1 Chapter 1 Dua tetangga

Mohon maaf jika terdapat kesalahan penulisan.

Silakan tekan bintang, jangan lupa ketik komentar ;-)

.

.

.

Sabtu, 13 Februari 1999.

     Suara tangis bayi memecah sunyinya koridor dari balik ruang bersalin__Rumah Sakit Kasih. Seruan rasa syukur terdengar mengalun keluar dari bibir dua orang pasangan. Para suster dan bidan pun ikut tersenyum senang bercampur lega, melihat kelahiran seorang bayi laki-laki tampan yang sehat.

     Tanpa celah.

      Sang Ayah, Junaedi. Segera menggendong putera pertamanya dengan bahagia. Menempelkan kedua pipi mereka, lantas melantunkan azan untuk sang bayi mungil. Dari balik ranjang pasien sang ibu tersenyum lemah penuh haru. Pasalnya, bayi itu adalah anugerah terindah untuk mereka. Sudah lima tahun menikah mereka baru di karunia seorang anak.

      Pasangan mana yang tidak akan senang dengan itu.

      Di lain pihak dan di rumah sakit yang sama. Satu pasangan lagi sama bahagianya dengan keluarga Junaedi. Wiliam, sebagai seorang suami dan juga ayah merasakan kebahagiaan tak terbendung seperti yang Junaedi rasakan. Beberapa menit lalu, Tiara istrinya, telah melahirkan anak kedua mereka dengan selamat. Wajahnya pun dipenuhi senyum kegembiraan.

      Di elusnya puncak kepala putera pertamanya dengan sayang. Dia berbisik, "lihat Mario, adik perempuanmu sudah lahir." Katanya senang. Gurat wajahnya benar-benar menunjukkan kebahagian yang tidak biasa.

      Mario mendongak menatap wajah ayahnya. "Tapi aku tidak suka. Kulitnya memerah, bukankah aku menginginkan adik perempuan yang cantik, berkulit putih bagai salju." Mario cemberut, seakan menunjukkan ketidaksukaannya. Wiliam tertawa kecil.

     Dasar anak-anak. Pikirnya.

     Sebagai balasan, dia pun tersenyum menenangkan.

      Wiliam menatap istrinya sembari tangan satunya ikut mengelus kepala Tiara penuh kasih. "Terima kasih, karena kalian berdua telah selamat." Ujarnya penuh haru.

      Tiara mengangguk lantas menangis bahagia.

Dan ini sebagai Awal,

.

.

.

Kisah Abi dan Mayu.

Jakarta, Maret, 2003.

05 : 48 am.

       Dua rumah berdiri kokoh saling berdampingan, satu bercat cream dan satunya lagi bercat putih. Beberapa pepohonan menghiasi pekarangan mereka. Terlihat asri dan tenang di pagi buta. Dari balik pintu depan rumah bercat putih muncul seorang wanita paruh baya kisaran 40 tahunan. Sebuah sapu tergenggam ditangan kanannya, dia bergerak lalu membersihkan teras rumahnya dengan cepat. Jilbab abunya terayun mengikuti langkah juga gerakannya, lalu keringat kecil menetes di balik jilbab panjangnya meski suhu udara masih sejuk.

       Tampaknya ia kelelahan.

       Halaman rumahnya cukup luas. Beberapa tanaman tumbuh subur selayaknya rumah sebelah. Beberapa waktu berjalan, dia akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan benar. Itu sudah pasti, sebab itulah pekerjaan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga.

      Lelah menyambutnya. Segera, ia membawa langkah menuju kursi di teras rumahnya dan duduk di sana. Dia atas mejanya ada segelas air putih beserta kue kering. Lantas wanita bernama Anti itu, meneguk airnya dengan perlahan. Tenggorokannya terasa sejuk, seolah air yang baru saja diminumnya mengalirkan rasa dingin yang melegakan. Nafasnya pun terdengar pelan dan stabil. Tidak seperti beberapa saat lalu ketika tubuhnya bergerak, nafasnya terdengar memburu.

      Anti segera menoleh ketika mendengar bunyi pintu terbuka dari arah rumah sebelah. Dia kemudian berdiri, mencoba melihat siapa yang keluar dari rumah bercat cream itu terlalu pagi.

      Lantas, senyumnya merekah saat mendapati seorang bocah perempuan berusia lima tahun, keluar dengan wajah sembab bangun tidur. Tangannya masih sibuk mengucek mata, dan sesekali membuka mulut untuk menguap.

      "Pagi, Mayu." Anti memulai dengan sapaan ringan.

       Si bocah tersadar. Dia menoleh sembari balas tersenyum. Dia berkata dengan wajah mengantuk, "pagi juga, tante Anti." Mayu melangkah mendekati kolam ikan di halaman rumahnya. Tanpa pikir panjang dia menceburkan wajahnya ke dalam sana. Menggosoknya dengan kasar lalu mulai berkumur-kumur. Ikan-ikan koi segera berlarian menyadari bahaya mendekat. Tetapi sejatinya, kawanan ikan itu tidak tahu jika Mayu hanya ingin mencuci muka.

      Anti tertawa melihatnya. Seperti biasa Mayu selalu bertingkah. Sudah pasti, Tiara, sang ibu akan mengamuk ketika tahu kelakuan putrinya pagi ini.

     Ketika perasaannya membaik dan rasa kantuknya menghilang, Mayu memanjat pagar setinggi 50 cm yang memisahkan rumahnya dengan tante Anti. Ia melompat dan mendarat di rerumputan. Anti tidak masalah, sebaliknya ia sudah biasa sebab bocah itu selalu melakukannya saat ingin bertamu. Ia justru terkekeh.

      Mayu mendekat, lalu duduk di kursi sebelah Anti yang dipisahkan oleh meja berukuran sedang. Tanpa perlu meminta dia meraih satu buah kue lantas mengunyahnya dengan cepat.

      "Tante, Abi sudah bangun?" Tanyanya. Setelah mulutnya kosong, Mayu meraih satu kue lagi dan mengunyahnya dengan mata terpejam. Entah terlalu menikmati atau justru masih mengantuk.

    Anti menatap Mayu, lalu menggeleng. "Belum. Dia masih tidur di kamarnya."

     Mayu mendesah. Dia berdiri lantas memasang wajah datar, "aku akan membangunkannya." Tatapannya mengarah pada Anti yang balas menatapnya dengan senyum. "Kami harus ke padang rumput, para jangkrik sedang bergerak sekarang. Seharusnya Abi lebih tahu ini."

      Anti tertawa, lalu mengangguk. "Sana. Kamu pun yang paling tahu, Abi tidak pernah mengunci kamarnya."

      Mayu mengangguk. Langkahnya terarah memasuki rumah, melewati ruang tengah lalu berbelok ke arah kanan. Dia mendapati ruang makan, dan di sebelah kirinya ada tangga menuju lantai dua. Sebelum menaiki tangga dia menyempatkan diri menyapa om Junaedi yang sedang mengaji. Pria baya itu membalas dengan acungan jempol, tanpa mengalihkan tatapannya dari Al-Qur'an.

      Tepat di depan wajahnya. Sebuah pintu jati kecoklatan memenuhi pandangannya. Segera, dia mengambil ancang-ancang untuk mendobrak pintu walau tahu pintu itu tidak pernah terkunci.

       Bunyi gedubuk kegaduhan terdengar sampai ke lantai bawah. Tetapi, sama sekali tidak ada yang bereaksi dengan hal itu. Ini tentu sudah biasa, justru aneh jika keributan di pagi buta ini tidak terjadi. Sebab itu berarti Mayu sedang sakit.

      Hanya Mayu seorang yang akan membuat keributan. Lalu pada akhirnya ikut menyeret Abi yang pendiam.

      Ketika pintu terbuka lebar, hal pertama yang Mayu lihat adalah kamar yang telah rapi. Lalu dari balik kamar mandi muncullah sosok Abi yang sudah rapi, bersih, dan wangi. Wajah kecilnya yang tampan kian berseri memudarkan sosok Mayu yang masih kumal. Bajunya masih sama dengan kemarin, menandakan bocah perempuan itu sama sekali belum mandi.

        Menutup hidung, Abi berkata dengan tampang polos. "Yuyu, kamu bau." Katanya sembari cemberut, dia tidak tahan dengan bau keringat yang masih menguar sejak kemarin sore. Mayu benar-benar pemalas.

       Alih-alih marah, tersinggung, atau malu dikatai bocah tampan seukuran Abi. Mayu justru mendekat dengan seringaian lantas merangkul Abi yang membulatkan mata. Abi merengek minta dilepaskan tetapi Mayu yang bebal kian menempelkan diri. Membuat Abi kepayahan dan akhirnya diam di tempat dengan wajah pasrah.

       Hari ini, dia harus mandi tiga kali. Batinnya.

      Pukul lima sore, suara gaduh kembali terdengar di padang rumput dekat perumahan kompleks. Suara-suara terdengar silih berganti menyoraki dua bocah yang tengah bergelut di atas rerumputan. Seorang bocah perempuan berkulit kecoklatan membenturkan kepalanya, kepada seorang bocah laki-laki bertubuh gemuk dengan kekuatan tidak main-main. Mereka bertengkar karena Mayu tidak terima jangkrik Rio memenangkan pertarungan dengannya.

       Mayu akhirnya menyerang, dan membuat Rio tidak punya pilihan selain melawan serta membalas Mayu. Tetapi sehebat apapun tim penyorak atau sekuat apapun Rio, Mayu tetap akan menang dalam hal berkelahi. Lihat, sekarang dia berdiri angkuh sembari menatap ke arah Rio, yang sudah berlutut dan menangis karena luka di kepalanya akibat benturan.

       Dari arah pohon rindang yang menjadi satu-satunya pohon di sana. Sosok Abi duduk tenang sembari mengunyah kue cokelat pemberian ibunya dari rumah. Manik hitam legamnya menatap Mayu dengan datar. Baginya, ini sudah biasa. Dan seperti biasa ia hanya akan menonton.

       Dari jauh, ia melihat seorang wanita gemuk datang dengan sebuah rotan berukuran besar didampingi wajah sangar. Otomatis, Abi mendesah. "Siapa yang membuat anakku menangis, hah? Siapa yang melukai pelipisnya?" Makinya dengan tampang garang.

      Mayu membulatkan mata. Lagi-lagi, ibu Rio datang merusak suasana bahagianya. Berdecak sebal dia berlari menjauh dari sana lantas mendekat pada Abi yang masih duduk anteng memakan kue. Ketika Mayu datang, Abi membuka tutup toplesnya, mengambil satu buah kue lantas menjejalkannya di mulut Mayu. Secepat kilat mulut bocah bar-bar itu bergerak menghancurkan kue cokelat dengan gigi-gigi tajamnya.

     Mayu menatap Abi serius, dibalas Abi dengan tampang datar terkesan santai. "Ayo lari. Wanita gemuk itu akan memakan kita." Jemari Mayu meraih tangan Abi. Lantas segera menariknya ikut berlari.

     Di lain pihak, suara serak yang sangar milik ibu Rio berteriak memanggil Mayu dan Abi untuk kembali. Bukannya menurut, Mayu justru berbalik sembari menjulurkan lidah dan tertawa. Di belakangnya, Abi terseok ke sana-kemari, laju lari Mayu tidak bisa ia imbangi. Kue di mulutnya terjatuh dan lagi-lagi desahan pasrah keluar dari sana.

      Mereka berhenti tepat di depan gerbang kompleks perumahan. Lalu bersembunyi di balik pagar. Abi bersandar di tembok, mengambil nafas lalu membuangnya sampai tiga kali. Matanya memejam, sebelah tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Dia tidak biasa berlari cepat tetapi Mayu selalu menariknya berlari membuat kepalanya pening. Menghela nafas Abi membuka mata, lalu menatap Mayu yang sedang mengintip dari balik tembok. Rambut sebahunya lepek karena keringat dan bau matahari menguar kuat dari badannya.

     Segera, Abi menutup hidung. Namun tanpa ia duga Mayu berbalik dengan cepat, membekap mulut Abi sembari menuntunnya untuk merunduk. "Psstt!! Si gendut itu datang. Jangan berisik." Mayu berbisik di telinga Abi.

     Manik Abi meredup. Dia tidak suka bau Mayu yang menyengat, tetapi alih-alih menghindar dia justru terdiam sembari sesekali menahan nafas, membiarkan Mayu tetap merangkul dan membekap mulutnya.

      Suara ibu Rio kian terdengar, wanita besar itu terus berteriak mencari mereka. Karena membuat keributan di depan kompleks lain, dia tidak dibiarkan masuk melewati pintu gerbang. Padahal, jika masuk selangkah saja, dia akan menemukan dua bocah yang tengah bersembunyi dibalik tembok.

      Si satpam kompleks menyelamatkan mereka.

      Selepas perginya ibu Rio, Mayu melepaskan Abi tanpa tahu bocah tampan itu hampir pingsang karena menahan nafas. Abi sangat suka kebersihan tetapi sahabatnya justru sangat kotor.

      "Mang, tengkyu, tengkyu." Mayu mendekati Mang Japri di pos jaga. Tangannya terulur lantas melakukan tos ria dengan si satpam. "Si gendut itu sangat jahat. Dia membuat Abi menangis." Dengan bangga, Mayu menunjuk dirinya sendiri, "aku yang menolong Abi dan membawanya lari."

     Mang Japri mengacungkan jempol. "Mantap, neng Mayu memang terbaik. Orang kaya gitu mah, bukan tandingan neng, sih." Katanya. Sekali lagi mereka melakukan tos.

     Abi yang duduk di rerumputan tidak bergerak sama sekali. Melihat keakraban pun kebohongan Mayu membuatnya menghela nafas. Lagi-lagi, ini sudah biasa.

    Mayu sangat terkenal di kompleks Melati. Dari depan sampai ujung kompleks tidak ada yang tidak mengenal bocah bar-bar itu. Tingkah rusuhnya terkenal di mana-mana, termasuk kompleks sebelah; kompleks tempat tinggal Rio dan ibunya. Di mana Mayu berada, keributan selalu ada.

      Bukan hanya Mayu, Abi pun cukup terkenal. Selain karena sering menempel dengan Mayu, bocah tampan itu punya banyak penggemar perempuan di usia dini. Wajahnya adalah aset utama. Abi dikenal dengan sikap diamnya, wajah lugunya yang tampan, menyukai kebersihan, dan jangan lupakan bagaimana rajinnya dia ke mesjid kompleks. Dia sering terlihat dengan ayahnya, Junaedi.

       Melihat Abi hanya duduk diam dengan wajah lesu hampir mati. Mayu terbahak, lantas menghampirinya. Sekali tarik dia sudah merangkul Abi, membantunya berdiri.

      "Mang, mau pulang dulu yah." Tatapannya beralih pada Abi yang memejamkan mata sembari menyenderkan kepalanya di bahu Mayu. Jangan lupakan tangannya yang membekap hidung beserta mulut.

      Mang Japri menatap Abi khawatir. Sejatinya, Abi juga dikenal sedikit lemah. Tetapi, mereka tidak tahu bahwa Abi hanya tidak suka banyak bergerak, dia terlalu takut berkeringat dan menjadi bau. "Ya sudah, bawa pulang sana, kayaknya dek Abi mau muntah, tuh." Ujarnya.

     Mayu terdiam. Di tatapnya wajah Abi yang sedikit pucat, lantas bergerak cepat dan beralih menggendong Abi di belakang punggungnya. "Ok Mang. Pulang dulu, nih." Lantas berjalan menjauh.

     "Aduh, kayaknya dek Abi gak kuat. Mau Mang bonceng sampai depan rumah?"

      Mayu menggelang. Senyumnya merekah, "tidak usah. Lihat, Mayu sangat kuat. Abi itu ringan." Kekehnya.

      Di belakang, Abi tiba-tiba bersin.

       Mang Japri hanya bisa menghela nafas. Membiarkan Mayu pergi sembari menggendong Abi di punggungnya. Mata pria berusia pertengahan itu seketika melebar, saat melihat Mayu berlari dan hampir tersungkur. Tetapi secepat kilat, bocah itu menemukan kembali keseimbangan tubuhnya. Lantas menghilang di balik belokan.

Walaupun Mayu begini__

.

.

.

Tetapi Abi menemukan kenyamanannya.

      "Maaaa!!! Bang Mario ambil cokelat ku lagi. Kayaknya mau dikasi ke Mimi, pacar barunya yang banci. Huaaa__."

     Suara Mayu terdengar sampai ke rumah Abi, keluarganya sedang sarapan sekarang. Dari arah dapur, ibu Anti terbahak dengan keras. Sedangkan Junaedi hanya tersenyum sembari geleng-gelang.

      Dasar Mayu.

     Abi duduk dengan tenang. Keningnya mengkerut tetapi ia hanya diam saja. Pikirannya berontak tidak tenang, dia berdoa semoga bukan itu, pikirnya. Kemarin sore dia mendapat cokelat dari seorang bocah perempuan. Rumahnya tidak jauh, hanya dipisahkan tiga rumah lainnya. Untuk ukuran bocah perempuan, wajahnya cukup manis; kulitnya putih, bersih, dan rapi. Tipe kesukaan Abi. Jangan lupakan, si bocah perempuan sangat wangi.

      Wangi minyak telon.

       Masalahnya, Abi memang menerima cokelatnya. Tetapi karena alasan tertentu dia justru memberikannya pada Mayu. Dan sekarang Abi mendengar teriakan Mayu kalau Bang Mario mengambil cokelatnya. Itu berarti__

      Sudahlah, pasti cokelatnya banyak dijual di warung lain. Tidak akan ketahuan oleh si bocah manis bernama, Maera Andini.

      "Bi, nanti sore setelah sholat magrib, keluar yuk. Ayah mau makan rujak. Heheh~" Junaedi terkekeh. Dia memang sangat suka makan rujak.

     Abi mengangguk. Selesai makan ia meletakkan piringnya di wastafel. Hendak mencucinya tetapi ibunya melarang.

     "Abi, tidak usah di cuci. Sana, Mayu pasti sebentar lagi datang. Kalau kamu belum siap, dia akan membuat keributan lagi." Kata ibunya sembari terpingkal.

      Apa yang lucu? Pikir Abi.

     Meski begitu, Abi mengangguk lalu menuju kamarnya, untuk beberapa menit ia turun kembali dengan ransel kecil di punggungnya. Wajahnya yang tampan sedikit memerah, mungkin kelelahan karena naik turun tangga.

      Ibunya mengernyitkan dahi melihat Abi.

       "Kok bawa ransel?" Tanyanya. Tangan wanita itu bergerak cepat membersihkan sisa piring di atas meja makan. Membawanya pergi ke wastafel lalu mencucinya.

      Abi terdiam. Dia sedang berpikir akan mengatakan apa. Sejatinya, ibunya tahu Mayu sering berbau keringat. Tetapi wanita itu melarang Abi untuk mengejek atau mengatai Mayu, bau. Jadi ia pun merasa bingung.

       Tangan mungilnya dengan pelan membuka ransel. Mengeluarkan sebuah benda yang merupakan sebotol parfum. Ditatapnya ibunya, Abi berkata dengan wajah memelas, "ibu, aku takut menyinggung Yuyu karena muntah. Aku tidak suka bau keringat. Jadi, aku bawa parfum untuk menyemprot Yuyu saat berkeringat." Katanya lugu.

       Anti ingin menegur, tetapi melihat tingkah polos puteranya membuatnya mengurungkan niat. Tangannya yang dipenuhi busa sabun segera dicuci. Lantas bergerak cepat mencubit pipi Abi yang kemerahan.

      "Ya sudah, tapi jangan sampai Mayu nangis, yah. Soalnya dia susah berhenti kalau sudah menangis."

       Junaedi ikut bergabung, tangannya terangkat lantas mengusap kepala Abi. "Betul kata ibumu. Ya sudah, sana. Kalau tiba azan dhuhur pulang, yah. Ajak Mayu juga." Katanya, lalu berangkat kerja.

      Abi mengangguk.

       Ketika keluar rumah, Abi sudah menemukan Mayu di teras rumahnya; sedang duduk di kursi sembari mengunyah sebutir apel. Kaki kecilnya yang kecoklatan terulur ke depan, sesekali mengayunkannya ke kiri dan ke kanan. Abi sedikit jengkel sebab Mayu tidak melepas sendalnya. Alhasil, teras rumahnya dipenuhi bulir-bulir tanah yang berasal dari sendal Mayu. Terus begitu sampai Abi menegurnya dengan suara lesu, tidak semangat.

        "Sendalnya dilepas, Yuyu." Tegur Abi. Wajahnya datar dan terlihat letih. Abi selalu memasang tampang lemas mirip orang sakit, kalau bukan karena wajahnya, ia pasti tidak akan terkenal.

       Mayu cemberut. Lantas melompat dari kursi dan menghampiri Abi di ambang pintu masuk. "Tante kan bisa nyapu lagi." Ujarnya enteng. Kakinya dihentakkan ke lantai keramik di bawahnya. Tentu saja, tanah-tanahnya berhamburan.

       Tanpa gairah hidup, Abi menggetok kepala Mayu dengan sapu dekat pintu. "Kalau begitu, tidak ada main. Aku mau tidur. Capek." Katanya sudah hampir masuk kembali tetapi Mayu segera melepas sendalnya, membersihkan sisa tanah, baru kemudian menahan lengan Abi sambil merengek.

      "Abiiii!! Main, main, main, main."

      Mayu tidak akan berhenti kalau sudah begini. Satu-satunya pilihan adalah menurutinya.

      Menghela nafas, Abi sontak bergerak keluar rumah. Menggandeng tangan Mayu lalu menuntunnya keluar pagar. "Ayo, Yuyu." Mayu langsung saja menyengir.

     Mengambil alih, Mayu kini berada di depan Abi. Sekarang dia yang menyeretnya bocah tampan itu menuju padang rumput. Seringaian Mayu seketika terbit, berharap hari ini dia akan mengalahkan jangkrik milik si tambun, Rio.

      Abi menatap rambut Mayu yang bergerak mengikuti langkahnya. Helai demi helai terhempas karena angin. Bau samponya tercium oleh Abi dan bocah itu akhirnya tersenyum. "Yuyu, hari ini kamu pakai sampo Dove, yah. Wangi." Katanya tiba-tiba.

      Mayu menoleh, kemudian menyengir. "Ia, sampo Bang Mario. Aku habiskan sebotol, heheh. Soalnya sudah satu minggu tidak sampoan, rambutku jadi tidak ada busanya. Jadi ku habiskan saja." Kekehnya. Langkahnya terayun kian cepat.

      Pandangan Abi berubah lesu.

      "Bang Mario pasti kesal." Katanya. Dia yang mendengar saja sudah merasa jengkel dengan Mayu. Lantas bagaimana dengan Bang Mario sebagai pemilik sampo.

      Sedangkan di rumah Mayu, Mario baru saja bangun. Mengambil handuk dia kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk mandi, hendak berangkat ke sekolah. Dari arah dapur, Tania bisa mendengar senandung lagu yang Mario lantunkan dari dalam kamar mandi. Lantas memekik kaget ketika lantunan lagu Mario berubah menjadi teriakan sebal bercampur kesal.

       "MAYUUUUU!!!!! DI MANA SAMPOKUU!!??" Teriaknya.

       Di padang rumput Mayu bersin berulang kali. Anak-anak lain mulai kesal dan menjauhi Mayu sebab bersinnya mengeluarkan ingus. Mereka takut terkena ingus Mayu. Abi di bawah pohon seketika bergidik. Tetapi, dia tidak beranjak menjauh seperti anak lainnya saat Mayu datang menghampirinya. Sebaliknya dia mengeluarkan tissue dari ranselnya dan memberikannya kepada Mayu.

       "Yuyu, ingusmu keluar. Bersihkan, aku tidak suka warnanya." Katanya santai.

       Mayu segera mengambilnya, mengusapkannya ke hidung lalu membuangnya sembarangan. Hampir saja mengenai Abi di sampingnya, kalau saja bocah itu tidak segera menyingkir dengan wajah lesu luar biasa.

       Mayu benar-benar__

       Dari arah depan, seorang bocah perempuan berwajah cukup cantik datang menghampiri mereka di bawah pohon. Manik kecilnya berbinar menatap Abi yang sedang bersandar di batang pohon. Mimiknya lelah seperti biasa, tetapi wajahnya yang tampan tidak berubah sama sekali. Dimata anak lain, Abi justru terlihat keren dengan posenya. Padahal, tidak ada yang tahu kalau dia mulai lemas karena menahan nafas.

      Nyatanya, dia tidak bisa menyemprot Mayu dengan parfum.

       Abi merasa tidak tega.

       "Abi." Panggil si gadis berkepang dua. Mayu mengernyitkan alis.

      "Ada apa?" Jawab Mayu.

        Si gadis kepang cemberut, "bukan kamu." Katanya, kesal.

        Abi melirik sedikit lantas memejamkan mata. "Hmm, siapa?"

       Binar wajah si gadis kecil kepang dua bertambah. Dia berkata. "Abi, aku suka pada mu. Jadilah pacarku." Akunya tiba-tiba tanpa rasa malu. Dasar anak-anak.

       Mayu melotot. "Heh, Abi kan milikku. Dia tidak akan mau." Balasnya asal. Mayu tidak tahu apa yang baru saja dia katakan. Dia hanya menyahut tanpa berpikir.

      Si kepang dua memandang rendah, wajah manisnya menatap Mayu sebelah mata. Lantas berkata dengan kejam, "Abi tidak akan suka dengan gadis jelek sepertimu. Dia bermain denganmu karena kasian." Dia mengejek terang-terangan.

        Mayu hampir meledak dan bergerak menyerang si kepang dua. Tetapi tanpa di duga, Abi terduduk lantas menarik Mayu ikut duduk kembali. Wajah bocah tampan itu menyiratkan kata 'jangan' pada Mayu. Meski tidak terima, tetapi Mayu menurut untuk diam.

       Mayu pun menunduk memandang rumput.

        Abi menatap dengan lesu. Menguap sebentar, dia lalu tersenyum kecil membuat binar di wajah si kepang kian meningkat.

       Lantas meredup saat Abi menyeringai dan berkata, "terima kasih. Tapi, kamu bukan tipeku." Balasnya. Si bocah kepang mulai menangis saat tahu akan di tolak. Tetapi Abi tidak berhenti, dia melanjutkan.

      "Sejak awal, kamu tidak bisa dibandingkan dengan, Yuyu-ku."

Entah berkata apa__

.

.

.

Sejatinya, mereka hanya anak-anak.

avataravatar
Next chapter