1 Bab 1

"Itu dia si Monang!" teriak salah satu dari segerombolan warga kampung.

"Tangkap dia!" sambung yang lainnya.

Segerombolan warga kampung itu berlari kearah loket mobil mengepung seorang pria yang lima menit lalu baru turun dari sebuah bus.

Warga kampung sangat murka biar bagaimanapun tindakan Monang tidak dapat di maafkan, sekalipun Monang adalah orang terkaya di desa itu.

"Hei, Monang. Mau kabur kemana lagi kau ha?!" tanya pria berbadan besar dengan tato naga di lengannya.

"Ma–maksudnya?" tanya pria berkulit putih itu heran.

"Monang, kau harus menikah dengan Uli. Jangan jadi pengecut!" teriak yang lain lagi.

"A–aku bukan, Monang," sanggah pria berkulit putih dengan rambut ala opa korea.

"Ah banyak cakap kau! Sekarang ayo kita seret dia kembali ke acara pernikahannya."

Para segerombolan warga kampung menarik lengan serta kaki pria yang di pikir adalah Monang.

Mereka menyeret paksa pria itu kesebuah lapangan yang sudah di hias tenda biru dan papan bunga.

Tertulis jelas dipapan bunga itu bahwa hari ini adalah pernikahan 'Hamonangan Pemberani & Uliana Azahra' para penduduk desa juga sudah hadir memenuhi lapangan yang hanya terbentang tikar plastik itu.

"Lepaskan aku! Aku bukan Monang! Aku adalah Arya! Aku tidak mengenal kalian semua!" teriak Arya memberontak.

Salah satu pria berbadan besar dengan pedang panjang menghampiri Arya.

Tatapan mata pria itu tajam seperti belati yang siap mengoyak-ngoyak mangsanya.

"Apa kau tetap tak ingin bertanggung jawab pada Uli?" tanya pria itu dingin.

"Ma–maaf aku bukan Monang ..." jawab pria yang di sangka Monang.

"Aku tidak perduli dengan alasanmu. Seluruh warga kampung ini juga tau kau itu siapa.

Sebelum pedang ini membelah kepalamu menjadi dua bagian. Sebaiknya kau lanjutkan pernikahanmu dengan adik kesayangan ku."

Ternyata pria berbadan besar yang memakai jas hitam dengan memegang pedang di tangannya adalah Abang sang pengantin wanita yang di tinggalkan calon suami saat acara akan di mulai.

Abang wanita itu menancapkan pedangnya pada sebuah kepala binatang yang akan di jadikan santapan pesta hari ini.

Mata pria berbadan tegap itu terus saja menatap Arya dengan tajam, namun tangannya sudah akan melayangkan pedang untuk membelah kepala binatang itu.

Pak!

Sekali sentakan kepala binatang itu langsung terbagi dua.

"Apa kau berniat melihat pedang ini menancap kepalamu lelaki keparat?" tanya Abang pengantin wanita.

"Ba–baiklah, akan aku lakukan permintaan kalian," jawab Arya mengalah.

Meski pria tampan dengan kulit putih, kaos hitam serta celana jogger itu tidak bersalah.

Sadar akan tempat ini bukan lah daerah kekuasaannya membuat ia memilih menunduk.

"Jika berani kabur maka kau akan habis di tanganku!" ucap pria itu dengan nada penuh penekanan.

"A–aku tidak akan kabur."

"Jangan kecewakan adikku!" Sebuah peringatan keluar dengan lantang dari bibirnya.

Acara demi acara berjalan dengan lancar. Pesta pernikahan itu selesai pada pukul delapan malam.

Sepasang pengantin baru yang terpaksa menikah itu masuk ke dalam kamar yang telah di persiapkan.

Karena ancaman Abang ipar yang seperti pembunuh bayaran itu Arya tidak berani berkutik apalagi menatap sang wanita yang beberapa jam lalu di peristri.

"Mandi dulu, Bang," ucap Uli memberikan handuk baru kepada suaminya.

Tanpa melihat atau menjawab Arya langsung mengambil handuk itu, bergegas ke kamar mandi.

"Sudah selesai, Bang?" tanya Uli lembut.

"Su–su–sudah," jawab Arya gugup.

Deg!

"Ka–kamu siapa? mengapa kamu yang menikah dengan ku?" tanya Uli bingung ia berdiri mematung menatap pria yang tak dikenalnya.

Sedari acara pernikahan sampai pesta meriah yang memakan waktu berjam-jam itu Uli tidak pernah memandang dengan teliti wajah pria yang akan menikahinya itu.

"Harusnya aku yang bertanya. Bukan kamu! kalian sudah menjebak ku." ucap Arya ketus

"Ma–maaf tapi aku tidak mengerti maksud mu ..." ucap Uli lirih.

"Pagi tadi saat aku baru tiba di stasiun bus yang biasanya kalian sebut dengan loket motor itu. Aku tiba-tiba saja di keroyok oleh rombongan orang kampung. Mereka mengatakan bahwa aku adalah Monang dan mereka juga menyuruhku untuk bertanggung jawab atas dirimu. Bahkan Abang mu yang bertubuh besar itu mengancam akan membelah kepalaku jika aku lari dari pernikahan ini," jelas Arya panjang lebar.

"Aku tidak tahu."

"Bahkan segerombolan orang itu tidak menerima penjelasan ku!"

"Kamu tahu bahwa aku bukan Monang. Aku datang ke sini untuk berlibur bukan untuk menikah dengan wanita yang sama sekali tidak aku kenal," sambung Arya lagi.

Uli hanya diam mendengarkan ucapan demi ucapan yang di lontarkan dari bibi Arya.

"Mengapa kamu diam? apa kalian sekeluarga memang sengaja menjebak pengunjung yang datang ke desa ini?" tanya Arya sinis.

"Jaga ucapan mu orang kota!" pekik Uli tak terima.

"Lalu? bisa kau jelaskan mengapa semua ini terjadi?"

Diam, tak ada respon dari Uli.

"Jika tidak bisa kamu yang menjelaskan sebaiknya beritahu keluargamu bahwa aku bukan Monang!" sambung Arya.

"A–a–aku tidak i–ingin menjadi ja–ja–janda ...."

"Apa!" pekik Arya sangking kagetnya.

"Ja–jangan berteriak," ucapnya sedikit kaget

"Aku gak mau jadi janda! baru satu hari nikah masak harus di ceraikan hanya karena salah calon suami ... aku malu ..." Wajah Uli sudah memancarkan aura kasiahan.

"Lalu bagaimana dengan aku? aku yang tidak tau apa-apa harus terjebak dengan mu."

"Bagaimana kalau kamu bawa aku ke kota?" katanya memberi usul.

"Tidak bisa! aku tidak ingin keluarga serta seluruh temanku tahu bahwa kamu sekarang adalah istriku." Arya menolak mentah-mentah tanpa berfikir terlebih dulu.

"Katakan saja jika aku ini adalah saudara jauhmu," kata Uli mencoba menawar.

Arya menarik nafasnya kasar. Wanita ini sungguh keras kepala ternyata.

"Aku tidak bisa membawamu ke kota. Sekarang sebaiknya kamu katakan saja pada keluargamu bahwa aku bukanlah Monang tetapi Arya Wiraguna." Arya berkata tegas, dari awal ini sudah salah. Penduduk kampung sudah merusak hak asasi manusia jika seperti ini.

"Bagaimana bisa kamu berada di desa ini?" tanya Uli sedang mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Aku seorang Traveler. Hobi ku berkeliling dunia," jawab Arya cepat.

"Kalau begitu mari aku tunjukkan objek wisata bagus di tempatku ...."

"Eh jangan harap kamu bisa menyogok ku, ya."

"Aku sedang tidak menyogok. Aku hanya memberi penawaran dengan menjadi pemandu wisata mu." Wanita itu sedang memikirkan cara terbaik agar tidak menjadi janda.

"Aku sudah tidak tertarik dengan tempat ini," ucap Arya ketus.

Uuhhh ....

Terdengar helaan nafas dari Uli entah apa sebenarnya yang sedang di pikirkan gadis desa itu.

Raut sedih tidak tampak di wajahnya, Padahal ia menikah dengan orang yang salah, tetapi penyesalan itu tidak tampak.

"Kenapa ha?!" tanya Arya kesal.

"Hei Tuan tampan, aku sedang berfikir bahwa kamu adalah sosok yang Tuhan kirimkan agar aku tidak menikah dengan Monang."

"Hei gadis desa ... aku tidak mengerti dengan ucapan mu yang sudah berkelana entah kemana itu." Perkataan Arya terhenti pria itu sedang mencoba menarik nafas dalam-dalam agar tak tersulut emosi.

"Tadi aku meminta penjelasan, namun kamu malah meminta di bawa ke kota. Sekarang kamu bicara hal aneh lagi," sambung Arya. Nada bicara sudah terdengar normal.

avataravatar
Next chapter