webnovel

Harapan

"Anya, turun sekarang!"

Rain bersedekap tangan sekaligus berdecak kesal di tempatnya berdiri. Maniknya yang serupa pekat malam tanpa bintang menyorot dengan datar pun dibubuhi aura dingin, yang seolah tiada habisnya pada seorang gadis berpenampilan mengerikan bagai manusia purba; sedang berusaha memanjat pohon mangga yang tumbuh liar di dalam hutan.

Rain tidak mengada-ngada saat memikirkan sosok Anya yang kian hari semakin mirip kawanan monyet; rambut acak-acakan, baju kedodoran miliknya yang sudah bolong sana-sini, kulit pucat yang dipenuhi bercak tanah, dan jangan lupakan bau menyengat keluar dari tubuhnya.

Rain harus menahan diri saat berada di dekat gadis itu agar tidak muntah saking baunya.

Pria itu tidak habis pikir, sebab dia memiliki rumah yang meski berada di tengah hutan tapi kualitasnya masih berada di rana standar hunian layak. Dia punya kamar mandi dengan air mengalir, yang berasal dari aliran sungai kecil tepat disamping rumah, itu hanya dibatasi beberapa pohon yang cukup lebat. Juga, dia punya baju yang banyak dan mumpuni digunakan Anya walaupun kebesaran.

Walau begitu, Rain harus mengakui dia sangat suka saat Anya memakai pakaiannya yang kebesaran, karena itu, Rain enggan membelikannya gaun atau pakaian wanita saat keluar hutan.

Apa dia gila?

Tidak, dia hanya suka.

Lalu kenapa Anya tidak mandi dan mengganti baju selama empat hari? Rain sungguh tidak tahu, dia akan menanyakannya setelah berhasil menurunkan monyet itu dari atas pohon. Mengabaikan Rain yang memasang tampang kesal yang tidak dibuat-buat, Anya tetap berada di atas sana bahkan tidak terlihat memiliki niat untuk turun sama sekali. Dia justru berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya, untuk memetik satu-persatu buah mangga yang sudah matang maupun yang masih muda, dengan entengnya.

Tampang Rain semakin keruh saja. Gadis itu jadi semakin banyak tingkah setelah Rain tidak berganti kepribadian selama empat hari belakangan ini, Anya semakin mengabaikan, jika pria itu bisa membunuhnya kapan saja.

Dan Rain menyesal mengajari Anya memanjat pohon.

Semakin kesal dan tidak tahan lagi, Rain ikut memanjat pohon menuju tempat di mana manusia rasa monyet tersebut sedang nangkring, sembari menguliti buah mangga yang masih muda menggunakan giginya. Rain sontak berdecak. Tepat ketika ia berhasil menggapai Anya, dia menarik kaki gadis itu sampai Si Empunya menjerit ketakutan karena nyaris saja terjatuh. Rain menyeringai setan saat menyadari Anya tidak selihai yang terlihat. Anya menggerutu tetapi Rain mengabaikannya, seolah ingin menunjukkan kalau diabaikan itu sungguh menjengkelkan.

"Rain apa-apaan?" Tatapan Anya menajam, maniknya yang besar menyipit secara berlebihan membuat wajahnya kian terlihat jelek, sebab terlalu banyak bercak tanah kering di sana.

Balas menatap Anya dengan sorot yang jauh lebih tajam, pria itu berkata, "TURUN!" Anya berjengit kaget saat indranya menangkap suara Rain yang terdengar marah. Lantas menyengir bodoh agar Rain luluh seperti sebelum-sebelumnya. Tetapi nampaknya itu tidak lagi bekerja.

Menghela nafas, Anya menatap Rain dari balik bulu matanya yang tampak lengket, "baiklah aku turun, tapi kamu lebih dulu," cicitnya.

Rain mengangguk puas di posisinya, akhirnya cara ini berhasil rupanya. Pria itu terkekeh kecil kemudian melompat turun dari pohon.

Tetapi siapa yang akan menduga, kalau Anya akan berteriak tepat setelah Rain berhasil mendarat dengan sempurna di bawah. Oh! Gadis itu benar-benar menjengkelkan. Rain kembali menyorot sosok Anya di atas pohon yang tengah memasang tampang menyedihkan, Rain sontak membalas dengan tatapan datar dan dingin. Sudah cukup dia bermain-main dengan gadis rusuh tersebut. Pikirnya.

"Apa lagi? Turun sekarang!" Katanya dengan aura pekat.

Anya menggigil di tempat, ia menunduk tidak berani menatap Rain yang terlihat tampak kejam. Anya berpikir dia mungkin saja adalah Blood Rain yang sudah kembali. Pikiran liarnya pun mulai merambat dan kepalanya lantas memutar kejadian serta adegan mengerikan saat Rain membunuh korbannya kala itu.

Akankah ini sudah saatnya bagi Anya mati?

Sulur aura abu-abu milik Rain pun semakin menguar dengan kuat mengelilingi tubuhnya, menandakan ia sedang marah. Sungguh, Anya sangat takut kalau saja yang ada di bawah sana adalah benar-benar Blood Rain, Si Psychopath. Padahal ia berteriak karena refleks, itu terjadi saat mengingat kalau dia tidak bisa turun dari pohon. Ingin melompat, tapi masih terlalu tinggi untuknya yang berkaki pendek, kalau saja kakinya panjang serupa Rain ia tidak keberatan untuk melompat juga. Nyatanya dia tidak bisa.

Dasar bodoh, bagaimana bisa dia memanjat pohon tetapi tidak bisa turun?

Rain memejamkan mata sejenak, lantas menghela nafas berat saat dia menyadari Anya ketakutan sebab melihat warna auranya yang pekat. Sorotnya yang hampir menyerupai Blood Rain, segera melunak pun melembut ketika maniknya berhasil menangkap manik cokelat Anya yang meredup.

"Anya, ini aku," katanya pelan, lalu tangannya terulur dan sedikit terangkat, "lompat, aku akan menangkapmu," titahnya.

Namun rupanya gadis tengik itu tidak percaya. Cukup lama dia terdiam sembari menatap Rain, akhirnya Anya mulai luluh sebab melihat sorot Rain yang teduh membuatnya yakin bahwa dia masih lah sosok Rain asli, karena sejatinya Blood Rain tidak akan mungkin menampilkan raut manusiawi seperti itu.

Anya akhirnya menggangguk, kendati beberapa saat lalu sempat meragukan Rain benar-benar akan menangkapnya. Jadi, dia mulai mengubah posisi, bersiap melompat. Dan__

Hap!

Pria itu berhasil menangkap Anya. Lantas mendekapnya dengan kuat dan mantap. Manik mereka sontak saling beradu cukup lama, mata gadis itu membulat dan dibalas Rain dengan tatapan mata biasa saja. Tetapi Anya justru merasa bersalah pada Rayland. Apa posisinya saat ini termasuk dalam penghianatan dalam pernikahan? Anya menjerit dan sekali lagi melompat turun dari gendongan Rain. Tetapi, memang dasarnya dia gadis paling ceroboh, kaki laknatnya justru menendang sesuatu yang tidak seharusnya dia sentuh__

"Fuck!! Anya."

Anya membeliak terkejut dan menyadari kesalahannya, saat melihat Rain yang sudah bersimpuh menahan rasa berdenyut hebat di area pribadinya. Anya menyumpal mulutnya sendiri, berjongkok menyamai posisi Rain, lantas bertanya dengan nada panik. "Rain, apa itu sudah pecah?" Tanyanya, polos.

Bukannya merasa lebih baik, pria itu justru semakin merasa terbakar dengan ucapan Anya.

"Anya, lebih baik kamu diam." Rain menatap Anya dengan tatapan tersiksa yang berusaha ia tutupi. Merasa perkataan Rain ada benarnya, Anya sontak terdiam dan Rain ditempatnya menghembuskan nafas lega bercampur lelah.

Rain jadi berpikir,

.

.

.

Apanya dia harus meminta Anya bertanggung jawab?

"Huaaaa!!"

Rain terbahak sembari tangannya menopang tubuhnya agar tidak ikut terjungkal dan berakhir masuk ke dalam sungai. Tepat setelah Rain berhasil menangani rasa sakitnya, pria itu menyeret Anya menuju sungai lantas melemparnya hingga tercebur. Dan lihat seperti apa reaksinya, Anya berteriak kedinginan. Air sungai di dalam hutan memang sungguh sejuk dan segar. Dengan begitu, Anya yang sudah empat hari tidak menyentuh air tentu merasa kedinginan.

"Sekarang bersihkan dirimu," Rain menatap Anya, "kamu sungguh kotor dan bau," entah kenapa gadis itu justru teringat pada Rayland. Perkataan Rain padanya mengingatkannya akan mulut pedas suaminya.

Anya menatap Rain dengan sendu, gerakan tangannya yang semula memukul air kini terhenti, lalu maniknya yang bening mulai berkaca-kaca. Melihatnya, Rain jadi panik sendiri, lantas tanpa menunggu dia melompat masuk ke dalam sungai yang hanya setinggi pinggangnya, menghampiri sosok Anya yang sudah menangis dalam diam.

"Hei," panggil pria itu, tangan kekarnya terulur mengusap air mata diwajah Anya yang kotor. "Kenapa? Kalau kamu memang tidak suka mandi, baiklah, kita kembali ke dalam dan segera ganti pakaianmu." Nadanya terdengar pelan, sarat akan kekhawatiran.

Menggeleng sembari menepis tangan Rain di wajahnya, Anya mendongak menatap tepat di mata sehitam arang milik pria itu. "Rain, bolehkah aku pulang? Aku merindukan keluargaku," Anya memohon.

Rain bergeming.

Seakan tidak mendengar, Rain justru kembali mengusap wajah Anya bahkan menggosok sedikit pipi gadis itu menggunakan air sungai agar bersih dari kotoran, "kamu benar-benar kotor, Anya." Katanya mengalihkan pembicaraan.

Anya cemberut, "Rain, kamu mendengar ku? Aku ingin pula__"

"Tidak."

Anya terdiam sesaat, tetapi setelahnya dia kembali menatap Rain yang balas menatapnya dengan sorot dingin pun datar, ditambah aura gelapnya menguar dengan hebat. Anya sontak merasa was-was, kalimat yang sudah di ujung lidah pun akhirnya ia telan bulat-bulat. Kenapa dia selalu merasa setakut ini jika Rain dalam mode kaku begitu. Dan lagi-lagi ini mengingatkannya pada Rayland. Anya juga akan terdiam saat Rayland menampilkan mimik yang sama seperti yang Rain tunjukkan.

Sebenarnya ada apa?

Lalu mengapa sekarang Anya merasa nama Rain itu tidak lah asing? Apa yang telah dia lupakan?

Ketika pikiran Anya terbagi, dia sama sekali tidak menyadari saat Rain mulai kembali mengusap wajahnya hingga ke leher menggunakan air sungai. Anya terlalu banyak melamun. Dan ketika tangan pria itu mulai menurunkan kaos di bagian bahu kirinya lantas mengekspor tulang selangkah-nya, Anya tersadar lantas menampar pipi Rain dengan keras. Anya emosi tentu saja, apa Rain mencoba melecehkannya ketika dia melamun. Gadis itu sungguh merasa marah.

Sejujurnya itu bukan kali pertama Rain berperilaku aneh, benar-benar aneh. Pernah suatu ketika, Anya baru saja selesai mandi dan keluar dari sana, Tahu-tahu pria itu sedang menunggunya tepat di depan pintu kamar mandi. Mulanya, Anya hanya bersikap biasa saja sebab berpikir Rain mungkin saja akan mandi setelahnya.

Tetapi, siapa yang akan menduga jika Rain justru bergerak maju lantas memeluknya dengan erat. Anya terkejut bukan main, namun dia jauh lebih syok saat pria laknat itu mengecup lehernya lantas menggigit-nya hingga memerah. Bisa ditebak apa yang dilakukan Anya setelahnya; didorongnya tubuh besar pria itu sontak memberinya bogem mentah tepat di rahang.

Anya mencoba kabur berikutnya, tetapi Rain berhasil menangkapnya. Anya memberontak, sayangnya pria itu sangat kuat, sampai pada Rain menjelaskan alasan atas perbuatannya--Anya akhirnya berhenti.

Meski gadis itu terkadang masih marah.

Sembari mendekap Anya dari belakang, Rain memohon agar gadis itu tidak pergi, dia terlalu takut memikirkan Anya akan dalam bahaya jika sampai tersesat di hutan.

Rain berkata. "Aku minta maaf. Sungguh, itu bukanlah diriku, ketahuilah aku bukan pria yang seperti itu," Rain membalik tubuh mungil tersebut lantas memegangi kedua bahunya pun menatapnya dengan sorot serius, mencoba membuat Anya percaya padanya.

"Anya, kamu harus percaya saat aku bilang tubuhku tidak hanya memiliki satu atau dua kepribadian. Terkadang aku tidak bisa mengingat apa yang telah kuperbuat, dan aku tidak bisa memastikan ada berapa kepribadian yang kumiliki, percayalah, aku bukan orang seperti itu," lanjutnya dengan sorot keyakinan.

Anya menyimak baik-baik perkataan Rain padanya walau sesungguhnya api amarah masih menguasai. Namun dia mencoba untuk memberi Rain kesempatan, lagi pula dia terlalu takut melewati hutan seorang diri. Saat itu dia hanya refleks berlari menuju hutan karena terlalu takut dan syok.

Menghela nafas, Anya lalu berkata. "Aku percaya," ujarnya terdengar pelan, tapi Rain sungguh senang mendengarnya. "Mungkin kamu benar, saat kamu berubah mesum seperti itu," Anya berdehem sejenak, "kamu terlihat berbeda dari sosok Rain asli, tetapi aku terkadang tidak bisa menyadarinya. Jadi, jangan salahkan aku saat spontan memukulmu. Itu adalah pertahanan diri." Anya menyipit menatap Rain yang justru tersenyum.

"Baiklah, lakukan apapun untuk membuatku sadar," Rain menjeda lantas menyeringai saat melanjutkan, "tapi, juga bukan salahku saat kamu berbalik tergoda dan menyerangku," katanya menggoda.

Anya sontak menendang tulang kering pria kurang ajar tersebut, yang sayangnya tidak berefek apa-apa.

Sejak kejadian itu Anya tidak lagi ingin mandi. Dia terlalu takut memancing kehadiran makhluk lain di tubuh Rain yang sialnya mesum.

Dan lihat, sekarang Rain mesum muncul kembali. Dia bahkan sudah hampir melepaskan bajunya andai saja Anya tidak segera menyadarinya.

Rain yang baru saja dipukul oleh gadis gila di depannya hendak protes, tetapi justru mengurungkan niatnya saat menyadari mengapa Anya sampai memukulnya. Menatap Anya dengan tak enak hati Rain bertanya, "apa dia muncul lagi? Apa yang dia lakukan padamu?" Tanyanya.

Anya bersedekap, "pikirkan saja sendiri, dasar mesum. Huh! Carilah pasangan dan lakukan sesukamu,"dia menggerutu sembari membawa langkahnya keluar dari dalam sungai menuju rumah.

Mengusap wajah dengan frustasi, Rain ikut melangkah pergi namun tidak mengikuti gadis itu memasuki rumah, melainkan berjalan menuju hutan. Rain berpikir, mungkin dengan berjalan-jalan sejenak dia bisa berpikir jernih.

Rain butuh angin sejuk,

.

.

.

Untuk membawa segala rasa panas ditubuhnya.

Anya sedang rebahan dikamarnya di dalam rumah hutan, lalu badannya sudah bersih pun telah harum. Aromanya jelas serupa dengan Rain karena sabun pria itu satu-satu yang tersedia di sana. Pada akhirnya Anya mandi juga, sebab berpikir sudah terlanjur basah dan Rain nampaknya sedang tidak ada, Anya sontak memanfaatkan situasi ini untuk mandi dan berbenah diri.

Dengan catatan, Anya harus mengunci kamar dari dalam agar Rain tidak bisa melihatnya dalam keadaan bersih. Bisa-bisa sosok mesumnya kambuh lagi dan Anya tidak ingin gegabah.

Sudah hampir dua jam lamanya, pintu depan baru terdengar terbuka dan Anya menyadari itu adalah Rain yang mungkin baru saja kembali entah dari mana. Dia tidak ingin tahu. Karena rumah ini tidak begitu besar, gadis itu bisa mendengar suara dari luar kamar walau terkadang tidak begitu jelas. Tetapi kali ini dia mendengar suara berisik berasal dari arah dapur. Karena dasarnya Anya gadis kepoan, lantas mendekat ke arah pintu sembari menempelkan telingannya di sana.

Kemudian dia memasang senyum saat menyadari Rain sedang memasak sesuatu di dapur. Kira-kira apa yang dimasaknya, jujur saja dia menyukai masakan pria itu. Walau terkadang hanya sandwich dan telur dadar gulung, itu cukup enak jika harus dibandingkan dengan masakannya sendiri.

Sebenarnya yang perempuan itu siapa?

Anya terlonjak tepat setelah suara ketukan pintu yang keras mendengung di telinganya. Itu pasti Rain, siapa lagi memang, sebab mereka hanya berdua dirumah itu. Tepat setelah Rain mengetuk pintu sebanyak tujuh kali dan memanggil Anya dari luar. Gadis itu akhirnya membuka pintu, sontak disambut tatapan dingin Rain.

"Kamu tuli?" Katanya sakras, lalu meraih tangan Anya dan menyeretnya menuju meja makan di dapur. Tidak membiarkan Anya untuk mendebatnya.

Mata gadis itu langsung berbinar melihat hidangan di atas meja, "kamu yang memasak ini?" Tanyanya terdengar antusias.

Rain tersenyum miring, "bukan, tapi Blood Rain," Anya jadi cemberut.

"Huh! Yang benar saja," gadis itu menggerutu namun tangannya dengan lihai memotong daging burung panggang dipiringnya menjadi potongan-potongan kecil. Lalu memakannya dengan gerakan ala-ala.

"Wah, kamu benar-benar hebat, ini sangat enak." Anya memuji dan mulutnya tidak berhenti mengunyah.

"Itu karena kamu tidak punya pilihan selain memakan ini, kalau saja ada masakan serupa dan ditangani oleh koki, kamu jelas tidak akan mengatakan itu," Rain berujar sewot namun rautnya masih saja datar.

Anya langsung saja berhenti makan, lalu menatap Rain dengan berang, "kamu ini, aku kan hanya memuji sesuai apa yang aku rasakan, lagipula ini kan masakanmu, " gadis itu tidak habis pikir dengan Rain. Beginilah rasanya kalau harus menghadapi satu orang--rasa puluhan orang.

Rain mendengus, namun hanya diam sembari melanjutkan makannya.

"Kalau begitu kenapa kamu tidak makan? Katanya enak," pria itu lagi-lagi mendengus.

"Aku sudah tidak berselera, huh!" Anya bersedekap dikursinya sembari manik cokelatnya menyipit melihat Rain makan dengan santai pun terlihat menikmati.

Karena tidak tahan lagi, Anya akhirnya bergerak dan kembali melanjutkan makan yang sempat tertunda. Jadi sebagai balasan Rain terkekeh dengan remeh, mengejek gadis itu. Sayangnya, Anya sudah memasang muka tembok mengabaikan sikap mengejek yang ditunjukkan Rain.

Dia tidak peduli.

Selesai makan, Anya menghampiri Rain yang sedang duduk selonjoran diteras rumah berbahan kayu. Tepat di bawahnya terdapat kolam ikan dengan air jernih, Anya bahkan bisa melihat bagaimana ikan-ikan kecil berenang kesana-kemari dengan lihainya. Secara keseluruhan rumah ini unik dan cantik, kendati kecil tetapi itu bukan masalah.

Anya duduk tepat di samping Rain yang tengah menengadah menatap lagit yang hampir tidak terlihat karena terhalangi rimbunan pepohonan. Hanya ada sedikit cahaya rembulan yang berhasil melewati celah-celah dedaunan lebat tersebut. Pria itu tampak menikmati bagaimana suara ranting pohon saling beradu mengeluarkan bunyi khas yang menenangkan, juga suara hewan malam yang riuh renyah ditelinga.

Mereka berdua terdiam menikmati suasana malam di tengah hutan.

"Anya," tiba-tiba Rain bersuara tetapi dia tidak menoleh menatap Anya, padahal gadis itu sudah menatapnya.

"Hmm?" Anya berdehem masih menatap Rain di sampingnya. Oh! Dia benar-benar harus mengakui jika Rain tidak kalah tampan dari Rayland. Jujur saja, gadis itu bahkan terkadang menemukan beberapa kesamaan antara Rain dan Rayland, baik itu fisik maupun bahasa tubuhnya. Anya jadi heran sendiri.

"Bisakah kamu melupakan masa lalu mu, dan memulai semuanya denganku, di sini?" Rain akhirnya menoleh dan memaku tatapannya yang sarat akan keseriusan, tepat dimanik Anya yang sudah membesar.

Apa-apaan pria ini? Pikirnya.

Membuang muka, Anya tidak langsung menjawab. Memangnya dia punya jawaban lain selain kata tidak, pikirnya. Namun kenapa hal itu justru sangat sulit dia ucapkan. Memejamkan mata dengan berat, Anya berkata, "tidak, aku merindukan keluargaku," Anya membuka mata lantas ikut menyorot Rain yang masih menatapnya, "dan aku sangat merindukan suamiku, Rayland."

Anya sungguh tidak menduga dan menyadari bagaimana raut Rain berubah sangat cepat, begitu drastis. Dia tidak menyadarinya. Anya pikir, Rain hanya sedang mengujinya untuk berkata jujur. Sayangnya Anya benar-benar tidak menyadari bagaimana seriusnya pria itu meminta Anya untuk tinggal dengannya.

"Jadi kamu sudah menikah?" Anya seketika mengernyit saat mendengar nada suara Rain yang terdengar berbeda, itu sarat akan amarah dan juga aura gelap telah menguar dari tubuhnya.

Anya sudah merasa tidak nyaman ditempatnya, tubuhnya seolah meminta agar ia segera beranjak dari sana menuju kamar dan mengunci pintu dari dalam. Tetapi dia juga penasaran mengapa Rain sampai menampilkan raut mengerikan milik Blood Rain hanya karena dia tahu Anya sudah menikah. Lantas Anya membatu saat menyadari apa yang baru saja dia pikirkan.

Blood Rain?

Menyorot Rain di sampingnya, Anya hampir saja terjungkal ke kolam ikan saat tersadar siapa sosok yang berada di sebelahnya saat ini. Dengan gemetar Anya menyeret tubuhnya menjauh dan bersiap lari, tetapi naasnya, pria itu jauh lebih cepat. Ditariknya kaki Anya yang berwarnah pucat; sepucat wajah pemiliknya sekarang. Lalu menyeret gadis itu melalui kakinya sembari tertawa mengerikan. Anya yang diseret telah menangis sembari meminta dilepaskan. Tetapi nampaknya sosok itu tidak akan melepaskannya dengan mudah.

Menahan rasa sakit akibat diseret melalui kaki, Anya meronta. Tetapi Blood Rain kian menyeretnya menuju dapur tanpa belas kasih. Tangis gadis malang itu semakin pecah saat sebelah tangan Rain yang bebas mulai meraih pisau dapur yang tajam pun mengkilap. Anya bahkan bisa melihat pantulan dirinya sendiri di sana, seolah pisau itu memberitahu jika dia akan segera membelah tubuhnya.

Diselah rasa takut yang mendera,

.

.

.

Anya berharap Rayland datang menyelamatkannya. Sebab pria itu akan selalu menjadi harapannya.

Next chapter