1 1. Perampok

Arghi Baswara meletakkan ponselnya di atas kasur dan menempelkan jari telunjuk di depan bibir. Mendengarkan suara samar yang datang dari lantai bawah rumahnya, walaupun dengan hujan deras mendominasi indera pendengarannya. Namun, Arghi tahu ada yang salah di lantai bawah, suara berisik tidak wajar membuatnya bangun dari duduk.

"Ada apa, Arghi?" tanya sahabatnya yang dua tahun lebih muda dari Arghi, menatapnya dengan penasaran.

"Ada orang di lantai bawah, padahal paman sedang berada di rumah sakit dan tidak mungkin bisa pulang," kata Arghi setengah berbisik walaupun dia tahu suaranya tidak akan terdengar sampai ke bawah. Dia kembali berbicara, "Galant tunggu di sini, aku ingin melihatnya dahulu. Jangan ke mana-mana."

Galant menggeleng dia ikut berdiri di sisi Arghi. Arghi membuka pintu perlahan berjalan sedikit ke tangga untuk mengintip. Jantung Arghi langsung berpacu ketika dia mendapati seorang pria asing berpakaian serba hitam sedang menggeledah isi rumahnya, memberantaki di sana-sini. Membuat ruang tengah menjadi kacau. Amarahnya langsung timbul saat pria itu sudah menerobos masuk ke kamar ayah Galant yang terkunci. Jelas dia perampok. Arghi dengan cepat berjalan tergesa-gesa kembali ke dalam kamar, mendorong pelan sahabatnya untuk masuk.

"Galant cepat masuk ke kamar lagi, jangan ke mana-mana," desak Arghi.

Galant menggeleng cepat sambil menggertakkan giginya dengan mata menyala. "Tidak Arghi, kita tetap di sini. Biarkan mereka mau maling, yang penting tidak ada yang terjadi pada kita."

Arghi menghembuskan napas dan menatap Galant dengan mata menggelap. Dia tidak akan tetap diam ketika ada orang asing yang menerobos masuk ke rumah Galant, dia sudah dua puluh tahun dan dengan semua kebaikan dari keluarga Galant hingga dia bisa tinggal di sini mana mungkin Arghi bisa diam saja.

"Galant masuk ke kamarku," perintah Arghi tegas mengabaikan perkataan Galant sebelumnya.

Mata Galant langsung melebar dengan ketidakpercayaan, rahangnya turun lalu dia mendengus. Galant tidak mengatakan apa-apa dan langsung ke kamar menutup pintu. Arghi tahu Galant pasti kecewa padanya yang tidak mendengarkan apa yang dia coba sarankan, tetapi ini mungkin hanya sedikit caranya untuk Arghi lakukan sebagai rasa terima kasihnya dengan Arghi harus mengeluarkan pria asing itu dari sini.

Arghi merapal doa di dalam hatinya dengan bibir terkatup. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan untuk memantapkan hatinya. Arghi berharap tidak akan terjadi apapun, terlepas dari perasaannya yang benar-benar terasa tidak enak dari waktu ke waktu sejak dia datang untuk melihat.

Arghi dengan setengah merunduk berjalan pelan kembali ke sisi tangga, matanya tidak lepas mengamati orang asing itu yang membongkar isi lemari seperti itu memang miliknya. Dia tampak santai, membuat tangan Arghi meremat pegangan tangga dengan erat.

Arghi tersentak saat itu juga ketika matanya bersitatap dengan perampok itu yang tiba-tiba menoleh padanya. Arghi menjadi kaku, tetapi keberaniannya tidak surut dengan mudah. Dia dengan berani menampakkan dirinya di puncak tangga dengan mata berkilat. Pria itu mengamatinya, Arghi berusaha melawan perasaan terancam di dalam pikirannya.

"Lihat ada orang ternyata, bersembunyilah lagi agar aku menyelesaikan ini dengan cepat," katanya dengan kekehan di ujung kalimat dia berdiri menghadap Arghi, suaranya yang berat memenuhi ruangan. Pembuluh darah Arghi tampak menegang di lehernya.

"Letakkan semua seperti semula," perintah Arghi yang terdengar seperti desis peringatan saat rahangnya mengeras.

Perampok itu berjalan santai menuju tangga dan mendongak menatap Arghi dengan gembira, "Waw, masuk ke kamar, cuci kaki dan tidurlah. Jangan ikut campur."

Mendengar itu Arghi melesat turun dengan cepat menghantamkan tinjunya pada wajah pria yang berdiri di tangga bawah, seketika itu juga kepalan tangannya terasa kebas. Dia memang pantas mendapatkan itu. Pria itu sama sekali tidak menghindari pukulannya, hanya sedikit keterkejutan terlukis di wajahnya lalu kembali normal dengan seringai lebar di wajah itu.

Pria itu menyeka sudut bibirnya yang berdarah dan menatap Arghi sambil mengangkat alisnya, lalu dia menggeram dengan nada dalam. "Berani kamu rupanya."

"Keluar dari rumahku." Mata Arghi berkilat dengan amarah dia hampir tidak menyadari perampok itu sudah berdiri di hadapannya, ketika Arghi telah mundur menjauh setelah memukulnya.

"Kamu lebih baik diam, atau kamu akan tau apa yang akan aku lakukan pada orang yang ada di kamarmu itu," katanya santai namun terselip ancaman dengan mata berkilat menatap tajam pada Arghi.

Jantung Arghi berdebar dia kemari untuk melindungi Galant dan tidak akan tetap diam menerima apa yang pria itu lakukan. Tangannya meremat kuat, Ini mungkin bukan rumahnya, tetapi Galant sekarang adalah tanggung jawabnya.

"Berani-beraninya." Arghi kembali menghantamkan tinjunya dengan kencang pada rahang pria di hadapannya membuatnya sedikit terhuyung.

Dia malah tertawa, Arghi tidak mengerti sama sekali apa maksud pria yang berdiri di hadapannya ini. Namun, dia baru menyadari satu hal yang mungkin bisa saja terjadi nanti dan membuat darahnya berdesir, maka dengan cepat Arghi langsung berbicara, "Bawa barangnya dan cepat pergi dari sini."

"Kenapa terburu-buru," tiba-tiba perut Arghi di hantam dengan tendangan yang kuat membuatnya terduduk memegangi perutnya dengan batuk tak terkendali. Arghi meringis menahan rasa sakit yang menyengat. Dia menghirup udara dalam-dalam, lalu menyipit memandang pria yang berdiri menjulang di depannya yang terpampang dengan jelas bahwa dia puas melakukannya pada Arghi.

"Aku sudah bilang, kan? Seharusnya kamu kembali ke kamar dan meringkuk di bawah selimut," ejeknya.

Arghi mendesis, di posisinya yang terduduk di tangga. Dia balik menendang pria itu membuatnya mundur. Dengan menahan sakit, Arghi berlari terseok-seok menuju dapur. Dia tidak yakin ada orang yang akan membantunya malam ini di mana halamannya terlalu luas dan melibatkan tetangganya. Arghi juga tidak ingin jika dia meminta batuan ke luar, pria itu bisa saja akan menyakiti Galant, memikirkannya saja Arghi tidak sanggup.

Belum sempat Arghi mencapai dapur, dia ditendang kembali hingga tersungkur mencium lantai. Tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi, yang Arghi ingat hanya rasa sakit yang terus menghantamnya di sekujur tubuh.

Arghi tidak berdaya, dia membuka matanya sedikit untuk mendapati Galant sedang mengintip di balik dinding dengan ketakutan pada matanya. Arghi menjadi gelisah dengan kecemasan ikut menyelimuti membuatnya terasa sesak. Dia menggeleng kecil agar Galant menjauh saja, Arghi bisa sampai di sini adalah untuk melindungi sahabatnya. Seharusnya Arghi mengikuti perkataan Galant sebelumnya dengan tetap di kamar, betapa bodohnya Arghi justru mencari masalahnya sendiri, jika sesuatu pada Galant maka Arghi tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.

Arghi mencoba bangkit dengan kekuatannya yang tersisa, bahkan sebelum badannya bisa bergerak pria itu kembali menendangnya.

"Masih sadar kamu?" tanya perampok itu dengan ejekan yang kental. Dia menekan kakinya pada punggung Arghi dengan kuat. Kepalanya menoleh mengamati sekitar dengan lemah. Dia berharap kalau-kalau ada seseorang yang dapat membantunya, mengeluarkan dirinya dari situasi ini.

Arghi tidak akan pernah menjawab, dia membuat isyarat lewat matanya agar Galant cepat lari bersembunyi ataupun meminta bantuan kemanapun.

Kepala Arghi terasa meledak ketika sesuatu menghantamnya dengan keras, tepat di tempurung kepalanya. Seketika itu juga padangannya semakin memburam dan semuanya menjadi gelap. Arghi tidak tahu dia masih dalam kesadaran atau ini hanyalah halusinasi dalam ketidak sadarannya. Tubuhnya merasa hancur dan remuk, melayang-layang antara sadar dan ketidaksadarannya, dia tidak bisa melihat apapun. Itu membuatnya kesulitan bernapas sekarang, Arghi mengais-ngais udara dengan rakus.

Mungkin saja dia sudah meninggal. Mungin.

Sebelum dia benar-benar tidak dapat memikirkan apapun lagi, Arghi menyelipkan satu doa agar Galant tetap baik-baik saja. Terlepas Arghi nanti akan tetap ada atau tiada.

avataravatar
Next chapter