webnovel

1-LAMARAN UNTUK AHMAD

Semua orang tersenyum di dalam ruangan, mereka menanti seorang lelaki dengan brewok tipis yang duduk di single sofa itu untuk bicara dan mengutarakan niatnya datang ke rumah ini. Seorang wanita yang memakai kerudung tanpa peniti pun duduk berhadapan dengannya, di dampingi seorang wanita yang usianya lebih tua dengan pakaian lebih tertutup.

Di sebelah lelaki brewok itu ada seorang lelaki yang tak kalah tampan. Wajahnya bersih tanpa bulu, hidungnya mancung dengan kulit sedikit lebih gelap dari yang lain. Semua pasang mata tertuju padanya.

"Ambillah," kata wanita yang mengantarkan teh dari nampan pada lelaki brewok.

Namun dia hanya mengambil segelas tehnya saja, tidak mengambil lipatan kertas yang ada di bawahnya juga. Wanita itu mengernyit bingung sebelum akhirnya dia segera bergeser ke tamu yang lain dan memberikan semua teh di nampan pada semua tamu sampai habis.

"Jadi, apa yang membawamu kemari, Habib? Biasanya kamu hanya datang sendiri untuk menemui Hafidz, tapi sekarang kamu membawa teman," ucap wanita yang sedikit lebih tua, dia duduk di sebelah gadis cantik dengan kerudung tanpa peniti yang baru saja selesai membagikan segelas teh.

"Kedatanganku kemari adalah ... ingin melamar Nadia," jawab lelaki bernama Habib itu. brewoknya yang tipis ikut bergerak ketika dia bicara.

Nadia yang di sebut namanya hanya tersenyum, dia benar-benar sudah menanti begitu lama untuk hari ini, meski masih ada sekelibat kesedihan yang menyesat di hatinya, tapi dia tetap senang karena pada akhirnya dia bisa ada di titik ini.

"Allah, kamu ingin melamar Nadia? Untuk siapa?" tanya wanita paruh baya itu lagi.

"Aku ingin melamar Nadia, untuk sahabatku, Ahmad," jawab Habib lagi, membuat senyum Nadia langsung pudar.

Wajah Habib bahkan terlihat tidak ikhlas saat mengatakan itu, bahkan dia tidak berani menatap mata Nadia saat tahu bahwa wanita yang ada di hadapannya sudah kadung kesal dengan apa yang dia katakan.

Nadia pergi dari ruang tamu sambil menggelengkan kepala, dia meneteskan beberapa tetes air mata sebelum semua orang melihatnya dan menutup tirai pintu agar tidak ada yang bisa melihatnya di dapur.

Rahma, sang bibi yang kebetulan duduk di sebelah Nadia hanya bisa terdiam melihat kepergian wanita itu yang begitu tiba-tiba. Ahmad, lelaki yang duduk di sebelah Habib dengan tampang wajah yang begitu teduh juga terlihat bingung dengan sikap Nadia yang malah lari ke belakang.

"Aku sudah menyiapkan uangnya, semua keperluan pernikahan akan segera di urus begitu Nadia menyetujui lamaran ini," imbuh Habib lagi sambil mengeluarkan uang dalam amplop dengan jumlah yang tak sedikit.

Kejadian itu membuat semua orang bingung, termasuk Nadia yang tidak mengerti dengan jalan pikiran Habib. Dia menarik kerah baju Habib saat lelaki itu dalam perjalanan pulang. Bahkan Ahmad yang jalan lebih dulu pun tidak tahu bahwa Habib sudah menghilang di balik pedagang sayur yang baru saja lewat di belakangnya.

"Apa maksudmu, Habib?! Kenapa kamu datang melamarku untuk Ahmad?!" tanya Nadia.

Dia benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang baru saja Habib lakukan. Padahal Habib sudah berjanji akan menikahi Nadia tahun ini, mereka sudah berkomitmen untuk menikah dan merayakannya dengan pesta pernikahan kecil yang akan mereka buat.

Tapi entah kenapa, Habib malah berubah pikiran dan malah melamar Nadia untuk sahabatnya sendiri, padahal sudah sangat jelas bahwa mereka saling mencintai dan Nadia tidak tahu apa alasan Habib berbuat begini.

"Kamu harus menikah dengan Ahmad, jangan mengharapkan aku, karena sampai kapanpun aku tidak akan pernah menikahimu," balas Habib, membuat Nadia semakin bingung.

"Ada apa denganmu, ya, Habib! Aku tidak pernah mencintai lelaki lain selain kamu, bahkan bang Hafidz pun tahu itu, dia sudah merestui kita, lantas kenapa kamu malah melakukan ini?!"

"Ini demi kamu, jangan mempersulit dirimu sendiri, Nadia. Menikahlah dengan Ahmad, pesta yang kujanjikan akan segera di gelar, kamu dan Ahmad adalah raja dan ratunya."

Nadia menggeleng keras. Dia mau pesta pernikahan itu atas nama dirinya dan Habib, bukan Ahmad. Sebelumnya mereka tidak punya masalah apapun, tapi entah kenapa Habib mendadak melakukan ini padanya sampai Nadia kesal setengah mati.

Nadia berusaha meminta penjelasan pada Habib, memegang tangannya dan menghentikan langkah lelaki itu yang berusaha pergi meninggalkannya. Tapi Habib tidak memberikan penjelasan apa-apa, dia hanya meminta agar wanita itu mau menerima lamaran Ahmad dan menikah dengannya.

"Aku mencintaimu, tapi menikah denganmu itu bukan takdirku," kata Habib lalu melepaskan cengkraman tangan Nadia di bajunya dan bergegas berjalan pergi meninggalkan Nadia.

Wanita yang masih memakai jilbab tanpa peniti itu hanya bisa menangis meratapi nasibnya yang ditinggalkan tanpa kejelasan oleh lelaki yang dia cintai. Tidak tahu alasannya, tidak tahu kenapa, tidak tahu harus bagaimana, Nadia hanya bisa menangis.

Habib menoleh untuk terakhir kalinya, melihat wanita dengan pakaian serba putih itu masih tertunduk dengan isak tangis, dia pun memalingkan wajah dan kembali berjalan dengan setetes air mata yang membasahi pipinya.

Mau tak mau, suka tak suka, dia harus melakukan ini demi kebaikan Nadia dan Ahmad sahabatnya. Ini berat, ini sulit, tapi Habib tidak punya pilihan lain dan akan tetap melakukan ini.

Hingga pada hari pernikahan tiba, Habib hanya datang sebagai tamu undangan. Dia duduk di salah satu meja makan, melihat sepasang suami istri yang terlihat begitu bahagia duduk di pelaminan, Habib menyungging senyum tipis sambil berjalan menghampiri mereka.

"Terima kasih, aku sangat berhutang budi padamu," bisik Ahmad saat berpelukan dengan Habib.

"Jaga Nadia, perlakukan dia seperti ratu, jangan pernah kamu sakiti dia, aku percayakan dia padamu. Jangan sampai aku mendengar hal buruk tentangnya, atau kamu akan menyesal," pesan Habib pula.

Pelukan mereka terlepas, dan Ahmad mengangguk pasti pada Habib. Wajahnya kelihatan begitu bersinar saat selesai mengucap ijab qabul, dia sudah sah menjadi suami Nadia dan itu artinya mereka bisa hidup bersama.

Berbeda dengan ekspresi wajah Habib yang kelihatan senyum terpaksa, bahkan dia tidak bisa lebih melebarkan senyumnya lagi saat berhadapan dengan Habib. Air mata Nadia menetes dengan derasnya saat menatap Habib.

Sudah berusaha di tutupi, tapi retap saja tidak bisa dan Nadia terus menangis. Begitu ingin bersalaman, Nadia malah menepis tangan Habib dan memeluk lelaki itu begitu erat. Dia menangis sejadi-jadinya di pelukan Habib dan berpikir bahwa itu adalah pelukan terakhir yang bisa dia dapatkan dari lelaki yang dicintainya itu.

Habib sudah mengangkat tangan dengan berat, ingin membalas pelukan Nadia, tapi niat itu urung di lakukan setelah dia sadar akan posisinya. Dia melepaskan pelukan Nadia dengan paksa, mengusap pipi wanita itu lalu tersenyum.

"Berbahagialah, ini pernikahanmu dan sudah seharusnya kamu bahagia. Aku tidak suka melihat wanita yang kucintai menangis, kamu harus selalu tersenyum," kata Habib.

"Bagaimana aku bisa bahagia ketika aku harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak kucintai?"

"Kamu akan mencintainya. Ahmad adalah lelaki yang baik, kamu akan bahagia bersamanya."

Next chapter