webnovel

Part 11 : Still Different

Rongga dadanya digerayangi perasaan cemas yang menggebu. Sedari tadi, gadis itu menundukkan kepala, sambil memilin-milin ujung dasinya. Gadis itu terlihat sangat khawatir, menunggu apa yang akan terjadi saat ini.

"Adyra Febiana Putri."

Gadis itu mendongak spontan, menatap wajah dengan perasaan takut. Bu Etik tengah menatapnya tajam, hingga membuat Adyra menelan ludahnya susah payah.

"Mana tugas fisikamu?" Gadis itu menghela napas berat, kemudian memejamkan kelopak matanya. "Belum selesai, Bu," ucapnya pelan hingga terdengar seperti berbisik.

Adyra mengusap dadanya kaget, karena pukulan rotan yang diterima meja di hadapannya membuat dada Adyra terasa berdenyut.

"APA-APAAN KAMU?," bentak Bu Etik menakutkan. "Kamu pikir, sekolahan ini punya mbah-mu apa? seenaknya aja tidak mengerjakan tugas!"

Adyra semakin menunduk. "Saya udah ngerjain kok, Bu! Tapi.."

"TAPI APA?"

"Lembaran tugas saya tadi, basah karena kesiram air, Bu," kilahnya Adyra tanpa berbohong. "Jadi, saya harus buat yang baru. Tapi, Bu Etik udah datang duluan sebelum saya selesai nyalin."

"Jadi kamu menyalahkan saya?"

"Ha?" Adyra menggeleng spontan. "E—enggak kok, Bu. Bukan itu maksud saya. Saya—"

"Saya percaya sama kamu." Kepala Adyra mendongak tanpa disuruh. Gadis itu menhembuskan napas lega setelah mendengarnya.

"Jangan seneng dulu," timpal Bu Etik dan membuat bahu Adyra meluruh. "Saya kasih kamu waktu tambahan sampai pulang sekolah. Kamu belum boleh pulang, sebelum tugasnya selesai."

"Makasih, Bu. Saya selesaikan hari ini juga," ucap Adyra girang sambil mengangguk antusias.

"Kamu boleh pergi ke perpustakaan." Adyra bangun dari kursinya, dengan membawa beberapa buku dan alat tulis.

"Gue temenin, ya?" Amy bergerak berdiri dari posisinya. Hingga saat dia berdiri, Bu Etik mengacungkan rotannya di depan Amy. "Siapa bilang kamu boleh ikut?"

•••

Andra menghela napasnya berat karena merasa lelah dengan tumpukan buku menggunung di hadapannya. Gara-gara dia ketahuan berkelahi dengan Bara, alhasil dia harus menata seluruh tumpukan buku di perpustakaan ini sebagai hukumannya.

"Perpustakaan macam apa sih nih? Buku-buku pada berantakan semua lagi!," gerutu Andra kesal sambil menata beberapa buku di atas rak berdasarkan judul buku.

"Tinggi banget, sih!"

Andra mengedarkan pandangannya, saat mendengar suara hentakan kaki yang beraada tak jauh dari tempatnya saat ini. Andra mendengus geli, saat melihat gadis berkuncir kuda itu tengah melompat-lompat, berusaha menggapai sebuah buku yang berada di bagian rak paling atas. Andra melangkahkan kaki, menghampiri Adyra yang masih berjinjit tanpa pikir panjang.

"Kalo emang nggak nyampe, apa susahnya sih minta tolong?" Adyra mendongak terkejut menatap Andra yang kini telah berdiri tak jauh dari tubuhnya. Gadis itu tersenyum kikuk sambil menyipitkan matanya. "Nggak usah, gue bisa sendiri."

Andra merasakan sesuatu yang aneh saat Adyra tersenyum padanya. Andra tahu, secara tak langsung gadis itu telah menolak bantuannya. Bahkan gadis itu masih berjinjit dan mengulurkan tangannya tinggi-tinggi berusaha menggapai buku tersebut. Tangan Andra terulur secara otomatis untuk meraih buku itu. Belum sampai tangan Andra menyentuh bukunya, sapaan seseorang membuatnya mengalihkan perhatian.

"Hai! Elo...Adyra? Cewek yang tadi pagi, kan?"

Mereka berdua menoleh bersamaan. "Ya?" Adyra menarik sudut bibirnya membalas senyuman Bara. "Darimana lo tahu nama gue?"

"Bukan hal yang sulit, buat gue tahu nama lo" Bara tersenyum. "Ternyata, dunia sempit banget, ya? Gue nggak sengaja ketemu elo di sini," ujar Bara dengan percaya diri. "Oh, ya! Plaster dari elo tadi, gue pakai lho! Makasih, ya?"

"Norak."

Perkataan Andra membuat mereka menoleh spontan. Adyra menoleh bingung, sementara Bara bersikap biasa saja, seolah tak mengganggap Andra berada di antara mereka. "Lo, lagi apa?"

"Mau ambil buku, tapi kayaknya nggak nyampe, deh," ucap Adyra apa adanya.

"Mau gue bantuin?"

"Ehm, boleh."

Andra melirik ke arah Adyra dengan tatapan tak suka. Waktu Andra menawarkan bantuan, gadis itu menolaknya. Tapi saat Bara yang menawarkan bantuan, bahkan dia langsung menerimanya tanpa pikir panjang.

Adyra terlonjak kaget saat Andra memukul rak buku dengan sedikit keras. Semua orang yang ada di ruangan itu menoleh ke arah Andra, karena merasa terganggu. "Hei, kamu! Ini perpus, bukan pasar! Kalau mau membuat keributan, mending kamu keluar atau saya usir!" bentak wanita paruh baya petugas jaga perpus sambil mengacungkan rotannya.

Andra hanya meliriknya sekilas, "gausah diusir. Saya juga mau pergi kok, Bu." Dia mengangkat setumpuk buku di tangannya, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu.

Cowok itu masih sama di mata Adyra. Selalu menarik untuk ditatap. Bahkan saat gadis itu menjauhi Andrapun, sangat sulit baginya untuk mengalihkan pandangannya agar tak menatap Andra barang sedetikpun.

"Sirik kali dia! Kelamaan jomblo jadi aneh gitu. Ya nggak, Ra?" Adyra bergeming tak menanggapi.

"Ra?"

Bara mengibaskan tangannya di depan wajah Adyra hingga membuatnya tersentak dari lamunan. "Ya?"

"Kenapa?"

"Nggak papa."

•••

Andra menyandarkan tubuhnya di balik tembok, sambil membiarkan kepulan asap yang keluar dari bibirnya. Sejak masalah demi masalah bertubi-tubi menghambur dalam dirinya, salah satu pelarian ampuhnya adalah merokok. Kepulan asap yang dikeluarkannya melalui bibir hingga terbang ke udara, seolah dia telah bisa melepas satu persatu beban yang melilit tubuhnya.

Pandangannya kosong ke depan. Sambil menerawang apa yang tengah dipikirkan. Andra tersentak, saat wajah gadis itu muncul secara tiba-tiba dalam pikirannya. Andra menggeleng kuat. "Udah gila kali gue."

Getaran ringan yang berasal dari saku celananya membuat Andra terganggu. Telapak tangannya merogoh saku, mencari letak ponselnya.

Sebuah nama yang tertera di sana, membuat ekspresinya berubah dalam sekejap. Andra mengangkat benda pipih itu, lalu diletakkannya di samping telinga.

"Halo."

"Pulang sekolah, Mama jemput."

"Saya bisa pulang sendiri."

"Motor kamu udah Mama anter ke rumah. Tidak ada penolakan, Andra."

"Terserah."

Andra mendengus, lalu menutup panggilan secara sepihak. Cowok itu membanting ponselnya ke sembarang arah. Tanpa menghiraukan deringan ponsel yang berbunyi berkali-kali.

•••

"Andra!"

Andra membalikkan tubuhnya, mencari seseorang yang memanggil namanya. Hingga saat dia berbalik, gadis itu berdiri menunduk sambil membaca buku di ujung sana. Entah ada angin apa, tiba-tiba gadis itu membuat tatapan Andra terarah padanya. Padahal beberapa hari yang lalu, dia selalu menolaknya, membentaknya, bahkan secara terang-terangan. Tapi sekarang, sepertinya dunia sudah berbalik. Andra bahkan tak sempat berpikir alasan apa yang tepat untuk dia menatap gadis itu.

"Heh! Dipanggil malah bengong." Andra tersentak dari lamunan, saat Aldo menepuk pipinya pelan. Andra hanya meliriknya datar seperti biasa. "Apa?"

Aldo meringis. "Gue nebeng dong! Eric sama Rio udah pulang duluan. Dia tega ninggalin gue, dan lebih milih kencan sama ceweknya. Mentang-mentang gue jomblo, seenaknya aja pamer pacar!," rengek Aldo manja.

Andra menyipitkan matanya, merasa geli dengan rengekan Aldo yang dirasa seperti anak kecil. "Gue pulang sama nyokap."

Raut wajahnya berubah masam. "Lah, bukannya tadi lo bawa motor?" tukas Aldo yang masih berusaha.

"Motor gue diangkut sama nyokap, ke rumah."

"Kalo gitu gue nebeng mobil nyokap lo!"

Andra mendorong bahu Aldo saat cowok rese itu masih ngebet mau ikut. "Naik angkot sana!"

"Gaada ongkos!"

"Gue kasih."

"Gaada ac-nya!"

"Ish!" Andra berdecak kesal, sementara Aldo tertawa lebar. Dia merasa puas-sepuas-puasnya karena sudah membuat Andra kehilangan kata-kata.

Andra melangkah lebar menjauhi Aldo yang masih menguntit di belakangnya. Hingga saat tubuhnya berada sekitar dua meter di hadapan gadis itu, Andra menghentikan langkahnya.

"Adyra!"

Gadis itu menoleh, dan menemukan Andra yang tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu tidak sadar, jika dia membaca sambil berdiri sejak bel pulang sudah berbunyi.

"Ya?" Gadis itu menoleh, ke arah Bara yang barusan menyapanya. Bara tersenyum, lalu mengacungkan kunci motornya ke udara. "Pulang bareng, yuk!"

Adyra mengerutkan dahi. 'Ini cowok badung kenapa jadi modus, deh.' batin Adyra keheranan. Gadis itu melirik Andra yang masih bergeming di hadapannya. "Nggak usah. Gue dijemput, kok," tolak Adyra halus.

"Yaudah, kalo gitu gue anterin ke gerbang. Gue tungguin sampai lo dijemput."

"Tapi, Bar—" Bibir Adyra terbuka menggantung kalimat. Tapi saat melihat rahang Andra mengeras, gadis itu memutuskan untuk tak jadi menolak. Bibirnyapun telah mengulas senyum ke arah Bara. "—yaudah, yuk!"

Andra melangkah ke depan, semakin menghapus jaraknya dengan gadis itu. Adyra hanya bisa diam, saat Andra melewati tubuhnya tanpa mengucapkan sepatah sapaan seperti biasa. Adyra menghembuskan napas berat. Entah sudah raib ke mana keceriaannya, semangat 45-nya saat mencoba bicara dengan Andra meskipun diacuhkan, diapun tak tahu.

Siklus waktu berlalu begitu cepat. Kilasan ego menguasai relung hatinya. Bahkan otaknya seakan mati karena tak dapat bekerja dengan baik saat berhadapan dengan Andra. Semuanya terasa berbelit-belit.

Aldo mengamati wajah Adyra yang terlihat lesu sebelum melewatinya. Aldo melirik Bara datar, tanpa berniat mencari masalah. Sebersit pertanyaan-pertanyaan sulit mengganggu pikirannya. Cowok berambut klimis itu memilih melanjutkan langkahnya mengikuti Andra.

"Ada masalah rumah tangga deh, kayaknya."

****