webnovel

Bagian 15

Hann



Aku dibawa ke ruang interogasi oleh para penjaga itu. Sambil berjalan, aku mencoba menjelaskan pada mereka kalau aku bukan orang gila yang mau naik kereta dengan menerobos palang-palang besi itu demi tumpangan gratis. “Sama sekali tidak”, ujarku. Tapi mereka tak pernah mendengarkanku sedikit pun. Bahkan sekata pun tidak.

Awalnya mereka tidak memercayaiku. Tetapi setelah cukup lama kuhabiskan waktu di ruang introgasi, akhirnya mereka mau melepaskanku juga.

Aku bergegas kembali ke Zsigrid lagi. Membeli tiket, dan menunggu beberapa menit sebelum kereta datang dan pergi bersamaku lagi. Oh, sekarang aku punya sedikit jejak yang bisa kupertanggungjawabkan.

Aku kembali ke stasiun itu untuk yang… entah keberapa kalinya. Aku kemudian bertanya pada seorang petugas di sana, kusebutkan ciri-cirinya, dan untungnya ia ingat soal perempuan yang kujelaskan tadi. Kami hanya terpaut satu kereta, katanya. “Beberapa menit yang lalu, ia baru saja turun. Kulihat, dia menunggu di halte trem sana. Tujuan Verge,” tegasnya yakin.

Tanpa menghiraukan informasi ini, tujuan utamaku sekarang adalah ke Verge, seperti yang ditunjukkan sang petugas.

Di sana, aku melihat seorang lelaki tua membawa seikat tanaman berwarna putih, tinggi, dengan bunga seperti kemoceng. Banyak sekali. Pampas, aku tahu nama bunga itu!

“Bunga yang bagus,” ujarku padanya.

Lelaki itu hanya melirikku tak peduli sambil membuang pandangannya.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan pampas itu?” tanyaku penasaran dan sebuah trem berhenti di depan kami.

Tetapi lelaki itu tak menjawabnya. Ia masuk, dan aku mengikutinya. Kami punya arah yang sama. Tetapi dengan tujuan yang sama sekali berbeda.

“Pesanan pelanggan,” jawabnya setelah ia duduk dan kebetulan aku mengikutinya. Sepanjang jalan, kami berbincang, sebuah perbincangan yang retorik, tentu saja. Sampai aku memberanikan diri bercerita soal Nala padanya, mungkin saja ia tahu.

“Oh, aku tahu perempuan itu.”

Aku terlonjak. “Benarkah?”

“Beberapa kali ia sempat datang ke tokoku. Dia juga membantuku mengurusi tokoku,” tukasnya.

Nah, kuputuskan hari itu untuk ikut bersama si lelaki tua, yang nantinya kutahu jika namanya adalah Lunin, bersemoga, aku kembali bertemu dengan perempuan itu lagi melaluinya. Dan kuyakin, pertemuan kedua itu pasti ada, teguhku percaya diri. Ya, konyol memang. Seperti yang dikatakannya beberapa hari yang lalu, cinta yang bersemi selalu mendebarkan dan gila. Mengingat itu, seketika aku terkekeh.

Sekitar satu jam aku duduk dalam trem, dan kini aku tiba di sebuah pedesaan bernama Verge.

Lelaki itu tinggal di sebuah rumah berdua lantai. Walau begitu, rumah itu tidak luas, tidak juga megah, tidak punya taman, tidak ada kolam, dan tidak ada hal-hal lain yang lebih menyenangkan selain pohon ara di halaman belakang rumahnya.

Aku mematung ketika lelaki itu membuka tokonya. Tanpa tahu kenapa, tapi lelaki itu bergegas membuka tokonya, gelagatnya panik, seperti ada sesuatu yang penting dan mendesak yang belum sempat ia kerjakan.

Tiba-tiba ada hal majis yang datang setelah lelaki itu membuka pintu tokonya. Awalnya kukira itu berasal dari pohon ara di halaman belakang rumah, tapi apa yang terjadi, satu aroma muncul tanpa permisi. Aroma yang sejuk, damai, rileks; aku tahu ini adalah aroma bunga lavender yang menguar. Tetapi aroma lavender ini adalah aroma dalam rupa yang lain, yang lebih kuat, yang lebih murni, dan lebih tajam, lebih menyengat, lebih sengit, dan esensial. Atau mungkin, lebih daripada sekedar esensial saja. Wangi yang absolut!

Aroma-aroma itu menggumpal, tidak kabur, seperti helium yang terkurung di balon-balon udara. Ia merambat melalui gelombang-gelombang, diam di depanku, dan mendekam seperti sangkar. Ketika aroma-aroma itu masuk ke hidungku, saraf-saraf yang menegang seolah mendadak rileks. Tapi semakin lama aroma-aroma itu berjalan melewati hidungku, saraf-saraf di seluruh tubuhku seperti mendadak hilang. Layaknya kapas, ringan, dan aku seperti diterbangkan ke langit; melayang-layang di permukaan kumulunimbus, mencapai angkasa, dan rasanya, sayap-sayap tumbuh dipunggungku. Perasaan seperti ini! Perasaan yang seolah-olah seperti dikutuk menjadi seorang malaikat; sesingkat ketika aku langsung dimasukkan ke dalam surga tertinggi.

Aku membuka kedua mataku, mengendarkannya ke setiap sudut toko. Kulihat lelaki itu baru saja menutup sebuah toples berisikan beberapa tangkai lavender kering. Dan kukira, aroma yang kuhirup tadi berasal dari sana, tak salah lagi.

“Apakah kamu menjual semua bunga ini?” tunjukku pada bunga-bunganya.

“Tentu saja,” sahutnya.

“Termasuk lavender itu?” tanyaku.

Lelaki tua itu mengernyitkan keningnya. “Tidak!” tolaknya tegas.

“Aku punya cukup uang, jadi bolehkah aku membelinya?” tanyaku untuk ketiga kalinya.

“Sudah kukatakan aku tidak akan menjualnya, ‘kan? Apakah kamu tuli?”

Lelaki tua itu mendadak naik pitam. “Baiklah,” sahutku. “Tapi nanti aku akan kembali lagi menanyakan hal yang serupa,” kataku. Tiba-tiba saja aku menyukainya. Tiba-tiba saja aku tertarik padanya. Dan tiba-tiba saja aku ingin memilikinya.

“Dan jawabanku pun tak akan berbeda,” timpalnya.

Rupanya lelaki itu tidak peduli padaku. Apakah aku ada di sana atau tidak, itu tidak penting. Begitupun, aku malah diam mematung di depan tokonya, mengendusi bau yang kuat seperti menciumi bau dingin di kutub yang tak pernah habis.

Lalu sang penjual tiba-tiba naik ke lantai dua membawa toples berisikan lavendernya. Entah apa yang ia lakukan, tiba-tiba aroma lavender yang legendaris itu hilang perlahan.

Tak lama ia turun lagi sambil memegang punggungnya.

Lelaki itu sibuk merapikan bunga-bunganya. Mencerabuti daun-daun yang kering, mengganti air dalam ember yang dirasa sudah tidak lagi bersih sambil memegangi pinggangnya.

Aku memandangi bunga-bunganya dengan seksama. Dari bunga pampas dari ujung kiri sampai bunga nemophilia di ujung kanan. Tapi agendaku di sini bukan untuk memandangi bunga-bunga miliknya. Aku hanya menanti kedatangan Nala di sini. Aku juga sempat menanyakan soal Nala lagi. Tapi lelaki itu tak tahu kapan Nala akan kembali ke sini, jawabnya.

“Oh ya,” lelaki itu memulai. “Maukah kamu membantuku?”

Aku menoleh. “Membantu… apa?” Bahuku terangkat spontan.

“Punggungku tiba-tiba sakit, maukah kamu mengantar bunga pampas ini untuk pelangganku?” tawarnya.

“Hmmmm….,” aku menimbang. “Boleh, tak masalah,” jawabku.

Lelaki tua itu kemudian mengambil seikat pampasnya di ujung kiri dan menyerahkannya padaku. “Kamu ikuti saja jalan ini,” tunjuk lelaki itu ke jalan utama, “tak lama, nanti kamu akan menemukan rumah berwarna coklat susu. Berikan ini padanya, atas nama Anna, dari Lunin,” jelas lelaki itu.

Aku menaruh ranselku di tokonya lalu berjalan seperti yang dikatakan lelaki tua itu. Selang sepuluh menit, aku tiba di rumah berwarna coklat susu. Aku masuk ke halaman dan mengetuk pintunya, “Permisi, paket bunga dari Lunin,” pekikku lantang seperti kurir-kurir.

Satu sahutan terdengar, “Tunggu sebentar.” Suara itu berasal dari seorang perempuan muda, tentu saja. Derap langkah kakinya terdengar ketika ia berada di balik pintu. Suara derit muncul, dan pintu lekas terbuka. Seorang perempuan muda muncul dari balik pintu.

Sebelum sempat kuberikan pampasnya, aku merapikan ikatannya terlebih dahulu. Dan untuk memastikan jika aku memberikan bunga ini pada orang yang tepat, maka aku bertanya padanya, “Apakah ini dengan…” kemudian wajahku terangkat, “Alisa?”