webnovel

Part 1 : Andra

Adyra tersenyum sendu saat tak sengaja membuka sebuah lembaran masa lalu yang dulu pernah singgah dalam sebuah ruangan hatinya. Matanya mulai berkaca-kaca, seolah ingin menumpahkan segala perasaan sakit yang menghinggapi ulu hatinya.

"Ini yang namanya cinta? Berkorban dengan jutaan rasa sakit. Bukannya tujuan mencintai adalah bahagia, ya?"

Gadis itu mengangkat kepalanya. Berusaha tak menumpahkan air matanya lagi. Sudah cukup satu tahun dia merasakan kepedihan itu berlarut-larut. Dia harus bangkit. Dia harus mengalahkan semua rasa sakit itu, dengan mengikhlaskannya.

Walau akan terasa sulit, nantinya.

"Sayang, udah siap?" Adyra bergegas menutup Journal tebal berwarna cokelat kayu itu, lalu memasukkannya ke dalam laci yang berada di samping kiri ranjang king size miliknya.

"Sebentar!" Gadis itu mengambil tas ransel berwarna pink yang tergeletak di atas ranjang, kemudian melenggang pergi menuju ruang makan yang berada tepat di lantai bawah rumahnya.

"Kamu nggak makan dulu?"

Sosok pria yang tengah menyambutnya di ruang tamu seraya membenarkan letak jasnya itu, tersenyum lembut pada Adyra. Gadis itu membalas senyumannya sejenak, lalu menggelengkan kepalanya pelan.

Andi menghela napasnya singkat sambil menatap anak gadis di depannya itu. Raut sendu di wajah Adyra membuatnya sedikit khawatir. Andi sangat tahu apa yang tengah dirasakan gadis semata wayangnya itu.

"Udahlah, Ra. Jangan siksa diri kamu terus-terusan kayak gitu. Kesedihan yang berlarut-larut, akan menjadi bumerang untuk diri kamu sendiri."

Adyra mengernyitkan keningnya heran, seraya menatap mata Andi yang terlihat serius. "Maksud Papa?"

Andi menatap Adyra sejenak memberi jeda, lalu menumpukkan telapak tangannya di puncak kepala gadis itu dengan satu gerakan saja.

"Lupain Dimas."

Oksigen yang susah payah dihirupnya mati-matian, kini seakan terenggut dengan paksa. Ulu hatinya terasa sakit seolah tertimpa ribuan godam yang menghunusnya bertubi-tubi tanpa ampun. Bahunya meluruh tak percaya. Adyra menatap Andi yang tengah menyiratkan keseriusan yang jelas di balik manik mata papanya. Sulit bagi Adyra untuk sekedar berujar sepatah kata sekalipun.

Hingga beberapa detik kemudian, Adyra menarik seulas senyum tipis, yang dipaksakan.

"Aku lupain dia, demi Papa."

Bibirnya tersenyum, tidak untuk hatinya. Matanya berbinar bahagia, sangat berbanding terbalik dengan hatinya. Dia tidak sedang pura-pura baik-baik saja seperti gadis kebanyakan.

Hanya saja, dia tidak ingin membagi rasa sakit ini dengan orang tersayangnya. Karena baginya, itu tidak perlu.

▪▪▪

Adyra bingung saat menemui deretan kelas yang berada di lantai bawah sekolah. Sebagai murid baru di sekolah ini, tentu saja semua ruangan beserta jalannya sangat terasa asing baginya.

Dia mengamati name tag yang tertera di depan deretan kelas itu satu-persatu, berusaha menemukan kelas yang akan dia tempati. Tapi daritadi dia berjalan, dia sama sekali belum menemukan kelas yang dia cari.

"Dimana, sih kelasnya? Bisa telat pelajaran, nih gue!" Adyra menggerutu kesal karena belum berhasil menemukan kelasnya.

Hingga saat dia memasuki sebuah lorong, dia menjumpai sekawanan siswa di ujung sana. Dari badge class berwarna merah yang dia pakai di lengan kirinya, Adyra menyimpulkan jika mungkin mereka adalah kakak kelasnya dari anak kelas dua belas.

Adyra berjalan menghampiri mereka, berharap jika mereka bisa membantu Adyra untuk menemukan kelasnya. Tetapi saat jarak mereka dengan Adyra tinggal beberapa meter lagi, langkah kaki Adyra berhenti secara tiba-tiba.

Ada keraguan di hati Adyra saat dia melihat beberapa dari mereka ada yang tengah menghisap sepuntung rokok yang sudah tersisa separuh batang saja. Sedangkan beberapa yang lainnya tengah serius dengan ponsel mereka masing-masing tanpa berkedip.

"Gila! Masih pagi udah nonton aja, lo!" cowok yang berdiri menyender di dinding berwarna hijau muda itu membelalakkan matanya sambil menunjuk cowok yang memegang ponsel di sampingnya dengan tatapan curiga.

"Apasih? Mau gabung? Yaudah, hayuk!" jawab cowok itu singkat, tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar ponselnya.

Dua cowok lainnya lebih memilih tertawa ringan daripada angkat bicara. Tentunya sambil menghembuskan asap nikotin itu lewat mulutnya.

"Ck, dunia kerasa udah mau akhir tahu nggak, gara-gara orang kayak lo pada!"

Cowok yang tengah memegang ponsel itu menjitak kepala teman di sebelah kananya yang menampilkan wajah polos tak berdosa. "Sok bener, lo! Padahal elo sendiri kan yang ngedarin."

"Gue mah nggak suka nonton begituan." Cowok itu menyeringai. "Tapi demennya liat langsung."

Decak tawa kawanan dari mereka memecah keheningan yang menyelimuti lorong yang tengah Adyra datangi saat ini. Tiba-tiba tubuhnya menegang kaku.

Mampus! Gue masuk kandang buaya, nih.

Adyra bergidik ngeri mendengar arah pembicaraan mereka yang sangat mencolok. Adyra melangkah mundur dengan cepat, sebelum mereka menyadari kehadiran Adyra di sini.

Beberapa detik sebelum Adyra lepas dari tempat itu, dia merasakan sesuatu menubruk punggungnya. Saat Adyra berbalik badan, dia menemukan seorang cowok bertubuh tinggi semampai melebihi tinggi badannya.

Dengan seragam—badge class berwarna kuning, ciri khas kelas sebelas—yang dibiarkan keluar, rambut sedikit acak-acakan, dan sebuah tas ransel yang terlihat kempes menggantung di salah satu bahunya, dia menatap Adyra dengan tatapan dingin sambil mengangkat satu alisnya.

"Mau kemana, lo?"

Adyra menelan ludahnya gugup, karena aura mengintimidasi yang mendominasi cowok itu. Tanpa Adyra sadari, kawanan anak kelas dua belas yang ingin dihindarinya tadi mulai menoleh ke arah Adyra dan cowok itu.

"Wah, ada cewek nih!"

Keringat dingin yang menetes di keningnya menandakan jika suasana hatinya sedang buruk hari ini. Kacau! Sekarang hari apa, sih?

"Cantik juga," ucap anak dua belas yang berambut cokelat yang menatap Adyra dengan seringainya.

"Cewek lo, Ndra?" Kali ini cowok yang mengenakan jam tangan hitam itu barusan mulai membuka suara dengan nada yang terdengar mengejek.

"Bukan," jawab cowok-yang tadi berada di hadapan Adyra, sekarang berada di samping kanannya sambil memasukkan kedua telapak tangannya di saku celana dengan singkat.

Speechless.

Adyra diam terpaku, tidak tahu harus berkata apa dan berbuat apa. Coba kamu bayangkan jika berada di tengah-tengah anak brandal sekolah dengan wajah-wajah mesum seperti mereka, dan kamu perempuan sendiri.

Walau bukan semua, sih. Hanya cowok itu yang memandang Adyra dengan tatapan dingin, tak seperti anak kelas dua belas tadi yang melihat Adyra seperti seorang serigala yang melihat santapan empuk.

"Gue belum pernah lihat lo di sini. Lo... penghuni baru sekolah ini?" tanya cowok berambut cokelat.

"I—ya, kak," jawab Adyra gugup.

"Terus ngapain ke sini? Kesasar ya? Mau gue anterin, nggak?"

"Sok-sok'an nganterin. Liat muka lo aja udah pucet kayak liat setan! Ya walaupun kenyataannya iya, sih."

"Enak aja, gue jadi setan juga semenjak temenan sama lo, kali!"

Jantung Adyra berpacu lebih cepat. Dia ingin bergerak menjauh, tapi kemana? Ingin berbicara, tapi ngomong apa? Keadaan ini membuat Adyra menjadi serba salah, seperti Raisa.

Seakan mengerti keadaan Adyra yang terlihat pucat pasi tanpa henti meremas ujung rok yang dia pakai, cowok itu berusaha mencairkan suasana.

"Emang lo mau kemana?" tanya cowok itu datar.

"Hng?? Gue... mau ke kelas XI-A2."

Cowok itu mengangkat sebelah alisnya sedikit lebih lama sambil memerhatikan Adyra yang pucat pasi.

"Gue anterin."

Adyra terlonjak kaget saat cowok itu menarik tangannya tanpa aba-aba sedikitpun, menjauh dari kawanan anak kelas dua belas tadi.

"Loh! Dianterin sama yang ganteng aja mau. Dasar cewek."

"Mungkin pelet lo kurang manjur."

"Enak aja, pelet-pelet! Gini-gini gue bersih, ya."

Mereka tertawa sambil teriak-teriak ke arah Adyra dan cowok yang menariknya dengan tiba-tiba.

"Cowok ganteng emang selalu menang banyak, man!"

▪▪▪

Bingung, kesel, seneng, marah, sudah berbaur menjadi satu sejak satu menit yang lalu setelah Adyra lepas dari 'Kandang buaya' yang dia sebut tadi.

Dan sekarang, tangan cowok itu masih tertaut di tangannya.

Adyra menarik tangannya kasar agar terlepas dari cengkraman cowok itu. Saat cowok itu sadar jika tautan tangannya terlepas, dia berbalik badan, dan melihat Adyra dengan tatapan marah gadis itu.

"Lo siapa?" tanya Adyra dengan suara agak tertahan.

"Nggak penting. Ayo cepet!" Adyra menepis tangannya kasar saat cowok itu mau meraih tangannya lagi. Sejenak cowok itu menghela napas, lalu membuang muka.

"Lo mau ngapain, sih? Lo mau bawa gue kemana?" Adyra bertanya-tanya seperti orang linglung yang tidak tahu jalan pulang.

Seulas senyum tipis tercetak di wajah cowok itu seolah ingin berkata, 'Cantik, tapi bego.' Tapi nggak jadi. Lalu secepat kilat wajahnya berubah dingin seperti tadi.

"Menurut lo?"

Adyra membelalakkan matanya seakan mengetahui isi pikiran cowok itu. Dia pikir, cowok itu telah menolongnya tadi. Tapi setelah mendengar kalimatnya langsung, Adyra menyimpulkan jika dia sama mesumnya kayak anak kelas dua belas tadi.

"Lo-kalo macem-macem, gue bisa aja nendang lo sekarang juga!" Adyra menggertak, tapi cowok itu malah tersenyum mengejek.

"Gue nggak bercanda! Gu-gue pernah belajar karate waktu SD, jadi kalo elo macem-macem, gue bisa bunuh lo di sini!" katanya.

Cowok itu memutar bola matanya malas. 'Modal ilmu karate anak SD aja belagu!' pikirnya meremehkan.

"Well. Sebelum lo bunuh gue pakek ilmu karate lo itu, coba lo liat deh sekarang lo ada dimana?"

"Emang gue ada dima-" Mulut Adyra menganga sempurna saat dia tahu sekarang dia ada dimana. Yang pasti, ini bukan tempat sepi. Adyra menatap ruangan yang ber-name tag XI-A2 dengan tak percaya. Jadi, dia cuma mau nolongin.

"Niat mau nolongin malah dikira cabul. Dasar cewek."

"Sorry."

Adyra nyengir lebar ke arah cowok itu, sambil menatapnya dengan tatapan bersalah dari bola matanya.

Tapi, cowok itu malah melenggang pergi tanpa menjawab perminta-maafan yang diucapkan Adyra.

"HEI!! KOK PERGI? GUE, KAN BELUM NGUCAPIN MAKASIH!! WOY!!"

Cowok itu berjalan lurus, tak perduli dengan teriakan Adyra yang menggema di sana. Hingga akhirnya dia menyerah, dan memilih untuk masuk kelas karena dia udah telat sekarang.

"Siapa sih yang teriak-teriak? Mau disumpel pakek kaos kaki apa mulutnya?"

Adyra terlonjak kaget saat melihat seorang wanita yang berbadan bulet-maksudnya gemuk yang tengah menyembulkan kepalanya di pintu. Namun setelah itu, Adyra mengubah raut wajahnya agar terlihat seolah dia tidak tahu apa-apa.

"Saya juga baru dateng, Bu. Jadi nggak tahu siapa yang teriak. Kalau saya tahu, udah saya sumpel mulut dia pakek tong sampah sekalian!"

Adyra menatap bahu kokoh cowok itu yang mulai memudar dari pandangannya. Tampang brandal, dingin, kaku, nggak bisa senyum, tapi baik. Entah kenapa seulas senyum tertarik di bibir Adyra secara otomatis.

"Semoga kita ketemu lagi."

▪▪▪

Seluruh oksigen yang menyapu tongkrongan siswa-siswi SMA ini seolah terenggut habis melihat betapa kacaunya mereka merebutkan giliran lebih dulu, bahkan hanya untuk memesan sepiring makanan. Suasana gaduh seperti ini memang sudah menjadi hal yang biasa terjadi di lingkungan sekolah.

Waktu istirahat adalah anugerah, dan kantin adalah surga.

Untung saja Adyra sudah mendapatkan satu meja untuk menghabiskan semangkuk baksonya. Kalau tidak, mungkin dia harus rela mengorbankan perutnya berteriak kelaparan.

"Eh! Itu Daniel!! Oh my god! Cakep banget, sumpah!"

Adyra melirik Amy dan Siska yang tengah berbisik kegirangan setelah melihat sosok cowok berkulit putih dengan almamater OSIS yang terasa sangat pas di tubuh tegapnya.

Adyra tidak menampik sama sekali jika cowok bernama Daniel yang dielu-elukan kedua teman barunya itu memiliki paras tampan dan menawan. Hanya saja, respon berlebihan yang ditunjukkan kedua cewek berkuncir satu itu membuatnya bergidik geli.

"Eh! lo tahu nggak, Ra? Si Amy itu, pernah ditolak loh, sama Daniel. Alasannya sih karena mau fokus sama dunia OSIS-nya, gitu. Iya nggak, My?" Kali ini Siska yang menjawab dengan nada datar seolah tidak terjadi apa-apa.

"Wah! Berarti lo pernah nembak Da-Mmpph!" Amy menutup mulut Adyra cepat, takut-takut jika ada yang mendengar pembicaraan mereka. 'Kalo ada yang tahu, bisa mampus gue!' katanya dalam hati.

"Sialan lo, Ka! Buka aib temen sendiri."

Adyra terkekeh keras, sedangkan Siska berekspresi seperti menahan tawa, membuat Amy semakin naik darah. Pipinya yang merona merah menjadi semakin lucu waktu Amy menggembungkannya.

"Becanda kali, My. Gausah manyun juga tuh bibir!"

"Berisik lo!"

"Gue sumpahin makin jontor!"

"Lo-"

BUKK!!!

Aduh!

Adyra spontan mengalihkan pandangannya ke arah Amy. Dia yakin kalau suara melengking barusan adalah milik Amy. Adyra mendapati Amy yang tengah mengusap keningnya sambil merintih kesakitan.

"Aduhh!! Siapa sih, yang main bola? Bego banget, deh! Masa' nggak lihat kalo di sini ada orang? Buta kali, ya?!!"

Adyra terlonjak kaget saat melihat kening Amy yang sedikit lebam. Tapi Adyra lebih terkejut lagi dengan reaksi Amy yang menyumpah serapah dengan wajah memerah.

"Emang siapa yang buta?"

Seorang cowok bertubuh tinggi tegap, dengan sorot mata yang tajam, menghampiri mereka dengan penampilannya yang terlihat berantakan. Khas penampilan cowok selepas bermain dengan benda bulat bernama bola tersebut.

Amy yang tadinya uring-uringan, menjadi diam seketika karena nada kalimat dingin cowok itu yang seakan mengintimidasi. Sementara Adyra memincingkan matanya, menatap cowok itu dari atas ke bawah.

'Ini cowok mirip sama...'

Siska menatap cowok itu dengan mimik yang serius sembari berkacak pinggang dan mengangkat dagunya.

"Gue kasih tahu sama lo ya, cowok sombong. Beberapa detik yang lalu, ada yang nimpuk jidatnya temen gue sampek bonyok kayak gitu. Terus dia marah, dong. Saking keselnya, dia sampai ngatain lo-aww!!" Siska memekik kesakitan setelah Amy dengan enaknya menginjak telapak kaki Siska dengan sepatu kets-nya.

Amy melotot ke arah Siska, seakan mengatakan, 'Dasar, mulut ember!' lewat tatapan matanya.

"Mungkin lo salah denger. Jangan dengerin Siska. Dia cuma asal ngomong doang, kok. Nggak penting." Amy menatap cowok itu dengan tersenyum, sedangkan cowok itu sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun.

Saat dia menatap Adyra sejenak, ada sedikit rasa terkejut disana. Tapi dengan waktu yang singkat, dia mengubah ekspresinya seperti semula.

Datar dan dingin.

"Jidat memar gitu aja ribet banget. Lo nggak akan geger otak juga, kan," ucapnya sarkasme yang membuat mata Siska melotot marah.

Cowok itu melenggang pergi tanpa sepatah kata maaf sekalipun.

"Dia... siapa, sih?" tanya Adyra ingin tahu.

"Itu? Namanya Andra. Anak sulungnya kepsek. Cowok paling nyebelin di sekolah ini. Eh ralat, di muka bumi ini. Udah bandel, sombong, kalo ngomong asal jeplak, lagi," seru Amy.

Adyra ber-oh-ria sambil manggut-manggut mengerti.

"Dia juga kasar sama cewek."

Adyra mengamati mimik wajah Amy dan Siska dengan serius. Entah kenapa kalimat terakhir membuat sisi penasaran gadis itu menggebu.

"Dia pernah mukul cewek, gitu?"

"Enggak, sih. Tapi dia selalu ngomong kasar sama siapapun. Apalagi sama cewek yang berani deketin dia."

Amy menolehkan wajahnya ke arah Adyra lagi dengan tampang yang serius. "Ya intinya, dia itu jahat," ucapnya lugas. "Apalagi sama cewek."

Bibirnya seolah ingin berkata jika Adyra sangat menyetujui argumen Amy dan Siska setelah apa yang dia alami tadi pagi dengan cowok itu.

Tapi, hatinya seakan menolak secara sepihak mengenai argumen otaknya.

▪▪▪