1 Di Antara Tiga Saudara

Sayup-sayup alam mimpi masih membayangi…

Laboratorium tersebut tampak seperti bangunan tua biasa apabila dipandang dari kejauhan. Beberapa bagian dari dinding-dindingnya terselimuti salju tebal. Tampak juga lumut-lumut hijau segar yang tumbuh di bagian dinding-dinding yang lain. Sesekali angin dingin akan berhembus sebagai latar belakang yang menambah suasana sepi pada bangunan laboratorium yang disamarkan menjadi bangunan tua biasa di tengah-tengah padang salju tak berbatas tersebut.

Sejauh mata memandang, yang bisa tertangkap oleh saraf penglihatan adalah hamparan salju putih bersih dengan udara dingin yang menggelantung di atasnya. Semuanya diam, tidak bergerak, tidak bergeming kecuali salju-salju yang sesekali terbang tertiup angin dingin.

Namun, apabila kita berjalan masuk ke dalamnya, kita akan melihat kesibukan luar biasa yang tak mengenal waktu. Sungguh kontras dengan pemandangan dari luar yang menunjukkan seolah-olah bangunan laboratorium itu merupakan bangunan tua biasa yang sudah lama ditinggalkan.

Sekelumit ketakutan mulai menyergap dan menguasai. Perasaan ingin sekali bangun dari mimpi tersebut. Akan tetapi, tubuh sama sekali tidak memberikan reaksi dan menunjukkan gejala-gejala akan terbangun. Akhirnya, hanya bisa terus melawan, memberontak dan meronta-ronta dalam alam mimpi tersebut.

***

Jakarta, pertengahan Februari 2012

Pagi yang panas di pertengahan Februari 2012… Tampak Maxy Junior bangun dan membuka matanya perlahan-lahan. Kaki segera turun dari tempat tidur. Dia akan masuk tahun ketiga di SMA hari ini. Hal itu membuatnya sedikit bersemangat.

Tampak sebentuk tubuh yang atletis serta guratan-guratan otot yang terpahat indah pada tulang-tulangnya. Bisa dibayangkan siapa pun gadis muda yang berpapasan dengan sosok tersebut pastilah akan menggelepar-gelepar karena terpesona dan jatuh hati pada pandangan pertama.

Dengan masih mengenakan undies-nya, Maxy Junior melangkah masuk ke kamar mandi. Dia memang tidur terbiasa dengan hanya mengenakan undies. Dia memiliki kamarnya sendiri dan apa-apa saja yang ingin dilakukannya ketika tidur menjadi hak pribadinya.

Terdengar guyuran air di kamar mandi. Tak berapa lama kemudian, sudah tampak seraut wajah tampan maksimal berdiri di depan cermin rias. Maxy Junior sudah berseragam SMA lengkap dan berdiri di depan cermin dengan sebersit senyuman semringah yang menjadi ciri khasnya. Rambut minyak dioleskan ke rambut. Dengan beberapa kali sapuan tangan, sudah jadi model rambut belah tengah yang selama ini menjadi ciri khasnya. Tangan mengambil parfum Calvin Klein yang ada di meja rias. Parfum disemprotkan ke badan dengan cepat. Ia kembali tersenyum semringah kepada bayangannya sendiri di depan cermin sebelum menyandang tas sekolah dan keluar dari kamarnya.

Dia turun dari lantai tiga. Kebetulan memang kamar tidurnya berada di lantai tiga. Di lantai satu tampak beberapa pembantu mulai sibuk menyiapkan sarapan pagi buat ketiga anak dari keluarga Tanuwira.

"Pagi, Bang Maxy…" sapa si adik perempuan sambil menampilkan sebersit senyumannya yang menurutnya paling menawan.

"Pagi, Mary…" sapa Maxy Junior kepada adik perempuannya yang satu tahun lebih muda darinya.

"Pagi, Bang Maxy…" sapa si adik lelaki yang dua tahun berada di bawah Maxy Junior.

"Pagi, Martin…" Maxy Junior duduk di depan mi pangsit kesukaannya. Dia celingak-celinguk ke kiri dan ke kanan. Namun, dia tidak melihat ada di mana Nyonya Liana Fransisca Sudiyanti – ibu mereka.

"Nyonya Liana sudah berangkat ke kantor pagi tadi jam enam, Tuan Maxy…" kata salah seorang pembantu yang menghidangkan jus apel buat ketiga anak itu.

"Kok pagi sekali?" tanya Martin Jeremy dengan raut wajah polos. Sementara Maxy Junior sudah menampakkan raut wajahnya yang sedikit masam dan Mary Juniar, si adik perempuan, bisa membaca raut wajah abangnya dengan suasana hatinya yang mendadak menjadi kurang baik dalam hanya beberapa detik.

"Katanya ada sedikit kerjaan di kantor. Katanya juga dia akan pulang larut malam hari ini, jadi makan siang dan makan malam kalian boleh makan di luar saja." Si pembantu berkata dengan lemah lembut menyampaikan pesan sang nyonya rumah. Kemudian, ia tampak berlalu masuk ke dalam dapur.

Maxy Junior hanya menghela napas panjang. Sebagai seorang direktur salah satu perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik, Nyonya Liana Fransisca Sudiyanti memang jarang sekali berada di rumah dan bercengkerama dengan ketiga anak-anaknya. Maxy Junior sudah terbiasa karena sejak kecil, dia dan kedua saudaranya diasuh dan dibesarkan oleh para pembantu. Jadi, tidaklah heran para pembantu yang jauh lebih memahami sifat dan karakter ketiga anak itu daripada ibu mereka sendiri.

"Nanti siang tentu saja kita akan makan di kantin sekolah kan, Bang Maxy?" tanya Mary Juniar dengan sedikit gaya centil kepada abangnya. Mungkin karena kurang perhatian, sejak kecil dia selalu berusaha mendapatkan perhatian dari abangnya itu kendati lebih sering Maxy Junior mengabaikannya.

Maxy Junior langsung menggeleng. Dia tampak tersenyum penuh arti sekarang.

"Bang Maxy mau makan di mana memangnya?" tanya Mary Juniar sedikit mengerutkan dahinya.

"Ada coffee shop baru di samping sekolah. Saat liburan, aku pernah lewat dan aku lihat sudah grand opening Januari lalu. Aku mau coba makanan dan minuman di sana siang ini," kata Maxy Junior meringis.

"Aku ikut dong…" Sontak Mary Juniar berteriak kegirangan.

"Boleh… Hari ini harusnya pulang cepat karena baru hari pertama kita sekolah. Jam 12.45 langsung ke sana saja, Mary. Aku tunggu kau di sana," kata Maxy Junior dan kini ia berpaling ke adik laki-lakinya. "Martin mau ikut?"

Martin menggeleng. "Aku ada janji makan siang dengan teman sekelas di GI, Bang…"

"Oke deh… Hati-hati dan pulangnya minta Bang Parman yang mengantarkan saja ya…" kata Maxy Junior sudah kembali tersenyum lebar sambil menepuk ringan pundak adik laki-lakinya.

Mereka makan kira-kira lima belas menit. Setelah sarapan selesai, masing-masing berjalan ke arah pintu depan. Tampak seorang pembantu yang membukakan pintu bagi mereka bertiga. Tampak si sopir, Bang Parman, sudah siap berdiri di samping mobilnya.

"Aku bawa mobil sendiri, Bang Parman… Habis pulang sekolah, aku masih mau ke tempat les bahasa Inggris…" kata Maxy Junior.

"Oke, Tuan Maxy…" kata Bang Parman membukakan pintu bagi Martin Jeremy dan Mary Juniar.

"Sampai ketemu di sekolah, Bang Maxy…" Kentara sekali Mary Juniar selalu ingin mendapatkan perhatian dari abangnya. Si abang hanya melambaikan tangannya dan kemudian masuk ke dalam mobil.

Tampak mobil Maxy Junior meninggalkan halaman vila besar itu dan mulai bergerak masuk ke dalam lautan lalu lintas yang super padat pagi itu.

"Kenapa kau selalu ingin mencari perhatian Bang Maxy?" tanya Martin Jeremy sambil memajukan sedikit bibirnya ke depan.

Mary Juniar menggeliat kesal. "Bukan urusanmu deh, Martin…"

"Waktu kita di Medan dulu kau juga begitu. Sekarang setelah kita pindah ke Jakarta, kau juga begitu. Tidak bisa berubah…" kata Martin Jeremy sedikit mencemooh kakak perempuannya.

"Aku sangat menyayangi Bang Maxy. Perubahan tempat tinggal takkan bisa mengubah kasih sayangku kepadanya."

"Kau tahu jelas bahwa saudara sedarah tidak boleh terlalu dekat bukan? Apalagi kau itu perempuan dan Bang Maxy itu laki-laki. Apa kata orang-orang nanti kalau kau terlalu dekat dengan Bang Maxy?" Pernyataan Martin Jeremy semakin lama semakin kentara dan menyudutkan.

Mary Juniar tertegun sebentar. Dia berpaling ke adik laki-lakinya dan mendelik kesal.

"Jangan kira aku tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya terhadap Bang Maxy ya… Waktu kita di Medan dulu, aku pernah melihatmu masuk ke kamarnya dan diam-diam mencium baju seragam yang baru saja ia tanggalkan. Waktu itu aku tidak begitu mengerti. Sekarang aku mulai mengerti," desis Martin Jeremy dengan suara yang kecil, namun masih bisa terdengar ke telinga kakak perempuannya.

Mary Juniar mengeraskan rahangnya menahan amarah. Dia menekan tombol di sampingnya. Pembatas antara mereka di jok belakang dengan sopir yang ada di jok depan bergerak naik dan menutup.

"Bukan urusanmu dan bukan sampai giliranmu untuk ikut campur ke dalam masalah perasaanku, Martin Jeremy!" Terdengar suara Mary Juniar mulai bergerak ke nada turun. Dia tampak memandang adiknya dengan sorot mata tajam.

"Aku hanya memperingatkanmu supaya kau tidak melangkah terlalu jauh, Kak…" desis Martin Jeremy sembari menghela napas panjang.

"Aku memang sangat menyayangi Bang Maxy… Aku mencium baju seragamnya waktu itu karena dia tidak pulang ke rumah selama tiga hari dan mengikuti study tour ke Singapura. Aku benar-benar sangat merindukannya waktu itu. Aku rasa tidak ada yang salah dengan itu. Mengapa kau begitu over-reacting sih, Martin?" tanya Mary Juniar setengah menghardik ke arah adiknya sambil mengerutkan dahinya.

"Iya… Iya… Anggap saja aku salah… Kalau kau bilang tidak ada, ya tidak ada… Sejak dulu aku sadar aku tidak bisa menang berdebat denganmu, Kak." Tampak Martin Jeremy merapatkan bibirnya dan membuang pandangannya ke arah jalanan yang ada di luar mobil.

"Bagus kalau kau tahu…" balas Mary Juniar sedikit ketus.

Mereka berdua mulai menyibukkan diri dengan ponsel masing-masing. Sisa perjalanan ke sekolah ditempuh dalam kebisuan.

Ternyata Maxy Junior duluan sampai ke sekolah Newton Era Intelligence School. Dengan pakaian seragamnya yang menyerupai anak-anak Taiwan, Korea atau Jepang, tentu saja pakaian seragam murid-murid di sekolah ini jauh berbeda dengan sekolah-sekolah lain yang bukan merupakan sekolah international plus. Dan, tentu saja – tidak perlu dibilang lagi sebenarnya – Maxy Junior Tanuwira tampak begitu tampan maksimal nan memikat dengan balutan seragam warna cokelat, jas luar yang berwarna cokelat gelap dan celana panjang yang sewarna dengan jas luarnya.

Tingkat SMA berada di lantai lima sekolah itu. Sepanjang perjalanannya sampai ke ruangan kelas barunya, Maxy Junior selalu menjadi pusat perhatian anak-anak perempuan dari tingkat SD sampai dengan SMA. Ada yang sudah kenal dekat dengannya, berani menyapanya. Maxy Junior memamerkan deretan giginya yang putih rata bersih kepada anak-anak perempuan tersebut dan kontan membuat mereka mabuk kepayang.

"Hai, Maxy…"

"Pagi, Maxy…"

"Senang bertemu denganmu lagi di sekolah ini, Maxy…"

Begitulah kalimat-kalimat yang sudah sering didengarnya. Maxy Junior kebanyakan hanya tersenyum menawan. Terkadang dia tersenyum menawan sambil merapikan rambutnya dengan salah satu tangannya. Tentu saja pemandangan tersebut membuat para gadis muda mimisan tak tertolong.

Akhirnya Maxy Junior sampai ke ruangan kelasnya. Dia melihat sebentar ke denah kelas dan segera berjalan ke arah tempat duduknya sesuai dengan denah kelas tersebut.

avataravatar
Next chapter