webnovel

12. TUBUH KAKU MEMBISU

"Aku tak perduli dengan penilaianmu, Carter. Dengan uang yang ia miliki anak itu akan bisa diperbaiki."

Mendengar itu Carter menatap nyalang sang direktur, "Rei bukan barang rusak yang butuh perbaikan, Pak Direktur. Ia anak yang terluka karena apa yang sudah ia lihat dan alami."

"Apa bedanya disembuhkan dengan diperbaiki, Carter? Manusia yang terluka akan terus hidup dengan lukanya sampai mati. Apalagi bakal manusia yang bahkan tidak menyadari ibu dan ayahnya sudah mati meski ia jadi saksi mata dan sekarang jadi bisu."

"Rei hanya belum siap bicara, Pak Direktur, dengan penanganan yang tepat dan kesabaran ia pasti bisa mengeluarkan suaranya lagi dan wanita itu, saya rasa ia terlalu dingin dan kaku untuk bisa merawat Rei."

"Sebenarnya apa masalahmu, Carter?" Sang direktur mendecakkan lidahnya tak suka, mungkin karena terlalu sering melihat anak-anak bernasib malang, empati pria bertubuh tambun ini jadi kurang atau bahkan mati rasa, "asal kau tau, wanita itu bisa melakukan semua dengan uang yang ia miliki. Jadi, simpan pendapatmu. Anak itu akan mendapatkan semua yang bisa diharapkan manusia dengan tinggal bersama nona Larson karena tak ada yang mau mengambilnya. Rei anak yang beruntung karena hidupnya akan berkecukupan setelah ia meninggalkan gedung ini."

"Anda tau uang bukan solusi untuk Rei saat ini. Ia butuh pendamping yang mau membimbingnya-"

"Huh! Membimbing?" Sang direktur mendengus, "kau pikir siapa nona Larson? Dengan uangnya ia bisa menemukan pembimbing terbaik dari seluruh dunia dan mereka akan mengantri hanya untuk melayani bocah itu."

Carter yang siap berucap langung disela, "kecuali kau mau merawatnya sendiri. Tapi, bahkan kau tak bisa membuat anak itu bicara sepatah pun sampai hari ini."

Cklek! Untaian kalimat yang sudah siap Carter layangkan terhenti saat pintu terbuka.

Dokter muda itu jadi diam saat melihat jemari kecil Rei menggandeng erat tangan wanita dingin yang melangkah diikuti sang pelayan yang menutup pintu setelah keduanya keluar.

Sang direktur langsung berlari menghampiri, sementara Carter tak perduli seberapa dalam punggung direkturnya yang memang suka menjilat itu membungkuk dan tersenyum. Entah berapa banyak dolar yang pria tambun itu dapatkan dari kasus ini-- tidak, tapi dari wanita dingin itu.

"Anda sudah selesai, Nona?"

"Ya." Singkat Nara menjawab lalu mengikuti langkah pria tambun yang senyumnya begitu lebar.

"Mari, biar saya antar sampai depan."

"Tunggu!" Seru Carter menghampiri wanita dingin yang menunggu lift terbuka. Ia langsung menjajarkan kepala dengan Rei yang tangannya menggandeng tangan Nara.

Entah apa yang dibisikkan Carter pada Rei sampai bocah kecil itu mengangguk di balik--syal hangat yang menutupi sebagian hidung kecil Rei. Mata Carter sedikit membesar saat menyadari tubuh Rei sudah terbungkus jaket hangat dan syal lembut juga penutup kepala. Bahkan tangannya terbungkus sarung tangan lembut yang begitu pas di tangan kecil Rei.

Carter mendongak menatapi wanita berwajah dingin yang juga memperhatikan. Sesaat mata mereka bertemu dan entah kenapa ia merasa menyesal. Namun, menilai adalah salah satu tugas Carter. Apalagi untuk orang yang akan membawa bocah dengan jiwa terluka di hadapannya yang sama sekali belum pernah mengeluarkan suara sejak tiba di rumah perawatan mental tempatnya bekerja ini.

Carter bahkan tak ingin berucap sedalam apa luka menganga yang ada dalam jiwa Rei dan bocah kecil ini akan selamanya hidup dengan luka itu. Selamanya!

Jadi, menilai wanita dingin yang tangannya sedang bergandengan dengan Rei adalah hal wajar dan harus ia lakukan. Meski Carter jadi menyesal sudah menilai Nara buruk hanya karena ia memancarkan aura dingin yang tak terbantahkan.

Carter berdiri menjulurkan tangan, "jika anda memiliki pertanyaan, silahkan hubungi saya."

Nara menatap pria yang tangannya ia jabat beberapa saat lalu mengangguk, "terimakasih, Dokter Carter."

Carter terkejut merasakan jabatan tangan Nara, 'apa aku sudah mengenalkan diriku?'

Tangan Carter terus di udara sampai suara lift yang terbuka terdengar

PING!

Ia terlihat sedikit malu saat Iori membungkukkan badan lalu menutup pintu lift. Pandangan Carter yang bahkan tak menyadari kapan Nara melepaskan jabatan mereka, terus menatap ke dalam lift yang ahirnya tertutup. Tapi, bukan Rei yang ia lihat, melainkan wanita dingin yang tangannya terus digandeng Rei.

*

"Aku tak pernah merasa selega ini selama hidupku," ucap sang direktur menghembuskan nafas keras dan langsung duduk di kursi kebesarannya itu, "orang yang menghubungiku tak mengatakan nona Larson akan datang sendiri menjemput anak itu."

Carter hanya diam pada ucapan sang direktur yang sengaja memanggilnya, "kuharap kau tak mengatakan pada siapapun anak malang itu diambil keluarga Larson, Dokter Carter." Carter masih diam di tempatnya duduk karena ia tahu sang direktur masih belum selesai bicara, "atau kita akan tamat."

Carter tak perduli dengan kalimat tamat sang direktur. Ia cukup mengerti, meski setelah keluar dari ruangan sang direktur yang memberinya peringatan, dokter muda itu langsung memeriksa ponsel.

Mencari tahu siapa wanita dingin yang mengambil Rei. Walaupun tak banyak yang ia temukan kecuali ia jadi yakin, potret yang diambil dari jarak jauh dalam salah satu artikel yang ia baca adalah Narasi Jinya Larson. Wanita sama yang jabatan tangannya masih bisa ia rasakan.

*

Manajer toko yang wajahnya jadi bingung itu menatap takut-takut wanita dingin yang berdiri di depan counter, "ma-maaf, Nona. Tapi kereta mainan yang anda minta sudah tak tersedia."

Bukannya merasa lega pria paruh baya itu justru merasa makin takut saat Nara hanya diam, "kereta yang Nona beli malam itu adalah koleksi terakhir dari pemilik toko yang merancangnya sendiri."

"Ah."

Mendengar itu manajer toko makin ciut nyali, 'apa artinya ah? Apa aku akan kehilangan pekerjaanku? Bagaimana dengan cicilan rumah baruku? Apa aku harus menghidupkan orang mati agar ia mau membuat kereta sialan itu lagi? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?'

Nara menatapi bocah kecil yang masih terus menggandeng tangannya. Bahkan saat di dalam mobil Rei sama sekali tak melepas tangan Nara. Entah apa yang sedang dipikirkan wajah dingin yang memang sangat sulit dibaca ini. Sampai ia menarik nafas lalu menjajarkan wajah dengan bocah kecil yang menatapnya dalam diam.

"Keretamu masih dibuat, apa kamu mau menunggu, Rei? Atau kita beli kereta lain?"

Mendengar itu mata manajer toko langsung membulat kaget, 'Nona, sebanyak apapun uang yang dimiliki Larson kau tak akan bisa menghidupkan orang mati!' tapi itu tentu tak akan pernah ia katakan. Apalagi pada wanita dingin yang mengajak bicara bocah yang belum bicara apapun setelah masuk kedalam toko. 'anak ini tidak bisukan? Lagipula siapa dia?'

Rei yang menatap wanita asing di hadapannya ini menoleh pada tempat kerata mainan yang sekarang sudah digantikan dengan boneka beruang besar. Tangan kecilnya yang tak sadar meremas jemari Nara, membuat Nara mengangguk.

"Kalau begitu kita akan tunggu keretamu."

"APA!?" Seru menejer toko dan cepat-cepat menutup mulut. Ia seolah bertanya iblis mana yang akan wanita dingin itu ajak kerja sama tapi, wajahnya langsung menatap bodoh saat mendengar percakapan Nara dan Iori.

BLUE PRINT!!

Sejak kapan ia melupakan dua kalimat itu. Dan tentu saja salah satu putra ataupun putri sir Arthur yang sudah wafat tiga tahun lalu pasti mewarisinya. Mungkin, mereka akan meminta harga yang sangat tinggi saat tahu siapa yang menginginkan blue print kereta mereka. Namun, apa yang tidak bisa dilakukan keluarga Larson?

Manajer toko yang wajah bodohnya kembali seperti semula, menatap bocah kecil yang suaranya masih belum ia dengar. Ia lalu membungkuk, membalas salam Iori yang membukakan pintu untuk sang majikan dan anak kecil yang membuat ia penasaran, "siapa anak itu? Tidak mungkin anak nona Larson, bukan?"

Namun, manajer toko cukup tahu diri untuk tidak mencampuri apa yang bukan urusannya. Apalagi urusan itu menyangkut Narasi Jinya Larson. Wanita dingin yang bisa memberikan surga dunia bagi siapapun juga neraka kepada yang ia mau.

"God! Iori benar-benar lelaki bermental baja bisa hidup bersama nona Larson sekian lama."

*

Rei hanya terus melangkah bersama wanita asing dan pria tua yang wajahnya terasa tak asing. Pria tua itu selalu membuka dan menutup pintu, berjalan lebih dulu, bahkan memanggilnya tuan kecil. Sementara wanita asing yang tangannya ingin terus ia gandeng lebih banyak diam mendengarkan ucapan pria tua yang mudah sekali tersenyum. Rasanya pria tua itu selalu tersenyum setiap Rei menatapnya.

"Kita sudah sampai, Tuan Kecil."

Rei menatap pria tua yang turun lebih dulu, membukakan pintu agar wanita asing yang tak menolak ia gandeng turun bersamanya. Mata Rei sama sekali tak tertarik pada bangunan besar yang ia masuki. Ia tak tertarik pada apapun.

"Selamat datang."

Bahkan sambutan yang diberikan orang-orang yang menundukkan kepala dan badan mereka, tak Rei perdulikan. Ia hanya diam menggandengkan tangan wanita asing yang membuatnya merasa aman. Meski bocah kecil ini belum paham apa maksud 'aman' yang ia rasakan.

Rei hanya terus melangkah bersama Nara yang ahirnya berhenti berjalan di ruangan besar dengan aroma wangi, "kenapa hanya berdiri? ayo duduk."

Untuk pertama kalinya setelah keluar dari gedung yang bau obat, Rei melepas genggaman tangannya dari tangan Nara. Ia menatapi ruangan luas yang lantainya begitu mengkilap lalu melangkah mendekati meja dengan sofa empuk warna biru.

"!" Nara hanya bisa diam melihat Rei langsung duduk di atas lantai dingin meski penghangat ruangan menyala. Sementara sofa empuk di sampingnya tak Rei perdulikan seolah apa yang ia lakukan adalah hal yang sangat biasa, begitu alami.

Badan kurus Rei yang cahaya matanya hilang bahkan duduk begitu nyaman di atas lantai keramik dingin itu, tidak melihat perubahan wajah dua manusia dewasa yang ada dalam satu ruangan bersamanya.

"Tuan Kecil," Iori yang duduk di hadapan Rei menunjukan senyum, "di bawah dingin, sebaiknya kita duduk di sofa itu, bagaimana?"

Nara yang masih berdiri di tempatnya hanya bisa memperhatikan Rei menatapi sofa yang ditunjuk Iori. Tatapan Rei begitu ragu, seolah perkataan Iori adalah hal yang sangat luar biasa dan tak pernah bocah kecil itu dengar.

Iori yang tersenyum menjulurkan tangannya pada Rei yang ragu seolah sofa biru nan empuk itu adalah tempat terlarang yang tidak boleh ia sentuh apalagi duduki.

Rei hanya menatapi sofa sampai Iori yang tangannya tersambut duduk lalu menepukkan tangannya pada permukaan sofa yang lembut, "kemarilah, Tuan kecil. Tidak apa-apa untuk duduk di sini, tidak akan ada yang memarahi anda karena duduk di sofa."

Mata hitam pekat Nara makin menggelap melihat seragu apa Rei yang akhirnya duduk. Bahkan manik berwarna biru itu seolah kaget merasakan tempat yang ia duduki. Sampai suara ketukan pintu terdengar membuat Rei kaget dan langsung turun lalu duduk kembali di atas lantai dingin yang membuat Nara tertegun.

Nara benar-benar tak mampu berucap, kepalanya yang selalu bekerja itu seolah jadi kosong seketika melihat Rei yang duduk kembali ke tempat awal setelah mendengar pintu diketuk. Sementara Iori berjalan membuka pintu untuk pegawai hotel yang datang membawa makanan juga sup hangat untuk Rei.

"Terimakasih," suara Iori serasa jauh begitupun saat pelayan itu mendorong troly berisi makanan yang ia tata di atas meja makan, "Tuan Kecil, ayo kita makan sebelum sup anda dingin."

Mendengar itu Rei berdiri tapi, seperti tadi ia langsung duduk di atas lantai tepat di samping kursi meja makan.

Bocah kecil itu seolah menunggu. Tapi menunggu apa? Menunggu makanan? Menunggu ada yang meletakan makanan di atas lantai? Atau ia menunggu seseorang?

Iori yang tau sang majikan sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, menarik nafas dalam saat Rei yang duduk di lantai hanya diam. Pelayan tua yang sudah melihat isi rumah tempat Rei tinggal, menghampiri bocah kecil yang menatapnya melepaskan syal melingkar yang dikenakan Rei, "anda akan sulit makan jika masih memakai syal ini, Tuan Kecil."

Rei hanya mengangguk bahkan ia membiarkan Iori melepas jaket dan sarung tangan juga penutup kepala yang rasanya tidak besar seperti yang selalu ia kenakan, lalu duduk kembali di atas lantai.

Iori menurunkan makanan yang ada di atas meja, ia meletakannya di depan Rei yang menatapi dirinya, "Tuan kecil, anda ingin makan apa?"

Rei hanya diam, ia tidak pernah mendengar orang lain menanyakan hal itu kecuali sang mommy. Wanita yang-- tubuh Rei langsung kaku. Ia yang sudah diam jadi benar-benar bisu. Seluruh tubuhnya membeku. Rei seolah jatuh dalam pikirannya sendiri. Sampai ia merasakan sentuhan di kepala. Usapan lembut yang membuat Rei kembali.

"Apa Tuan Kecil suka sup jagung?"

Rei menatapi pria tua yang terus tersenyum. Ramah, menenangkan, tidak memaksa dan hanya menunggu.

Rei yang diam lalu mengangguk saat tangan Iori menunjuk sup dalam mangkuk yang masih mengepulkan asap, "Nona."

Nara yang berdiri mematung menatap pelayan tua yang menepuk lantai, "duduklah bersama kami dan makan bersama."

Nara yang diam tetap menutup rapat mulutnya meski langkahnya maju, setelah melepas heel yang ia pakai Nara duduk di samping Rei yang memperhatikan dirinya. Iori yang melihat sang majikan tetap memaksakan kakinya meski duduk kaku tak terbiasa, tersenyum, "anda ingin makan apa, Nona?"

Meski sudah hafal kebiasaan makan sang majikan, Iori tetap bertanya.

"Beri aku sup," jawab Nara memperhatikan bocah kecil yang tampak ragu menatapi semangkuk sup jagung yang sudah Iori sediakan, "apa kamu ingin makan sup lain, Rei?"

Rei mengalihkan pandangannya, ia menatap Nara yang menunggu, bocah kecil yang suaranya tak keluar itu menggeleng, "kalau begitu makan supmu sebelum dingin."

Rei mengangguk dan memegangi sendok sup tapi tetap tak menggunakan sendok. Ia menunggu.

"Silahkan dimakan, Nona," icapan Iori membuat Nara yang memandangi Rei, memegang erat sendok di tangan lalu menarik nafasnya yang terasa sesak.

"Let's eat, Rei," ajak Nara pada Rei yang baru menyuapkan makanan ke dalam mulut kecilnya setelah Nara menyendok sup dan memasukannya kedalam mulut.

Tak ada emosi yang bisa dibaca dari wajah Nara yang bahkan tak merasakan manisnya sup jagung yang sedang ia makan. Numun, Iori tau majikannya sedang sangat menahan amarah.

Pelayan tua itu mengangguk saat mata hitam pekat Nara menatapnya. Iori lalu berdiri meninggalkan sang majikan yang punggungnya bahkan terasa menyesakan untuk dipandang, di sampingnya duduk anak kecil yang kehilangan suara berkat apa yang ia lihat, yang ia dengar, yang ia saksikan.

Iori membungkuk lalu menjauh dengan posel di tangan.

Nara tahu, adik bodohnya tidak akan mungkin mengakhiri hidupnya sendiri apalagi ia mati setelah membunuh Hans. Jikapun, apa yang dikatakan polisi benar, pasti ada hal yang sangat besar sampai Ais melakukan apa yang ia lakukan dan wanita dingin ini harus tahu apa yang sesungguhnya terjadi juga kehidupan macam apa yang dijalani Ais setelah terusir tanpa kesempatan kembali.

Narasi Jinya Larson akan mencari tahu jawaban dari tanyanya, sekalipun ia tak akan mungkin lagi membangunkan Cyntia ataupun Hans yang sudah mati.

*

Drrttt....drrttt...!

Ponsel yang hanya bergetar di atas meja itu diamati Carter. Di dalam layar tertera nomer yang tidak ia kenal. Setelah berpikir itu bukan nomer salah satu kekasihnya setelah melihat betapa istimewanya nomer itu, dokter muda yang jam kerjanya sudah usai dan sedang berkemas, mengangkat ponsel yang masih berdering, "hello?"

"Selamat siang, Dokter Carter. Saya Iori pelayan Nona Larson. Can we have your time?"