1 Lucky Bastard

“Siap?”

Pertanyaan itu datang dari Narto yang kemudian dijawab dengan gelengan kepala oleh gadis di sampingnya. Gadis itu cantik, berambut ikal pirang dengan panjang hingga sedikit melewati bahu. Umur masih 17-18 tahun, berkulit putih bersih, berhidung mancung bangir, dengan potongan fisik seorang gadis yang sempurna.

“Not sure. Aku masih… cakut,” katanya dalam bahasa Indonesia yang cadel. “I’m scared.”

Narto membelai rambutnya dengan lembut. “Gak ada yang perlu ditakutin, sayang. Sebagai pacarmu aku di sini dan ngawasin kamu terus. Percaya deh, nggk ada yang nyakitin kamu. Semua akan berjalan baik, aman, dan yang pasti… menyenangkan.”

Masih belum ada tanggapan dari si gadis. Narto jadi merasa perlu memotivasi dengan ucapan yang semakin lembut..

“Clarice sayang. Kamu kenal semua orang di ruangan ini,” mata Narto mengitari ruangan kamar tidur dimana mereka berada. “Lihat tuh. Kami semua bukan orang asing buat kamu kan? Mr. Kenji udah siapin acara ini sejak lama. Tempat udah di-setting. Orang-orang udah siap. Kalau sampai…”

Seorang pria Jepang 40an tahun yang tadi dipanggil oleh Narto sebagai Mr. Kenji, tiba-tiba menyela. “Sudahlah, kita batalkan proyek ini.”

Keputusan itu mengagetkan banyak orang.

“Saya mulai tidak sabar. Tidak tahu ini kapan syuting bisa diadakang,” tuturnya dalam logat Jepang yang khas.

“Jangan Mister,” Narto membujuk.

“Aku sudah tunggu, sudah perusiapkang banyak, sudah keluar uang banyak juga,” katanya dengan mimik wajah kecewa. “Tapi daripada tunggu tanpa kepastiang, libih baik kita burhenti saja ne.”

Rekan Mr. Kenji, Gisel, kini mendekati serta brbisik untuk menenangkan. “Anak itu gugup, Kenji-san. Sabarlah.”

“Lalu kita mau lanjut syuting sampai kapang? Progres-nya masih stuck di sini. Putuskan saja, tanya gadis itu, ne. Apakah mau lanjut atau tidak? Kalau ragu, aku akang bongkar semua peralatan di ruang ini. Kamera, lampu, tripod, peralatan audio, computer, semuanya. Setelah itu aku akang cari talent, pemeran laing saja, yang tidak banyak cingcong seperti dia. Dang sebagaimana perujanjian, uang muka harus kembali.”

Saat itu Mr. Kenji nampaknya sudah habis kesabarannya. Ini membuat pasangan hidup bersamanya, Ms. Gisel, harus membujuk agar membatalkan rencana itu. Melihat situasi makin tidak kondusif, Narto makin membujuk Clarice.

“Clarice sayang, kamu tunggu apa lagi? Jangan nunda terlalu lama karena Mr. Kenji sudah mulai nggak sabaran.”

“Betul,” Rokib – orang kelima atau terakhir yang ada di ruang kamar - menimbrung. Sejak tadi ia memang sangat irit bicara.

“Ah si Rokib Jelek, ngomong juga lu akhirnya. Kirain gagu,” Narto menggoda temannya

Rokib, pedagang mie tektek yang mangkal di depan rumah kost Anyelir Arcade adalah teman lamanya sejak mereka di Lampung. Meski wajahnya mulus tidak bercacat karena luka bakar, luka sayat, cacar, atau apapun, wajahnya tetap saja layak dibilang buruk. Komposisi bentuk dan ukuran mata, hidung, mulut, yang kurang ‘sinkron’ sepertinya memberi peran besar sehingga menjadikan wajahnya seperti itu.

Sangat jelek.

Pada akhirnya sebutan Rokib Jelek menjadi panggilan ‘resmi’ di antara rekan-rekannya termasuk Narto. Seolah pasrah menerima fisik wajahnya yang sangat jauh dari kata tampan, Rokib pun sudah lama tidak mempermasalahkan dengan sebutan tadi. Dikatai atau dipanggil ‘Rokib Jelek” sudah lama tak lagi menyakiti hati. Ini membuat orang itu tumbuh jadi pribadi pendiam namun keras kepala.

Tidak banyaknya komen bisa jadi juga karena orang itu gugup. Ini terasa menggelikan buat Narto karena melihat orang kampung berkulit hitam itu mendadak jadi pendiam ketika melihat aktivitas yang ada di kamar..

“Orang Jepang ini udah pengalaman belasan tahun bikin beginian. Jadi gue yakin hasilnya pasti bagus.” Narto berkata penuh semangat.

“Bagus bagaimana?” tanya Clarice dari tempatnya duduk.

“Dia akan menghasilkan karya yang spektakuler, Clarice. Duit yang masuk untuk kamu pasti besar juga. Kapan lagi kamu bisa ikut syuting film seperti ini? Syuting ini juga bisa jadi jalan untuk kamu jadi aktris terkenal.”

“Tapi,” gadis itu menggigit bibir sesaat. “Ini beda. Ini… untuk syuting film kategori tiga X.”

Kenji, Gisel, Narto serentak melenguh.

“Lantas?”

“Kalau ada yang kenali aku bagaimana?”

Pertanyaan itu terdengar oleh Gisel. Kini ia ganti duduk di sofa, di samping Clarice dan Narto yang sudah lebih dulu di sana. Ia melakukan tugas dengan baik dengan membujuk Clarice dari sisi kewanitaan.

“Dalam syuting, tentu saja nanti wajahmu akan tertangkap kamera. Tapi kami sudah pengalaman sangat lama. Kami bisa edit sehingga wajahmu tidak jelas.”

Gisel masih sepuluh menit lagi berbicara. Meyakinkan gadis di depannya bahwa ketakutannya tidak beralasan.

“Hasil proyek akan disamarkan. Gak ada yang tau pelakunya dari sini karena kami akan setup seolah-oleh ini di negara lain.”

“Untuk mengurangi resiko sebagian besar kamera diarahkan ke tubuh, bukan ke wajah.”

“Kamu terlalu takut mencoba sesuatu yang baru. Padahal ketakutan seperti itu nggak beralasan.”

“Wajahmu sudah dirias dengan potongan rambut berbeda. Gak ada orang yang akan kenalin kamu.”

Sementara bujukan dan rayuan diucapkan, ada sesuatu terjadi dalam diri Clarice.

Denyutan.

Denyutan aneh, misterius, mistis, terjadi lagi di kedalaman vaginna. Clarice setengah hati menahan diri. Berjuang menahan ketidaknyamanan yang terjadi. Ia berusaha keras bertahan.

Setelahnya, saat denyutan memudar, tiba-tiba saja ia menjadi orang yang sangat penurut. Dirinya menerima begitu saja semua argume di atas yang disampaikan Gisel. Ia jadi sangat terbuka dan menganggap semua info tadi sebagai fakta dan kebenaran tak terbantahkan. Keraguan yang sempat muncul kini dianggapnya salah. Ketakutan yang sempat ada kini dianggap tidak tepat. Kekhawatiran yang sempat menguasai pikiran, kini dianggap nihil. Logika yang muncul sekarang adalah bahwa ia perlu menjalankan peran sebagaimana yang Gisel kehendaki.

Belasan menit berlalu. Clarice makin menurut seiring pandangannya yang kini jadi serupa dengan pandangan Gisel.. Melihat hal itu Mr. Kenji bersorak dalam hati. Ia jadi menyadari bahwa peluang menggarap proyek siang itu akan tetap terbuka. Saat ini dirinya bersama asisten merangkap teman hidup bersamanya, Gisel, memang tengah melakukan syuting film kategori tiga X. Faktor keberuntungan membuat mereka menemukan Clarice. Dan faktor yang sama pulalah yang membuat Clarice akhirnya mau melanjutkan kembali syuting yang sempat tertunda satu jam.

“Kamu udah siap, Sayang?” tanya Narto yang ikutan gembira melihat perubahan sikap kekasihnya yang kini menjadi koperatif.

Clarice mengangguk. Narto mengecup bibirnya sesaat sebelum berbisik.

“Keindahan tubuhmu, dan aksimu sebentar lagi akan diabadikan dengan kualitas super HD. Untunglah kamu sudah melakukan saat masih muda dan cantik. Kalau udah tua, terlambat. Siapa yang mau nonton nenek-nenek? Nggak ada.”

Denyut itu terjadi lagi. Membuat Clarice berpandangan sama. Kesamaan pandangan itu spontan membuat vaginnanya melembab. Tak berselang lama, senyumnya kini terumbar, tak lagi malu atau ragu. Beda dengan sebelumnya, kali ini senyumnya sangat lebar. Rasa ragu dan takutnya sirna sudah. Ia lalu bangkit dari sofa dan melepas piyama yang sejak tadi dipakainya. Atas komando Kenji sebagai sutradara dalam posisi sepenuhnya nudis ia lalu berbaring di atas ranjang. Sebetulnya Clarice tidak dalam keadaan telanjang. Ia masih mengenakan stoking berenda dan strap neck serba hitam yang menjadikannya kontras dengan warna kulitnya yang putih bersih. Dua benda itu tak ayal membuat tubuh ABG pirang itu jadi jauh lebih merangsang bagi siapapun yang melihatnya. Terlebih ketika ia kemudian membaringkan diri dengan cara yang menggoda.

Seketika aksi nakalnya menimbulkan suitan, decak kagum, dan penghargaan dari semua orang bahkan termasuk Gisel, wanita lain di tempat itu. Tak berlebihan jika diuraikan bahwa semua pennis dalam ruangan seketika berontak melihat tubuh sempurna gadis itu. Tubuh berdada mengkal dengan lekuk pinggang serta panggul sempurna. Dikombinasi dengan gundukan di selangkangan yang tertutup bulu-bulu kemaluan berwarna pirang.

Kenji dan Gisel langsung menyiapkan property. Syuting diatur dengan resolusi super HD demi menampilkan tiap adegan dengan sangat detil.

“You are perfect, Clarice.

“Yeah. Perfect tits too.”

Pujian dari Kenji dan Gisel datang silih berganti. Mendengarnya, Narto jadi sangat bangga.

“Damned Narto, look at your girl’s body. So hot. You are such a lucky bastard.”

Narto tidak mengerti. Tapi dari cara bicara, terlihat bahwa dirinya dipuji. Narto memang beruntung sekali bisa mendapatkan gadis itu sebagai pacarnya. Muda, cantik, pirang, sexy. Pacar bulenya itu cinta betul pada dirinya. Sebuah cinta yang membuatnya sangat submit, tunduk, begitu luar biasa. Bagi Narto ia hanya butuh tiga kali ajakan kencan sebelum akhirnya ‘panen raya’ dengan bisa menidurinya di kencan berikut.

Itu semua bermula dari sebuah kejadian tak terduga yang dialami gadis itu beberapa minggu lalu ketika…

“OK, perhatian semua.”

Pikiran Narto pecah. Ia kini mendengarkan instruksi Kenji yang menjadi sutradara.

“Syuting ini hanya akan berdurasi sepuluhan menit. Tapi tidak tertutup kemungkinan di-extend jika produser saya di Osaka puas dengan hasilnya. Jika di-extend kita akan buat plot cerita yang utuh. Jadi, hasilkan karya terbaik pada saat ini, mengerti? Make it as sensual as possible,” Gisel mulai melanjutkan. “Jangan sampe stop lagi ah. Capek.”.

Kenji membaca selembar kertas yang merupakan naskah cerita.

Setelah membaca sesaat ia memberi instruksi lagi. “Sejauh ini kita sudah mengambil gambar tentang sedihnya Clarice karena pacarnya menghilang. Kesedihan itu juga menimbulkan rasa kesepaian dan hasrat bercinta yang hebat. Dia mulai remas dada, masturbate. Itu sudah dibungkus, saya puas.”

“Mr. Kenji?”

“Puas juga, Narto. Tenang aja deh.”

“Jadi, ceritanya di adegang berikut Clarice sedih.”

“Dia sedih kenapa? Sedih karena kesepian padahal dia mendambakan seorang pria,” lanjut Gisel. “Saat itu dia jadi sangaaaat horny. Dalam keadaan itu muncul tukang ojek online mau antar paket.”

“Untuk menghemat waktu, adegang ketemu tukang ojek dan ngobrol-ngobrol kita skip saja dulu. Saya mau lompat ke adegan make love. Setelah itu, atau di bagian akhir, baru deh kita garap adegan ngobrol-ngobrol.”

“Clarice, di adegan yang kita mau shoot, ceritanya kamu sudah merayu tukang ojek untuk datang ke kamar. Kamu sudah sangat horny. Sangat ingin ML. Kamu sudah di atas ranjang ketika dia masuk melalui pintu kamar.” Gisel memberi instruksi. “Dan karena sedang sangat horny, kamu merayu degnan cara berbaring sambil meraba dada dan vaginnamu.”

“Okay,” cetus gadis itu. Suasana yang terbangun sukses membuat libidonya bangkit kembali.

Kenji mendegut ludah ketika dengan menurut gadis itu berbaring dan mulai meraba dadanya yang terbuka.

“Clarice sayang, puncak dari adegan scene ini adalah ejakulasi. Kita buat sesuai skenario, okay?”

Clarice mengiyakan. “Okay.”

“Ejakulasinya di mana?” Kenji menguji.

“Di mulut.”

“Betul. Bisa di mulut dan bisa juga di muka, tergantung nyipratnya bagaimana.”

Clarice mengiyakan lagi. “Okay.”

“Good! Now, Gisel, aktifkang kamera 2, 3, 4.”

Tiga kamera resolusi tinggi di atas tripod yang berada di 3 sudut berbeda dan semua diarahkan ke ranjang langsung dihidupkan. Gisel sendiri meraih kamera ke-4 yang akan digerakkan manual dengan tangannya.

Kenji bersuara lagi. “Ayo Clarice, sampaikang salam untuk pacarmu yang luar biasa.”

Mendengar itu Clarice menoleh pada Narto yang duduk di sofa. Ia memberikan kiss-bye dan melambai dengan senyum sangat lebar. Mulutnya menggerakkan kata “I love you” secara tak bersuara yang kemudian ditanggapi Narto dengan mengacungkan jari jempol pada kekasih bule-nya..

Kenji memberi aba-aba. “Ayo semua talent on position.”

Tak ada yang mmbantah. Dua tubuh bergerak sesuai instruksi. Gisel memeriksa laptop demi memastikan tiga kamera bekerja baik. Dan ia puas melihat ketiganya merekam aksi Clarice yang berbaring di ranjang dan mulai meraba kemaluannya. Gila. Sebagai wanita pun ia terangsang melihat aksi gadis itu yang begitu natural.

“Action!”

Kamera DSLR di tangan Gisel bergerak ke arah pintu kamar. Di sana sudah berdiri seseorang yang menjadi pasangan mainnya. Yang akan melumat habis tubuh molek ABG itu.

Si Rokib Jelek.

*

avataravatar
Next chapter