39 You've Got Me

Pengumuman!

Sebentar lagi cerita mau tamat. Makasih banyak yang sudah setia tutul2 bintang (disini & dihatiku 🥰) dan ngisi kolom komen (biar nggak kosong mengenaskan) selama ini. Spesial teruntuk penggemar setia tulisan makthor yg smp bela2in kirim brownies yumminya Yum's Kitchen buat mood booster 😍😍

Luv...luv...luv banget♥️♥️♥️

***

"Apaan sih lo? Dateng-dateng nyegat gue. Terus main kabur gitu aja. Lo pikir gue layangan bisa dimainin?!" Dengan emosi yang bikin kalap, Anggita mencegat lengan pria yang hendak melarikan diri itu.

"Kamu marah?"

"Menurut lo?"

"Saya juga marah."

"Emang gue bikin salah apa sama lo?" teriak Anggita sengit.

Andro menggeleng. "Bukan kamu."

"Hah?"

"Saya marah dengan diri saya sendiri."

Anggita berkerut bingung.

Menghela napas, Andro maju selangkah. "Saya butuh waktu untuk berpikir jernih. Kalau semua sudah jelas, saya akan temui kamu untuk bicara."

"Kalo semua sudah jelas? Emangnya selama ini otak lo buram?"

Anggita membelalak kaget ketika tiba-tiba pria itu kembali maju. Tubuhnya dipeluk erat.

"Tolong jangan dorong saya. Saya butuh kekuatan sebentar." Andro mendekapnya seakan tidak ada hari esok. Sangat erat. Hingga Anggita merasa engap. Sesak.

"Lo kenap-"

"Sssttt. Sebentar lagi."

Merasa aneh, tapi Anggita tak kuasa menolak. Tubuhnya bereaksi berlawanan dengan otaknya.

Semenit kemudian ia terlepas dari pelukan yang menyiksa itu. Harum tubuh Andro menempel di bajunya. Khas aroma parfum pria.

Anggita yang tadi mendidih, kini turun temperatur ketika melihat kesedihan yang tersimpan di balik mata pria itu. "Lo ... ada masalah?"

Bukannya menjawab, Andro memaksakan senyum sambil berkacak pinggang. "Hm?"

"Sumpah. Gue nggak ngerti sama sikap lo. Nggak pernah ngerti."

"Sama."

Anggita mencondongkan wajahnya. "Maksud lo?"

Andro melangkah lebih dekat. Menatap lekat sepasang mata coklat di depannya. Tangannya terulur merapikan helai rambut Anggita yang tertiup angin. "Sabar ya. Bisa kan bersabar menunggu saya?"

Anggita balas menatapnya penuh harap. "Sampai kapan?"

Andro kembali merengkuhnya. Bibir lembutnya mengecup lembut dahi Anggita yang tertutup poni. "Sampai kita sama-sama siap."

"Siap? Eh? Bentar-bentar." Anggita melepaskan diri karena tiba-tiba dirinya teringat sesuatu. Matanya meneliti Andro dari atas sampai bawah.

"Kenapa?" Andro menghembus napas.

Apalagi kali ini?

"Lo ...?" Dilihatnya baik-baik fisik pria itu. "Lo nggak pake kruk? Kaki lo?" Anggita menunjuk ke bawah.

Andro tersenyum simpul. "Kaki saya baik-baik saja."

"Ta-tapi ... kemarin itu? Tadi?"

Anggita teringat insiden di mana ia mendorong Andro hingga jatuh tersungkur. Lalu tadi pagi, saat pria itu meninggalkan meja makan. Kruk silver itu masih setia menemaninya. Tapi sekarang? Pria itu bahkan bisa berlari tanpa beban mengejarnya.

"Mana kruk lo?"

Andro tertawa kecil. "Saya hanya pura-pura di depan kamu."

"Haaah???"

"Sepertinya saya senang kalo kamu perhatian." Bibir pria itu nyengir tipis.

Padahal baru beberapa detik yang lalu Anggita dibuat meleleh oleh pria itu. Sekarang, kesabarannya kembali diuji.

Jadi gue ketipu???

"Kalo lo seneng gue perhatiin, kenapa nggak bilang aja terus terang?"

"Nggak seru kalo nggak bikin kamu kesal."

"Haaah???"

"Semakin kamu benci saya, semakin kamu jatuh cinta. Bener nggak?"

Anggita dibuat takjub olehnya. Belum pernah ada pria lain mempermainkannya seperti ini. Mending kalau hanya tarik-ulur. Pria yang ini senangnya mengulur-ngulur sampai uratnya mau putus.

"Seseorang tidak akan pernah menyadari betapa besar rasa cintanya sebelum tersakiti oleh cinta itu sendiri."

"Ck ... sok puitis lo!" Usai berdecih, bola matanya melebar. "Bentar-bentar. Apa tadi lo bilang? Cinta?"

Andro hanya menatapnya bisu dengan senyum.

"Lo ... cinta sama gue?"

Pria itu kembali mendekat, kali ini ke sisi wajah Anggita.

"Kamu manis kalo lagi penasaran begini," bisiknya lirih.

Efek jantungnya kian berdebar hebat, Anggita mendorongnya sekuat tenaga. Namun pria itu tertawa puas. "Haisssh! Bener-bener ya! Lo bener-bener psycho ternyata."

Andro tersenyum kecil. "Kamu mau bersabar kan menunggu cowok psycho ini, Anggita?"

.

============================

.

"Mas Hasan?" Ratna menahan cangkir di pangkuan dengan tangannya yang tengah gemetar.

"Bagaimana kabarmu?" Hasan tersenyum teduh.

Ratna tertunduk. "Baik, Mas."

Belasan tahun terlewati tanpa percakapan tatap muka seperti ini. Benar-benar canggung untuk bersikap seperti normalnya pasangan suami-istri. Tapi memang sejak dulu seperti ini hubungan mereka. Dingin. Tanpa sentuhan kasih dan sayang.

Terakhir kali mereka bertatap muka adalah pada saat Andro dirawat di rumah sakit akibat demam berdarah ketika berusia 14 tahun. Kala itu Hasan datang di saat Andro sedang terlelap.

"Maaf. Kita baru bisa bertemu sekarang."

Ratna mengangguk pelan. Lidahnya kelu.

"Saya sudah bertemu Syahdan."

Wajah Ratna terangkat kaget. "Apa?"

"Dia tumbuh menjadi pria gagah. Terima kasih sudah membesarkannya dengan baik."

Ratna berdeham pelan. "Mas Hasan nggak kesini cuma untuk bilang itu kan?"

"Dia bilang ... namanya Andromeda." Hasan tersenyum pedih. "Dia tidak mau saya panggil Syahdan."

"Namanya memang Andromeda." Ratna membalas dingin.

"Dia benci sekali dengan saya."

"Fakta yang menyakitkan bukan?" Ratna menghela pelan.

"Tapi dia tidak bisa memungkiri fakta kalau saya itu ayah kandungnya."

"Mas Hasan tidak bisa begitu saja mengklaim hal itu di depan Andro."

Hasan termangu.

Ratna kembali menghembus berat. "Kenapa Mas nggak bilang dulu ke saya kalau mau bertemu?

"Apa saya perlu ijin dari kamu?"

"Tidak. Tentu saja tidak. Tapi mungkin ... mungkin saja saya bisa membantu."

"Ada Retha yang mendampingi kami."

"Bu Retha?" Wanita itu memandang kecewa. "Kenapa?"

"Apa?"

"Kenapa harus Bu Retha?" Matanya berkaca-kaca. "Kenapa Mas Hasan nggak bilang ke saya?"

"Kenapa bukan kita bertiga, Mas?" Pecah, Ratna tak sanggup membendung tangisnya. "Kenapa bukan kita bertiga yang saling bertemu? Kenapa harus Bu Retha?"

Terpukul oleh kata-kata Ratna, wajah pria itu tertunduk menyesal. Memang, seharusnya mereka bertiga yang duduk bersama untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun. Bukan Retha yang seharusnya berada di sana. Pantas saja jika Andro marah padanya. Dan pantas juga jika Ratna merasa kecewa seperti ini.

"Maaf. Saya ..."

"Maaf, maaf! Cuma itu saja yang bisa Mas Hasan katakan dari dulu. Bahkan saya nggak pernah mengerti untuk apa maaf itu."

Lagi-lagi, Hasan tersambar. Wanita itu kembali mengucapkan fakta menyakitkan. Meminta maaf. Cuma itu yang dari dulu bisa Hasan lakukan. Meskipun Hasan tahu wanita itu mengharap lebih dari sekedar kata maaf darinya.

"Saat Mas Hasan mau menikahi wanita lain pun, cuma 'maaf' saja yang terdengar oleh saya. Sedikit saya berharap Mas mau mengerti perasaan saya. Meskipun saya tahu setiap kali harapan saya itu hanya berbalas kecewa. Perasaan saya hanya bertepuk sebelah tangan."

Pria itu hanya bisa tertunduk membisu. Jari-jemarinya terjalin di atas pangkuan.

"Saya tahu dari awal ini semua cuma kesalahan, Mas. Saya menanggung beban, Mas juga menanggung beban. Tapi Andro ... anak itu sejak kecil hidupnya ..." Tangisnya mengisak.

"Tidak seharusnya Andro menanggung beban seberat ini. Jadi, jangan salahkan dia jika yang ada dihatinya cuma dendam setiap kali melihat wajah Mas Hasan."

"Apa yang bisa saya lakukan untuk menghapus dendam itu?"

Ratna mendesah pelan. Matanya menahan air yang hendak kembali tumpah. Ia sudah cukup lelah dengan semua air mata yang dikeluarkan selama puluhan tahun ini. Benar-benar lelah.

"Jangan tanya saya, Mas. Allah yang punya jawabannya. Bukan saya."

"Saya terlalu malu untuk menghadap Tuhan."

"Allah Maha Pemaaf, Mas. Menangislah pada-Nya. Jangan sia-siakan air mata Mas di sini. Karena saya ... saya sudah lelah memaafkan."

.

===========================

.

Arga tersenyum memandang wajah cantik sang istri yang sedang larut dalam mimpi. Penuh kedamaian. Lalu pandangannya turun ke bawah menuju perut kecil Amara. Senyumnya melebar.

Tak henti-hentinya ia berucap syukur pada Illahi sejak tadi pagi. Bangun tidur tadi, tak sengaja matanya menangkap benda panjang yang terletak di atas nakas.

Dua garis merah.

Bahagianya ia kini menyandang status calon ayah. Dan Amara, calon ibu. Arga tak henti-hentinya tersenyum hingga seorang pramugari tak tahan untuk bertanya padanya saat akan menyajikan minuman untuknya.

"Teh, kopi, atau orange juice, Pak?"

Arga berpikir sejenak. "Orange juice dua, Mbak. Untuk istri saya juga." Seingat Arga, biasanya wanita yang tengah hamil muda doyan sekali dengan yang asem-asem.

"Baik, Pak."

"Sepertinya ada sesuatu yang membahagiakan ya, Pak." Sang pramugari berkomentar saat menuangkan orange juice dalam kemasan kotak ke gelas.

"Iya, Mbak. Istri saya sedang hamil."

Sang pramugari ikut tersenyum lalu menyerahkan dua gelas orange juice. "Selamat ya, Pak. Semoga sehat-sehat untuk ibu dan bayinya."

"Aamiin. Terima kasih."

Amara merasa tidurnya terusik ketika sebuah sentuhan dingin terasa di tangannya.

"Hmmm ..." Ia menggeliat kecil.

"Sudah bangun, Sayang?" Arga mengusap kepalanya yang terbungkus jilbab jingga.

"Masih belum, ya?" Kedua mata ngantuknya mengerjap kecil.

"Kurang dari setengah jam lagi."

"Kok aku berasa ngantuk banget ya," keluhnya sambil menguap.

"Bawaan mungkin."

"Hm? Bawaan?" Dahinya mengernyit bingung.

"Bawaan yang di perut." Arga menunjuk dengan matanya.

"Bawaan laper?"

"Mungkin," jawab Arga terkekeh. Ia sengaja tak ingin merusak kejutan dari istrinya. Mungkin saja tadi pagi Amara lupa menyimpan benda itu agar tak terlihat olehnya.

"Iih, aku tuh kalo laper malah nggak bisa tidur." Amara terdiam ketika perutnya menimbulkan suara kecil. "Hehe ... iya sih, sepertinya laper."

"Tapi aku nggak mau makanan pesawat. Lagi pingin sate padang."

"Habis ini, kita langsung makan sate padang," tukas Arga sumringah.

"Beneran?"

"Iya."

"Tapi ..." Senyum di wajah Amara mengerut. "Sampai sana kan masih jam tiga sore. Mana ada yang jual. Biasanya kan sate padang malem jualannya."

"Tenang saja. Ada kenalanku tukang sate padang enak."

"Serius?" Amara menatap berbinar-binar penuh harap.

"Iya, Sayang. Namanya Uwak Jalil."

"Kamu belum pernah ngajak aku kesitu."

"Biasanya aku makan satenya Uwak Jalil bareng Razi. Tempat mangkal kita sambil ngomongin kerjaan."

Amara tertawa, tiba-tiba teringat sesuatu yang menurutnya konyol. "Kamu inget nggak?"

"Hm?"

"Waktu itu aku ngincer Arsan-maksudku Razi buat jadi calon suamiku. Ternyata ... malah dapetnya kamu."

"Nyesel?"

"Enggak dooong," Amara nyengir lebar.

Tak terasa cerita penuh nostalgia pertemuan mereka memakan waktu hingga pesawat mendarat dengan selamat di Jakarta. Setelahnya mereka berkendara dengan taksi online menuju rumah Uwak Jalil.

Untungnya rumah petak berukuran 36 m² itu terletak di sebuah gang yang cukup besar untuk dilalui oleh satu mobil. Sehingga Amara tidak perlu lelah berjalan kaki dari jalan besar menyusuri gang.

"Kek mananya kau ini, Ga. Tak cakap pula kau sudah kawin. Macam Razi aja," komentar Uwak Jalil pada Arga yang tengah menikmati sate padang buatannya.

"Maaf, Wak. Dadakan."

"Hahaha. Macam tahu bulat saja. Tak badan dua duluan kan?"

"Uhuk! Uhuk!" Amara tersedak bumbu. Tangannya meraih gelas air putih untuk langsung ditenggak.

"Tuh kan, Uwak sih. Istri saya jadi kaget."

"Alamak. Santai sajalah, Amara. Awak ini memang recok orangnya."

"Iya, Wak. Nggak pa-pa." Amara tersenyum aneh. Sebenarnya ia bingung Uwak Jalil sedang bicara apa. Bahasa medannya kental sekali. Malahan Amara merasa seperti sedang mendengarkan Atok Dalang di serial Upin-Ipin.

"Ga, tak terge-nya kau. Kasihlah istrimu minum."

Memang Uwak Jalil ini bawel sekali orangnya. Kalau ada orang yang baru pertama kali bertemu seperti Amara ini, pasti akan terkejut. Meskipun begitu, Amara tidak merasa tersinggung ataupun terusik dengan sikapnya yang sok kenal sok dekat itu.

"Kek si Razi tuh. Bekawin tak cakap, malah cere. Padahal mesra kali awak tengok dulu."

"Sudah nikah lagi dia, Wak."

"Alamak! Cewek mana pula?"

"Orang yang sama."

Kali ini tawa Uwak Jalil lebih membahana di rumah kecil itu.

"Loak kali dia. Sor kan dia tuh. Apa kata orang-orang jaman now? Bucin?"

"Ngerti bahasa gaul juga, Wak." Amara menimpali.

"Ya lah. Tak gaul tak pande-lah awak. Tak laku dagangan awak nanti."

"Hahahaha."

Usai kenyang menghabiskan dua porsi sate padang, Amara meminta Arga untuk jalan kaki saja menuju jalan besar. Dari sana mereka bisa kembali memesan taksi online.

"Kamu nggak capek?" Arga mencemaskan kondisi istrinya. Dengar-dengar wanita hamil muda tidak boleh kelelahan.

"Ngantuk sih sebenernya." Amara bergelayut manja di lengan Arga.

"Kenapa sih kamu menolak kita dijemput sama Pak Ganjar?"

"No privacy. Lagian, aku lagi pingin jalan-jalan sama kamu."

"Iya. Tapi kan kondisi kamu lagi nggak memungkinkan."

"Kenapa nggak memungkinkan?" Amara bertanya bingung.

"Eh-enggak. Maksudnya, kita kan baru saja landing. Aku nggak mau kamu capek-capek."

"Aku nggak capek kok. Malahan aku menikmati kegiatan kita hari ini." Amara tersenyum penuh makna. "Berasa lagi pacaran. Kita kan nggak pernah pacaran."

Arga mengusap lembut kepala istrinya yang tengah bersandar manja di bahunya.

"Kamu nggak malu dilihatin orang-orang?" Pria itu memperhatikan orang-orang yang mereka lewati menatap dengan kepo.

"Emangnya kita bikin dosa? Enggak kan. We're oficially husband and wife. Biarin aja mereka ghibah, dosa mereka ini."

"Iya. Tapi kita juga harus bersikap santun di depan orang lain. Lagipula, yang namanya mesra itu nggak perlu dipamer-pamerin biar orang tahu."

"Ya wajar dong kalo aku pingin dunia tahu kalo aku lagi bahagia."

"Biar apa? Kenapa kamu harus peduli orang tahu kamu bahagia atau tidak? Biar mereka iri sama kamu?"

"Bukan gitu."

"Ya terus buat apa?"

Amara terdiam. Sesungguhnya ia sendiri juga tidak terlalu tahu jawabannya. Ia hanya ingin menunjukkan kebahagiaannya ini di depan banyak orang. Dengan alasan yang ia sendiri tidak begitu mengerti.

"Mungkin ... karena selama ini ... aku terbiasa hidup dengan tatapan penuh penghakiman dari orang lain."

"Maksudnya?"

"Orang-orang biasa gosipin aku di belakang. Tanpa sadar aku mendengar jelas setiap kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut mereka."

"Memangnya mereka ngomongin apa saja soal kamu?"

Langkah keduanya terhenti. Amara duduk di pinggir trotoar.

Ingatannya berkelana ke masa-masa itu. Masa paling menyakitkan di mana ia pada akhirnya terpaksa pindah sekolah.

"Lo tau si Amara itu? Nggak punya ibu kan dia."

"Masa? Emang nyokapnya kemana?"

"Gue denger sih nyokapnya selingkuh terus ninggalin bokapnya sama dia."

"Serius lo? Kasian banget ya."

"Nyokapnya emang doyan selingkuh kali. Jangan-jangan, dia juga bukan anak kandung bokapnya."

"Maksud lo dia anak ha-"

"Ssstttt! Jangan keras-keras lo!"

Tak tahan, Amara yang sejak awal menguping dari balik pintu kamar asramanya langsung menyerang ketiga anak perempuan yang sibuk bergosip itu.

Tamparan, jambakan, tendangan, pukulan, semua Amara lampiaskan pada mereka.

"Masuk neraka lo semua!!!"

"Aaarrrggghhh!!!"

"Sayang?"

"Hah? Apa?" Lamunannya buyar seketika.

"Kamu kenapa?"

"Eh, enggak. Kamu udah pesan taksinya?" Amara tersenyum aneh.

"Sudah. Sudah dekat driver-nya."

"Kita langsung pulang, ya. Aku capek ternyata."

Merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Amara, Arga meraih tangannya untuk digenggam.

"Sayang, kamu punya aku sekarang. Kalau ada masalah cerita saja. Jangan dipendam sendirian."

Sesuatu di dalam diri Amara berdesir halus. "Aku beruntung punya kamu. Suami terbaik."

"HUEEEK!" Begitu saja, sesuatu dari dalam perutnya mendorong minta keluar. Untung saja Amara mampu menahan. "Hueeek!"

"Sayang?"

"Hueeek!" Kali ini tidak tertolong. Isi perutnya benar-benar tumpah ke jalan. Amara megap-megap mengatur antara napas dan mual yang tak tertahankan. "Hueeek!"

"Kita ke dokter!"

===========================

"AAAAAHHH!"

"Mamaaa, nggak usah teriaaak!" Amara menjauhkan ponsel dari telinga. Khawatir pekik nyaring Mamanya merusak gendang telinga.

"Mama mau jadi neneeeek!"

"Iya, Ma. Tapi biasa aja. Nggak usah jejingkrakan gitu."

"Kok kamu tau Mama lagi jingkrak-jingkrak? Bisa nerawang ya kamu?"

"Emangnya aku dukun!" Amara memandang jengah.

"Gita juga pasti seneng denger kabar ini. Mau punya ponakan."

"O ya, anak Mama yang itu jadi pulang kesini?"

"Jadi. Lho, ini kan sudah malam. Dia belum sampai?"

"Belum, Ma. Hilalnya belum keliatan."

"Ngaco kamu! Lagi hamil, mulutnya harus dijaga, Sayang. Nggak boleh ngomong sembarangan."

"Iya, Mama sayang."

"Haduh, Mama kok seneng banget. Senengnya ngalahin menang arisan berlian."

Amara tertawa mendengar ekspresi konyol Mamanya yang sedang benar-benar bahagia walau hanya lewat telepon.

"Ya udah, Ma. Cuma mau ngabari itu aja kok."

"Ya udah. Kamu istirahat yang cukup ya. Pokoknya nggak boleh capek-capek. Nggak boleh stres. Nggak boleh-"

"Iyaaa, Mama. Tadi udah dikasitau semuanya sama Bu Dokter."

"Diturutin semua ya omongan Bu Dokter."

"Ya, Ma."

"Bilang juga sama Arga, puasa dulu. Tahan dulu aha-ihi-nya."

"Iiih, Mama bawel banget. Dah Mamaaa. Assalamu'alaikum."

Telepon ditutup sebelah pihak oleh Amara tanpa menunggu balasan dari Mamanya.

"Hehe. Mama sepertinya senang banget." Arga meletakkan segelas susu hangat di atas nakas.

"Ya iyalah. Kan mau dapet cucu." Tanpa menunggu tawaran dari Arga, Amara meraih gelas yang berisi susu hamil itu untuk diminumnya.

"Aah. Kok susunya enak ya." Lidahnya menjilat sekeliling bibir.

"Alhamdulillah. Masih mual nggak?"

Arga memposisikan tubuhnya di atas ranjang.

"Lagi enggak."

"Kok?"

"Ya kan mualnya datang dan pergi begitu saja tanpa undangan." Amara meletakkan kembali gelas yang sudah kandas isinya.

"Oh ya, ngomong-ngomong soal undangan ... gimana kalau resepsi kita dimajuin aja?"

"Hm? Resepsi?"

"Iya. Kan waktu itu Mama rencanain resepsi kita dibikin sekalian pesta akhir tahun kantor. Tapi ..." Amara melirik pada perutnya yang masih kempes.

"Takut keburu perut kamu besar?"

Amara mengangguk lemah.

"Mau dimajuin kapan?" Arga duduk bersandar pada headboard. Dipangkuannya sudah tersedia laptop.

"Jangan kelamaan, deh."

"Tapi kan perlu persiapan, Sayang. Kalau terburu-buru, nanti kamunya repot. Apalagi kondisi kamu lagi begini." Matanya tengah meneliti kerjaan di depan layar.

"Aku bisa kok. Ntar tinggal minta bantuan Gita sama Mama. Apalagi Mama. Pasti calon nenek yang satu itu excited banget kalo urusan pesta. Terus tinggal minta temenin Sakya kemana-mana kalo kamu sibuk."

Usai menekan tombol enter, Arga menoleh dengan senyum. "Aku ngikut aja. Pokoknya nggak bebanin kamu dan bayi kita."

Amara mencebik tak percaya. "Beneran ngikut aja? Bukannya kamu yang sekarang jadwalnya susah banget?"

"Gampanglah itu. Nanti aku tinggal minta bantuan Ayah." Fokusnya kembali ke laptop.

Berbinar-binar, Amara memandang penuh cinta pada suaminya itu. Entah bawaan calon bayi dalam perutnya atau bukan, yang jelas rasa sayangnya melesat tinggi.

"Muaah muaah muaah."

"Amaraaa!"

Tak menghiraukan Arga yang sibuk mengelak, Amara semakin gencar menghujani setiap bagian wajahnya dengan ciuman.

Andai waktu bisa terhenti, Amara ingin jarum detik berhenti berdetak saat ini juga. Detik terbahagia dalam hidupnya.

------------------------------------

avataravatar