webnovel

Bagian25

Hann



Aku tahu ini adalah hari ulang tahunku. Dan aku tidak banyak berharap akan apa-apa. Tidak hadiah, ucapan pun kiranya tak perlu. Sebagaimana biasanya, aku ingin menjalani hari-hari ini sebagaimana adanya. Tidak ada yang perlu dirayakan, tidak perlu ada kejutan, tidak perlu ada ini dan itu, dan tidak perlu ada apa-apa.

Aku pernah memikirkan ini, buatku, tak perlu orang-orang mengatakan selamat atas hari kelahiranku. Memang beberapa orang akan senang. Tetapi bersamaan dengan itu, ada seseorang sedang kesakitan, yang mempertaruhkan hidup untuk anaknya yang akan segera lahir. Jadi aku berinisatif untuk tidak merayakan apa-apa. Kelahiranku juga mungkin bukan sesuatu yang spesial. Kamu tahu itu sudah dicatatkan jauh-jauh sejak zaman azali.

Sebelum pergi bekerja, aku mendapati sepucuk surat dari Hirsch.

“Ini dengan.. Hann?” tanya seorang kurir pos persis ketika aku selesai menautkan tali sepatuku.

Aku mengangguk dan segera bangkit menghampiri lelaki berjaket oranye itu. Aku menerima kiriman surat. “Terima kasih sudah mengantarkannya repot-repot,” kataku kepada sang kurir tak lama sebelum ia berbalik dan pergi ke tempat asalnya.

Kulihat siapa pengirimnya, Nala.

“Ya, Nala.” Mataku membenarkannya. Tentu aku senang ketika mengetahui nama itu tersemat di punggung surat. Dan, untuk pertama kali setelah sekian lama perempuan itu dilanda kesibukan yang menggunung, aku kembali menerima sepucuk surat lagi darinya. Dadaku berdebar membuka surat kirimannya.

Kau tahu, betapa menyenangkannya ketika setiap langkah yang kau tempuh ada banyak orang di sisimu. Dengan suka hati dan gembira, mereka menyemangatimu, mendorongmu, dan mendukungmu. Aku selalu memikirkan betapa menyenangkannya jika itu terjadi padaku. Rasa-rasanya aku tidak berhak menanggung segala cemas dan segala kesedihan ini, karena orang-orang selalu ada bersamaku.

Kita berdua sama-sama tahu. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menuturkan hidupnya. Ada lembah yang berbeda, ada jurang yang tak sama. Juga jalan setapak yang tak dikenali semua orang. Benar katamu, Hann. Setiap orang ternyata berjalan sendiri-sendiri. Kini aku merasakannya. Tapi benarkah itu?

Apalah artinya medali perak yang sekarang dikalungkan di leherku?Adakah kamu punya jawabannya, Hann?

Selepas aku menuruni podium, aku lebih sering mengurung diri di kamar hotelku. Aku tidak bergabung dengan orang-orang di sana, juga menolak tawaran bersama Tuan Albern, pembimbingku sendiri.

Hann, di dalam kamarku, aku berpikir kenapa orang-orang bisa merasakan kekosongan? Kenapa perasaan itu tiba-tiba terjadi ketika aku memenangkan lomba? Ketika aku meraih satu dari banyak mimpi yang ingin kuraih? Hann, apa artinya menang kalau kamu kosong? Apa artinya menang jika tidak bisa melakukan apa yang kamu suka?Apakah aku harus mengalungkan medali di leherku sebagai simbol jika aku menyukai matematika, Hann? Perlukah itu?

Lagi, aku mencoba merenungkan soal keberadaan orang-orang. Adakah orang-orang bisa mengisi kekosongan yang hinggap pada seseorang, Hann?

Kalau memang benar bisa, cukupkah manusia mencukupinya?

Sekali lagi, Hann, keberadaan.

Kukira setiap orang punya makna keberadaannya masing-masing. Kalau sekalipun kamu menganggap keberadaanmu tidak diharapkan oleh siapa pun, sepertinya kamu salah. Aku berpikir kalau kelahiranmu adalah spesial bagi seseorang yang lain. Aku berpikir jika kelahiran manusia juga mempunyai tujuan lain. Mengisi kekosongan misalnya. Apakah kelahiranmu sia-sia, Hann? Sekarang aku percaya jika setiap orang adalah spesial bagi seseorang yang lain. Sekarang, aku menyadari itu.

Dan tahukah kamu, tepat hari ini, kamu dilahirkan. Ingatkah kamu, Hann? Jadi, aku berharap kelahiranmu tidak kamu anggap sebagai kesia-siaan belaka. Bagaimana mungkin ketika kekosongan mengerubungiku, aku menuliskan surat ini untukmu? Apakah kamu bisa menebaknya, wahai teman tersayang?

Membaca ini, ingin rasanya aku menaiki kapal Noah, berkeliling dunia, lalu menyelam ke dalamnya samudra dan berteriak. Aku juga ingin memberitahu semua cika-cika yang mengudara di angkasa, atau ikan-ikan di laut, dari yang paling kecil hingga yang paling monster di samudra. Aku ingin menaiki apollo 11 dan mendarat ke bulan.Menyiarkan kebahagiaan ini pada komet dan planet-planet yang mengambang, berteriak, biar menggema ke luar angkasa; memberitahu seluruh alam semesta.

Namun tak lama, aku menyadari satu hal selama kebahagiaan yang sedang memuncak ini berlangsung, seperti roket-roket yang melejit menuju angkasa, tiba-tiba saja roketku kehabisan dayanya, berhenti, jatuh, lalu berdebam di atas tanah. Meledak; seketika hancur berkeping-keping.

Teman?