webnovel

Gunung Es yang Hangat

"Wolfie! Haltemu sudah terlewat!" seru Valerie, membuat seisi bus memperhatikannya.

"Aku tahu," balas Wolfie, menoleh datar pada Valerie.

"Lalu … mengapa kau tidak turun?"

"Aku akan mengantarmu sampai rumah."

DEG

Valerie mengernyit, ia merasa kalau ada masalah pada telinganya. Tidak mungkin kalau Wolfie ingin mengantarnya pulang, tidak mungkin kalau Wolfie bersikap baik seperti itu.

"T—tapi nanti sudah tidak ada bus—"

"Aku bisa naik taksi."

***

"Ma, aku mau dituangkan susu," pinta Valerie dan membuat mamanya membesarkan matanya.

"Valerie, apa kau tadi malam memangnkan undian? Lotre?" tanya sang mama, penasaran dan akhirnya bertanya sendiri.

"Hmmm, tidak. Mengapa, Ma?" Valerie balik bertanya, karena sikap dan pertanyaan mamanya tidak biasanya diajukan.

"T—tidak. Hari ini kau terlihat sangat ceria. Pasti kau mendapatkan nilai baik, bukan?" tanya mamanya lagi, masih terus memancing dengan pertanyaan yang lain.

"Hmmm, tidak juga," jawab Valerie. "Ma, sepertinya aku melupakan sesuatu. Aku harus berangkat ke sekolah lebih awal," ucap Valerie, ia merasa kalau ad ayang tidak beres dari mamanya dan memilih untuk menghindar, agar tidak diberikan pertanyaan lain lagi yang terlihat seperti memancing Valerie, mencari tahu sesuatu yang Valerie pun tidak mengerti.

"Kau tidak habiskan sarapanmu?" tanya Sam.

"Aku sudah kenyang," jawab Valerie sembari berlalu.

Sam dan mamanya saling melihat, keduanya belum mendapatkan jawaban mengapa Valerie terlihat tidak seperti biasanya.

"Sejak kapan mama minum susu?" tanya Sam terkekeh.

"Entahlah. Susu ini juga sepertinya sudah basi. Mama membelinya sekitar tujuh bulan lalu," jawab sang mama, kemudian membuang botol susu itu dan juga membuang susu yang sudah dituangkan oleh Valerie.

Sam tertawa kecil, betapa lucu keluarganya. Sebagaimana vampir yang hanya bisa minum darah dan tidak bisa menerima makanan atau minuman apapun. Namun keluarga mereka tetap hidup layaknya manusia, yang memiliki makanan 4 sehat 5 sempurna di rumahnya, meski hanya sebagai stok saja, agar terlihat seperti manusia biasa.

***

Valerie baru saja naik bus, ia merasa senang karena tidurnya sangat nyenyak, mungkin karena dirinya kemarin memiliki waktu lebih lama bersama Wolfie, pria yang membuatnya penasaran hingga kini.

"Mungkin aku menyukainya," gumam Valerie tersenyum sendirian.

"Menyukai apa?"

Valerie membesarkan matanya dan menoleh ke belakang. Ternyata ada Wolfie yang berdiri tepat di belakangnya. Ia baru saja masuk ke dalam bus.

"W—wolfie? K—kau …."

"Berbicara sendiri di tempat umum, bisa menimbulkan kesalahpahaman," ujar Wolfie.

"A—aku tidak bicara sendiri," balas Valerie membela dirinya. "A—aku … sedang bersenandung," lanjutnya beralasan.

"Kalau begitu, selera lagumu sangat buruk. Bernyanyi lagu dengan lirik pasaran dan dengan nada yang begitu datar," tutur Wolfie, tanpa menoleh pada Valerie.

Valerie mengerucutkan bibirnya. Ia berbalik badan, tidak mau menoleh dan berbicara dengan Wolfie lagi, karena hanya menimbulkan kesal dan memancing emosinya.

Mereka berdiri di dalam bus selama perjalanan, hingga tiba di halte terdekat dari sekolah mereka. Keluar dari bus, Valerie dan Wolfie pun memutuskan jalan bersama hingga ke area sekolah dan itu membuatnya menjadi pusat perhatian. Valerie merasa senang bisa bertemu dengan Wolfie sepagi ini, bahkan mereka bisa bersama selama dalam perjalanan hingga tiba di sekolah. Namun ada perasaan segan juga, karena mereka berdua yang jalan bersama, Wolfie menjadi bahan pembicaraan.

'Apa aku sangat tidak pantas untuk pria seperti Wolfie? Seburuk itukah aku?' batinnya bertanya-tanya, merendahkan dirinya sendiri, membuatnya sangat pesimis untuk menyukai pria seperti Wolfie.

"Semakin lambat langkahmu, semakin banyak kau mendengar hal yang tidak penting itu," ucap Wolfie, kemudian Wolfie mempercepat langkahnya dan Valerie pun menyusulnya. Benar saja, jika ia menunduk dan memperlambat langkahnya, bukankah semakin banyak ia mendengar cibiran orang-orang di sekolah tentang dirinya yang 'katanya' tidak cocok dengan Wolfie.

Wolfie dan Valerie masuk ke kelas bersamaan, itu juga membuat seisi kelas terdiam sejenak memperhatikan keduanya yang sedang menuju ke tempat duduk masing-masing.

Wolfie sudah duduk dan mengeluarkan buku-bukunya. Sementara Valerie masih berdiri di belakangnya. Ia pun ikut duduk dan berusaha seperti Wolfie, tidak menghiraukan cibiran maupun pandangan orang terhadap dirinya.

Terdengar suara hentak kaki seperti orang berlari dan itu menuju ke kelasnya. Anna baru saja datang dengan tergesa, ia segera menghampiri Valerie dan duduk di sebelahnya sembari menoleh ke Wolfie sesaat.

"Kau terengah?" tanya Valerie berbisik.

"Pura-pura saja," jawab Anna juga berbisik.

Vampir seperti mereka sangat mustahil terengah jika berlari seperti itu. Dimana mereka dapat berlari lebih kencang dari kecepatan manusia pada umumnya.

"Apakah yang aku dengar itu benar?" tanya Anna membesarkan matanya.

"Apa yang kau dengar, Anna?" Valerie balik bertanya.

"Kau dan Wolfie …."

"Bukankah kau memintanya untuk mengantarku pulang?"

"Iya. Tapi aku tidak memintanya untuk pergi ke sekolah bersama—"

"Ini hanya kebetulan saja, Anna. Kau jangan berpikir terlalu jauh."

Wolfie yang mendengar ocehan Valerie dan Anna lebih memilih untuk tetap diam dan menarik napas panjang. Sepertinya kedekatannya dengan Valerie yang baru satu hari, sudah menjadi pembicaraan besar. Padahal bukankah dekat dengan teman satu kelas itu adalah hal yang wajar?

"Pagi, Wolfie …," sapa Bianca, yang datang dengan membawa sebuah kotak. Bianca menarik kursi dan duduk di sebelah Wolfie. "Kau sedang membaca buku apa?"

"Ada perlu apa?" tanya Wolfie.

"Oh, hmmm, aku membawakan sarapan untukmu. Ini roti panggang, aku membuatnya sendiri," jawab Bianca meletakkan kotak makan tersebut di atas meja Wolfie.

"Aku tidak terbiasa sarapan," ucap Wolfie dingin. Ia tidak melihat Bianca sama sekali, matanya tetap fokus pada buku bacaannya.

"Makanan yang paling tidak kita suka, ya," cicit Anna kepada Valerie. Jelas mereka tidak suka, mereka adalah vampir. Untuk memakan makanan manusia normal saja, mereka harus berpura-pura menyukainya, padahal setelah itu, mereka akan memuntahkan makanan tersebut.

Bianca melirik pada Valeria dan Anna yang sepertinya tidak menyukai kehadirannya, namun sepertinya Bianca tidak peduli. Ia memiliki kepopuleran yang mampu membuat seluruh isi sekolah memihak padanya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

"Hai Valerie," sapa Bianca tiba-tiba.

Wolfie mengangkat kepalanya, sepertinya ia merasakan sesuatu yang tidak beres.

"Ada apa kau menyapa Valerie? Tidak biasanya," tanya Anna menyelanya. Anna terlihat tidak suka dengan basa-basi Bianca seperti itu.

"Anna, aku hanya menyapa. Oh iya, apa kalian sudah sarapan? Sepertinya Wolfie tidak bisa sarapan, lain kali aku akan membawakannya makan siang saja." Bianca mengambil kotak makan berisi roti dari meja Wolfie. "Bolehkan aku memberikan ini kepada mereka?" tanya Bianca.

"T—tapi … kami juga tidak pernah sarapan, Bianca," sahut Valerie, ia tidak ingin berpura-pura menikmati sarapan dari Bianca, sementara dirinya memang tidak bisa dan tidak menyukai roti.

"Ini hanya roti. Seharusnya semua orang menyukainya—"

"Jika tidak mau, jangan dipaksa."