webnovel

Broken Hearts

Assalamu'alaikum,

Apa kbr semua? Mhn maap thor kelamaan gak update. Minggu2 sibuk byk acara 😁🤭. Buat bonus thor ksh 2 part langsung dijadiin satu. Enjoooy 😉😚

Jgn lupa sebar2 ⭐⭐ & komen 🤩🥰

♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

______________________________________

Sometimes you're just so helpless and hopeless.

All ways are dead-ends.

When that happens, follow what your heart said.

That's what God whispers to you.

-Author-

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Anggita Maraya Selva binti Ganesha Rizaldi dengan mas kawin tersebut tunai."

"Sah!"

"Alhamdulillah ..."

Anggita bernapas lega saat pria yang sudah menjadi suaminya itu lancar merapal kalimat ijab hanya dalam satu tarikan napas. Tanpa dihiasi tetesan air mata seperti pengantin perempuan kebanyakan, Anggita justru tersenyum lebar hingga paras ayunya yang manglingi semakin menggoda iman suaminya saat keduanya saling melempar lirikan malu-malu setelah sah menjadi suami istri.

Anggita mengecup takzim punggung tangan kanan suaminya seperti yang diinstruksikan oleh bidan pengantin dibelakangnya. Tidak hanya untuk menunjukkan rasa hormatnya pada sang suami, tapi juga demi sudut-sudut cantik yang tercipta dalam album kolase foto pernikahan mereka nantinya.

Anggita memandang lekat pada paras rupawan suaminya yang tengah mengulum senyum. Namun senyum di wajah Anggita segera pudar tatkala menyadari tatapan lembut tadi berubah sinis dengan sebelah alis terangkat.

Perlahan suaminya memajukan wajah mendekati pipi kiri Anggita. Kulit wajah mereka saling bersentuhan saat bisikan lirih merasuk gendang telinganya.

"Ingat, ini semua cuma pura-pura."

Anggita semakin membelalak lebar ketika kalimat berikutnya sampai ke pendengarannya.

"I never really love you."

Tanpa sadar Anggita mendorong kasar pria itu lalu melayangkan tamparan keras.

Plaaaakkk!

"Brengsek lo! Gue benci sama lo!"

Bukannya membalas aksi KDRT Anggita, pria itu malah tertawa lebar. Tawanya sangat keras hingga mampu mengguncang hati Anggita menjadi retak berkeping-keping. Melesat bagai busur panah, tawa menyakitkan itu menghentikan aliran darahnya hingga Anggita lebih memilih mati daripada hidup bersama siluman titisan iblis itu. Perlahan Anggita kehilangan kesadaran seiring dengan kelopak matanya yang semakin memejam. Anehnya sesuatu sangat menyilaukan merasuk hingga ke dalam kegelapan di dalam matanya. Sungguh menyilaukan. Hingga Anggita dipaksa untuk kembali membuka mata.

Anggita terpaksa mengerjap sebal saat menyadari sesuatu setelah kedua matanya mampu menatap ruangan di sekitarnya. Lalu Anggita bangkit mendudukkan diri dari rebahnya.

"Aaaah mimpiiii!" Anggita menepuk sebal kedua pipinya.

"Gilaaa! Ngapain gue ngimpi begituan? Ah parah!" Kini kedua kakinya yang menendang-nendang sebal hingga selimut yang tadi menutupi tubuhnya merosot ke lantai.

"Emang mimpi apaan sih?" Sebuah suara mengejutkan bertanya padanya, membuat Anggita segera mengedar mata ke sekeliling ruangan itu.

Dan titik fokus penglihatannya pun menemukan sosok yang dicari sedang berdiri menyandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Ngapain lo di sini?" tanya Anggita ketus.

"Harusnya gue yang nanya. Ngapain lo tidur di kamar gue?" tanya Amara balik seraya membalas tatapan rese' adiknya.

Sebelum menjawab, Anggita kembali memperhatikan sekelilingnya sekali lagi lalu menahan cengiran nakalnya.

"Heee ... sori. Gue lagi nggak pingin tidur di kamar gue."

"Emang ada apa di kamar lo?" Amara mengernyit penasaran.

"Hah? Eh, enggak kok. Nggak ada apa-apaan. Lagi pingin ganti suasana aja," jawab Anggita disertai kekehan kaku.

Bohong! Amara tahu adiknya sedang berbohong. Adiknya ini cinta banget dengan kamarnya yang penuh dengan segala hiasan pernak-pernik boyband asal negeri ginseng favoritnya. Sampai Anggita pernah beralasan tidak bisa tidur pulas sebelum menatap wajah tampan salah satu anggotanya yang berambut pirang.

"Gue nggak percaya. Kenapa lo tidur di kamar gue?" tanya Amara sekali lagi setelah mendudukkan diri di pinggir ranjang.

Anggita paham betul kakaknya ini serba keras kepala dan suka menuntut. Amara tidak akan menyerah sebelum mendapat jawaban jujur dari Anggita. Dan kini ia hanya bisa tertunduk lemas sembari menghembus napas berat saat dipaksa untuk menceritakan kejadian kemarin malam.

Semua dimulai dari setelah ia meninggalkan Andro di pinggir jalan lalu mengemudikan mobilnya cepat untuk kembali ke vila. Setibanya di vila, ia bertemu dengan Ratna yang sedang menonton TV dan menanyakan keberadaan Andro yang tidak ikut pulang bersamanya. Anggita beralasan jika mereka pulang masing-masing karena Andro mengatakan ingin main ke rumah temannya. Tentu saja cerita bohongnya itu membuat Ratna curiga. Andro tidak punya teman dekat di Bali. Dan putranya itu tidak pernah bertandang ke rumah siapapun hanya untuk sekedar main. Deretan pertanyaan pun dilontarkan Ratna pada Anggita.

Membuat Anggita akhirnya terpojok dan tak sengaja berteriak, "Anak Ibu sudah mempermainkan hati saya!"

Menyadari mulutnya yang kelepasan, Anggita berlari masuk ke kamarnya untuk menghindari rentetan wawancara yang sudah pasti akan ditanyakan oleh Ratna padanya. Cukup lama Anggita menyembunyikan diri di dalam kamar hingga dua jam berikutnya seseorang mengetuk pintu kamarnya.

Tidak hanya sekali, dua kali, namun berkali-kali. Anggita sengaja tidak menjawab dan pura-pura tidur. Toh waktu itu sudah jam sepuluh malam. Ia menutup telinganya, menutup seluruh tubuh dengan selimut dan memejam paksa mata. Meskipun otaknya jelas-jelas tak mau berhenti berpikir.

"Mbak Gita, buka pintunya." Akhirnya seseorang di balik pintu itu bersuara. Membuat Anggita bernapas lega setelah mengenali siapa pemilik suara itu. Dengan malas dan langkah gontai, Anggita yang sudah berbalut piyama berjalan menuju pintu kamar.

Ceklek.

"Kenapa, Bu Ram—" Kalimatnya tercekat di leher saat sosok yang ia temui bukanlah yang ia sangka.

"Ngapain lo?" Rautnya sontak berubah angkuh.

"Maturnuwun, Bu Rami." Sosok itu menganggukkan kepala pada Bu Rami yang berdiri di sampingnya dengan wajah kantuk. Bu Rami balas tersenyum lalu segera menghilang dari pandangan mereka berdua.

"Oooh, pinter juga ya lo nyuruh Bu Rami manggil gue biar gue buka pintu." Anggita mendengkus kesal. Kedua tangannya terlipat di dada.

"Terpaksa. Biar kamu keluar," jawabnya dingin.

"Mau apa lo? Gue ngantuk." Anggita pura-pura menguap.

"Bisa kita bicara?"

"Enggak!" jawab Anggita ketus.

"Saya mau minta penjelasan kamu."

Anggita menaik-turunkan bola matanya. Memandang heran pria angkuh di hadapannya. "Penjelasan apa? Kenapa gue ninggalin lo di jalanan?"

Andro tertawa sinis lalu kembali berwajah datar. "Kenapa kamu bilang ke ibu saya kalo saya mempermainkan hati kamu?"

"Lho, emang iya kan? Siapa yang udah seenaknya nyium anak perawan orang?" Anggita mendelik.

"It was just a kiss." Lalu dengan cepat Andro menggelengkan kepala. "No, no, not a kiss. Just touching lips. Not a big deal."

"Apa lo kataaaa? Not a big deal?" Emosi Anggita kembali di atas puncak. Kalau tidak ingat membunuh orang itu dosa, mungkin pria ini sudah habis dicabik-cabiknya dengan celurit senjata para begal.

"Not a big deal." Andro mengangguk santai.

Ingin sekali rasanya Anggita mengangkat kedua tangannya yang sedang meremas kuat di sisi-sisi tubuhnya untuk melayangkan bogem mentah ke pipi mulus pria itu.

"Kecuali ..." Andro melanjutkan namun menahan kalimatnya.

"Kecuali apa?" tantang Anggita emosi. Wajahnya mendongak untuk menatap tak gentar.

"Kecuali kalo kamu beneran suka sama saya."

"Terus kenapa kalo gue beneran suka sama lo?"

"Jadi Mbak Anggita suka sama saya?"

"Kalo iya kenapa? Nggak boleh?" Anggita menatap berapi-api. Tak sadar jika ia baru saja membuat sebuah pengakuan.

Pria yang tadi menatapnya angkuh kini bergeming tanpa reaksi.

Beberapa menit kemudian, Andro menghela napas berat. Kedua tangannya berkacak di pinggang dengan mata menatap pada lantai yang dipijaknya. Otaknya berpikir keras.

Kini kepalanya kembali terangkat. Matanya membalas lekat tatapan Anggita yang terasa menuntut. "Nggak. Nggak boleh."

"Kenapa?"

"Orang yang tidak pernah merasakan patah hati tidak akan pernah mengerti." Andro membalik badan lalu melangkah pelan menjauh. Meninggalkan Anggita yang semakin gusar dibuatnya.

"Apa lo kata lagi? Gue? Nggak pernah patah hati?" Anggita memutuskan untuk mengekori di belakang punggung pria yang masih tertatih dengan bantuan kruk itu.

"Sepertinya." Andro mengangkat kedua bahunya tak acuh.

"Sepertinya???" Anggita menghentikan langkahnya.

Matanya mencari-cari sesuatu di sekitarnya. Ketika menemukan benda yang menurutnya pas, ia langsung meraih benda itu lalu menarget punggung lebar itu dengan fokus penglihatannya.

Dukkk!

Benda di tangannyanya tadi mendarat tepat di sasaran. Menyakiti tulang belakang sang pemilik punggung. Bahkan mengagetkannya hingga kruk itu terlepas dari tangannya dan ia terjatuh.

"Minggat lo ke neraka!" teriak Anggita kesal.

Meski sakit, Andro berusaha menahan nyeri di tulang-tulangnya, meraih kembali kruk lalu berusaha kembali berdiri dengan susah payah. Sementara Anggita tidak ada niatan sama sekali untuk membantunya. Hanya tertawa sinis menyaksikan kesusahan Andro.

"Cowok berotak seperempat seperti lo nggak pantas hidup bahagia."

"Cukup, Mbak Gita!" Suara nyaring seorang wanita berteriak padanya.

Anggita menoleh pada wanita paruh baya yang ternyata sejak tadi menyaksikan pertikaian mereka berdua.

"Bu Ratna?" Anggita berbisik dengan wajah tercengang.

"Meskipun putra saya sudah berbuat salah pada Mbak Gita, apa pantas Mbak Gita menjahatinya seperti itu?" Suaranya parau disertai mata yang mulai berkaca-kaca.

Ratna berjalan mendekati putranya untuk membantu pria itu berdiri tegak. Ia sadar putranya merasakan kesakitan di beberapa bagian tubuhnya yang belum pulih benar dari kecelakaan beberapa hari yang lalu.

"Mananya yang sakit, Ndro?" tanyanya lembut sembari meraba pergelangan tangan Andro yang tengah menahan kruk.

"Nggak apa, Bu." Andro berusaha menenangkan kegelisahan ibunya.

Anggita menggeram kesal. Yang dikatakan Ratna tadi sama sekali tidak benar. Putranyalah yang tega menjahati Anggita. Harusnya Anggita yang menjadi korban di sini. Bukan Andro.

Tanpa mau memedulikan aksi saling perhatian sepasang ibu dan anak itu lebih lama, Anggita berlari menuju lantai atas. Lalu masuk dan mengunci diri di dalam kamar luas yang memang biasa ditempati oleh Amara. Hanya di kamar itu Anggita bisa benar-benar menyembunyikan diri. Pintu kamar itu dipasangi sistem keamanan yang memerlukan kode sandi untuk membukanya. Dan hanya tiga orang yang mengetahui kode sandi kamar itu. Amara, Anggita, dan Clint. Bahkan mamanya sendiri tidak mengetahui.

Anggita tahu Andro ataupun Ratna tidak akan pernah berani menginjak lantai atas. Mereka sangat menghormati Amara. Tapi tidak dirinya. Begitulah pikir Anggita.

Dibalik pintu Anggita menangis sekencangnya. Meluapkan segala kecewa dan rasa sakit yang menyesak di dadanya. Memangnya Andro tahu apa? Seorang Anggita tidak pernah patah hati?

Kalau saja penyelenggara acara Academy Award mengetahui ada sosok yang pintar menjalankan peran menjadi wanita yang tak pernah terlihat susah, sedih, dan hidup penuh keglamoran demi menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya rapuh, remuk dan meronta, pasti Anggita Maraya Selva menjadi pemenang nominasi aktris terbaik.

Adalah Donny, pria pertama yang pernah mencairkan hatinya yang beku sekaligus menyiram bara api didadanya dalam waktu tiga hari.

Adalah Brama, pria kedua yang berhasil membuat dirinya klepek-klepek dan sukses menjadi bucin untuk hubungan terlama dalam hidup Anggita, empat tahun.

Adalah Satria, pria ketiga yang mampu membuatnya kembali percaya bahwa tidak semua pria diciptakan untuk meremukkan hati wanita. Sayangnya baru dua bulan berjalan, hubungan itu terpaksa kandas karena Satria meninggal dalam kecelakaan tunggal.

Dan pria terakhir yang kembali berhasil membuat hatinya kembali patah, adalah Ganesha. Ayah kandung yang selama ini ia sangka hanya orang asing yang tega memisahkan dirinya dan Amara.

Tapi kali ini, seorang Andro berhasil memindahkan posisi ayahnya dalam daftar, menjadi bukan lagi pria terakhir yang sukses mematahkan hatinya.

"Jadi nggak mau cerita, nih?" Pertanyaan Amara sukses membuyarkan lamunan Anggita akan rentetan kejadian tadi malam yang dialaminya.

"Hoaaaam." Anggita pura-pura menguap. "Gue masih ngantuk. Dan lapar."

Anggita memelas, bergelayut manja pada lengan sang kakak. Namun tentu saja Amara tak akan dengan mudahnya termakan tipu-daya adiknya. Amara melepaskan pegangan di lengannya lalu menatap intens.

"Lo abis nangis kan? Bengkak tuh mata lo."

Anggita berdecak sebal dengan wajah cemberut. "Iishhh, gue abis nonton drakor tau. Ceritanya sedih. Bikin baper."

"Oya? Drakor apa? Judulnya apa?" Anggita nyengir tipis.

"Eemm ... itu ... eh, Pinocchio. Sedih  liat bapaknya difitnah gitu sampai jadi bulan-bulanan di media."

"Git, lo udah lama nonton drama itu berkali-kali. Maksud lo sekarang lo nonton drama itu lagi?"

"Eh ... iya gue nonton lagi. Abis gue lagi bosen, terus ternyata file itu film ada di laptop gue."

"Mana laptop lo?"

"Di kamar gue."

"Tapi lo tidur di kamar gue."

"Abis nonton gue kesini."

"Ngapain?"

"Meredakan kebaperan."

"Baper apa?"

"Baper sedihlah."

"Sedih kenapa?"

"Karena patah hat — eh ma—maksudnya ..."

"Ooo jadi lo lagi patah hati." Amara manggut-manggut mengerti. Akhirnya babak tarik-ulur ini dimenangkan oleh Amara.

"Haisssh." Wajah Anggita yang bersemu merah berpaling ke arah jendela.

"Cowok yang mana kali ini?" tanya Amara santai. Menurutnya sudah biasa adiknya itu berganti-ganti teman pria.

"Udah nggak usah dibahas. Gue laper!" Anggita berdiri menghentak lantai.

"Git, gue serius nanya!"

"Gue juga serius laper!" balas Anggita lebih tegas lalu segera keluar dari kamar itu. Tentu saja untuk melarikan diri.

Dengan langkah cepat Anggita menuruni tangga beralas karpet itu. Tanpa sama sekali menghiraukan Amara yang berteriak memanggil namanya sembari mengejar langkahnya di belakang.

"Gitaaa!"

"Jangan lari dari gue!"

Anggita tetap melakukan sebaliknya, melarikan diri. Bukan hanya dari Amara tapi juga dari kenyataan.

"Amara! Jangan lari!" Sebuah suara berat memperingatkannya dari lantai bawah. Membuat Anggita memutar kedua bola matanya.

Tentu saja sang pangeran kakaknya juga ada di vila ini. Anggita memandang sinis pada Arga yang sedang mendongak memperhatikan mereka berdua. Tidak, bukan mereka berdua. Hanya Amara saja.

"Gita!"

Amara berhasil meraih sebelah lengan Anggita, yang sayangnya langsung dihempas oleh Anggita sehingga mengakibatkan Amara hilang keseimbangan.

"Aaaahhhh!" Kaki kiri Amara merosot ke anak tangga bawah. Jika saja lengan kekar suaminya tidak bereaksi cepat menangkap tubuh mungilnya, bisa jadi kini Amara tergelincir hingga ke bawah. Dan siapa yang tahu bagaimana nasib tubuh Amara selanjutnya.

"Gita, kamu hampir mencelakai kakakmu!" Arga menegur keras.

Anggita menoleh malas, hanya sekejap. Kemudian berpaling lagi dan mempercepat langkah menuju kamarnya.

"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanya Arga dengan wajah risau.

"Eh, enggak. Nggak pa-pa." Amara masih betah bernaung dalam dekapan suaminya.

"Kalian kenapa? Ribut lagi?" Arga menatap wajah istrinya baik-baik.

"Enggak kok. Dia lagi malu aja," jawab Amara terkekeh kecil.

"Malu kenapa?"

Anggita membalas tatapan penasaran di mata suaminya. "Kepo banget sih."

"Biar aku yakin saja kalau kalian tidak kenapa-kenapa."

Amara mencubit hidung Arga gemas. "Kalo aku cerita ke kamu, yang ada dia tambah malu."

Arga menepis jemari istrinya lalu mengusik hidungnya yang memerah akibat ulah Amara.

"Kenapa begitu?" tanya Arga masih penasaran.

"Urusan cewek, Sayaaaang."

Amara menyatukan kedua tangan mereka dalam satu genggaman hangat. Keduanya berjalan turun menyusuri anak tangga yang tersisa.

"Baguslah kalau baik-baik saja."

"Emang semua baik-baik aja."

"Kalau semua baik-baik saja berarti besok pagi kita bisa pulang, dong." Arga mengulas senyum lega.

Amara langsung membulatkan sepasang matanya. "Eeeh? Kata siapa?"

"Kataku barusan."

"Tapi kataku enggak." Amara melepas tangannya lalu bersila di depan dada.

"Sayang, ada kerjaan yang harus aku selesaikan.

"Tapi ini Bali, Ga. Bali! Kita belum honeymoon kan? Kenapa nggak sekalian aja di sini?"

"Amara, aku janji nanti ada waktunya kita honeymoon. Tapi nggak sekarang. Aku harus manage kerjaan dulu sebelum ditinggal."

Bibir Amara mengerucut. Dadanya menghempas napas sebal. Tingkahnya persis anak kecil sedang ngambek.

"Sayang, please ngertiin dong. Kamu sendiri tahu kan bagaimana kalau kerjaan lagi banyak - banyaknya."

Amara mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Nggak tau tuh. Aku kan udah nggak kerja."

"Tapi kamu kan pernah kerja."

"Tapi kan udah enggak."

"Tapi kamu tahu kan bagaimana rasanya."

"Lupa!"

"Amara."

"Arga."

"Aku serius."

"Aku lebih serius."

"Aku lebih serius dari kamu."

"Aku lebih-lebih serius dari kamu."

Arga menghela napas berat. Entah apa yang terjadi dengan istrinya. Amara kembali menjadi wanita keras kepala menyebalkan seperti yang ia temui pertama kali.

"Please, Sayang."

"Please juga."

"Aku benar-benar janji kita akan honeymoon. Tapi nanti."

"Nanti kapan?"

"Kalau waktunya sudah tepat."

"Memangnya kapan waktu yang tepat?"

"Ya nanti kalau kerjaanku sudah senggang."

"Memangnya kapan kerjaan kamu senggang?"

"Aku usahakan dalam waktu dekat ini."

"Kalo nggak bisa gimana?"

"Kamu boleh hukum aku."

"Hukum apa?"

"Apa saja yang kamu mau."

"Ogah." Amara membalik badan, berjalan menuju ruang keluarga.

Entah kenapa hari ini Amara sangat ingin meladeni debat dengan orang-orang. Dan satu lagi, Amara sedang sangat amat ingin memenangkan perdebatan. Tidak boleh ada bantahan. Anggap saja egonya sedang melangit. Egonya lelah dipaksa harus membumi beberapa minggu ini.

"Sebenarnya alasan kamu pingin banget honeymoon sekarang apa sih?" tanya Arga ketika sudah duduk bersanding dengan Amara di atas sofa.

"Itu kan yang diinginkan semua pengantin. Segera bulan madu setelah menikah."

"Kamu tahu kan tujuannya pengantin bulan madu?"

"Senang-senang berdua."

"Bukan." Arga menggeleng.

"Terus apa?"

"Program bikin anak."

"Iiih, mesum banget kamu." Amara berdecak sebal.

"Lho, benar kan? Memangnya apa yang dilakukan pengantin baru selama bulan madu selain permainan ranjang?"

"Lama-lama omongan kamu cabul juga ya."

Arga tertawa renyah. Akhirnya, triknya berhasil juga menurunkan emosi Amara.

"Kalau nggak cabul nggak bisa bikin anak."

"Iih makin parah omongan kamu." Amara mencubit kecil pipi suaminya namun Arga hanya tertawa saja untuk menahan sensasi pedas di pipinya.

Arga mengusap lembut pucuk kepala Amara. "Jadi kesimpulannya, bulan madu itu sama dengan program bikin anak. Program bikin anak bisa dilakukan di mana saja, yang penting ada tempatnya. Jadi premisnya, bulan madu bisa dilakukan di mana saja, selama ada tempatnya."

Amara menatap suaminya jengah. Bisa-bisanya Arga sekarang berperan menjadi guru bahasa Indonesia untuk memberi contoh kalimat premis, padahal Amara sedang tidak ingin digurui.

"Jadi kesimpulan dari kalimat premis kamu itu, kita nggak usah honeymoon. Begitu?"

"Bukan, Sayang. Aku cuma bilang honeymoon bisa di mana saja.".

"Termasuk di rumah saja," sindir Amara sebal.

Arga menarik napas lelah. Berdebat dengan seorang Amara adalah hal yang paling melelahkan. Padahal sebenarnya Arga hanya butuh pengertian seorang Amara.

"Ya sudah, nanti aku coba minta bantuan Ayah untuk handle kerjaanku sementara kita bulan madu."

Dahi Amara berkerut bingung. "Kok Ayah?"

"Karena cuma Ayah yang mengerti rancanganku."

"Tapi kan Om Jo—" Amara menenggak ludah. "Maksudku, Ayah kamu kan sedang nggak fit kondisinya."

Arga mengedikkan kedua bahunya. "Mau bagaimana lagi. Nggak ada orang lain yang bisa mengerti aku sebaik Ayah."

Merasa kalah dan tak punya pilihan, Amara menghembus napas berat. "Ya udah, kamu kelarin dulu tuh PR kamu. Besok kamu balik ke Jakarta.

Senyum sumringah dan binar bola mata hadir di wajah Arga. "Benar nih? Berarti aku bisa pesan tiket sekarang?"

"Pesan aja." Amara mengiyakan dengan malas. "Tapiii ... pesan satu seat aja."

"Hm?" Arga memandang curiga. Binar-binar di matanya memudar seketika.

"Kamu aja yang balik. Aku tetap stay di sini."

Ternyata benar. Tidak semudah itu memenangkan perdebatan panjang dengan istrinya. Selalu saja ada 'tapi' di ujung kalimat.

.

================================

.

"Sekarang coba jelaskan padaku ini apa." Retha melempar kasar lembaran kertas di tangannya ke atas meja. Membuat pria di hadapannya menatap kaku pada tulisan di atas kertas itu.

"Andro anak kamu, Mas! Kamu punya anak tapi nggak pernah cerita sama aku?"

"Retha ..."

"Apa?! Kamu terkejut gimana caranya aku bisa tahu kalau kamu, seorang Hasan Graham punya anak yang dirahasiakan?" Retha menantangnya dengan tangan bersila.

Sementara Hasan hanya tertunduk lemas. Tak mampu menatap mata cantik yang sedang terselubung amarah itu.

"Bahkan kamu nggak pernah cerita sama aku kalau kamu punya istri siri. Dan status kalian pun masih —" Retha mendesah berat tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

"Untung saja Allah sayang padaku."

"Amara dipertemukan dengan Bu Ratna. Untuk menunjukkan siapa kamu sebenarnya. Ini semua benar-benar rencana Allah buat aku."

Hasan kembali mendongak. Memberanikan diri menatap wanita yang sangat dicintainya itu.

"Maksud kamu?"

"Allah melindungiku dari laki-laki pengecut sepertimu, Mas Hasan." Retha menggeram.

"Aku bukan pengecut. Kamu harus dengar dulu penjelasanku."

Retha menatap nanar dengan kedua matanya yang mulai berkaca-kaca. "Penjelasan apa? Kalo kamu tega menelantarkan darah dagingmu sendiri demi memuaskan egomu? Iya?"

"Aku tidak pernah menelantarkan Syahdan!"

"Syahdan?" Retha mengernyit.

"Aku memberinya nama Syahdan Bakara Graham. Aku meninggalkan mereka demi kebaikan mereka."

"Demi kebaikan mereka? Apa yang baik dari seorang ayah yang meninggalkan anak dan istrinya?"

Hasan menghela lemah lalu melangkah pelan menuju sofa di tengah ruangan. Ia duduk menyandarkan diri dengan mata terpejam. "Yang aku lakukan pada Ratna sama seperti apa yang kamu lakukan pada Ganesha."

"Tidak, Mas. Masalah kita beda. Aku terpaksa."

"Aku juga terpaksa." Hasan kembali membuka matanya.

Retha mendengkus sinis sambil berpaling. "Apa yang membuatmu terpaksa?"

"Istri pertamaku."

Retha kembali menatap pria yang sedang meraup wajahnya itu. "Tita? Kamu berselingkuh dengan Ratna dari Tita?"

"Aku tidak selingkuh!" Tanpa sadar Hasan kembali menyentak.

"Tita tidak bisa memiliki anak. Dan kamu tahu betapa terobsesinya Tita untuk memiliki anak, hingga akhirnya dia —" Hasan menghela napas. "Dulu Ratna adalah asistenku di kantor. Sudah biasa Ratna menjemputku ke rumah bersama supir setiap pagi. Pagi itu, Tita punya ide gila untuk diam-diam memberi obat perangsang di minuman Ratna. Dalam perjalanan ke kantor, Ratna mulai bersikap aneh. Dan ... itu semua terjadi begitu saja."

Retha memilih diam. Menyimak baik-baik penjelasan Hasan. Jangan sampai ada yang terlewat. Retha tidak ingin kembali salah dalam melangkah.

"Ratna hamil. Tita memintaku menikahinya hingga dia melahirkan. Aku merasa sangat bersalah, tapi aku tidak bisa membohongi diri. Tidak pernah ada rasa selain iba dihatiku untuk Ratna. Tapi tidak demikian dengan Ratna. Aku menyadari perasaannya terhadapku mulai tumbuh. Aku coba menafikan itu. Yang aku jalankan selama pernikahan kami hanya sekedar tanggung-jawabku saja."

Perlahan sedikit rasa kasihannya muncul. Retha mulai mengerti kemana pembicaraan ini mengarah. "Terus? Kenapa kamu meninggalkan mereka?"

"Selama kehamilan Ratna, Tita terus-menerus mendatanginya. Membujuk Ratna agar rela memberikan bayinya pada Tita setelah lahir. Ratna merasa terganggu. Ia meminta ijinku untuk tinggal bersama adiknya di Yogya."

"Saat Syahdan lahir, aku bahagia. Kehadirannya menghapus semua masalah di pikiranku. Aku mencintai putraku lebih dari nyawaku sendiri. Tapi Tita ... dia terus-terusan memaksaku mengambil Syahdan dari Ratna dan menceraikannya. Itu sama saja artinya aku menyakiti Ratna dan juga Syahdan. Aku selalu menolak tapi Tita selalu memaksa. Wanita itu benar-benar gila." Hasan meremas ujung rambut di kepalanya. Seakan kenangan pahit itu menyakiti kepalanya.

"Suatu malam, Tita menyewa beberapa orang bayaran untuk menculik Syahdan di Yogya. Ratna berusaha melawan tapi ia terluka dan tak berdaya. Orang-orang itu berhasil membawa Syahdan."

Tanpa disadari Hasan, kini Retha sudah duduk disampingnya. Tangannya terulur mengusap lembut punggung Hasan. Berusaha menyalurkan kekuatan bagi pria itu.

"Levi yang mengabariku malam itu. Aku panik dan segera mencari Tita. Wanita itu tidak ada dirumah Jakarta. Pikiranku kacau saat itu. Aku berusaha mencari kemana-mana, lapor polisi ..."

"Sebulan, Retha. Selama sebulan mereka menghilang. Dan aku tidak tahu harus kemana lagi. Sementara Ratna tidak henti-hentinya memintaku terus mencari."

Retha bisa merasakan kesedihan pria malang itu. Tak sadar jika air matanya mulai menetes.

"Sampai akhirnya aku mendapat kabar dari polisi. Mereka berhasil menemukan keberadaan Tita dan Syahdan di Bandung. Wanita itu benar-benar gila. Dia tidak becus mengurus Syahdan. Anakku dehidrasi dan panas tinggi. Harus dilarikan ke rumah sakit."

"Jadi itu sebabnya Tita dipenjara? Bukan seperti yang diisukan oleh media kalau ia melakukan penggelapan uang?"

Hasan menggeleng pelan. "Aku berusaha menutupi kejahatannya."

"Umur berapa Andro—maksudku Syahdan waktu kejadian itu?" tanya Retha sembari mengusap titik-titik air di pipinya.

"Dua tahun."

Retha tertegun. Tak mengira jika kisah mereka akan setragis ini. "Kasihan sekali mereka." Retha tak

"Setelah itu aku larikan mereka ke Solo. Entah kenapa aku tetap merasa Ratna dan Syahdan masih belum aman."

"Jadi kamu tinggal sama mereka di sana."

"Tidak. Aku kembali ke Jakarta. Seminggu sekali aku pulang ke Solo. Hatiku masih tidak tenang. Dan benar perkiraanku. Entah bagaimana caranya, Tita mengutus seseorang untuk mengikuti jejakku. Beberapa kali aku memindahkan Ratna dan Syahdan, melindungi keberadaan mereka. Hingga akhirnya aku membawa mereka untuk menetap di Bali. Waktu itu Ratna berpikir sepertinya akan lebih baik untuk mengubah nama Syahdan untuk melindunginya. Aku terpaksa menyetujui. Dan saat itulah aku memutuskan untuk meninggalkan mereka. Sepertinya akan lebih baik jika kami berpisah. Dengan begitu, mungkin Tita akan menyerah. Aku bahkan kembali menikah."

"Tita benar-benar menyerah?" Retha tak tahan untuk kembali bertanya. Kisah ini sungguh mengusik nuraninya.

"Tidak. Setelah empat tahun, Tita bebas dari penjara lalu menemuiku. Kembali menanyakan keberadaan Syahdan. Aku bilang jika ..." Hasan menarik napas dalam selama beberapa detik lalu menghempasnya.

"Syahdan sudah tiada karena sakit."

"Tita percaya?"

Hasan menggeleng berat. "Tidak. Seorang Tita tidak mudah dibohongi."

"Apa yang terjadi setelah itu?"

"Tita seperti orang gila. Ia terus mencari keberadaan Syahdan. Mengaku ke semua orang yabg ditanyainya jika ia adalah ibu kandung Syahdan. Dan Syahdan adalah anaknya yang diculik."

"Benar-benar gila. Aku tidak menyangka Tita seperti itu." Retha mendengkus kesal.

"Lalu Tita—"

"Kamu nggak perlu menceritakan lagi, Mas. Aku sudah tahu bagaimana akhir hidup Tita."

Hasan membungkam mulutnya yang sudah menganga.

"Maaf, Mas."

Retha tertunduk malu. "Aku sudah nuduh kamu yang bukan-bukan."

"Aku yang harusnya minta maaf karena tidak menceritakan ini ke kamu." Hasan menggenggam lembut tangan hangat di sampingnya.

"Maaf. Aku hanya berusaha melindungi putraku."

Tak tahan menahan luapan emosi di dada, Retha mendekap erat pria di sampingnya itu. Air matanya tumpah untuk pria itu. Untuk kesedihannya. Untuk cerita pahitnya di masa lalu. Retha sangat mengerti apa yang dirasakan oleh Hasan.

Benar kata Hasan tadi, apa yang sudah mereka perbuat sama. Melakukan yang terburuk, untuk yang terbaik.

-----‐‐-------------------------------------------------------