webnovel

Bab 7

Vicko dan Rangga akhirnya pergi membeli boneka. Tapi Vicko tahu mata itu tadi sempat menatapnya.

Di mana dia tinggal sekarang? Bersama siapa? Dan bagaimana hidupnya? Ah, kenapa dia harus memikirkannya, sih? Batinnya bergelut antara ingin peduli atau tidak.

"Loe kenapa sih? Dari tadi melamun mulu?" sungut Rangga.

"Enggak ada. Perasaan loe aja kali."

"Ya, justru karena perasaan gue, Bambang. Ya kalo loe pasti gak bakalan ngerasain kalo dari tadi itu loe melamun aja. Kaya orang bego tau. Kesambet loe? Gue jadi takut nih," kata Rangga mencoba berekpresi setakut mungkin. Yang ada bukan lucu atau Vicko tertawa malah Rangga kena toyoran kembali.

"Biar dikata gue jago berantem kalo loe kesambet gue orang pertama yang bakal nyiram loe air dan larilah pasti," tegasnya.

Mendengar perkataan Rangga yang tidak masuk akal baginya, segera Vicko menoyor kepala Rangga sekali lagi.

"Itu tandanya loe doain gue buat kesambet!" kesalnya.

"Ya gak sih. Cuma jangan sampe aja, gue sembur air loe entar!" katanya. “Tunggu gue jampi-jampi dulu tapi," kekehnya.

"Ngomong-ngomong loe mau beli boneka buat siapa?" tanya Rangga memicing.

"Buat adek gue."

"Dua?" tanya Rangga tak yakin.

"He'em" Vicko hanya bergumam.

Vicko enggan menjawab pertanyaan Rangga bukan karena dia tidak percaya pada sahabatnya. Dari semua teman yang ada hanya Ranggalah yang dia percayai bahkan dalam keluarganya dia tidak yakin bisa mempercayai anggota dalam keluarga itu.

"Udah?"

"Ya"

"Balik yok! Atau makan dulu?"

"Makan dulu aja di restorant seafood deh," kata Vicko menimpali.

"Yoi."

Akhirnya mereka berlalu dengan segala pikiran Vicko yang masih berada dalam toko buku tadi. Mata tajam nan sendu sama seperti mata ayah mereka. Tapi sendu itu bukan turunan dalam keluarga ini.

Secara harfiah jika dilihat sekilas pun semua orang tahu bahwa Amor mirip dengan ayahnya. Tapi kenapa bisa ayahnya tak mengakui Amor? Ah, entahlah itu urusan tetua itu bukan dia. Dia cukup nyaman hidup selama ini, jadi untuk apa dia memikirkan hal tidak harus dia pikirkan.

"Kita sampai nih. Ntar loe yang bawa mobil, gue capek nih muter-muter nemani loe lagi melow gini." Seketika ada benda yang menimpuk pundaknya,

"Aww, aww. Sakit, Bambang!" ujarnya.

"Loe sembarangan. Lu pikir gue abegeh yang lagi galau putus cinta?" kesalnya.

"Ya emang enggak cuma kita gak tau gimana hati loe, ‘kan? Keliatannya aja baik-baik tapi di dalam bisa aja loe lagi nangis. Hati loe maksudnya," ejek Rangga.

"Gaya loe," mencibir Rangga yang sok bijak padahal brengsek.

"Ya udah, ayo!"

Mereka memilih restoran seafood bukan karena cepat dan enak memang mereka berdua itu setipe. Jadi, Rangga dan Vicko itu bahkan dijuluki homo gay karena terlalu banyak kesamaan yang ada pada mereka berdua.

Mereka sama-sama menyukai seafood, makanan cepat saji, basket dan persahabatan yang termasuk ideal. Kadang baju yang mirip cara bergaya dengan style yang hampir mirip mereka dikira kembar selain wajah yang memang sama-sama tampan dan tidak terlalu banyak tingkah. Mereka boleh nakal dan brengsek tapi tidak melawan guru dan menyakiti orang lain. Hanya saja perbedaan pasti ada. Wajah mereka jelas tidak mirip sama sekali.

"Gue masih penasaran sih," Rangga membuka pembicaraan.

"Apa?" Menaikkan sebelah alisnya tanda bingung.

"Cewek yang tadi," jawabnya.

"Yang mana? Loe semua cewek juga penasaran."

"Enak aja loe. Loe tuh semua cewek di club loe dekati."

"Gue gak pernah dekati mereka. Mereka aja yang rela merendahkan harga dirinya sama gue. Bahkan, gue lirik aja kagak."

"Aww, atit ati adek, Kakak." Memegang dadanya berpura-pura sakit hati. Memang dasar Rangga, kalau berakting dia jagonya.

"Gue muntah, Ga," ucap Vicko berpura-pura akan muntah.

Vicko memang benar, tidak pernah dia mendekati siapa pun dan menggantung perasaan orang lain setelah kejadian di keluarganya bahkan ketika dia tahu ada yang menyukainya. Dulu dia bisa saja santai tapi setelah dia pun tahu bahwa hatinya menyukai orang itu juga dia tidak bisa memberikan hubungan tanpa sebuah kepastian. Itu menyakitkan dan sekaligus menyakiti dirimu sendiri.

"Tapi bener deh, Vick. Gue masih penasaran."

"Yang mana, sih?"

"Yang kita ketemu di toko buku. Gue ngerasa dia mirip seseorang deh," terkanya, "tapi siapa ya?”

Vicko terdiam dalam hatinya berdebar tak karuan. Masa iya? Atau dia kurang peduli sekitar? Sampai dia enggak sadar bahwa Rangga menyadari dia memang mirip dengan salah satu anggota keluarganya.

Dia tahu ada sisi kemiripan itu hanya saja selama ini dia menutup mata bahwa ada yang menyadari Amor memiliki kemiripan itu.

Ah, ya!" serunya, "gue ingat.”

"Apaan?"

"Mata, wajah tepatnya garis wajah, hidung dan bibir," ucapnya seketika yang membuat Vicko tersedak.

"Pikiran loe jorok, ihh!"

"Enak aja loe!” Rangga menoyor kepala Vicko.

"Bukan. Bukan itu maksud gue. Ada beberapa hal yang terlihat mirip. Mata dan garis wajahnya sekilas mirip, mirip siapa ya?" katanya sambil berpikir.

"Ah, ya. Tapi kok bisa ya, garis wajahnya mirip bokap loe?" tanya Rangga seketika menghentikan makan Vicko.

"Uhuk, hmm, ah, salah kali loe. Gila aja." Terlihat sekali dia gugup. Benar dia gugup semua temannya yang akrab tak pernah ada yang tahu bahkan Rangga sekali pun yang bersahabat dengannya cukup lama mulai mereka dari sekolah dasar.

"Iya Vick, gue beneran. Tapi, kenapa sekilas mirip kakek loe ya? Hidungnya mirip banget. Matanya mirip bokap loe juga. Serius deh!" Seketika Rangga menatap Vicko.

Mereka saling menatap yang memiliki asumsi berbeda. Setiap orang pasti memiliki pendapatnya masing-masing. Dan Vicko tidak ingin pendapat itu keluar tidak pada tempatnya.

"Salah kali loe. Terlihat mrip doang, ‘kan? Banyak orang yang mirip kok," katanya menimpali omongan Rangga dengan kalem dan pelan.

"Hem, iya sih," tambah Rangga.

"Ya udah deh, ngapain mikirin dia sih? Ayo lanjut. Kita pulang lalu siap-siap. Udah mau sore ini."

"Oke boss!"

***

Sedang di sebuah taman gadis itu belum pulang. Dia tahu pekerjaannya tidak terlalu banyak kebetulan Bude Ani dan Bu Yanti juga sudah tahu agendanya di sekolah. Hanya saja dia tidak mengatakan bahwa dia satu sekolah dengan orang-orang dari masa lalu itu.

Dia takut, takut tidak memiliki apa-apa lagi setelah semua yang terjadi. Jadi sehabis dari toko buku tadi dia ke taman ini sekedar melepas ppenat

"Hai! Amor, ‘kan?" Seseorang bertanya sambil menunjuk dirinya.

"Oh, hai," sapa Amor.

"Pras, panggil aja begitu. Kamu lupa ya?"

"Ehhh." Amor tidak enak sebab dia merasa orang menganggapnya sombong. Dia mengingat siapa orang yang mengajaknya bicara hanya saja lupa namanya.

Orang yang sama tadi di sekolah yang berkenalan dengan dirinya bersama dua teman lainnya yang dia ingat Ucup namanya. Laki-laki kemayu yang memang pembawaannya seperti itu. Dia tidak ingin menjudge orang lain.

"Ah, ya Pras. Maaf ya aku suka lupa nama orang.”

"It's okay. Gak apa-apa kok, Mor.” Senyumnya malu-malu. "Kamu ngapain di sini, Mor?" tanyanya.

"Hem, enggak ada, cuma sekedar cari angin aja. Kamu sendiri?" Amor masih canggung dan bingung tidak tahu bagaimana. Dia tidak terlalu nyaman bertemu orang baru.

"Ohhh.” Pras hanya bergumam tidak jelas.

***

Sedangkan itu Rangga dan Vicko sudah selesai makan dan hari sudah memasuki pukul dua siang. Sebentar lagi akan sore, mereka sudah sampai di tempat biasa di mana mereka bermain futsal.

"Hai, gaiss!" Rangga menyapa mereka.

"Hai.” Serempak mereka juga menyapa. Tapi Vicko tidak seperti biasanya. Vicko mengenal mereka semua karena teman se-tim futsal, kadang kala basket juga. Namun, hanya ada satu orang yang hari ini menjadi tujuannya. Akhirnya ekor matanya menangkap satu pergerakan dari teman lainnya.

Alby, ya pria itu Alby. Dia adalah orang yang pernah menjadi anak dari supir keluarga itu. Tapi sudah berhenti lama bahkan sebelum kakeknya meninggal beberapa tahun lalu. Dan dia pernah menjadi kakak kelasnya di Sekolah Menengah Pertama.

Tapi ketika Sekolah Menengah Atas mereka tidak satu sekolah dan kebetulan pun Alby sekarang sudah kuliah Fakultas Hukum. Yang memudahkan Vicko sering berinteraksi dengannya. Beberapa teman lain mengenal Alby, hanya sebagai teman Vicko waktu kecil. Walau Rangga tahu tapi tidak mempermasalahkan sebuah masa lalu. Apalagi ketika Vicko ingin berteman dengan siapa saja.

"Hai!" sapa Vicko.

"Kenapa harus gue?” To the point sekali, itu yang Vicko lihat dari Alby.

Alby memang lebih tua tapi Vicko enggan memanggil kakak. Bukan karena dulu dia pernah jadi majikan Alby, hanya saja mereka lebih akrab begini.

Sebenarnya mereka cukup akrab saja. Bukan cukup dekat tapi dulu dia tidak sebebas ini mengingat mamanya yang selalu melarang ia berteman jika tidak berkelas. Berbeda dengan ayah atau kakeknya yang membebaskan.

"Karena cuma loe yang bisa bantu gue.”

"Ya, kenapa?”

Pertanyaan inilah yang sulit dijawabnya.

"Loe percaya sama gue? Tapi kenapa?"

"Feeling."

"Feeling is naif, Bro. Loe gak takut suatu saat nanti?" tanyanya menantang.

"Gue sebenarnya ...." Pernyataan yang akan dia keluarkan tergantung ketika seseorang menginterupsinya.

“Hai, By! Ayo, Vic uda mau mulai tuh!" ajak Rangga.

Mereka hanya mengangguk sampai Rangga pergi lagi ke barisan tim yang ada.

"Kita belum selesai," ujar Vicko.

Alby hanya mengedikkan bahunya tanda terserah.

...

@Fatamorgana16,

Selasa, 08 Juni 2021

Pelalawan. Riau.