webnovel

8. AYO, KITA PULANG.

Nara turun dari dalam mobil setelah menarik dalam nafasnya. Pijakan kakinya terasa berat meski ia melangkah ringan teratur, bahkan suara derap sepatunya menyatu dengan keramaian gedung rumah sakit yang tetap penuh meski waktu sudah menunjukan dini hari.

Wanita dingin yang ahirnya melihat pelayan setianya bersama petugas rumah sakit, menghampiri keduanya.

"Mari," ajak petugas berseragam hijau itu lalu berjalan lebih dahulu, menjauhi keramaian dan naik ke dalam lift. 

Sesekali mata petugas menatapi pantulan wanita yang bahkan belum sekalipun mengeluarkan kata. Sementara ia yang sesungguhnya bisa menebak apa hubungan dua orang asing di belakangnya tidak bisa memandang rendah pria tua yang badannya masih terlihat gagah. Ia yang masih muda saja merasa kalah.

"Kami memang menunggu anggota keluarganya datang. Tapi, sampai hari ini tak ada yang menjemputnya." 

Mendengar itu, Iori mengangguk sementara sang majikan tetap rapat menutup mulutnya, "bagaimana dengan-"

"Oh, sudah diambil sejak hari pertama. Hanya saja mereka tak mau mengurus jenazah sang wanita," ucap pria berseragam itu menatapi pantulan wanita yang bahkan tak menunjukan emosi. Wanita itu hanya diam sementara dirinya terus bicara berdua dengan pria tua yang membuatnya berpikir--tahan banting sekali kakek-kakek ini menghadapi majikannya yang dingin dan seperti orang bisu.

Ding! Lift yang ahirnya berhenti terbuka, "mari," ucap petugas berseragam pada dua orang dewasa beda usia yang memang harus mengikutinya.

Iori berjalan mengikuti petugas muda yang akan membawa mereka ke kamar mayat, begitupun wanita dingin yang berjalan dalam bisu. Suhu dingin bahkan berhembus saat pintu kamar mayat yang dibuka dengan kartu akses, terbuka otomatis setelah bunyi BIP.

Iori bisa melihat langkah majikanya terhenti, sementara petugas yang membuka pintu berukuran satu meter persegi menarik tubuh wanita yang badan kakunya ditutupi kain putih. 

Iori memperhatikan petugas yang menangkupkan tangan seolah berdo'a ataupun menyapa. Entahlah. Tapi, apa yang dilakukan petugas muda itu membuat Iori mengangguk. Pria tua itu mendekat saat petugas menatapnya, seolah memberi Iori izin untuk mendekat. 

"Nona."

Panggilan Iori membuat tubuh Nara tersentak. Tapi, hanya disadari oleh mata tua yang begitu paham. Sementara, petugas di sampingnya masih menganggap wanita kaya itu begitu dingin bahkan wanita itu hanya diam saat tangannya menyingkap kain penutup wajah Cyntia yang tak lagi cantik ataupun enak dipandang. 

"Saya rasa cukup, Nak," ucap Iori mengerti maksud lelaki muda yang tampak mengharapakan majikannya menunjukan emosi.

Suara penuh ketegasan itu membuat petugas muda yang membuka kain tanpa peringatan itu malu--tidak seharusnya ia bersikap seperti itu, terutama untuk wanita muda yang mati gantung diri- hanya karena ia ingin melihat wajah dingin wanita kaya di samping Iori menunjukan rasa atau emosi.

"Ma-maaf."

Iori hanya mengangguk pada petugas muda yang kembali menutupkan kain pada wajah Cyntia yang kaku tak bernafas. Tapi, ucapan wanita dingin di samping Iori membuatnya diam.

"Bisakah tinggalkan kami sebentar?"

"Tapi...," ragu dengan jawaban yang ingin ia berikan, petugas itu menatap Iori yang mengangguk, entah kenapa melihat itu ia jadi tak ragu lagi, "saya akan menunggu di depan pintu."

"Terimakasih."

Ucapan wanita dingin yang suaranya bergetar membuat petugas dengan telinga tajam mengangguk. Ia berjalan dengan Iori menghampiri pintu, seolah tak ingin mendengar apapun yang akan diucapkan wanita dingin--tidak terlalu dingin- itu, ia membuka pintu yang kembali tertutup setelah berucap, "kalau sudah selesai saya ada di luar, ketuk saja pintunya."

Tak lagi mengharapkan jawaban dari wanita yang berdiri memunggunginya, ia pun keluar sementara pelayan tua itu tetap berada di dalam meski dekat dengan pintu. 

Nara menjulurkan tangan, membuka kain penutup tubuh kaku tanpa busana di hadapannya. Tangannya yang bergetar itu menyentuh tangan dingin adik yang tak lagi memberinya wajah bodoh dan wajah tidak tau malu seperti yang ia ingat.

Meski tak menangis, mata Nara panas, merasakan sedingin apa jemari sang adik, gadis bodoh yang ia usir dan tak ingin ia ketahui kabarnya.

Sementara, pelayan setia yang menatapi punggung Nara hanya diam. Mata tuanya tak lagi tersenyum begitupun mulutnya, apalagi melihat tanda-tanda membiru di tubuh kaku tanpa nyawa yang jemarinya sedang digenggam Nara.

Mata hazel Iori yang masih begitu tajam itu, meruncing. Ada kesedihan juga kemarahan yang terlihat saat ia menatap punggung sang majikan, wanita dingin yang memang tidak pernah diajarkan bagaimana berekspresi atau mengekpresikan apa yang ia rasakan.

Tapi, punggung Nara yang ia lihat detik ini membuat Iori mengepalkan tangannya tanpa suara.

"Ais, let's go home," ucap Nara pada tubuh kaku yang tak lagi menjawab. Dikecupnya kening Cyntia tak perduli pada bibirnya yang jadi dingin. 

Srrukk!

Bunyi kain yang ditutupkan lagi itu terdengar diikuti anggukan pelayan tua yang mengetuk pintu setelah mendapati tatapan gelap manik hitam Nara yang bahkan menambah kebekuan ruangan dingin yang suhunya 4° itu.

Nara, wanita dingin itu, membungkukkan badannya--hal yang belum pernah majikannya lakukan seumur hidup- bahkan membuat Iori yang jadi diam, hanya bisa menatapi sang majikan yang membuat petugas muda jadi berdiri kaku dan membungkuk lebih rendah beberapa kali.

Bahkan saat pijakan sepatu Nara terdengar meski mulutnya membisu, petugas muda itu masih menundukkan badan- lalu merasa heran sendiri dengan apa yang ia lakukan.

"Kami akan membawa pulang Nona Cyntia, segala keperluan administrasinya akan dibicarakan setelah ini."

"Eh-oh-baiklah," entah kenapa petugas muda itu jadi gugup, "ke mana kami harus mengirim jenazah?"

"Nanti akan kami hubungi. Tapi, kami harap hal ini tak perlu bocor pada media mana pun."

"Media mana pun? Tapi kasus ini sudah menggemparkan kota, Pak. Saya rasa itu akan sulit dilakukan."

"Kau tenang saja, anak muda, dan cukup menutup mulutmu," ucap Iori yang pandangan matanya begitu mengintimidasi.

'Damn, kupikir kakek ramah ini tak lebih menakutkan dari majikannya! Ternyata aku salah.'

Ia hanya bisa mengangguk dan saat ia mendengar siapa orang yang mampu membuat direktur rumah sakit tempatnya bekerja, turun tangan, sengaja meluangkan waktu. Mulut petugas muda itu bahkan menganga. Ia tidak percaya lalu berkata, "pantas saja. Sial! Seharusnya aku minta foto bersama untuk pamer."

Larson's sungguh nama yang membuat semuanya mungkin dan bisa--HARUS BISA.

*

Bocah berpipi tembem yang enak jika disentuh itu menatapi wajah terlelap wanita dingin yang masih belum bangun meski matahari sudah muncul. Mata bulat nan jernihnya menatapi wajah Nara begitu lekat.

"Onty, apa Onty lelah sekali?" tanya Joe begitu pelan lalu duduk dengan kepala bertumpu pada kasur sementara kakinya menyentuh lantai dingin. Tentu saja mata bulatnya terus menatapi Nara.

Tampaknya bocah kecil yang kakinya terus bergerak itu mau menunggu sampai wanita dingin di depannya bangun, tak perduli berapa lama. 

Alan yang melihat pintu kamar Nara terbuka sedikit, menghampiri pintu yang lalu ia dorong pelan karena matanya mendapati bocah kecil yang bahkan belum sarapan. Bokong kecil Joe terus bergerak lucu, tak sadar sang ayah mendekat.

"What you doing?"

Kaget. Tentu. Bahkan mata bermanik ash milik Joe yang sewarna dengan sang ayah melebar begitu besar- mendapati kepala sang ayah melakukan hal sama. Bersender pada kasur!

"Ha ha ha," tawa pelan Alan membuat bocah kecil yang sangat kaget itu berteriak protes-kalau saja jemari Alan tak menutup mulut kecil yang cemberut lalu mengangguk saat Alan melirik wajah Nara yang tertidur.

"Kesalnya di luar saja, ok? Atau kau akan membuat Onty Nara-mu bangun."

"Ng!" Joe hanya mengangguk lalu menjulurkan tangan kecilnya minta digendong.

"Kenapa kau seberat ini, padahal belum sarapan?"

Joe hanya tertawa geli dalam gendongan sang ayah yang berjalan ke luar. Mata Alan menoleh pada halaman kosong tanpa mobil yang ia pikir hilang, "apa semua pelayan memiliki batere di dalam tubuh mereka?" 

"Seperti keretaku?" tanya Joe menunjuk kereta hadiah dari onty Nara yang melaju begitu Joe memencet tombol warna merah- "ng~ ... kuning?" 

"Hijau, Darling," jawab Alan menemani Joe duduk di atas lantai. Memperhatikan kereta yang melaju.

"Time to eat your breakfast, Joe."

Bocah kecil itu mengangguk lalu berdiri menggandeng erat telunjuk Alan dan mulai berceloteh riang. Khas Joe sekali, cerewet dan semua hal jadi cerita panjang.

"Daddy."

Alan menoleh pada panggilan bocah yang baru memakan serealnya separo. Ia mengangkat alisnya tinggi menatapi sang putra yang memegang sendok plastik bergambar super hero kesayangannya, "onty Nara pasti lelah sekali ng..., apa besok onty akan lelah lagi?"

Tangan Alan terjulur mengusapi kepala kecil Joe, "tomorrow is tomorrow, Joe, jadi kita harus melihat besok."

"Ng, tapi- tapi aku mau main sama onty, Daddy."

Mendengar itu Alan hanya bisa tersenyum lalu memandang pintu tertutup yang membuatnya menarik nafas dalam.

'Kuharap apapun masalahmu kau akan baik-baik saja, nona Larson.'

Sementara di tempat lain.

Pria tua yang badannya masih tegap, masuk ke dalam rumah yang dipasangi garis polisi. Seorang petugas berseragam menemaninya seperti permintaan--bukan! Tapi, perintah- sang kapten untuk menghormati pria asing yang menatapi tiap sudut rumah yang seluruh penghuninya pergi.

"Well, it's a crime scene. Apa yang diharapkan dari rumah ini?'

Mata tua nan awas manik hazel Iori, menatapi potret-potret keluarga yang membuat dahinya berkerut karena ia sama sekali tidak melihat potret Nona Ais di antara potret lain yang jumlahnya tak sedikit.

Bahkan di dalam foto keluarga yang ia yakini baru diambil, mengingat rumah ini ada di dalam sana. Iori tak melihat ada potret Nona mudanya ataupun anak yang seharusnya sudah berusia 3 tahun 9 bulan 23 hari jika perhitungannya tepat. 

Sampai mata tajam Iori mendapati sosok asing yang didekap begitu erat oleh tangan pria yang seharusnya mendekap tubuh Nona mudanya. Ais aka Cyntia.

Namun tangan Hans justru mendekap mesra wanita--tidak! Perempuan yang pakaiannya begitu berani menunjukan lekuk tubuhnya. Perempuan dengan rambut pirang itu, bahkan mendekap erat tangan Hans seolah mereka sepasang kekasih.

Potret keduanya pun tak hanya satu. Bahkan, perempuan berambut pirang itu berada dalam potret-potret lain bersama anggota keluarga Hans yang lain, Barbara-ibu Hans, Rudy-ayah Hans, Catlyn-adik Hans. 

Namun, tak ada satu lembar foto pun dalam rumah ini menyimpan potret Cyntia dan anak yang pasti sudah besar.

Sampai langkah Iori menapaki ruangan yang seperti gudang. Tapi, ia bisa melihat kasur keras di antara tumpukan barang bahkan ada koper-koper yang ia kenali.

"Bolehkan?" tanya Iori meminta izin petugas yang mengangguk. Tak bisa menolak karena itu juga permintaan sang kapten. 

"Silahkan," jawab petugas berseragam rapi, matanya menatapi tiap gerakan Iori, dan sekarang pria tua yang sejak tadi hanya menatapi tiap sudut rumah tanpa terkecuali itu, menjulurkan tangan. Membuka koper bermerek yang isinya membuat pria tua itu diam. 

'Apa yang sedang ia lihat?' tanya petugas berseragam itu tanpa suara.

Sementara pria tua yang ia tanyai dengan cekatan membuka lagi koper lain yang isinya Iori pandangi, lalu menatap kasur keras di antara tumpukan barang dalam ruangan tanpa jendela. 

"Mereka ... tidur di sini?"

"Ya? Maksud saya maaf," jawab petugas yang menatapi bodoh pria tua itu, lalu mengangguk, "benar, Tuan. Nyonya Cyntia dan putranya tinggal di ruangan ini."

Manik mata hazel Iori yang menatapnya jadi terasa menakutkan, bahkan membuat bulu-bulu halus petugas itu berdiri dan merasa bersalah atas apapun yang bahkan tak ia mengerti.

Ia benar-benar merasa bersalah untuk alasan yang bahkan tidak ia pahami. 'Kapten, kenapa aku yang kau pilih?'

Iori menatapi tiap sudut ruangan yang bahkan jauh lebih kecil dari kamar mandinya. Bukan masalah tapi, ia memang menyukai ruangan luas yang bisa membuatnya bergerak bebas dan ruangan sempit ini? Bahkan harus ditinggali nona mudanya berdua bocah yang- ia bahkan tak ingin mengucapkan apa yang ia pikirkan. 

Kecuali sekarang ia jadi tahu anak yang Ais lahirkan adalah laki-laki.

Sampai, matanya menatapi barang yang ia kenali. Barang yang seharusnya tak ada di antara barang-barang berisi baju-baju kecil dan tipis anak lelaki. 

Greett!

Tangan Iori mengepal kuat syal miliknya, syal yang ia pakaikan pada bocah kecil yang memakai baju tipis di balik jaket mahal kebesaran di tubuh kecilnya. Seluruh dirinya mengingat bocah kecil bermata biru yang menempelkan badannya seakan ingin menembus etalase. 

"Di mana?" 

"Ya?" Sekali lagi jawaban bodoh keluar dari petugas berseragam yang bulu-bulu halusnya berdiri, mendapati tatapan pria tua yang di tangannya memegang syal dengan tangan bergetar. Menahan emosi.