webnovel

7회: Ck, Dasar Kang!

Bintang. Atlet sepak bola sekolah, ditambah wajah yang menawan-hidung mancung, alis tebal, mata sipit, dan kulit putih berpadu menjadi satu. Bintang juga selalu berada di tiga besar kelasnya. Kualifikasi yang pantas untuk seorang idola.

     Binar. Gaya feminin tetap menjadi khasnya terlepas tomboy yang tampak dari karakternya. Tidak hanya langganan ranking dua akademik, Binar juga langganan juara badminton antarkelas. Tapi berbeda dari Bintang, menjadi atlet sekolah tidak pernah ada di daftar keinginannya.

     Bintang di tahun kedua SMA, sementara Binar di tahun kedua SMP. Sekolah mereka satu atap sehingga keduanya selalu berangkat bersama; dengan manisnya mengayuh sepeda. Seperti pagi itu, saat hangat mentari perlahan mulai menyapa.

     "Lung, aku ada PR matematika di jam terakhir. Hehe semalem lupa ngerjain," kata Binar cengar-cengir, "istirahat nanti ke perpus ya hehe bantuin hehe."

     Bintang mendekatkan sepedanya ke sepeda Binar, lantas tak melewatkan kesempatan menjitak kepala Binar agak keras. "Tunggu di meja biasa."

     "Jinjja?"

     "O."

🎐

     Menit kesepuluh istirahat pertama, kali kedua Binar mengintip jendela perpustakaan kalau-kalau Bintang datang.

     "Aku beliin minum dulu gimana?" tanya Medina sahabatnya.

    Binar menggeleng. "Tapi kalau kamu laper atau pengen minum, kamu gapapa ke kantin duluan."

    "Kenapa ngga nanya Mizan aja?" usul Medina nyengir, "seenggaknya dia mau ngajarin caranya gitu."

     "Kenapa ngga kamu aja yang ngajarin aku? Kemarin abis private 'kan sama dia? Ckck, dasar Medina."

     "Aku ngga paham. Cuman iya-iya tok. Abis gitu PR-ku dikerjain sepupuku hehehehehe."

     Binar mengembangkan lubang hidungnya, "kamu aja ngga paham, aku lagi. Jangan bikin aku sebel kuadrat ya. Soalnya sekarang tangan kakiku udah gatel banget pengen mukul sama nendang Kang sialan itu."

     Medina tertawa.

     "Kenapa ketawa?!"

     "Namanya juga lahir dari rahim yang sama, ya."

     Binar menatap Medina, "Maksudnya?"

     "Kamu dan Mas Bintang. Kalau lagi marah sama Mas Bintang, sadar ngga sadar kamu selalu nyebut dia 'Kang'. Mas Bintang juga gitu."

     "Kok bisa denger?"

     "Waktu itu, ngg pas kamu dipanggil BK gegara bawa mp3 player. Aku liat Mas Bintang berdiri di depan pintu sambil geleng-geleng kepala dan bilang gini 'ck dasar Kang'."

     "Ooh."

     "Ooh doang?" Medina sewot.

     Binar melirik Medina, "Emang udah kebiasaan. Nama 'Kang' kek otomatis keluar kalo aku lagi sebel atau paling engga heran sama Sulung. Begitu sebaliknya."

     Medina meletakkan telapak tangan kanannya di pundak kiri Binar, "Sebenernya, udah setahun aku penasaran banget, Bi," ucapnya hampir berbisik, "aku sahabatmu satu-satunya, tapi aku  sama sekali ngga tau apa yang selama ini mengganggumu. Aku cuman tau kamu punya ibu Korea dari biodata rapormu, tapi aku ngga pernah denger kamu cerita tentang ibumu barang sedikitpun. Aku cuman tau kamu punya nama asli 'Kang Bitna', tapi aku ngga tau kenapa kamu tidak suka dipanggil dengan nama itu. Aku yakin, sebelum aku, anak-anak kelas udah pernah nanyain ini ke kamu."

     "Iya, mereka selalu nanya. Temen-temen kelas Sulung juga. Wajar. Itu emang sesuatu yang terlalu jelas untuk ngga ditanyain." Mata Binar beralih ke depan, menghindari mata Medina, "aku.."

     Dan Medina tahu, mata yang menghindari matanya itu sedang menahan tangis.

     "Bi, aku ngga bermaksud buat—"

     "Jangan ngerasa bersalah, Din. Mungkin ini udah saatnya aku punya tempat buat cerita, 'kan?" Binar memotong ucapan Medina cepat, "cerita bersama sosok ibu tertutup begitu umurku genap delapan tahun. Gara-gara nenek dari pihak ibu yang nentang latar belakang agama dan keluarga Ayah. Jadi untuk ngga keingetan yang buruk-buruk tentang keluarga Kang, aku dan Sulung sepakat buat nambahin 'biasa dipanggil Binar atau biasa dipanggil Bintang' pas perkenalan. Yah, biar temen-temen ngga manggil dengan nama Bitna atau Beom Seok. Semacam protes kalau kami berdua 'Kang aniya', kami keberatan dipanggil dengan nama itu.

     "Ayah bilang, kakek dari pihak ibu yang memberi kami nama seperti itu. Syarat agar Ayah bisa membawa kami tinggal di sini."

    "Aku bisa membandingkan sifat nenek dan kakekmu hanya dari cerita singkat ini. Sepertinya kakekmu orang yang open minded," ucap Medina.

    "Entahlah."

     Medina mengusap punggung Binar sementara ada dua aliran di mata kanan dan kirinya yang tak sempat diusapnya.

     "Meski begitu, jangan kasihan padaku atau Sulung. Kami bahkan lebih dari bahagia meski cuman hidup dan dibesarkan sama Ayah. Beneran deh."

     Medina mengangguk. "Aku tau kok, kalian bertiga hidup dengan sangat baik. Pak Dana 'kan ayah yang keren."

     "Itu dia poinnya," sela sebuah suara dari belakang bangku Medina.

     "Udah jam segini! Ngga mungkin kelar dalam 5 menit! Kalo emang ngga bisa kenapa bilang bisa sih?!" Karena posisi Binar menghadap Medina dan Bintang ada di posisi yang sama dengan Medina, maka Binar menyadari kehadiran kakak lelaki yang ingin dipukul dan ditendang olehnya.

     "Ssst, jangan banter-banter." Bintang menempelkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Miane, aku lupa bilang ke kamu kalau hari ini aku harus ikut seleksi akhir tim basket ke Jakarta."

     Medina menoleh, "Seenggaknya Mas Bintang kudu bawain Binar minum kek, roti kek. Nunggu lama di sini dan belum sempet ke kantin."

    Bintang melihat arlojinya, "Masih dua menit nih. Mau minum apa?" tanyanya. "Kamu sekalian, Din. Mau minum apa?"

     Binar beranjak dari bangkunya.

     "Jangan ngambek ya Bi, plis ya plis."

     Medina kemudian mengikutinya.

     "Din, bantuin dong!"

     Binar melotot.

    "Maafin, ya. Plis." Bintang terus membujuk.

     "PR-ku harus dikumpulin hari ini juga. Syukur-syukur cuman ngumpulin, aku bisa liat kerjaan Medina. Tapi kalau dibahas bareng terus aku ketiban pertanyaan? Dasar Kang!"

🎐