webnovel

Extra Part

"Aku pikir kamu sayang sama aku.."

"Maaf."

Gadis itu menangis. Tangisannya terlihat menyakitkan ketika air mata itu jatuh diselingi senyuman. "Kenapa minta maaf?"

Cowok itu terdiam.

"Kamu sayang sama aku, kan? Kamu cinta sama aku, kan?"

Hatinya semakin teriris, melihat gadisnya menangis. "Jawab! Kamu sayang sama aku, kan?!"

Kepalanya menunduk. Menghindari tatapan gadis itu. "Maaf.."

Lagi. Sudah dua kali dan Adyra masih tak mengerti.

"Kamu sayang sama aku," lirihnya dengan tatapan pedih. "Kamu pernah bilang sayang sama aku. Dan sekarang perasaan itu masih sama, kan?"

Ia menggenggam tangan gadis itu. Menyalurkan kehangatan untuk tangan gadisnya yang dingin. Kemudian memeluknya. Gadis itu bergetar. Ia menahan tangis sesegukan. "Aku minta maaf..."

"Sinting!"

Adyra tak tahan. Ia memaki sambil tersenyum sinis. "Cowok nggak tahu diri kayak gitu kenapa masih dibelain, sih! Dia itu udah nyelingkuhin lo, tahu nggak?!"

Adyra melempar cemilan kuping gajah ke arah layar dengan geram. "Tenggelam aja sana lo ke rawa-rawa!"

"Aduh!" Andra memekik. Ia lantas berlari menuju Adyra sambil memeluk laptopnya. "Kamu apain laptop aku?!"

Bola mata Adyra berputar melihat Andra mengusap-usap layar laptopnya posesif. "Habisnya aku kesel! Udah tahu diselingkuhi, masih aja berharap itu cowok masih sayang sama dia! Mikir, dong! Cowok di dunia ini bukan cuma dia doang!"

"Kalau sayangnya cuma sama dia gimana, dong?"

"Ya—" Adyra terdiam. Tertegun. Setelah itu meniup poninya, sambil mendengus kesal. "Iya juga, sih."

Andra menggelengkan kepala melihat tingkah Adyra. Ia tahu kalau Adyra lagi PMS. Jadi wajar kalau uring-uringan gitu. Ya tapi nggak harus dilampiaskan ke laptopnya juga, dong. Untung cuma disambit sama cemilan. Lah kalau dibanting?

"Aku matiin aja ya, laptopnya. Nggak usah nonton film lagi." Andra duduk di samping Adyra sambil mengutak-atik laptop.

"Hm."

Adyra menaruh cemilannya di atas meja, kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Andra.

"Ndra,"

"Hm?"

"Kita udah berapa tahun?"

Andra mengernyitkan dahi, "Kalau dihitung dari pertama kita kenalan, sekitar 3 tahun kurang 4 bulan 20 hari?"

Adyra tersenyum. Ia tahu kalau Andra bisa menjawab pertanyaannya dengan cepat dan akurat.

"Emang kenapa?"

"Nggak papa." Adyra sedikit menggerakkan kepala, mencari posisi ternyaman di bahu Andra. "Ternyata, udah lama juga, ya?"

"Kamu kenapa, sih?" tanya Andra seraya mengusap puncak kepala Adyra.

Gadis itu menggeleng. "Kamu... nggak bakal selingkuh dari aku, kan?"

Andra tertegun. Ia menelengkan kepala, menatap Adyra yang juga tengah menatapnya. "Kenapa diam aja?"

Andra tersenyum. Ia menaruh telapak tangan ke pipi Adyra kemudian mengusapnya. "Kenapa tiba-tiba kamu nanya gitu, hm?"

"Cuma... iseng?"

Andra menghela napas. Ia meraih bahu Adyra, menjauhkan kepala Adyra agar bisa leluasa menatapnya. "Nih, makan. Biar kepala kamu dingin dan nggak mikir yang aneh-aneh lagi."

Adyra menerima cone es krim dari tangan Andra sambil mencebik. "Aku nggak aneh."

Andra mengabaikan Adyra. Lebih memfokuskan atensinya pada beberapa buku dan kertas di hadapannya. Karena mendapat telepon mendadak dari Adyra, membuat Andra harus menunda pengerjaan tugas kuliahnya. Adyra bilang, Papanya sedang di luar kota. Dia bosan sendirian di rumah. Tak lama, hujan turun. Jadi, mau tak mau Andra menghabiskan waktunya di rumah Adyra sampai hujan reda.

"Sibuk banget, ya?"

Andra menoleh, membenarkan letak kacamatanya. "Enggak. Dikit lagi selesai, kok "

"Oh," balas Adyra sambil menganggukkan kepala. Ia asik sendiri makan es krim seraya memandangi wajah Andra yang nampak serius.

"Selesai!" ucap Andra tiba-tiba.

"Eh, kok cepet?"

"Kan udah aku bilang, dikit lagi selesai."

"Iya juga, sih."

Andra merengangkan badan sambil melepas kacamatanya. Ketika menoleh ke arah Adyra, ia mendengus geli lalu tersenyum.

Sadar ada yang aneh, Adyra inisiatif bertanya. "Kenapa, sih?"

Andra masih tersenyum. "Kamu masih aja, ya? Nggak berubah dari dulu."

Adyra tertegun. Sempat kehilangan kesadaran untuk beberapa saat. Tubuhnya membeku ketika Andra mendekatkan tubuhnya, dengan telapak tangan mengusap pipi Adyra.

Aneh. Ini lagi hujan. Dan Adyra juga sedang makan es krim. Harusnya ia merasa kedinginan. Tapi, pipinya malah memanas. Terlebih, ketika telapak tangan itu turun ke bibirnya. Mengusapnya lembut. Namun, membuat Adyra merasakan sengatan hebat di tubuhnya.

Tatapan Andra juga tak kalah menakutkan. Bola mata itu mengunci atensi Adyra. Sesekali melirik bibirnya. Membuat Adyra susah bergerak. Dan kesulitan bernapas.

"Boleh... cium kamu?"

Jantung Adyra seakan mau meledak. Ia tak tahu harus berekspresi bagaimana. Bingung juga mau merespon seperti apa.

Kelopak mata Adyra terpejam secara impulsif. Isyarat jawaban dari pertanyaan Andra. Adyra tak lagi mendengar derasnya suara hujan. Kini bergantian dengan gemericik samar, dan degup jantung Adyra yang terdengar kencang. Adyra juga mendengar detak jantung Andra. Hingga napas cowok itu mengenai wajahnya.

Andra juga tak kalah berdebarnya dengan Adyra. Udara hujan sedang sejuk-sejuknya, berubah hangat akibat suhu tubuh mereka berdua.

Adyra sangat bersyukur ada lelaki seperti Andra di hidupnya. Benar-benar menyenangkan. Membuat Adyra bahagia.

Andra yang sekarang, tak jauh berbeda dengan Andra yang sebelumnya. Hanya saja, cowok itu jadi semakin sayang dengan Adyra. Ah, bukan. Lebih tepatnya mencintai Adyra, mungkin?

Hampir 3 tahun menjalin hubungan, membuat mereka semakin mengenal satu sama lain. Semakin menguatkan satu sama lain. Kalaupun ada pertikaian-pertikaian kecil, sudah dianggap hal biasa. Makanan sehari-hari istilahnya.

Eh, tadi sampai mana ciumannya?

Adyra tersentak kaget saat pipinya ditepuk secara tiba-tiba. "Kamu kenapa, sih? Diajak ngobrol malah bengong," kata Andra terdengar kesal.

Adyra kebingungan.

"Lho, nggak jadi ciumannya?"

Kening Andra berkerut bingung, sementara Adyra... oke, please. Jangan hakimi dia. Ini cuma salah paham. Salah Andra juga. Ngapain dia main ke rumah Adyra pas hujan-hujan gini. Mana rumah sepi. Papanya lagi main ke rumahnya yang ada di Jakarta. Jadi Adyra sendirian di rumah. Tiba-tiba ada orang ketuk pintu, dan yang Adyra lihat Andra lagi bawa pizza. Terus mereka belajar bareng, nonton film bareng, makan bareng, becanda, sambil ketawa-tawa di ruang tamu yang remang-remang karena mati lampu. Kan suasananya jadi... mendukung? Hehe.

"Kamu mikir aneh-aneh, ya?"

"Enggak!" aku Adyra gugup, takut dikira mikir yang iya-iya. Ya walaupun emang mikir yang iya-iya, sih.

"Bohong."

"Nggak!"

"Bohong!"

"Dibilang nggak bohong, juga!"

Sumpah demi apa! Ini adalah keceplosan yang paling memalukan dalam hidup Adyra. Kalau saja Adyra bisa memilih mau dilahirkan jadi apa, ia bakal memilih jadi batu saja.

Eh, tapi kalau jadi batu nggak bisa ketemu Andra, dong?

-Selesai-