1 ?Intro?

Raditya Orlando paham mood cewek mudah berubah-ubah. Dia terbiasa meladeni Kalila yang tiba-tiba minta dibelikan makanan manis saat datang bulan ataupun marah oleh hal sepele. Tetapi marahnya saat ini jelas bukan karena datang bulan. Lagipula periodenya sudah lewat dua minggu yang lalu.

Cewek itu menjaga jarak sekitar tiga meter dari Radit. Ia berlagak sibuk memainkan ponsel dan mendadak tuli akan dunia luar. Ia tidak memedulikan setiap panggilan dari Radit. Dia terlihat serius sekali padahal hanya membuka instagram dua detik, kembali ke layar utama, lalu membuka instagram lagi. Kalau saja waktunya lebih tepat, Radit sudah menyauti kegiatan tak bermanfaat temannya itu. Berapa lama lagi Radit harus bersabar sampai amarah Kalila mereda?

Saat menaiki bus untuk pulang, Kalila duduk di kursi untuk satu orang. Mengatakan secara tidak langsung agar Radit tidak duduk di dekatnya. Ia tetap berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Aura tidak enak menyelimuti Kalila bagai awan hitam, apalagi wajahnya. Suram sekali. Radit masih bersabar menunggu.

Setelah turun dari bus, Kalila berjalan di depan sementara Radit mengekor di belakang. Kalila masih menjaga jarak beberapa meter. Mereka sudah berteman sejak lama dan rumah mereka juga satu perumahan. Mereka terbiasa pulang-pergi bersama. 

Pada pertigaan jalan di depan mereka akan berbelok ke arah yang berlawanan. Sebelum itu, Radit berjalan cepat dan berhenti tepat di depan Kalila. Gadis itu menaikan alis sedikit karena kaget tiba-tiba Radit menghadangnya. Dia mencoba ke arah kanan namun Radit ikuti. Begitu pula ketika dia mencoba lewat arah kiri, Radit tetap menghadangnya juga.

Perilaku Radit membuat Kalila berseru ketus, "Kamu ngapain? Minggir sana, aku mau lewat!"

"Aku bakal pergi kalo kamu udah gak ngambek," jawab Radit tanpa ekspresi.

Kalila tidak menjawab. Dia sibuk mengendalikan emosinya agar tidak meledak saat itu juga.

"Kalila, jawab aku," kata Radit.

Kalila menghela napas berat. Tidak enak juga memendam kesal terlalu lama. 

"Kenapa kamu baru bilang kalo kamu mau pindah ke Australia? Kenapa juga baru bilang tadi padahal besok kamu udah berangkat?!" kata Kalila. Dia kesal sekaligus kecewa karena Radit terlambat memberitahunya.

"Aku mau kuliah di sana. Orang tuaku nyaranin lanjut kelas 12 di sana supaya bisa adaptasi dulu."

Banyak penolakan yang ingin Kalila sampaikan. Tetapi ia tidak mau egois dengan memaksa Radit tetap di Surabaya. Kalila tahu sejak dulu Radit selalu bermimpi berkuliah di Australia. Kalila tidak bisa mencegahnya. Apalagi jika itu keputusan orang tua Radit, Kalila tidak bisa berbuat apa-apa.

"Aku gak punya teman seperti kamu, Radit." 

"Aku tahu. Orang sepertiku ini langkah," Radit justru membalas dengan bercanda.

"Aku lagi nyoba serius, tahu! Jangan bercanda!" protes Kalila.

Radit menyengir. Setidaknya dia berhasil mencairkan suasana. 

"Kamu tahu kan aku gak punya banyak teman di sekolah?" kata Kalila.

"Ya, setelah ini kamu coba cari temen baru," kata Radit dengan entengnya. 

Padahal Kalila sudah menahan malu mengatakan kalimat-kalimat cringe seperti tadi. Tapi Radit masih saja belum paham maksudnya. 

"Kita sudah temenan bertahun-tahun, Radit. Gak ada yang bisa menggantikan posisi kamu. Kalo aku lagi stress, nanti aku cerita ke siapa? Terus kalau aku butuh bantuan, siapa yang bisa selalu nolong aku selain kamu?" tanya Kalila.

Selama ini Kalila selalu bergantung pada Radit. Setiap dia membutuhkan bantuan, Radit selalu sedia 24 jam membantunya. Saat Kalila membutuhkan bantuan atau teman mengobrol, Radit adalah orang pertama yang terpikirkan olehnya.

Radit memandang sahabatnya itu. Ia jadi tambah khawatir setelah Kalila berkata demikian.

"Belajarlah lebih mandiri. Jangan terlalu mengandalkan orang lain. Lagi pula aku gak pergi jauh, kita masih bisa contact-an," jawab Radit. 

"Australia kamu bilang gak jauh?" Kalila menaikan nada bicaranya.

Radit mendengus, "Lanjut sambil jalan aja. Nanti mamamu marah kalo kamu pulang kesorean."

Kalila mensejajarkan posisinya dengan Radit. Ia melirik jarum jam pada arlojinya yang terus berdetik. Rasanya Kalila ingin mengehentikan waktu agar hari ini tidak cepat berlalu, agar Radit tidak perlu pindah. 

Mereka berjalan lebih lambat dari biasanya. Masing-masing ingin mengulur waktu sebelum semuanya berakhir. 

Di tengah keheningan, Radit berdehem. Kemudian membuang muka sambil mengulurkan tangan ke arah Kalila.

"Mau gandengan tangan? Hitung-hitung nambah kenangan sebelum aku pindah?" Radit mengucapkannya dengan wajah setengah bersemu.

Mata Kalila berbinar-binar sesaat mendengar tawaran tersebut. Kemudian dia mencoba menutupi ekspresinya yang berlebihan itu dengan memasang tampang datar. Ia menerima uluran tangan Radit lalu menggenggamnya erat.

Radit menawarkan bergandengan tangan adalah hal yang langkah. Waktu kecil mereka sering bergandengan tangan. Hal itu menyenangkan karena Kalila jadi merasa memiliki seseorang yang dapat melindunginya dan dapat diandalkan. Namun seiring mereka bertambah besar, Radit jadi malu melakukannya terlalu sering. Menurutnya bergandengan tangan itu terlalu kekanak-kanakan. 

"Jangan terlalu memikirkan kepindahanku. Aku cuma pindah sampai lulus kuliah, setelah itu aku balik ke Indonesia. Aku juga bakal sering ngehubungi kamu," kata Radit.

"Janji ya?"

"Iya, janji."

Mereka saling bertatapan lalu tertawa ringan. Hanya berselang beberapa detik kemudian Kalila merasa berdebar dan hatinya menghangat. Reflek ia mengeratkan genggaman tangannya dengan Radit. Menyadarinya, Radit juga mengeratkan genggamannya. Seakan mereka tidak mau dipisahkan satu sama lain.

"Kamu teman terbaikku, Kal. Maaf aku baru memberitahumu tadi. Aku bingung gimana cara menjelaskan supaya kamu gak marah," kata Radit.

Kalila terkekeh, "Apapun yang mau kamu jelaskan, kamu tahu aku pasti marah, kan?" 

"Haha. Benar juga," Radit tertawa pelan.

Teman ya? Padahal Kalila mengharapkan lebih. 

Kalila ikut tertawa. Tertawa hambar.

Jika saja Radit tahu selama ini Kalila menyukainya, sebagai lelaki.

📽️🎞️🎞️🎞️

A Maze Called Friendzone

Labirin Bernama Friendzone

🎬Intro🎬

avataravatar
Next chapter