webnovel

Bab 4

Aku meletakkan hpku diatas meja dekat kasur itu. Aku meninggalkannya untuk sholat isya. Tanpa disadari aku terlelap dalam tidur.

Pagi ini aku dibangunkan oleh mimpi yang kurang bagus. Mataku melihat jam di dinding kamar, tepat jam 3 pagi. Aku berniat sholat tahajud agar tenang.

Lalu keluar kamar menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, langsung bergegas ke dalam kamar untuk sholat.

Selesai sholat, mataku langsung tertuju pada HPku. Tangan ini langsung mengambil Hp untuk mengeceknya. Aku dikejutkan dengan panggilan suara tak terjawab dari Andra. Dia meneleponku tadi malam. Tapi entah kenapa pesanku tak dibalas olehnya. Aku tidak mempedulikan itu.

Adzan Subuh berkumandang dengan lantunan nada yang indah. Aku yang sedari tadi masih menggunakan mukena langsung menjalankan sholat subuh.

Pagi itu kami sekeluarga sarapan di ruang makan. Aku masih sangat malas untuk makan dengan mereka. Nasi sudah disiapkan di piring masing masing oleh mamaku.

"Sha makan! di luar sana masih banyak anak yang kesusahan untuk makan, kamu sudah di depan mata masa nggak dimakan sih," ucap papa.

"Iya Sha, apa mau mama bungkusin untuk bekal?"

"nggak usah ma."

Lalu aku memakan masakan mama.

"Ma Devan keluar sebentar."

Belum juga Mama mangiyakan pernyataannya, ia langsung bergegas keluar begitu saja. Entah apa yang akan dilakukan anak itu.

Makanan di piringku kini habis. Aku bergegas pergi ke sekolah.

"Papa anterin Sha?"

"Nggak usah pa, Mysha bisa naik angkot."

"Beneran Sha?"

"Iya Ma."

Aku keluar rumah, Devan sedang berbicara pada orang di luar gerbang rumah. Aku memanggil anak itu, lalu dia menghampiriku.

"Kak, itu di ada kak Andra nyariin."

"Lo kenal Dev?"

"Tadi ngenalin diri, yaudah Devan masuk dulu."

Aku lalu menghampiri Andra yang sudah dari tadi menunggu.

"Ngapain Ndra?"

"Gue tadi malem nelpon Lo, tapi nggak di angkat. Gue mau ngebalikin jaket lo yang gue pinjam waktu itu, sorry gue lupa untuk ngebalikin."

Andra mengeluarkan jaketnya dari dalam tas. Aku merasa lega Andra mengembalikannya, pasti Baskara nggak marah lagi.

"Iyya nggak papa Ndra, thanks ya Ndra."

"Gue yang harusnya bilang makasih."

"Iya."

"Oh ya, berangkat bareng yuk."

Sebelum menyetujuinya, aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 7 WIB, itu menunjukkan aku pasti telat jika menunggu angkutan umum jam segini. Aku akhirnya berangkat sekolah bareng Andra. Nggak ada salahnya juga kan (pikirku).

Pagi ini jalanan tidak seperti ekspektasiku yang berharap jalan sepi tapi nyatanya polusi dan lalu lintas yang macet membuatku sangat malas dengan keadaan ini. Diatas motor ini aku dan Andra tidak berbicara sepatah katapun. Setelah beberapa waktu berlalu, aku sudah sampai di sekolah dikejutkan dengan tatapan Baskara yang sudah dari tadi ada di gerbang sekolah itu.

"Ndra, gue turun sini aja deh," ucapku.

"Beneran?"

Aku lalu menggangguk menandakan mengiyakan pertanyaan Andra barusan. Langsung turun dari motor Andra lalu menghampiri Baskara yang sejak tadi melihatku dengan tajam.

"Ini jaket lo," ucapku sambil memberikan jaket miliknya.

"Oh makasih, akhirnya tanggung jawab juga lo," balas Baskara dengan senyuman indah di bibirnya.

"Iya kan, gue kan anaknya bertanggung jawab."

Aku berjalan ke dalam sekolah berniat meninggalkan Baskara.

"Tapi nggak bisa jaga amanah," ucapnya dari belakangku.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Lo kan janji nggak bakal pinjemin jaket gue ke orang lain waktu itu."

"Oh iya lupa gue, sorry Bas."

"Iya, yaudah yok ke kelas."

"Kelas kita kan beda."

"Ya kan searah dasar goblok lo."

"Eh ngatain gue lo."

Tangan ini berniat memukulnya, tapi tubuh Baskara sudah hilang lari begitu saja. Dasar anak nakal (pikirku)

Aku berjalan sendiri menuju kelas. Seperti biasa, aku selalu tidak dianggap oleh teman sekelasku. Hanya Rere yang mau berteman denganku.

Rere, belum terlihat anak itu dikelas. Tapi tasnya sudah ada disebelah bangku tempat dudukku. Aku hanya duduk sendiri di ruangan itu dan melamun. Aku dikejutkan dengan tangan yang baru saja memegang pundak ku dari arah belakang. Mataku tidak menoleh sedikitpun, entah ulah siapa itu aku tidak mempedulikannya.

"Mysha, lo masa nggak kaget sih," suara Rere dari arah belakangku.

Dia kemudian duduk di sampingku.

"Gue udah tau itu pasti lo."

Telingaku mendengar Rere tertawa kecil.

"Sha, lo tadi naik apa ke sekolah?"

"Motor."

"Baskara?"

"Bukan."

"Terus?"

"Andra."

"Seriusan Sha, gue kan udah ngomong berkali kali, lo itu jangan dekat-dekat dengan Andra Sha."

"kenapa?"

"Ini ya, setau gue cewek yang dekat sama Andra cuma Tasya, mungkin kalau selain Tasya cuma buat dimanfaatin doang Sha. Lo pasti dimanfaatin sama Andra nih, pasti , sumpah percaya sama gue lo. Kalau lo mau hidup aman jangan dekat-dekat dia deh."

"Emang gue mau dimanfaatin apanya sih Re, Andra orangnya baik kok. Lo belum kenal dia aja makanya bisa ngomong gitu."

"Sha, Andra sama Baskara itu musuhan, masa lo mau dekat sampai segitunya sama musuh sahabat lo sendiri."

"Apaan sih Re, Baskara nggak pernah cerita ke gue. Dia juga tau kalau gue bareng Andra, dia nggak menghiraukan itu kok."

"Tapi Sha, lo nggak tau aja."

"Emang lo tau?"

"Enggak sih, hehe."

Aku berdiri langsung berjalan ke arah pintu kelas.

"Mau kemana Sha?" Tanya Rere dari kejauhan.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku bergegas pergi ke luar kelas.

Akal ini masih bingung akan pergi kemana diriku ini. Tiba-tiba biji rambutan mengenai kepalaku. Mataku langsung tertuju ke arah atas.

"Andra?"

Dia duduk tepat pada benteng sekolah dekat dengan kelasku, 11 IPA 1. Aku lalu menghampiri anak itu. Berusaha agar bisa sampai diatas itu, dengan bantuan batu yang tertata seperti tangga, aku menaikinya. Sekarang aku pun duduk di sebelah Andra.

"Ngapain ke sini?" tanya Andra.

"Gabut aja gue di kelas, lo ngapain?"

"Bolos, disini nggak ketahuan."

"Masa, barusan aja lo ketahuan sama gue."

"Itu kan gara-gara gue nglempar biji rambutan ke tubuh lo."

"Oh jadi sengaja nih?"

"Hehe iya, Sorry ya Sha."

"Nggak papa."

"Kringg!!!" bunyi bel masuk sudah berbunyi. Tapi rasanya sangat lah malas untuk menerima pelajaran kimia saat ini. Aku berniat untuk untuk tidak mengikuti pelajarannya.

"Buruan turun sana, udah bel tuh nanti kena BK."

"Nggak ah."

"Kenapa?"

"Males aja pelajaran kimia."

"Belajar di kelas gue aja Sha, nggak ada kimia," ucapnya sambil ketawa.

"Kok bisa?"

"Ya bisa lah."

"Oh iya," jawabku sambil senyum dan baru terfikirkan bahwa Andra bukan anak IPA.

Aku melihat anak-anak SMA Garuda yang dari tadi lari sana-sini karena bel itu dari atas bentang ini. Sangat lucu menurutku.

"Kalau nggak suka Kimia kenapa milih di IPA?" tanya Andra.

"Itu pilihan orang tua gue sih, tapi gue juga menyetujuinya karena kalau di IPS sama seperti Baskara, dan gue nggak mau itu. Udah sangat lama gue ingin berpisah kelas dengan anak itu." jawabku.

"Lo deket banget ya sama Baskara."

"Iya, dia itu udah gue anggap kadang adik sendiri, kakak sendiri, orang tua sendiri. Karena tanpa dia juga, gue nggak tau apa jadinya gue sekarang Ndra. Lo kenal dia?"

"Masa nggak kenal sih, si Kapten Basket SMA kita. Hebat dia bisa kenal orang kaya lo Sha."

"Gue yang bersyukur adanya dia."

Andra tersenyum mendengar ucapanku tadi.

"Oh ya Sha, lo nggak punya paket data ya?"

"Kenapa emang? gue pakai WiFi kok."

"Terus kenapa chat gue nggak lo bales?"