1 Bab Satu

Cinta atau Penyesalan.

Hari ini Calista merasa bahagia, rasanya ia tak sabar bertemu dengan Leo kekasih hatinya.

Sudah hampir tiga puluh menit Calista menunggu Leo di bandara tetapi entah kenapa lelaki yang sangat ia cintai itu belum datang juga.

"Leo, kamu ke mana?"

Berkali-kali Calista menghubungi nomor Leo tetapi tak di jawab oleh sang pemilik nomor.

Rasa hatinya mulai gundah bukankah tadi pagi ia sudah mengabari Leo bahwa hari ini ia akan pulang ke Indonesia.

"Kak Calista."

Terdengar suara seseorang memanggilnya, Calista pun menoleh benar saja disana terlihat Niko ia tersenyum kearah Calista sambil melambaikan tangan.

"Niko." Calista menghampiri Niko sambil menyeret kopernya.

"Maaf ya kak lama," ucap Niko.

"Enggak papa eh dimana Leo? Bukankah dia berjanji jika aku pulang ia akan menjemputku. Dan kenapa tiga hari terakhir dia tak pernah membalas atau mengangkat teleponku? Dia baik-baik saja kan, Nik?" tanya Calista dengan beberapa pertanyaan.

Niko terdiam ia bingung harus berkata apa, mungkinkah ia sanggup menjelaskan semuanya kepada Calista.

Wanita cantik yang sudah ia anggap kakak sendiri.

"Nik, halo?" Calista memainkan tangannya di hadapan wajah Niko.

"Ah, iya. Kak?"

"Kenapa kamu diam saja? Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?" Kening Calista mengernyit perasaan hati Calista semakin tak menentu.

"Ah tidak , Kak. Kak Calista apa-apa sih? Ya sudah kak ayo kita ke rumah kakak sekarang juga." Niko mengambil alih koper yang Calista pegang.

Bergegas ia mempersilahkan Calista untuk jalan di depannya.

Sepanjang jalan Calista bercerita banyak kepada Niko.

Ia berkata bahwa kepulangannya hari ini adalah ingin membuat kejutan untuk Leo. Rindu sudah tak bisa ia bendung, sudah hampir enam bulan ia dan Leo menjalin hubungan jarak jauh.

Mengingat pekerjaan sebagai sekretaris pribadi yang mengharuskannya mengikuti metting dimana-mana.

Mendengar ucapan Calista, Niko tersenyum dalam hatinya ia ingin seperti kakaknya.

Memiliki kekasih yang baik, penyayang dan menerima dirinya apa adanya.

Gelak tawa pun terdengar di dalam mobil.

Kring !!!

Ponsel milik Niko berdering, bergegas ia menghentikan mobilnya lalu menepikan mobil di pinggir jalan.

Tertera nama Leo di ponsel milik Niko, Niko bimbang akankah ia mengangkat telepon dari Leo atau membiarkannya saja?

"Nik, ada apa?" Calista penasaran.

Tanpa sengaja ia melihat ponsel milik Niko, senyum mengembang di wajahnya.

Ketika ia tahu siapa yang menelepon dia adalah Leo kekasih yang ia rindukan.

Langsung saja ia mengambil ponsel milik Niko lalu menekan tombol hijau pertanda ia menerima panggilan tersebut.

"H." Baru saja Calista ingin berucap tiba-tiba.

"Nik, lu dimana? Lu benaran jemput Calista? Lu jangan gila, Nik. Lu tahu kan kalau Calista tahu dia bisa marah besar dan imbasnya gua bisa hancur, Nik. Bukan gua yang hancur Miranda juga hancur!"

Miranda jantung Calista ingin berdetak sangat kencang. Bukankah itu adalah nama kakaknya lantas apa yang sebenarnya terjadi?

Syaraf-syaraf di tubuh Calista terasa sangat lemas, tanpa sengaja ia menjatuhkan ponsel milik Niko.

Dimatanya terlihat buliran air mata yang sebentar lagi akan meluncur indah.

Dadanya terasa sesak, Niko yang melihat keadaan Calista merasa sangat bersalah.

Ia menggenggam tangan Calista erat berusaha menguatkan hatinya.

Tak butuh waktu lama bulir bening mengalir jatuh menghiasi pipi.

"Nik, sebenarnya ada apa?" ucap Calista terisak.

"Kak, maafkan aku," lirih Niko.

Terpaksa Niko menjelaskan semuanya ia tak mau jika wanita sebaik Calista menderita.

Mendengar cerita dari Niko membuat hati Calista semakin sakit.

"Kenapa? Kenapa kalian semua tega!" teriak Calista.

"Maaf, Kak." Hanya itu yang bisa Niko ucapan dia tak tahu lagi harus berkata apa.

"Antar aku ke tempat dimana Leo berada!" perintah Calista matanya menatap Niko tajam.

"B—aik kak."

Dua puluh menit berlalu kini Calista dan Leo tiba di sebuah hotel.

Hotel itu terlihat sangat indah di halaman terdapat beberapa bunga indah. Nampak juga berapa penyambut tamu tengah berbaris rapi.

"Selamat datang," sapa seorang tamu sambil memberikan suvenir kepada Calista.

Seperti sedang bermain drama Calista sama sekali tak menunjukkan kemarahan bahkan para tamu yang datang tidak sadar bahwa itu Calista.

Calista dan Niko berjalan berdampingan, pandangan Calista mengedar sekeliling mencoba mencari tahu dimana keberadaan Miranda dan Leo.

Langkah kaki Calista terhenti saat dia melihat Miranda sedang duduk bersama Revita dan Gunawan yang tak lain adalah ayah dan ibu Calista.

Miranda dan Revita nampak bahagia, Miranda juga tak hentinya melempar senyum. Sementara Gunawan ia diam, wajahnya terlihat begitu sedih.

"Kak, mau ke mana?' Niko menahan tangan Calista.

"Sudah kamu diam saja." Perintah Calista.

Perlahan Calista menghampiri mama, Miranda dan juga papanya.

Miranda yang kala itu sedang bercanda dengan Revita terdiam.

Raut wajahnya begitu syok melihat kehadiran Calista.

Begitu juga dengan Revita ia tak menyangka jika Calista berada di tempat dimana Leo dan Miranda akan bersatu.

"Calista." Miranda beranjak dari tempat duduk.

"Mama bisa jelaskan semuanya, Nak," tutur Revita mencoba menenangkan hati anaknya.

Ia tak mau acara yang sudah di dipersiapkan hancur berantakan.

"Calista, Listen to me oke," kata Miranda.

Calista menarik nafas kasar sampai detik ini ia tak mengerti mengapa mereka tega melakukan itu semua?

Apakah mungkin selama ini diam-diam Leo memiliki hubungan spesial dengan Miranda?

Prang!!!

Tangan Calista melempar sebuah vas bunga yang letaknya tak jauh dari tempat duduk Miranda.

"Kakak kenapa kak? Kenapa harus aku! Apa tidak ada wanita lain yang bisa kakak sakiti!" teriak Calista.

Teriakan Calista sontak membuat para tamu menoleh kearah mereka berdua.

Mereka semua tampak keheranan, semua mata tertuju kepada Miranda.

"Calista jaga ucapmu!!" bentak Revita.

"Kenapa, Ma. Aku juga butuh penjelasan! Aku juga punya hati dan perasaan, Ma. Sekarang siapa pun yang berada di posisiku pasti akan melakukan hal seperti ini. Apalagi yang melakukannya tak lain adalah kakak sendiri. Orang yang harusnya melindungi bukan menyakiti!" hardik Calista wajahnya memerah menahan marah.

Miranda tertunduk malu, bibirnya tak sanggup lagi berucap.

Memang semua ini adalah kesalahannya harusnya ia menyadari dari awal bahwa yang di dilakukannya adalah salah.

Ia hanya memikirkan perasaannya sendiri tanpa menghiraukan bagaimana sakit hati Calista.

Cinta membuat dirinya buta.

Calista menatap wajah Miranda dengan sinis sudut bibitnya terangkat.

Baru kali ini tahu apa makna dari peribahasa pagar makan tanaman.

Suasana yang tadinya di isi dengan gelak tawa berubah hening tak ada suara satu pun yang terdengar.

Semua sibuk dengan pikiran masing-masing, sementara Gunawan ia tak mau terlibat sama sekali dalam masalah ini.

Ia memilih pergi dari meninggalkan ruangan.

"Mama, terima kasih atas kasih sayang dan cintanya selama ini dan kamu Miranda Novian Delano aku tak ingin mengenalmu lagi!" Calista membalikkan badannya lalu pergi meninggalkan ruangan.

Air mata tak henti-hentinya mengair di wajah cantiknya.

Namun, ketika ia hendak keluar mendekati pintu terdengar suara seseorang memanggil namanya.

"Calista."

avataravatar
Next chapter