1 Prolog

Embusan angin kering, berpadu menerpa bulir-bulir pasir. Gundukan rumput menguning, tampak bergulung bagai bola pada hamparan gurun pasir yang terik. Sekelompok manusia berjalan di kota yang sudah ditinggalkan oleh penghuninya. Mereka bagai semut jika dilihat dari mata seekor elang.

"Tuan, saya ingin menjadi kesayangan satu-satunya. Mengapa Anda belum menceraikan Nyonya Senna?" ucap seorang wanita memasang wajah manis. Ia menempel lekat bak madu dengan sarangnya. Jemari kurusnya menelusuri tubuh lelaki di samping.

"Bersabarlah sebentar lagi, aku berjanji akan menceraikannya setelah urusanku selesai."

"Bisakah saya memegang janji Anda, Tuan?"

"Tentu saja. Apapun akan kuberikan untukmu, Mayra."

Tandu dengan kerangka kayu yang mereka tumpangi mendadak terhenti. Para pelayan yang bertugas menggotong tandu menurunkan beban di pundaknya. Seorang Ketua Pengawal mengetuk pelan sisi keras tandu, kemudian menyingkap tirai. Terdapat Sang Tuan dan Istri keduanya, Mayra di dalam.

"Ada apa?" tanya si Tuan.

Ketua pengawal itu menunduk sebagai tanda penghormatan, dirinya berkata dengan nada penyesalan yang jelas, "Maafkan kami, Tuan. Untuk sementara waktu kami harus berhenti di sini. Dikarenakan beberapa unta terluka cukup serius."

"Oh, Baiklah. Lalu apakah kita akan berhenti cukup lama?"

"Kami ... akan berusaha sebaik mungkin," jawab Ketua pengawal tidak begitu yakin.

Orang-orang yang ada di luar tampak sibuk memindahkan perbekalan dari punggung unta ke teras bangunan—terbuat dari lumpur dan susu. Mereka tidak menyadari intensitas angin bertambah kencang hingga merobohkan keseimbangan seorang pelayan yang mengangkut gandum.

"Kau tidak apa-apa?" Seorang pengawal membantu pelayan itu untuk berdiri.

"Terima kasih, Tuan Pengawal. Saya hanya sedikit oleng."

Pengawal tersebut menggeleng, merasa ada yang tidak beres dengan badai yang terjadi sekarang. "Kurasa ... memang ada yang tidak beres di sini."

Mereka baru menyadari badai bergumul mengelilingi. Badai tersebut mengakibatkan pandangan menjadi pendek akibat tertutup oleh laju pasir di udara.

"Aaaaa! Tuankuu," teriak seorang wanita dengan penuh kengerian pada raut wajahnya.

Para pengawal berlari tergopoh-gopoh menuju tandu beratap melingkar yang telah terbelah dua—bagian atas dan bawah terpisah. Mereka sangat terkejut melihat kondisi tuannya sekarang. Tanpa kepala, darah memancar deras dari dalam leher yang buntung.

"Kepala ... kepala ... kepa ..." lirih Mayra, kata-katanya terputus dengan tubuh yang terkulai lemas.

Salah seorang pengawal menyentuh nadi Mayra memastikan keadaannya. "Nyonya Mayra pingsan!" teriaknya lantang.

Ketua Pengawal terlihat naik pitam, wajahnya mengeras ketika melihat tuannya sudah tidak bernyawa. "Brengs-k! Pembunuh macam apa yang berani berbuat seperti ini?"

"Kau yang di sana! Pakailah kuda tungganganku untuk kembali ke Kerajaan Altair! Sampaikan pada Yang Mulia perbuatan kurang ajar ini. Cepat!" pekik si ketua berapi-api. Dirinya menunjuk salah seorang bawahannya.

"Baik, Ketua!"

Angin kembali berembus normal, ketika salah seorang pengawal berpisah dari rombongan. Bahkan terik mentari pun tampak tak terhalang lagi.

Jauh di seberang sana, di atas atap bangunan penuh pasir bertaburan. Seorang lelaki memijakkan kakinya. Lelaki tersebut sedang menenteng kepala manusia dengan sebilah pedang pada tangan kanan. Tetesan darah segar menodai alas kakinya. Lelaki itu mengenakan syal merah panjang pada leher dengan masker kain yang terikat ke belakang. Penutup kepalanya bertengger kokoh di sekitar kening, terlilit sempurna menjadi turban.

"Tidak buruk. Kepala Anda akan saya jadikan koleksi berikutnya, Tuan. Berterimakasihlah." Ia tersenyum dibalik masker. Seketika menghilang dari pandangan diiringi pasir yang menyapu bayang.

——————

avataravatar
Next chapter