webnovel

Part 10 : Different

Suasana ricuh milik gerbang SMA Pancasila membuat kening Andra makin berdenyut sakit. Setelah motor besarnya terparkir rapi di samping sekolah, Andra melewati gerbang yang berdiri kokoh itu dengan langkah santai.

Tubuhnya berjengkit kaget karena ulah seseorang yang memeluknya dari arah samping secara tiba-tiba. Dadanya terasa sesak seketika. "YA AMPUN, ANDRA! KEMANA AJA SIH, LO? Mau bikin kita mati berdiri apa, karena khawatir sama keadaan lo!"

"Itu muka juga kenapa? Baret-baret kayak gitu! Sakit nggak?" teriak Aldo antusias masih dengan posisi memeluk leher Andra.

"Jauh-jauh sana, lo! Geli gue," balas Andra ketus sambil mendorong bahu Aldo dengan kasar. Bukannya kesel, dia malah ketawa-tawa nggak jelas menatap Andra yang tengah memasang ekspresi jijik.

"Nyogok berapa lo, biar dibebasin?" tukas Eric skeptis.

Andra mengangkat sebelah alis, tanpa menghadap lawan bicara. "Gue berhasil kabur."

"Kalo berhasil kabur, kenapa muka lo bonyok kayak gitu?" Rio ikut angkat bicara, sambil menyandarkan tubuhnya di samping pagar besi yang terbuka.

"Ini semua gara-gara cowok nggak tahu diri itu. Mau menang balapan, tapi pakai cara curang." Andra mendengus. "Pengecut banget."

Eric menggangguk mengerti, disusul Rio yang mengucap kata 'oh'. Sementara Aldo, mulai memasang tampang bingung sekarang. Andra memutar bola matanya malas menanggapi kinerja otak Aldo yang lemotnya minta ampun.

Andra bergerak mengambil kaleng soda milik Aldo, lalu meninggalkan ketiga temannya tanpa permisi. Otaknya merespon sangat tak sinkron dengan gerak tubuhnya. Andra mematung, sedikit terkejut melihat seseorang yang dia tabrak tanpa sengaja. Andra hanya diam. Memandang gadis yang menampakkan wajah terkejutnya karena beberapa lembar kertas yang dibawanya, telah berserakan di atas tanah.

"ASTAGA, KERTAS GUE!" Gadis itu langsung menunduk, tanpa memandang si pembuat ulah. "Gue udah bela-belain begadang sampai jam 2 pagi buat ngerjain ini. Dan lo malah ngerusak semuanya gitu aja! Makanya, kalau jalan itu pakai mata dong! Nggak punya mata, ya?"

Gadis itu mengernyit sebal karena merasa tak direspon sedikitpun. "Heh! Lo dengerin gue nggak sih—"

Adyra terperanjat sesaat melihat seseorang di hadapannya. Gadis itu bergeming untuk beberapa detik. Adyra tak mengeluarkan sepatah katapun setelah itu. Tubuhnya membungkuk untuk mengambil selembar kertas lagi yang sudah basah karena tersiram air soda milik Andra.

Adyra melewati tubuh semampai Andra begitu saja. Andra mengernyit bingung. Ada apa dengan gadis itu? Biasanya, selalu ada sebuah sapaan manis yang harus dia terima saat berhadapan dengan gadis itu. Tapi sekarang, gadis itu bahkan membuang muka saat bersitatap dengannya.

Gelenyar aneh mulai bergerak lagi menggerogoti rongga dadanya. Tiba-tiba, Andra teringat dengan kalimat yang dia ucapkan sebelum meninggalkan rumah gadis itu kemarin. Ya, dia sempat membentaknya karena kalut. Apa karena itu dia menjadi pendiam? Tapi, untuk apa Andra peduli? Bukannya bagus kalau gadis aneh itu menjauh dari hidupnya?

"Ngerasa ada yang beda, ya?" Andra menatap Eric tanpa ekspresi. Pertanyaan dari mulut Eric seolah terdengar seperti ungkapan. Ungkapan isi hati Andra yang berusaha dia tahan.

"Biasa aja," respon Andra pada akhirnya.

Eric mendengus. "Yah, Cuma mau ngingetin aja sih. Penyesalan nggak pernah dateng di awal."

Eric berlalu, kemudian Aldo dan Rio menyusul dari belakang.

"Kalau suka ngaku aja."

"Kalau cinta tembak aja."

Sebuah kaleng kosong melayang hampir mengenai kepala Aldo kalau dia tak pandai menghindar. Mereka bertiga terkikik, melihat respon Andra yang menggeraskan rahangnya. Kali ini, mereka berhasil membuat Andra kesal. "Awas lo!"

•••

Amy mengernyit heran melihat Adyra berjalan lurus melewati pintu tanpa berniat meliriknya. Amy mengerling ke arah Siska dengan tatapan bertanya. Siska juga tidak tahu apa yang terjadi. Jadi, dia hanya mengendikkan bahunya.

"Kenapa lo?" tanya Amy sambil mengambil posisi duduk di sebelah Adyra. Adyra menggeleng pelan sambil menatap lembar kertas fisikanya yang sedikit basah.

"Ya ampun!," teriak Siska spontan mengikuti arah pandang Adyra. "Itu tugas fisika lo kenapa bisa basah gitu? Kalau lo dihukum gimana? Untung gue udah nyontek Amy. Coba kalau gue nyontek elo? Pasti gue juga kan yang repot."

Amy melotot kesal ke arah Siska, lalu menendang tulang keringnya dengan satu gerakan. Emang dasar ya, kalau ngomong nggak pernah dipikir dulu pakai otak.

Amy mengambil kertas yang berada di tangan Adyra tanpa memerdulikan tatapan Siska yang merasa tidak terima karena kakinya ditendang. "Lo kesel gara-gara ini?"

Adyra menghela napas sejenak, lalu bertopang dagu di atas meja. "Ini semua gara-gara Andra," jawabnya lemah.

Siska memutar bola matanya malas sembari mendengus kesal. "Udah gue bilang kan, buat ngejauhin dia?" Amy mengangguk, menyetujui perkataan Siska. "Iya. Dia nggak pantes buat lo."

Adyra tersenyum tipis. Dia tahu jika kedua sahabatnya ini akan mengatakan hal itu lagi. Sebuah prediksi yang tepat batinnya. "Kok ngelantur sih?" Adyra memincingkan matanya. "Gue kesel karena lembaran tugas gue basah gara-gara ditabrak sama Andra."

Tidak ada sedikitpun kebohongan yang terlontar dari mulut Adyra. Dia hanya mengungkap sebagian saja, bukan sepenuhnya. Adyra merasakan jika Amy dan Siska tengah menatapnya tajam saat ini. Adyra menatap mereka secara bergantian, hingga beberapa detik setelah itu, sebuah bolpoin melayang mengetuk kening mereka.

Adyra berhasil membuat bibir mereka meringis sakit. "Haha! Sok serius, lo!"

Sontak mereka berdua membalas Adyra dengan cara yang sama. Bolpoin miliknya yang sudah berpindah tangan, kini tengah bergantian melayang memukul keningnya. Mereka tertawa sambil saling pukul-memukul. Sejurus kemudian, tawa Adyra memelan, senyumnya meluntur, saat suara gaduh memecah pendengarannya.

"Ada apa sih? Berisik gini," sahut Amy penasaran seraya bangkit dari kursinya, lalu berlari ke ambang pintu.

Adyra dan Siska mengekori dari belakang. Hingga saat Amy bertanya pada seseorang yang tengah berlari ke arah kerumunan. "Ada apaan?"

"I-itu ada yang tonjok-tonjokan, di pojok kantin!," jawab cowok bertubuh subur itu sambil menarik napas panjangnya karena ngos-ngosan.

"Siapa?," imbuh Siska ikut bertanya.

"Bara sama anak kepala sekolah" ucapnya santai sambil menyuap segenggam snack dari bungkusnya. Mereka mengangguk secara bersamaan tanpa sedikit tertarik dengan kejadian tersebut.

Hingga beberapa saat kemudian, Adyra melotot kaget secara tiba-tiba. "Minggir, gue mau lewat."

•••

"Dasar cowok bego! Bekas luka yang kemarin aja belum kering, malah ditambah lagi. Penting banget gitu cari gara-gara sama kunyuk satu itu?"

Aldo melotot kesal ke arah Andra sambil berkacak pinggang. Saat ini, mereka bertiga tengah berdiri melingkar dengan Andra di tengahnya, sambil memasang tampang garang seperti bapak yang memergoki anaknya nyolong mangga tetangga sebelah.

Andra hanya melirik datar tanpa berniat menjawab. Ujung bibirnya masih terasa sakit kalau dibuat bicara. Sedari tadi, dia hanya sibuk mengusap-usapkan kapas di wajahnya dengan hati-hati.

"Kalau ditanya itu jawab!" Andra menoleh, sambil mengangkat sebelah alis. "Hm."

Aldo menggaruk kepalanya kasar karena greget dengan sikap Andra yang lempeng-lempeng aja kayak tembok. Kadang Aldo tak habis pikir. Andra itu tergolong manusia jenis apa sih?

"Mending kalian semua balik ke kelas sebelum ada guru yang tahu."

Eric menoleh tak suka ke arah Daniel yang berdiri tepat di sebelahmya. "Siapa elo, berani nyuruh-nyuruh kita?," timpal Rio tajam.

Daniel membalas Rio dengan tatapan tajam. "Masih untung gue nggak ngadu sama kepala sekolah. Kalau gue ngadu, kalian bisa di-skors!"

Rio mengangkat dagunya, merasa tertantang ucapan Daniel. Kini, tangan Andra bergerak melerai mereka. Suara berisik mereka bikin kepala Andra jadi tambah pusing. "Udahlah, Yo, balik aja sana! Berisik baget, gue mau tidur!"

"Dasar ketos etoriter!"

Daniel tak menghiraukan gerutuan mereka sama sekali. Tatapannya beralih kepada Andra. Seolah mengetahui apa yang ada dipikiran Daniel, Andrapun angkat bicara. "Udah sana, tinggalin gue. Gue bisa sendiri," ucap Andra gamblang.

Daniel mengangkat kedua alisnya, lalu pergi meninggalkan Andra sendirian di ruang UKS. Bau menyengat khas obat-obatan menyeruak menusuk rongga hidungnya. Cowok itu mendengus, merasa tak nyaman dengan bau-bauan seperti ini.

Krieet!

Andra menarik ganggang pintu hingga terbuka. Daripada dia hanya duduk manis di ruangan bau obat membosankan itu, lebih baik dia bolos ke kantin saja. Lumayan, bisa sekalian ngerokok.

Ujung-ujung jarinya masih menempel di kening, berusaha untuk mengurangi rasa sakit yang menjalar di otot kepalanya. Cowok itu berjalan dengan tertunduk. Hingga saat dia mengangkat pandangannya, sebuah bayangan di ujung sana membuatnya tertegun.

Andra sangat mengenali gaya rambut gadis itu. Selalu dikuncir kuda, dan membiarkan beberapa anak rambutnya terbang diterpa angin, gadis itu Adyra.

•••

Adyra berdiri tepat di hadapan cowok yang penuh luka lebam itu dengan salah satu tangan terkepal. Matanya menatap nyalang dengan dagu sedikit dinaikkan seperti menantang.

"Mau apa lo?" Cowok itu menatap datar Adyra, masih bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa.

Gadis itu maju satu langkah tepat di hadapannya. "Apa sih, yang bakal lo dapetin dengan cara kekerasan kayak gini?" Cowok itu mengangkat kedua alisnya, menampakkan ekspresi terkejut yang dibuat-buat. "Wow! Jadi, lo bicara kayak gini di depan gue, cuma buat belain Andra?," tukas Bara sarkasme.

Gadis itu maju satu langkah lagi, tanpa menundukkan dagunya sedikitpun. "Sebaiknya, lo jangan pernah ganggu Andra lagi kalau nggak mau dihukum," desis Adyra tajam.

"Dihukum?" Bara mendengus geli. "Gue nggak pernah takut sama hukuman apapun, asal lo tahu."

Bara memasukkan tangannya di kedua saku celananya. Cowok itu sudah berbalik, berniat meninggalkan tempat itu. Tapi sejurus kemudian, langkahnya terhenti, saat gadis itu menyentuh bahunya. "Apa lo nggak merasakan apa-apa setelah menyakiti orang lain?"

Bara berbalik, lalu menepis tangan Adyra kasar. "Apa lo pingin lihat, gimana gue bisa nyakitin lo, sekarang?"

Tangannya masih terkepal kuat di samping tubuhnya. Adyra semakin melangkah maju mendekati Bara, lalu mengarahkan kepalan tangannya tepat di hadapan Bara.

Tidak ada respon apapun dari cowok itu. Dia hanya terdiam, menatap kepalan tangan Adyra yang melayang di udara tepat di hadapannya. Gadis itu membalikkan tangannya, lalu membuka kepalan tangan itu di hadapan Bara.

Sebuah plaster biru bergambar, terlihat jelas tergeletak di atas tangan Adyra. "Nggak peduli lo anak baik atau anak nakal, rasa sakitnya pasti sama."

Gadis itu meraih tangan Bara, lalu memindahkan plaster itu dari tangannya. "Dendam nggak akan bisa menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah baru. Setiap orang punya pilihan. Baik atau buruk, cuma lo sendiri yang bisa nentuin."

Adyra menepuk lengan Bara dua kali. "Lain kali jangan berantem lagi, oke?"

Gadis itu tersenyum, lalu meninggalkan Bara yang masih berdiri di sana dengan perasaan bingung.

Andra bergeming, melihat Adyra berhenti tepat di hadapannya setelah melangkah menjauhi Bara. Andra jelas tahu apa yang barusan mereka berdua bicarakan. Karena Andra berdiri tak jauh dari tempat mereka. Adyra menatap Andra. Sambil menelusuri setiap luka yang berbekas di wajahnya.

Kening Andra mengernyit bingung, saat gadis itu berlalu melewatinya tanpa sepatah katapun. Biasanya, dia selalu terlihat paling repot saat terjadi sesuatu dengan Andra. Tapi sekarang, menyapapun enggan, apalagi bicara.

Andra pikir, Adyra masih peduli padanya setelah mendengar pembelaannya di depan Bara. Tapi rasanya, bukan itu alasan Adyra bercakap dengan cowok sombong itu. Semuanya terasa berbeda, saat Andra melihat senyum di bibir Bara sambil menatap plaster pemberian Adyra barusan.

Perintah otaknya merespon, jika dia tak peduli dengan apapun yang terjadi pada gadis itu saat ini. Tapi berbeda dengan ruang jantungnya. Ada sebersit gelenyar aneh yang singgah dalam dadanya, disertai perasaan tak suka dengan perlakuan Adyra kepada Bara.

Andra mengepalkan telapak tangannya. Dia benci situasi ini.

****