webnovel

About Last Night

Impian dan harapan bagaikan hancur dalam sekejap hanya karena seorang yang bersamaku selama ini. Apakah aku akan menyerah karena ini atau aku harus berjuang menghancurkan persepsi buruk orang-orang di sekitarku? Apakah aku akan tetap menerimanya setelah mengambil seluruh asa yang kuinginkan? Aku mungkin bukan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini karena luka-luka yang belum kering, namun aku bisa menjadi orang pembawa rasa bahagia untuk orang lain ~ Christella

Isabelle1310 · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Bab 7

Setelah 2 jam, aku akhirnya terbangun.

"Akhirnya La sudah bangun. Kamu bikin kakak khawatir aja. Kamu katanya habis terbentur terus hidungmu berdarah. Kenapa kamu nggak ke UKS?"

Aku terdiam karena aku sangat takut menjawabnya.

"A-a-aku..."

"Lebih baik nanti saja ceritanya. Nak Ella harus pulang dulu dan beristirahat. Dia masih pucat"

"Baiklah. Terima kasih ya, bu, telah menjaga adik saya"

Aku hanya tersenyum saja. Aku dibantu oleh Kak Callel untuk berdiri, kemudian kami pun jalan berdampingan.

"Maaf, Ella. Kakak nggak bisa jagain kamu. Harusnya kamu homeschooling aja"

"Kak-kakak, nanti aku ceritain sepenuhnya, tapi janji jangan marah ya"

"Ya, udah, kamu istirahat dulu, nanti cerita juga ke Kak Aito"

Kami pun sampai di mobil. Aku melanjutkan tidurku, namun sebelumnya aku mendengar samar-samar.

"Aku sayang kamu. Semoga hatimu cepat luluh"

Aku memegang tangan Kak Callel dan akhirnya aku pun tertidur.

~~~

Aku terbangun, namun yang kurasakan adalah kamarku. Tiba-tiba, kudengar suara derit pintu.

"Ella," teriak Kak Aito.

"Kak Aito, aku kangen"

Aku memeluknya dengan erat.

"Baru hari pertama, kamu sudah bikin khawatir"

"Iya, maafin aku, kak"

"Coba ceritain"

Kak Aito langsung mengambil posisi di sampingku dan mengalungkan tangannya dileherku. Tiba-tiba pintu kembali berdecit dan muncul Kak Callel.

"Aku kok nggak diajak"

"Iya sini"

Kami pun menunggu Kak Callel duduk di posisi enak.

"Udah bisa dimulai ceritanya"

"Aku tadi pas pelajaran pertama, aku kejegal dan akhirnya, ketubruk si tiang meja"

"Terus kenapa kamu diem aja? Nggak minta tolong. Caramel emang dimana?" tanya Kak Aito.

"Caramel bukannya nggak sekelas ya?"

"Sekelas kok. Kakak sudah minta duluan"

"Terus kok kamu bisa dingin?" tanya Kak Callel.

"Karena kesiram air pas kepalaku sakit"

"Astaga. Tapi, apa yang kamu ceritain ini beneran kan?"

Aku termenung dan diam saja.

"I-iya," jawabku dengan sedikit terbata.

"Ya, sudah, ayo mandi," ucap Kak Aito.

"Hahh... Kak Aito mau mandi bareng aku?"

"M-m-maksudnya sana kamu mandi"

"Kalo gue jadi lo, mikirnya juga sama sih," timpal Kak Callel.

Kami pun tertawa.

"Ya, udah, aku mandi dulu ya"

Aku pun beranjak dari kasurku dan mengambil peralatan mandi, kemudian menuju kamar mandi. Di dalam pikiranku hanyalah semoga mereka berdua tidak mengetahui kebohongan itu.

~~~

"Ella, makan yuk," ajak Kak Aito

"Iya, kak, Ella selesaiin beres-beresnya"

"Oke"

Aku langsung segera merapikan bajuku dan rambutku. Aku menghela napas karena aku merasa sedikit takut untuk masuk ke sekolah besok.

"Ella, kok ngelamun? Ayo makan," tanya Kak Callel

"Eh, iya iya"

Kak Callel langsung menuntunku turun dan menuju meja makan. Disana sudah ada Kak Aito yang telah duduk manis mennggu kami.

"Eh, cie, ceritanya udah baikan nih," teriak Kak Aito

"Hmm... Ya, gitu deh. Aku berusaha percaya sama Kak Callel"

"Makasih ya," kata Kak Callel

Kak Callel langsung mengelus puncak kepalaku dan menciumnya. Kami pun duduk bersebelahan dan bersebrangan dengan Kak Aito.

"Bi, duduk sini juga dong! Buat ngelengkapin kebahagiaan kita," ajak Kak Callel.

"Terima kasih ya, Nak Callel"

Kami pun makan dengan perasaan bahagia. Kak Aito dengan lawakannya serta tanggapan kasar dari Kak Callel. Bibi yang menyuruh kami untuk makan banyak dan aku hanya mengangguk dan ikut tertawa. Makan malam ini serasa menghangatkan hatiku dan memberikan semangat bahwa besok tidak apa-apa.

~~~

Saat ini, aku sedang berada di meja makan untuk memakan roti bakar cokelat.

"Hoamm... Selamt pagi," sapa Kak Callel.

"Tumben Kak Callel bangun pagi"

"Mau nemenin kamu aja, terus nganterin kamu sampe ke kelas. Aku nggak percaya sama sapa itu hmm... Caramel yaa"

"Iya"

"Terus kakak pengen jalan-jalan sekitar situ biar nanti kalo kamu pulang terus laper, kita bisa makan disana"

"Ohhh... Oke, kakak mandi dulu sana! Baunya kayak bangkai"

"Ngawur kamu! Ya udah, kakak mandi dulu biar ganteng"

"Selamat pagi," ucap Kak Aito.

"Eh, Kak Aito ngagetin aja"

"Yuk, berangkat"

"Hmm, aku nungguin Kak Callel. Kali ini, kita naik mobilnya Kak Callel karena dia nggak percaya sama Caramel"

"Ohhh... Kakak setuju sih"

Aku sedikit terkejut mendengarnya, "Hahh... Kak Aito beneran?"

"Emang Kak Aito pernah bohong?"

"Nggak sih"

"Ya, udah sarapannya dihabiskan biar semangat terus"

Di dalam hatiku, aku merasa sedikit kebingungan karena ini terasa tiba-tiba dan juga, Kak Aito tidak mempercayai sepupunya sendiri.

"Hehh, kok ngelamun sih malahan. Cepetan nanti Kak Callel udah selesai kamu juga harus selesai"

"Iya. Cerewet banget kayak cewek"

Kak Aito langsung menoel hidungku dengan gemas. Aku pun melanjutkan makan dengan sedikit terburu-buru.

"Yuk, berangkat ke sekolah," ajak Kak Callel yang kini berpenampilan lebih rapi.

~~~

Kini, kami berada di gerbang sekolah.

"Kamu, ikut kakak ya Kepala Sekolah," ucap Kak Aito.

"Lho, ngapain?"

"Ikut aja. Kak, titip mobilku. Tolong parkirin!," ucap Kak Aito.

"Siap. Btw, nanti kalo udah selesai, gue bakal nyusul," balas Kak Callel.

"Iya," ucap Kak Aito

Aku pun menurut dan Kak Aito mulai menuntunku. Samar-samar, saat aku mulai memasuki gerbang sekolah, banyak anak perempuan yang berteriak karena melihat Kak Aito.

"Sudah jangan dipedulikan"

~~~

"Saya ingin menambah sumbangan saya untuk sekolah ini. Apa saya bisa?"

Aku kebingungan sekali. Kak Aito pernah bercerita padaku bahwa dia lebih memilih menggunakan uangnya untuk hal yang lebih penting dan sumbangan bagi yang membutuhkan.

"Bisa, mau ditambah berapa?"

"50 juta"

"Baiklah, nanti akan saya urus. Jika nanti ada yang bermasalah, saya akan menghubungi Anda"

"Baik, terimakasih"

Kak Aito langsung berdiri dan menggenggam tanganku.

"Ayo, kuantar ke kelas," bisiknya.

Aku menurut dan mengikuti langkahnya. Saat berada di dekat toilet, kami disapa oleh Bu Ningsih.

"Selamat pagi, nak"

"Pagi, Bu Ningsih," sapaku.

"Mau saya yang antar saja biar kakaknya bisa lanjut bekerja?"

"Boleh," putusku.

"Nanti kamu harus kasih tahu dia siapa!" pinta Kak Aito.

"Tanya Kak Callel juga nggak apa-apa. Dia juga sudah tahu"

"Oke. Hati-hati ya, La!"

"Oke. Bye kak"

Bu Ningsih pun langsung memberikan tangannya dan menuntunku hingga ke kelas.

"Terima kasih, bu."

"Sama-sama, nak. Nanti kalo ada apa-apa, kamu bisa jalan keluar. Ibu udah ditugasin buat ada selantai sama kamu."

"Baik, bu"

Aku merasa kebingungan sekali karena seolah-olah Kak Aito telah mengambil alih. Aku mendengar suara langkah kaki Bu Ningsih yang berjalan meninggalkan kelasku. Tak lama, bel berbunyi menandakan wali kelasku, Pak Latief mengajar.

"Selamat pagi, anak-anak. Pak Latief denger ada anak baru. Namanya siapa?," tanya Pak Latief ketika beliau masuk.

"Namanya Ella," balas ketua kelas.

"Yang mana?"

"Yang cantik tapi buta dan duduk di dekat jendela," balas murid yang tak menyukaiku.

"Hush, nggak boleh gitu. Kalo nanti di masa depan, kamu yang buta gimana?"

"Amit-amit, pak"

"Ya, udah nggak boleh gitu"

Akhirnya, pelajaran pun dimulai.