webnovel

2. Hancur

Galant Virendra tidak pernah mengira dalam hidupnya dia akan diterpa oleh badai sekali lagi. Memutar balikkan kehidupannya, menghancurkan semuanya hingga hanya puing yang tersisa. Bagaimana Galant bisa melanjutkan hidupnya, jika tumpuan dan penyebab dia ada di dunia ini telah tiada.

Walaupun sudah satu minggu, Galant masih hancur. Sulit bagi dirinya untuk bangkit kembali, tidak ada tangan kuat yang meraihnya lagi. Menguatkan dirinya dari jurang kesedihan. Ada apa dengan semestanya? Kenapa bahagia hanya singgah untuk sementara. Kelabu kembali menyelimutinya dan seolah enggan untuk berlari.

Dosa apa yang telah Galant perbuat, hingga dia ditikam sakitnya kehilangan.

Galant menghirup dalam udara pantai di pagi hari. Dingin yang menusuk permukaan kulitnya dia abaikan, karena itu tidak sebanding dengan hatinya yang membeku kala cobaan menyapanya tanpa permisi.

Pasir yang menempel di jemari kakinya karena tendangan-tendangan asal pada pasir pantai yang tak bersalah menyalurkan emosi yang dia keluarkan, lama-lama membuatnya tak nyaman.

"Kalau aku tenggelam di sana. Apakah ada yang peduli? Apakah masalah akan selesai?" gumam Galant tertutup suara angin yang kencang.

Galant lupa sudah berapa jam dia berdiri dalam keheningan. Memandang laut biru terhampar di hadapannya, dengan ombak yang sesekali menyapu kaki Galant.

Galant akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri, pergi meninggalkan sedikit beban di pundaknya dan dia berharap itu benar-benar terjadi. Bukan hanya harapannya.

Galant memang menyukai suasana pantai yang sepi, tapi dia membenci penyebab dia berada di sini selama berjam-jam lamanya merenung dengan pikiran penuh di dalam kepalanya. Membenci dengan keadaan di mana ayahnya telah meninggalkan Galant sendirian di dunia ini untuk berhadapan dengan kerasnya kehidupan sendirian.

Galant sedih, karena di saat terakhir ayahnya tiada, dia dan Arghi tidak bisa hadir di sisinya. Melihat detik terakhir penghujung hidup ayahnya karena ayahnya terkena sebuah virus yang bahkan Galant tidak boleh mendekat sejengkal pun bahkan untuk datang ke rumah sakit saat itu, yang dia bisa lakukan hanyalah menangis di kamar sendiran di tengah hujan lebat tanpa ada yang mendengar teriakannya.

***

"Aku pulang." Tidak ada balasan dari dalam rumah yang menyambutnya. Hanya lengang dan sepi membuat rongga dada Galant terasa sesak. Galant memanggil, "Arghi?"

Galant menelusuri rumah berlantai dua yang cukup besar, mencari dengan panik menuju kamar Arghi di lantai atas. Seharusnya Arghi sudah lama pindah ke lantai bawah untuk memudahkannya, tetapi dia menolak tanpa kata dan bungkam sepanjang waktu. Galant terus berteriak memanggil berharap akan mendapat jawaban dari keberadaannya. Namun, seharusnya Galant lebih dari tahu bahwa Arghi tidak akan menjawabnya dan juga dia telah menetap di kamarnya dalam jangka waktu panjang untuk meringkuk tentang keadaannya sekarang.

Saat Galant membuka pintu dengan cepat pada kamar Arghi, dia malah mendapati sahabatnya tengah berdiri menggenggam dinding balkon dan menatap lurus ke depan dengan angin bertiup kencang menerbangkan tirai yang tergantung di jendela. Kemudian dalam hitungan detik mata Galant melebar ketika kaki Arghi bergerak untuk mengangkat menaiki balkon.

Galant melesat menuju balkon dengan perasaan bersalah yang dengan cepat menyelimuti dadanya. Dia menarik lengan Arghi yang telah sedingin es untuk masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Galant tidak tahu sudah berapa lama sahabatnya berdiri di sana. "Apa yang kamu lakukan di sana, Arghi?"

Arghi hanya bungkam berdiri kaku di hadapan Galant, entah kenapa Galant merasakan napas Arghi yang sedikit memburu. Galant tidak mendapatkan jawaban, tetapi tangan Galant yang berada pada lengan Arghi di tepis kasar olehnya.

Arghi malah melesat berbaring di atas kasur, membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut dan tidak ada pergerakkan lagi di sana.

Galant menghembuskan napas kasar, matanya terasa panas menatap gumpalan selimut tebal di hadapannya. Sungguh Galant menyesal mengatakannya, bunuh diri itu di larang. Sebesar apapun masalah dan derita yang menerpa dirinya, tidak akan pernah ada pembenaran untuk hal keji itu.

Mungkin rasa sakit Galant tidak sebanding dengan semua penderitaan yang menghantam Arghi baru-baru ini. Mungkin Galant egois menganggap dialah yang mempunyai masalah seluas samudera yang harus dia tanggung dan selesaikan. Tidak itu bukan Galant, tetapi Arghi.

"Argi kita tidak harus berlarut-larut dalam kesedihan. Ada aku di sini, Arghi. Kamu tidak sendirian lagi." kata Galant perlahan, dia tidak ingin salah bicara atau semuanya akan hancur. "Arghi, kita bisa memulai semuanya dari nol."

Tidak ada tanggapan dari Arghi. Bagai ditusuk ribuan jarum tak kasat mata, melihat gumpalan selimut itu yang hanya diam tanpa pergerakkan apapun.

Bagaimana bisa dia berpikir untuk mengakhiri hidupnya dan menganggap bahwa dia sudah kehilangan tumpuannya. Sementara masih ada Arghi di dalam kehidupannya. Satu satunya keluarga Galant, seseorang yang paling Galant sayangi setelah ayahnya yang baru saja tiada. Bagaimana Arghi akan melanjutkan hidup tanpa Galant. Sahabatnya pun tak ada siapa-siapa lagi di dalam hidupnya sudah sejak lama, mengapa Galant tidak bisa sepertinya? Yang selalu kuat menjalani hidup.

"Kita mungkin sedih dan kecewa, tetapi hidup harus tetap berjalan," kata Galant pada akhirnya.

"Diam, dan pergilah," desis Arghi terendam di balik selimut. Galant sedikit tersentak, tidak yakin apa perkataan Arghi menyakiti perasaannya.

"Arghi, kamu belum makan sejak semalam," Galant mengingatkan. Dia sedikit meringis pasalnya sebelum ini terjadi, Arghi lah yang selalu melakukannya.

Namun, tidak ada lagi jawaban yang Galant terima. Mungkin, ketika Galant meneteskan air mata sekali lagi Arghi tidak akan tahu dan peduli lagi. Apakah sekarang Arghi berhenti peduli pada sekitar? Bahkan pada dirinya sendiri?

"Arghi harus makan," katanya dengan nada rendah. "Aku bisa mengantar makanan untuk kakak sekarang. Kita bisa—,"

"Aku buta, bukan lumpuh. Pergi dari sini!" potong Arghi dengan nada tajam yang teredam selimut tebalnya.

Galant ingin sekali menyikap selimut itu, dan meneriaki apapun agar menyadarkan Arghi untuk tidak melakukan hal yang sia-sia seperti ini. Bahwa Arghi tidak sendiri ada Galant untuk berbagi deritanya. Ada Galant yang siap untuk melakukan yang Arghi inginkan, menjadi bahunya untuk bersandar. Bukankah itu juga yang Arghi lakukan ketika ibu Galant meninggal dulu.

"Kalau sikap kamu terus seperti ini, aku benar-benar akan menyerah dengan keadaan," lirih Galant, dia yakin Arghi mendengarnya dengan jelas dan berharap perkataanya mengenai hati Arghi.

Galant mendongak menatap langit-langit kamar tidak akan membiarkan air mata jatuh kembali. Dia bangkit berdiri, melirik sekali lagi pada Arghi yang berbaring di balik selimut dan Galant berlalu pergi.

***

Malam Galant tidak sama lagi, sejak sekiranya satu minggu lalu. Dia biasanya langsung tertidur setelah makan malam dan mengerjakan tugas sekolahnya, kali ini tidak. Galant hanya memandang langit malam tanpa bintang. Dia merasa kecil dan kesepian. Galant bingung harus melakukan apalagi setelah ini, dia merasa tujuan hidupnya di dunia sekarang telah berubah.

Galant tersentak ketika dia mendengar suara barang keramik yang pecah. Dia langsung berdiri dari duduknya mengabaikan pandangannya yang tiba-tiba memburam. Keluar dari kamar, Galant tidak mendapati apapun, dia berlari menuju kamar Arghi dengan jantungnya yang semakin lama berdebar cepat. Galant membuka pintu kamar Arghi untuk mendapati bahwa sahabatnya tidak ada di sana.

Mata Galant bergerak-gerak gelisah, ekspresinya langsung mengeras dia berteriak memanggil Arghi dengan frustasi. Galant tidak ingin kejadian yang sama terjadi sekali lagi.

Dia menjelajah semua lantai atas, tetapi Galant tidak menemukan apapun. Saat Galant mencapai tangga, kakinya terhenti dengan tubuh bagai di paku di mana tempatnya berpijak sekarang. Ingatan hari itu, yang ingin Galant lupakan kembali menyeruak membuka luka yang bahkan belum mengering.

Galant menjadi sesak dengan pandangannya yang memanas. Seiring tubuhnya yang hendak luruh ke lantai yang mendingin.

"Arghi?" lirih Galant pelan dengan suaranya yang bergetar.

Pasalnya tepat di bawah tangga, terbaring Arghi yang hanya diam dengan kepala mengalir darah di antara kepingan-kepingan pecahan guci besar yang hancur berkeping-keping.

Bersambung...

Terima kasih telah membaca.

Next chapter