lalu berlari meninggalkan ruangan itu. Cowok itu menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa.

Batu sekeras apapun akan terkikis kalau tetes air hujan selalu menerjangnya dengan keras secara bertubi-tubi. Pohon sekuat apapun bisa tumbang dengan mudah jika badai terus-menerus menerjangnya. Reya tertegun, menatap telapak tangannya yang tak sengaja menampar putra kesayangannya.

Reya melihat Andra muncul dari atas, lalu menaiki beberapa anak tangga dengan cepat. Cowok itu meraih kunci motor yang berada di hadapan Reya lalu berlari ke ambang pintu. Reya sudah berusaha untuk menahannya. Tapi tidak bisa. Andra terlalu keras kepala.

Kepala Reya tertunduk, membiarkan cairan bening itu mengalir dari sudut matanya. "Maafin Mama."

•••

Adyra mendengus.

Kalau saja dia tidak tergoda dengan sebuah novel terbitan terbaru dengan diskon 50% untuk 50 pembeli pertama, dia pasti sudah selonjoran di kasur sambil nonton film korea setelah pulang dari sekolah.

Adyra melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya berkali-kali. Hari sudah semakin gelap, dan sampai detik ini belum juga ada tanda-tanda bus ataupun angkutan umum yang sekadar lewat.

Gadis itu mondar-mandir sejak tadi dengan khawatir. Sudah kelima puluh kalinya Adyra mencoba menghubungi Papanya. Tapi hasilnya nol. Teleponnya masih saja sibuk sampai sekarang. Dia tidak mungkin jalan kaki dari Mall sampai rumah, kan? Bisa sengklek urat-urat kakinya nanti.

Tapi kalau Adyra tidak segera pulang, dia tidak menjamin bagaimana reaksi para jambret dan copet yang konon selalu mangkal di sekitar halte ini.

"Mau pulang bareng gue"

Suara mesin motor yang terhenti, membuat Adyra sedikit tertegun. Adyra meremas ujung kaosnya dengan gugup. Semua rasa khawatirnya seolah raib setelah dia kembali mendengar suara familiar itu.

Adyra mempercepat langkah kakinya tanpa berniat membalas ataupun melirik seseorang yang berada sekitar 3 meter di balik punggungnya. Belum sempat Adyra berjalan, seseorang itu sudah mencekal pergelangan tangannya.

"Lo tuli, ya?"

Adyra langsung menoleh, "gausah, gue bisa sendiri," lalu menepis tangannya kasar.

"Nggak bakal ada angkutan umum yang lewat jam segini," keukeuh-nya.

"Sejak kapan lo peduli sama kehidupan gue?"

Andra mengangkat bibir atasnya heran. Sejak kapan gadis bar-bar ini bisa bersikap sedingin ini. Dia bahkan menepis tangannya secara kasar saat Andra berusaha bersikap baik padanya.

"Tapi—"

"Jangan maksa orang seenaknya gitu dong, Mas"

Andra menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah seorang ibu-ibu yang ikut angkat bicara. Ada banyak orang di sana. Di depan warung yang beberapa langkah dari halte bus tadi. Semua orang di sana mengangguk, menyetujui kalimat si Ibu.

"Dia teman saya kok, Bu," tukasnya.

Adyra menoleh ke arah Andra, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak. Saya nggak kenal sama dia," dalihnya.

Kepala Andra terputar secara otomatis mendengar pengakuan Adyra. Beberapa orang yang berada di warung itu menatap Andra dengan waspada. Seolah mengira jika Andra tidak memiliki niat yayng baik untuk gadis itu.

Adyra melangkah menjauh, meninggalkan Andra sendirian di sana. Cowok itu melangkah mundur, mengambil motor yang terparkir asal di trotoar sambil menghindari orang-orang yang menatapnya curiga.

Sesekali Adyra menoleh ke belakang, sekadar memastikan keberadaan Andra. Dan tetap saja, Andra masih mengejarnya. Adyra mempercepat langkah kakinya. Tapi sayang, langkah kaki Adyra tak bisa menyaingi kecepatan mesin motor Andra. Andra berhasil memotong jalan Adyra dengan menghentikan motornya tepat di hadapan gadis itu.

"Mau lo apa, sih?"

"Lo yang mau nya apa?" Andra melangkah menghampiri Adyra. "Lo mau gue digebukin sama warga, karena pernyataan lo tadi?"

Adyra sedikit menarik sudut bibirnya setelah mendengar ucapan Andra. "Buat apa gue peduli lo digebukin atau nggak?" Andra tertegun. "Bukannya lo sendiri yang nyuruh gue buat nggak usah peduli sama lo lagi? Jadi, anggap aja kita nggak pernah kenal."

"Lo... marah?"

"Nggak ada alasan yang tepat buat gue marah sama lo."

Adyra mengembuskan napas jenuh. "Udah lah, Ndra. Gue sibuk."

Bahu Andra sedikit tersentak karena tak sengaja bersentuhan dengan bahu Adyra yang masih tertutup kaos. Entah perasaan apa yang meliputi Andra, diapun tak tahu. Rasanya, Andra tidak ingin berada dalam situasi ini. Dia menyesal karena telah membuat dirinya sendiri terjebak dalam keadaan ini.

Wajah ceria itu telah berubah dingin dan sendu hanya dalam selang beberapa waktu. Andra menatap punggung Adyra yang perlahan semakin menjauh. Beberapa mobil yang berjalan dengan kecepatan normal membuat suasana jalan semakin ramai.

Adyra menundukkan kepalanya, berusaha membendung air mata yang akan jatuh entah kenapa. Sebuah teriakan mengganggu pendengarannya. Tapi Adyra malah mengabaikannya.

Gadis itu berjalan lurus, tanpa peduli sekelilinngnya. Bola mata Andra bergerak gelisah melihat Adyra yang semakin berjalan keluar area trotoar dengan kepala tertunduk. Andra megeraskan rahangnya geram karena gadis itu masih mengabaikan teriakannya.

Hingga sebuah mobil melaju dengan kecepatan abnormal membuat bola mata Andra membulat sempurna.

"ADYRA!!"

•••

Hening.

Tempurung kepalanya terasa berdenyut nyeri saat dia berusaha membiasakan secercah cahaya yang memaksa masuk melalui celah penglihatannya.

Gadis itu berusaha mengingat kejadian-kejadian apa yang barusan dialaminya sebelum dia berakhir di ruangan ini. Tapi sayangnya, belum sempat dia mengingat semuanya, keningnya semakin berdenyut nyeri seolah tak membiarkan gadis itu mengingat apapun.

"Adyra?"

Adyra terperanjat melihat seseorang yang keluar dari balik pintu. Gadis itu memosisikan tubuhnya untuk duduk saat seseorang itu semakin mendekat ke arahnya. Lengan Adyra ditahan, sebelum Adyra sempat terduduk sempurna. "Kamu masih lemah," tuturnya. "Jangan dipaksain, ya?"

Adyra mengangguk seolah menurut. Sampai saat ini, dia bahkan belum ingat kejadian apa yang menimpanya sebelum ini.

"Anda siapa? Kenapa saya bisa di sini?"

Wanita itu tersenyum, seolah mengisyaratkan Adyra agar tak perlu mengkhawatirkan apapun. "Kamu nggak ingat sama saya?" ucap wanita itu membuat Adyra menggeleng.

"Reya Sasmitha, Kepala Sekolah SMA Pancasila, kamu nggak ingat?"

Adyra langsung menutup mulutnya tak sengaja karena mendengar penuturan wanita itu. Adyra merasa kaget sekaligus bingung kenapa dia bisa ada di rumah kepala sekolahnya ini.

"Astaga! Maaf, Bu, saya baru nyadar kalau itu Ibu. Pantesan aja Ibu cantik," jawanya kikuk.

Adyra merutuki bibir kurang ajarnya yang nyerocos nggak jelas. Adyra hanya tersenyum canggung membalas kekehan Reya.

"Tapi... gimana saya bisa ada di sini, Bu?" tanyanya lagi memastikan.

Reya tak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum kecil sambil meletakkan sebuah nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih.

"Belum pernah ada sejarahnya seorang gadis yang dia perlakukan seperti ini sebelumnya." Reya membuang napas lalu tersenyum ringan. "Kamu pertama kalinya. Dan saya harap, dia bisa berubah setelah mengenal kamu."

Adyra tertegun. Dia semakin tidak mengerti dengan apa maksud dari semua ini. Adyra menangkap dengan jelas sorot ketulusan dari mata Reya saat wanita itu melontarkan kalimatnya. Mata meneduhkan itu, mengingatkan dia dengan seseorang yang dia rasa sangat familiar.

Dia?

Dia siapa yang dimaksud?

Saat Reya beranjak dari posisinya, seiring dengan putaran kepala Adyra, kedua manik mata itu menangkap seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan dinginnya.

•••

Kilasan memorinya menangkap jelas bagaimana gadis itu bersikap dingin padanya. Membuat cowok itu merasa sedikit aneh dengan kinerja otak dan jantungnya.

Untuk pertama kalinya, Andra merasa gelisah. Untuk pertama kalinya, Andra merasa gundah. Dan untuk pertama kalinya juga, semua perasaan itu tertuju pada seorang gadis.

Selama ini Andra hanya mengenal rasa egois, dan menutup mata dengan semua hal yang berkaitan dengan perasaan. Takdir yang selama ini dia terima telah mengajarkannya untuk hidup tanpa perasaan dan rasa kepedulian.

Tapi dengan gadis ini, semua pernyataan itu seolah raib seketika bersamaan dengan sebuah perasaan yang semakin membuncah entah kenapa.

"Lo... gimana?"

Tatapan Andra masih datar seperti biasa. Tapi dengan nada bicaranya, sama sekali tidak bisa menutupi perasaan khawatir yang mengganggu detak jantungnya.

"Masih sakit?"

"Pusing?"

"Ada yang terkilir?"

"Atau—"

"Jadi lo yang bawa gue ke sini?"

Andra mendengus. Menatap Adyra kesal yang sama sekali tak berniat menjawab pertanyaannya. "Ya.. menurut lo?"

Adyra terdiam sejenak, tanpa mengalihkan tatapan sinisnya.

"Gue mau pulang!"

Adyra menurunkan kakinya ke lantai, lalu melangkah dengan sempoyongan. Andra berusaha menahan lengan Adyra, tapi Adyra sempat menepisnya kasar. "Gausah pegang-pegang!" ketusnya sambil melotot.

Andra memutar bola matanya, melihat Adyra yang masih bersikeras untuk berjalan walaupun langkah kakinya berantakan nggak jelas karena masih sempoyongan.

"Percuma lo nggak akan bisa keluar. Karena pintunya gue kunci." Andra mengacungkan segerombolan kunci logam itu, sambil mengayun-ayunkannya di udara.

"Egois!" Adyra mendesis, membuat kegiatan Andra terhenti seketika.

"Gue salah apa sih, sama lo? Gue peduli, salah. Gue cuek, juga salah. Bukannya lo sendiri yang bilang sama gue kalau—"

"Gue tarik ucapan gue."

"Lo—"

"Gue minta maaf."

Adyra tertegun sejenak setelah mendengar pernyataan gamblang yang terlontar sempurna dari bibir Andra. Untuk pertama kalinya, Adyra menangkap sorot ketulusan saat menatap manik mata itu.

Andra mengambil semangkuk bubur jagung yang berada di atas nakas, lalu dipindah tangankan ke arah gadis itu. Adyra menatap mangkuk bubur itu lekat-lekat.

"Anggap aja itu sebagai balas budi waktu lo nolongin gue, sekaligus tanda minta maaf."

Andra melangkahkan kakinya menjauh, membiarkan Adyra yang sibuk dalam lamunannya dengan masih setia menatap mangkuk bubur itu lekat-lekat. Saat sampai di ambang pintu, Andra menolehkan kepalanya sejenak. "Gue anterin lo pulang, setelah lo makan."

"Selamat malam."

•••

Pagi harinya, di gerbang SMA Pancasila.

Aldo duduk di atas motor besar hitamnya dengan berpangku tangan. Sinar matahari yang tadinya menghangat kini telah berubah memanas seiring bertambahnya waktu. Dan sampai saat ini, batang hidung si anak kepala sekolah itu belum nongol-nongol juga.

"Andra mana sih? Tumbenan amat telat. Biasanya aja, kucing warung sebelah belum berkokok juga udah nongol aja dia," cibir Aldo gereget sendiri. "Mana nanti ada ulangan fisika lagi."

Eric mengangkat sebelah alis, sedangkan Rio mengernyit. "Sejak kapan kucing bisa berkokok, ogeb?"

Aldo sedikit menjauhkan tubuhnya saat tangan Rio berancang-ancang ingin menoyor jidat mulusnya. "Orang ganteng mah bebas!" katanya sambil menepuk dada dengan bangga.

Eric dan Rio mengeplak Aldo bergantian sampai dia menundukkan kepala sambil teriak-teriak, "jangan apa-apain adek, bang! Adek masih suci," dengan memasang tampang memelas ciri khasnya.

Tak lama setelah itu, sebuah motor menghampiri tempat mereka dengan santai. Andra melepas helm di kepalanya, lalu mengacak-acak sedikit rambutnya seperti biasa. Seragam sekolah yang keluar dari celana abu-abunya, tertutup sempurna dengan jaket hitam yang membalut tubuh tegapnya.

"Ini nih, anak kurang ajar! Gue nungguin lo dari muka gue yang tadinya cakep banget ini sampai jadi cakep aja karena panas-panasan di bawah matahari," cibir Aldo sarkasme. Andra hanya melirik, tanpa ada niatan ngomong.

"Ini lagi, nih! Kenapa lagi tuh muka? Kusut amat kayak duit seribuan." Aldo memberondong Andra dengan berbagai ocehan yang nggak guna. "Lo abis begadang? Abis nonton bola, atau emang nggak bisa tidur?"

"Minggir lo, ah! Berisik." Andra mendorong bahu Aldo sedikit menjauh. Pikirannya sekarang sedang kacau, dia pusing, dan sekarang masih pagi udah menghadapi sosok makhluk model begituan.

"Lagian itu bibir nyinyir banget kayak emak-emak" Eric angkat bicara sambil menepuk bibir Aldo dengan tangannya.

"Bodo! Yang penting bibir gue sexy, nggak kayak lo!"

"Emang bibirnya Eric kayak apaan, Do?" timpal Rio memancing emosi.

"Tipis banget kayak tisu basah yang selalu ada di samping kloset rumah gue!"

"Apa lo bilang—"

Eric membulatkan matanya saat telapak tangan Aldo membekap mulutnya. Eric menatap bingung ke arah Rio yang tengah menempelkan telunjuknya di bibir seolah mengisyaratkannya untuk tak usah bicara. Aldo mengedipkan matanya berulang kali ke arah Eric, lalu mengalihkan pandangannya dari balik punggung Andra.

"Lo... ngapain?"

Andra memasang ekspresi terkejutnya saat melihat Adyra yang tengah berdiri sekitar 3 langkah darinya. Gadis itu bergeming dengan kepala tertunduk.

Andra mengernyitkan keningnya bingung saat gadis itu mengangkat kepalanya, lalu menarik segaris senyum manis di bibirnya. Andra tersenyum dalam hati menerima senyuman itu. Entah kenapa, rasanya Andra seperti merindukan senyum manis yang seakan lama sudah tak ditangkapnya itu.

"Selamat pagi, calon pacar!"

Ekspresi wajah Andra yang semula biasa-biasa saja kini telah berubah drastis setelah Adyra mengucapkan kalimat itu secara gamblang. Matanya membulat tak percaya dengan kalimat yang barusan dia dengar.

Adyra makin tersenyum lebar, bahkan hampir terkikik geli melihat wajah Andra yang terlihat lucu saat kaget. "Senyum dong!"

Adyra menarik kedua sudut bibir Andra dengan masing-masing telunjuknya hingga menampakkan segaris senyum di bibir cowok itu. "Nah, gitu kan ganteng!" akunya bangga.

Entah kenapa, Andra tersenyum tanpa terduga sebelumnya. Cowok itu mendengus geli melihat tingkah gadis itu yang sudah seperti biasa.

"Nih! sandwich buat lo," ucapnya sambil menyodorkan sebuah kotak makan persegi berwarna biru.

Andra mengangkat sebelah alisnya tak mengerti. "Ya, itu buat lo," jelas Adyra. "Anggap aja, sebagai bentuk rasa terima kasih dari gue, buat semalam."

Adyra tersenyum jengah saat menatap Andra yang tengah mengambil kotak makan itu dari tangannya. Gadis itu langsung ngacir dengan kepala tertunduk karena malu. Andra menatap kotak makan itu lalu, tersenyum kecil setelahnya.

"Ada apa nih?"

Andra terkejut, saat Rio tiba-tiba sudah berada di sampingnya. "Apa sih!"

"Lo abis ngapain semalam?" Aldo mulai lagi. "Lo nggak aneh-aneh, kan? Lo nggak macem-macem, kan? Elo nggak ngapa-ngapain anak orang kan, Ndra?"

Andra mengangkat bahunya acuh, lalu meninggalkan mereka bertiga tanpa menghilangkan senyum yang nampak tercetak jelas di bibirnya.

Eric bergidik ngeri melihat Andra yang masih senyam-senyum nggak jelas seperti itu. Jelas itu bukan tipikal seorang cowok kayak Andra banget.

"Kok gue ambigu, ya?" kata Eric.

"Kok gue merinding, ya?" Rio menimpali.

Mereka berdua berjalan mengikuti langkah kaki Andra masih denagn ekspresi bingung. Sedangkan Aldo, cowok itu masih bergeming di tempat dengan ekspresi tak terbaca.

"Makin horror nih, sekolah."

•••