webnovel

3회: Episode Lilin dan Lampu

"Padahal Ayah tahu, aku, Binar Danadyaksa usia dua puluh dua tahun, tidak suka menunggu!"

Pria paruh abad itu terkekeh. "Maafkan pria tua-mu ini, Bungsu."

"Sekadar informasi, setelah lima tahun meninggalkan rumah, Binar Danadyaksa sampai di Ankara dua jam lebih awal dari jam penerbangan seharusnya, lalu transit yang sangat lamaaaa di Changi, dan menunggu Ayah di sini kurang lebih tiga setengah jam." Gadis dengan pashmina merah marun itu terus menggerutu, "maka sebagai hukumannya, tolong traktir Binar Danadyaksa mi ayam."

Ayah menjitak kepala Binar pelan. "Mari kita pulang!"

🎐

Hari wisudanya memang hanya sekali. Hari pensiun Ayah dan hari investor asing untuk Jigeum juga hanya sekali. Binar kecewa karena wisudanya mundur dari rencana, Ayah yang menyesal tidak menyaksikan wisuda putri bungsunya, serta Bintang yang gagal memberi kejutan untuk adik semata wayangnya.

"Selamat datang kembali di rumah, Bungsu!" seru Ayah seraya membuka pintu.

Ada perubahan besar yang tidak tampak saat Ayah dan dirinya melakukan panggilan video selama ini. Ayah yang selalu memilih tanaman belakang rumah sebagai latar belakang, sementara dinding di dalam rumah berubah warna catnya dari hijau muda polos ke warna biru pastel dipadu wallpaper garis vertikal menghias hampir sebagiannya.

Binar juga melihat gorden biru tua bermotif daun di masing-masing jendela. Ah iya, bahkan ia baru menyadari, warna putih tulang juga menggantikan warna coklat pada pintu.

"Gimana, suka?"

"Gimana ngga suka, keren gini kok." Binar masih memegang handle kopernya, "cuman ya itu, ngga pernah ngasih tau. Kirim foto kek, apa kek. Ck tau-tau keren gini.

"Ini belum pada intinya, lo," kata Ayah sambil mengambil alih koper biru langit di tangan Binar dan menariknya ke kamar putri bungsunya itu, "lihat juga perbedaan di kamar ini!"

Binar mengerjap setidaknya tiga kali sebelum akhirnya mengikuti Ayah ke kamarnya.

"Apa yang berubah dari kamarku mari kita li-" Binar berhenti di depan pintu yang terbuka, "woaaaa!"

Ayah tersenyum penuh kemenangan. Putri bungsunya tampak begitu menyukai kejutan yang disiapkannya.

"Ayah ini keren banget!" puji Binar. Matanya tak berhenti menatap rangkaian aksara Korea dengan warna ungu-biru yang terpancar dan sesekali berpendar dari tumbler di dinding yang menghadap pintu masuk kamarnya.

"Kalau tidak salah ingat, Ayah pernah cerita soal 'Daripada Lilin, Lampu Lebih Terang dan Hangat' 'kan sama kamu? Hmm, pas SMP?" Ayah bertanya.

Binar mengiyakan dengan anggukan. "Habis Isya, selepas Ayah dan Sulung pulang dari musala."

"Yap, itu dia."

"Ada apa tiba-tiba mengulang 'Daripada Lilin, Lampu Lebih Terang dan Hangat'? Ayolah, Yah, jangan disambungin sama tumbler."

Sebelum menjawab pertanyaan Binar, terlebih dahulu Ayah duduk di bibir ranjang bungsunya itu. "Tumbler juga lampu. Lampu lebih terang dan hangat daripada lilin, seperti perbandingan yang dibuat Eomma. Konfu-"

"Konfusianisme mungkin paham yang kuno, tapi Eomma sangat menyukainya menurun dari kakeknya," potong Binar membuat bibir Ayah tak kunjung mengatup, "tapi seperti plot twist, segalanya berubah karena pertemuan Eomma dengan Ayah. Eomma melupakan konfusius yang katanya hangat seperti lilin karena Ayah menunjukkan lampu padanya, Islam. Ckck, baru pulang langsung nostalgia yang lama-lama. Ayah sungguh terlalu."

Wajah yang biasanya terlihat sangat berwibawa itu mendadak pasrah. "Oke," kata Ayah, "sekarang mandi, salat. Biar Ayah yang bikin susu jahenya, sambil nunggu Didin nganter mi ayam."

Binar terkekeh, "Didin siapa, Yah?"

"Misbahuddin anaknya Pak Didit. Sekarang buka di rumah, ngga di kantin sekolahmu dulu."

Binar merutuk dalam hati. Pak Didit dan mi ayam mengingatkannya pada seseorang, di sekolah.

🎐