webnovel

About Last Night

Impian dan harapan bagaikan hancur dalam sekejap hanya karena seorang yang bersamaku selama ini. Apakah aku akan menyerah karena ini atau aku harus berjuang menghancurkan persepsi buruk orang-orang di sekitarku? Apakah aku akan tetap menerimanya setelah mengambil seluruh asa yang kuinginkan? Aku mungkin bukan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini karena luka-luka yang belum kering, namun aku bisa menjadi orang pembawa rasa bahagia untuk orang lain ~ Christella

Isabelle1310 · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Bab 3

Sudah sebulan, Kak Aito melakukan rutinitas mengajariku huruf Braille. Aku sudah bisa membaca buku-buku cerita pendek dan ditemani oleh Kakak Aito. Sampai saaat ini juga, polisi belum menemukan siapa pelaku dari tabrakan tersebut. Meskipun setiap malam mimpi itu masih ada, namun aku sudah menerima apa yang terjadi padaku saat ini. Saat ini, aku sedang menunggu di meja makan.

"Selamat pagi, Kak Aito. Wajah kakak kenapa pucat?" tanyaku dengan tersenyum.

"Pagi, La. Nggak papa kok cuma kecapekan aja"

"Ya udah, kakak ke kamar tidur aku buat istirahat"

"Nggak usah, La. Kakak udah biasa kayak begini"

"Masuk nggak ?! Nanti, aku bikin teh dan ambil obat ditemani bibi. Bibi bantu aku ya," pintaku dengan wajah memelas.

"Iya, nak. Udah Nak Aito istirahat. Tenang aja kok aman sama bibi"

"Ya udah, makasih ya," ucapnya sambil berjalan meninggalkan meja makan.

Aku berjalan meraba barang-barang di sekitarku. Aku mulai menghafal sedikit demi sedikit letak bahan dan perlengkapan makan. Aku mengambil teh, kemudian mengisi termos dengan air dan menyalakannya. Sambil menunggu, aku membaca buku kecil yang berada di dekatku. Aku mendengar bunyi termos air. Aku meraba gelas dan menuang air panas dengan berhati-hati, kemudian memasukkan tea bag. Kuketuk-ketukkan jari ke meja, sambil menunggu teh. Aku mengambil obat di laci atas dan meletakkannya di nampan.

"Bi, tolong bawakan ini bersama obat dan juga bantu aku ke sana!"

"Iya, mana tanganmu? Pegang di bahu bibi"

Aku pun langsung menurut dan mengikuti gerakan bibi. Setelah berapa lama, aku mendengar suara pintu terbukadan mendengar suara mendengkur. Aku pun hanya tertawa. Bibi mengantarku hingga aku duduk di sebelah Kak Aiito dan meletakan tehnya di nakas.

"Bibi tinggal dulu. Bibi mau cuci baju. Jangan lupa dijagain kakaknya!"

"Iya, bi. Makasih udah bantuin aku"

Bibi mengelus kepalaku dan meninggalkan kamar.

Aku mengelus kepala Kakak Aito.

"Aku bahagia dengan keberadaanmu. Tanpamu, aku tak mungkin sebahagia ini. Meskipun kau tak memiliki persamaan dengan kakakku, tetapi kau mengobati kerinduanku," ucapku.

"Aku tak tahu dengan perlakuan apa untuk membalasmu. Benar kata pepatah, bintang akan bersinar paling terang di saat gelap," lanjutku.

"Aku mungkin bukan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini karena luka-luka yang belum kering, namun aku bisa menjadi orang pembawa rasa bahagia untuk orang lain," ucapku sambil tersenyum.

"Kau sudah selesai ngomong-ngomong sendiri?" ucapnya tiba-tiba.

"Haiss... Kau mengagetiku saja. Sudah minum obat sama tehnya dan terus istirahat lagi biar nanti malam kau bisa bekerja dengan baik," ucapku.

"Sejak kapan kau mulai mengkhawatirkanku?"

Aku pun hanya diam mematung.

"Sejak...," gumamku.

"Sudah tak usah dijawab. Sini duduk dekat aku," ucap Kak Aito sambil menepuk kasur.

Aku hanya menuruti permintaannya. Aku menyodorkan teh dan obat. Kak Aito langsung mengambil dan meminumnya. Ia mengembalikan cangkirnya ke aku, kemudian bersandar di ranjang. Aku un langsung meletakannya kembali pada nakas.

"Peluk aku," pinta Kak Aito.

"Aku tak mau"

"Kau harus mau"

"Tak...," ucapku yang diputus Kak Aito yang langsung memelukku erat, namun tak kubalas

"Aku sayang kamu. Kamu sayang nggak sama kakak?"

"Biasa aja"

"Ya udah, aku lepas ya"

"Aku sayang kakak," ujarku dan aku memeluknya dengan erat.

"Uhukk. Jangan kencang-kencang seperti kamu akan kehilanganku. Aku bahagia punya adik seperti kamu yang sangat baik dan penurut. Kamu selalu mengisi waktu-waktu kosong aku," ucapnya sambil mencium kepala atasku.

"Sudah, ayo kakak istirahat! Aku akan menemanimu di sini"

Kak Aito mulai berbaring, sedangkan aku mengambil buku yang tadi berada di saku bajuku. Aku mulai membaca buku tersebut dalam hati.

"Hei, kamu kalau sudah selesai tidak usah pergi kemana-mana. Tidurlah di sampingku juga," ujar Kak Aito memecah keheningan. Aku hanya mengangguk.

"Tidurlah!" ucapku.

Di tengah membaca buku, aku mendengar suara dengkuran milik kakak. Aku berusaha membaca buku lagi, namun suaranya dengkurannya sangat keras memaksaku untuk meletakkan buku di nakas.

"Tak kusangka kau memiliki dengkuran sebesar ini dengan sikapmu yang sangat halus kepada orang lain. Andai aku bisa melihat wajahmu mungkin aku akan menjadi orang beruntung," gumamku.

Aku tersenyum dan meraba wajahnya pelan-pelan. Aku menidurkan diriku di sampingnya dengan membelakangi Kak Aito. Angin tidur sudah menyambangiku dan mulai tertidur.

~

Mimpi itu kembali muncul. Aku mengendalikan napasku yang terengah-engah. Saat terbangun, aku merasakan bahwa di hadapanku adalah Kakak Aito.

"Gimana tidurnya enak apalagi dipeluk sama kakakmu yang ganteng ini?"

Aku mencubit lengannya sehingga membuat Kak Aito meringis kesakitan.

"Ish... Sakit. Emang kalo kamu takcubit nggak sakit ta?"

"Apa-apaan sih, narsis amat, ya pasti sakit. Lagipula, aku kan yang seharusnya menjagamu. Gimana udah mendingan?"

"Sudah kok. Aku bisa bekerja malam nanti. Ingatkan aku untuk membawa vitamin,"

"Iya. Ayo tuntun aku ke ruang keluarga!"

"Mana tanganmu?"

Aku meletakkan tanganku di bahunya, namun ia memindahkan ke tangannya sehingga kami bergandengan. Aku dan Kak Aito tersenyum.

~

Saat sampai di ruang keluarga, Kak Aito mendudukanku di lantai. Aku memang menyukai lesehan di lantai.

"Drttt... Drttt..."

"Sepertinya dari hpmu," ucapku meyakinkan.

"Bukan, itu dari hpmu. Akan kuambilkan. Tunggu sebentar ya"

"Ini dari kepolisian. Kami ingin mencari Nona Christella. Apakah ada?"

"Sebentar, pak"

Kakak Aito menyodorkan hpnya ke telingaku. Aku pun mengambil alih hpku.

"Ya, dengan saya sendiri. Ada perlu apa?"

"Kami ingin kerjasamanya untuk memberikan keterangan dalam rangka investigasi mengenai kecelakaan yang kau alami. Apa kau bersedia?"

"Baiklah, kapan wawancara akan dilaksanakan?" ucapku tegas.

"Pada tanggal lima belas pukul satu siang. Mohon jangan terlambat!"

"Baik"

"Apa kau tak apa saat wawancara?"

"Aishh... Aku bukan anak kecil lagi. Lagipun, aku mau kasus ini cepat selesai. Aku 'kan harus bersifat kooperatif"

"Wahh, kau sudah dewasa rupanya"

"Ini makanan kalian," putus bibi.

"Makasih bibi," ucapku.

Aku kembali menidurkan kepalaku.

"Hei, makan dulu!" ucap Kak Aito.

"Aku ingin melihat kamu makan"

"OK, aku makan"

"Enak kan?"

"Iya, makanya makan. Sini kusuapin. Aaa..."

"Nggak usah, aku bisa makan sendiri"

Aku pun mulai mengambil sendok dan makan.

"Kau makan dengan lahap"

"Iyalah, aku suka makan"

"Aku merasa bahagia melihat kakak tersenyum"

"Oh iya, kamu harus lanjut sekolah lagi kan?"

"Emang nggak bisa sekolah di rumah aja? Aku takut di..."

"Hei, liat kakak! Aku yakin kamu pasti bisa. Kamu kuat. Lagipun, ada saudara kakak sekolah di sana. Sudah pasti kakak suruh dia jagain kamu," ucapnya sambil menangkupkan wajahku.

"Beneran nih?"

"Iya"

"Ya udah, lanjut makan"

Suasana menjadi hening. Tiba-tiba, Bibi muncul di ruang keluarga memecah keheningan.

"Nak, ada tamu di depan.

"Siapa?"

"Bibi nggak tau siapa. Dia pake baju item, celana item, dan kacamata item. Coba kalian intip dari dalam"

Kakak berjalan menuju ruang tamu dan mengintip dari jendela yang berada di sana kemudian, ia kembali lagi dan duduk di sampingku.

"Iya, bener. Kamu kenal, La?"

"Nggak tau. Lebih baik nggak usah dibukain pintunya. Takutnya ngerampok"

"Coba aku ke depan dan tanyain dia siapa, lagipun kalo perampok nggak mungkin siang-siang begini"

Saat Kak Aito hendak membuka pintu, namun terdengar pintu perlahan terbuka sendiri.

"Cit"

"Halo, apa kabar?"