webnovel

1. ADIK YANG TERUSIR

 Wanita muda itu, duduk dengan kepongahan meski hatinya sakit tak terperi. Batinnya masih meyakinkan diri, ia baik-baik saja, ia sudah tak merasakan apapun, baik untuk adiknya yang sedang menatapinya dengan wajah bodoh, ataupun ibu tirinya yang memasang wajah masa bodoh.

Dua perempuan yang hadir dan merusak segala yang ia percayai itu, sungguh tak tau malu, tak punya malu, tak memiliki rasa malu!

Bagaimana mungkin, dua perempuan  yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya ini, merusak segala kepercayaannya yang memang tinggal sisa!

Bagaimana mungkin, dua perempuan yang bahkan tak menunjukan penyesalannya ini, masih bisa berdiri tanpa menunjukan urat malu mereka sedikitpun!

Bagaimana mungkin--Bagaimana mungkin dan terus bagaimana mungkin yang ujungnya sama saja! 'both of then have no Shame!'

Sampai, wanita muda yang tak mau menunjukan ekspresi kalahnya ini, mengangkat wajahnya tinggi-tinggi setelah menarik nafas yang sesungguhnya begitu sesak, begitu menyakitkan, lalu berubah begitu tak terasa saat ia sadar, dua perempuan di hadapannya ini memang tak pantas mendapat apapun dari dirinya.

"Seharusnya, aku mengusir kalian dari dulu."

Suara itu terdengar begitu tenang, begitu dalam, begitu tegas, begitu-- dingin. Sampai membuat dua perempuan dihadapannya itu, mulutnya menganga dan makin lebar saat mendengar kalimat lanjutan yang bahkan tak menyisakan celah untuk dibantah. Tak secuilpun!

"Kuharap, saat aku pulang kalian sudah membawa apapun yang ingin kalian bawa dari rumahku."

"A-apa maksud kakak, Mom?" Tanya gadis bodoh yang bahkan tak menyadari kesalahan apa yang sudah ia perbuat.

Tapi, bukannya menjawab tanya sang putri, perempuan paruh baya yang wajahnya masih kencang berkat perawatan super mahal itu, menatap balik dengan tatapan menantang pada wanita muda yang tak sekalipun ia anggap putrinya. Tak sekalipun!

"Kau pikir, kami takut tak lagi mendapat sokongan darimu, hah?" begitu angkuh perempuan paruh baya itu berucap, "aku dan putriku akan baik-baik saja tanpa bantuanmu. Apalagi, sekarang ada janin yang sedang tumbuh dalam rahim putriku."

Perempuan paruh baya itu, mengangkat ujung bibirnya tinggi. Mengejek. Merendahkan. Bahkan, begitu senang melihat sorot mata wanita muda yang baru saja mengusirnya menunjukan ekspresi lain.

Terlukakah wanita muda itu? Seharusnya begitu, karena memang hal itulah yang diharapkan wanita paruh baya yang menggebrak meja dan nyalang menatap anak dari suaminya yang sudah lama mati.

Brak!! Meja yang tak bersalah sedikitpun itu, tak bergeming meski apa yang ada diatasnya bergetar. Begitupun, kepala pelayan yang rambutnya sudah bercampur uban. Tenang, diam, memperhatikan.

Memperhatikan wanita muda yang duduknya tak berubah sedikitpun, meski pelayan setia itu tahu, sedang seburuk apa rasa sang majikan detik ini, hari ini, saat ini. Tapi, wanita muda yang sikap dan sifatnya jauh lebih dewasa dari usia itu, begitu pandai membawa diri. Hal yang memang harus ia miliki sejak usia dini, bahkan sebelum ia lancar bicara.

Wanita muda itu, wajahnya tak menunjukan ekspresi apapun kecuali kesombongan yang ia pertontonkan pada perempuan paruh baya tak tahu malu juga putrinya yang masih tak mengerti.

"Tentu saja kau tak perlu sokonganku, Mother. Saat kau bisa mencari pria macam ayahku yang mau menampung kalian," tak perduli pada rasanya, wanita muda itu melanjutkan ucapan, "pria seperti ayahku yang hanya perduli pada isi dalam celananya, tak perduli wanita macam apa yang ia tiduri."

BRAKK!! sekali lagi meja itu bergeming mendapat pukulan tangan terawat wanita paruh baya yang tak lagi bisa menjaga amarahnya. Sementara, pelayan setia yang hendak mendekat mundur lagi saat tangan sang majikan terangkat. Ia patuh tanpa kata, kembali pada tempatnya semula. Memperhatikan dalam diam.

Perempuan paruh baya yang dipanggil 'mother' itu, menatap tajam wanita muda dingin yang tak memiliki hubungan darah setetes pun dengannya. Wanita muda yang bersikap seakan dirinya tak penting, bukan siapa-siapa kecuali istri dari sang ayah. Lelaki bodoh yang akan luruh dengan ucapan manis dan sentuhan penuh perhitungan pada selangkangan dan perempuan paruh baya itu, begitu pandai memainkan jari dan mulutnya di sana. Dalam selangkangan pria yang hanya hidup untuk memuaskan segala dahaga wanita paruh baya ini, sampai pria itu mati.

Namun, pria yang mati itu tak meninggalkan apapun karena pria kaya itu, memang tak meliki hak atas apapun dari gemerlap dan Kilauan yang selalu perempuan paruh baya itu damba seumur hidupnya.

Perempuan paruh baya ini, sungguh-sungguh 'gold digger' yang terjebak pada apa yang tak bisa membuatnya lari karena itu, ia bahagia mendengar ucapan wanita muda yang wajahnya sama sekali tak berubah meski ada sorot kemarahan di sana. Namun, hanya sesaat dan itu sama sekali tak membuatnya puas.

"Kau tau, Nara. Kau harus belajar menurunkan egomu supaya tak akan adalagi pria yang meninggalkanmu untuk wanita lain."

Duri! Itu yang ingin ia tancapkan pada tubuh tenang yang bahkan tak bergeming. Meski, perempuan paruh baya itu kini jadi bertanya sedingin apa hati anak dari suaminya yang sudah mati ini?

"Mungkin, kau bahkan harus belajar dari adikmu ini," seringaian menyebalkan itu membuat pelayan setia menarik dalam nafasnya, "lihatlah, Nara. Adikmu begitu manis, bisa bermanja, dan membuat lelaki berpikir untuk melindunginya juga merasa dibutuhkan. Sesuatu yang tak ada padamu, huh!"

Dengusan penuh duri itu, keluar juga. Ejekan yang bahkan terpancar jelas dari seluruh tubuh wanita paruh baya yang menyentuh pundak putrinya yang tersenyum mendapat pujian lalu ikut menatap Nara, wanita muda yang mengeratkan genggaman tangannya pada ucapan yang akan terlontar dari bibir istri ayahnya ini. "Pantas saja tak ada yang ingin tinggal dengan gadis dingin sepertimu."

"Aku tak butuh lelaki yang merasa terintimidasi dengan egoku, Mother. Kurasa cukup ayahku saja yang seperti itu," ucap Nara menunjukan senyum meski matanya menatap dingin dan memberi isyarat pada pelayan setia yang mengangguk lalu maju, "pastikan tak ada sedikitpun barang mereka yang tertinggal di rumahku, Iori."

Iori, sang kepala pelayan, mengangguk penuh khikmad pada ucapan sang majikan, Wanita dingin yang menatap adiknya, si gadis bodoh yang mau saja dimanfaatkan ibunya sendiri. Entah, apa yang sedang Nara pikirkan saat mata hitam dengan pinggiran kecoklatan itu menatap perut sang adik yang masih begitu rata dibalik baju tanpa lengan yang menempel begitu pas di badan mungilnya itu.

"Kaka-"

Tapi, belum sempat ia berucap, Nara sudah berjalan meninggalkan ruangan yang bahkan tak mau tersenyum pada kebahagiannya. Gadis bodoh itu, bahkan tak menunjukan penyesalan sedikitpun karena ia mengandung benih tunangan sang kakak yang punggungnya bahkan terlihat ... entahlah. Siapa yang bisa menebak apa yang kini dirasakan wanita dingin yang menghilang di balik pintu tertutup itu?

"Iori," panggil gadis bodoh itu dengan suara ceria, "apa kakak akan menghadiri pernikahanku?"

Pelayan setia yang jadi diam itu, bahkan tak bisa menemukan jawaban bodoh yang bisa ia ucapkan. Wajah tua yang sudah dihiasi garis-garis penuaan itu, hanya bisa menatapi gadis ceria yang bahkan tak merasa bersalah sedikitpun baik sikap, sifat, pembawaan, maupun bahas tubuhnya.

"Nona Ais," ucap Iori membuat gadis bodoh yang panggilan sayangnya disebut itu, senyumnya makin lebar. Telinganya siap mendengar jawaban dari kepala pelayan yang wajahnya bahkan tak bisa ia baca. Tentu saja, ia hanya gadis bodoh, bukan?

"Hemm?" manja, sahutan Ais itu terdengar bahkan di telinga tembok dan semua benda mati yang hanya bisa melihat dan mendengar tanpa bisa berkomentar.

"Sudah waktunya Nona Ais dan Nyonya Grace bersiap-siap," ucap Iori membuat kepala Ais miring tak paham. Sementara, sang ibu menatap tajam pelayan setia yang bahkan terus menunjukan senyum menyebalkan yang membuatnya berdiri, langsung meninggalkan ruangan tak perduli pada tatapan bodoh putrinya yang masih saja duduk menunggu jawaban dari Iori.

"Bersiap kemana?"

"Pergi, Nona. Tanpa kesempatan kembali," Jawab Iori dan hanya tersenyum saat mendengar suara pintu yang dibanting begitu keras juga rutukan disertai sumpah serapah.

"Pergi? Pergi kemana dan siapa yang pergi?"

Kepala pelayan yang senyumnya seolah permanen itu, makin menunjukan keramahan. Mata tuanya, bahkan ikut tersenyum lalu membuka mata menatap gadis bodoh yang bahkan tak mengerti arti pembicaraan yang begitu mudah untuk dipahami, "mari, Nona Ais."

Ais berdiri dari duduknya, masih tak paham dan berjalan dibelakan kepala pelayan yang membuka pintu lebar-lebar untuknya lalu menunduk. Nampaknya, daripada bicara, Iori lebih memilih menunjukan apa yang akan terjadi pada gadis muda yang menatap bingung koper-koper besar yang berjejer, sampai mata birunya melihat sang ibu yang menuruni tangga dengan amarah.

"DI MANA PERHIASANKU!?"

Perempuan paruh baya itu, menatap tajam Iori yang mengangguk pada salah satu pelayan yang maju menyerahkan catatan. "ANAK SIALAN! KAU AKAN MENYESALI INI"

"Mom? Mommy kenapa?" tanya Ais yang hanya dianggap angin lalu oleh ibunya yang menarik kerah Iori begitu kuat.

Namun, tubuh tegap pria yang tak lagi muda itu tetap tak goyah, hanya manik matanya saja yang menunduk menatapi kemurkaan sang nyonya (oh, ralat) mantan nyonya.

Tak ada senyum permanen yang Iori tunjukan pada keangkuhan wanita yang mencengkram kuat kerahnya ini. Bahkan, sorot matanya berubah begitu dingin, membuat pelayan-pelayan muda yang ada dalam ruangan besar nan megah itu menunduk. Tahu pria itu, sedang sangat marah apalagi, saat mata dinginnya dihiasi senyum begitu ramah meski matanya sama sekali tak tertawa, "Nyonya Grace, nona besar hanya mengatakan tak ingin satupun barang anda ataupun barang nona Ais yang tertinggal di rumah ini. Tak lebih dan tak kurang dari itu."

Senyum Ramah Iori, membuat rambut-rambut halus Grace berdiri. Namun, kesombongannya tak ingin pergi dan diangkatnya tinggi-tinggi tangannya diikuti suara menggema yang membuat semua mata terkejut termasuk gadis bodoh yang mata bulatnya membesar.

PLAKK!! tamparan keras itu, hanya dijawab senyum dari wajah Iori yang tak perduli pipi kanannya membiru berkat sentuhan sepenuh hati wanita yang keluar tanpa membawa apapun kecuali apa yang ada di dalam rumah ini, "setidaknya, nona besar membiarkan Anda menyimpan perhiasan-perhiasan anda, Nyonya. Juga tas dan benda-benda mahal yang anda koleksi."

"You son of a bitch!"

"Indeed, Ma'am," jawab Iori dengan senyum diwajah lalu mengangkat tangan diikuti gerakan pelayan-pelayan muda yang serempak mengangkuti koper-koper besar yang dibawa keluar, lalu dimasukan kedalam truk pengangkut yang sudah menunggu.

"Lepas! Lepaskan tangan kotor kalian dariku! Lepas!"

Teriakan Grace sama sekali tak membuat cengkraman beberapa pelayan mengendur, malah sebaliknya, semakin kuat memegangi perempuan paruh baya yang mereka seret.

"Jangan terlalu kasar," ucap kepala pelayan pada telinga-telinga yang tangannya menggandeng tangan gadis bodoh yang masih tak mengerti, menatapi Iori penuh tanya sampai ia berdiri di depan gerbang yang akhirnya terbuka lebar lalu tertutup setelah ia ada di luar.

"I- Iori? A-apa? Kenapa kau mengunci gerbangnya?"

"Nona Ais, semoga hidupmu baik setelah hari ini dan lahirkanlah anak yang sehat."

Iori membungkukkan badan, diikuti pelayan-pelayan muda yang serempak melakukan hal sama lalu meninggalkan gerbang tinggi menjulang. Mereka masuk ke dalam mansion dengan pilar-pilar tinggi dan taman luas yang bisa membuatmu tersesat jika tak mengerti.

"Iori? Iori....! Iori...!! Ioriiiii...!"

Teriakan gadis bodoh itu hanya terdengar namun tak didengarkan.